Anda di halaman 1dari 9

ESSAY POPULER

Tunjung Tilah, Aiq Meneng, Empaq Bau dalam Perspektif


Pariwisata di Gunung Rinjani : Pariwisata Berbasis Kearifan
Lokal

SUB TEMA : PARIWISATA DAN BUDAYA

Dibuat untuk mengikuti lomba essay yang diselaggarakan


oleh Himpunan Mahasiswa Sosiologi Universitas Mataram NTB

OLEH
ARFI HIDAYAT
NISN: 0019078007

KEMENTERIAN AGAMA RI
MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 LOMBOK TIMUR NUSA TENGGARA
BARAT
2019
Jalan Hasanuddin No.02 Selong Telp (0376)21481
Tunjung Tilah, Aiq Meneng, Empaq Bau dalam Perspektif Pariwisata di Gunung Rinjani
: Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal
Arfi Hidayat

“Masuk kandang kambing mengembik, masuk kadang harimau mengaum”

Peribahasa di atas memiliki makna tentang sebuah penyesuaian diri dan adat
ketika memasuki suatu populasi atau pemukiman sosial. Setiap populasi sosial memiliki
aturan dan tata krama tersendiri yang telah menjadi nilai luhur yang dijaga kelestariaanya.
Kemampuan menghormati dan beradaptasi di sebuah populasi sosial adalah modal dasar
yang harus dimiliki setiap manusia untuk mendapatkan timbal balik berupa sambutan
baik dari suatu populasi sosial tersebut. Oleh sebab itu, ketika berkunjung ke suatu
tempat, hendaknya mempelajari dan menghormati aturan yang berlaku agar diterima
dengan baik. Hal tersebut juga berlaku dalam bidang pariwisata khususnya ekoturisme di
Gunung Rinjani. Penikmat ekoturisme hendaknya mampu menghormati tempat yang
dikunjungi. Dibalik dampak positif yang diperoleh dari ekoturisme di Gunung Rinjani
muncul pula beberapa dampak negatif terhadap tatanan sosial masyarakat, alam dan
budaya Sasak yang luhur, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak sedikit kerusakan
yang terjadi, sampah yang bertebaran dimana-mana, dan perilaku di luar norma adat
ketika berada di wilayah konservasi Gunung Rinjani. Nilai luhur yang telah tertanam
lama sebagai pondasi falsafah bagi masyarakat Suku Sasak mulai tergerus oleh arus
sungai globalisasi pembawa limbah degradasi moral luhur Sasak. Atas dasar itu, dalam
essay ini penulis akan memberikan saran yang bersifat solutif terkait pariwisata di
Gunung Rinjani agar terwujud pariwisata yang sehat, humanis dan ekologis.

Budaya Suku Sasak dibangun di atas pondasi religiusitas ketauhidan yang


terimplementasi dalam pandangan tentang kehidupan, hubungan dengan manusia, alam
dan Tuhan yang Maha Esa. Agama dan budaya yang berjalan selaras dan seirama telah
melahirkan keperibadian Suku Sasak yang integral, kepribadian yang utuh, harmonisasi
keyakinan dengan nilai dan perilaku. Dengan demikian, setelah melalui beberapa tahapan
analisis permasalahan menghantarkan pandangan penulis bahwa kebudayaan Suku Sasak
harus dipahami melalui media keagamaan sehingga akan terwujud perilaku yang bernilai
luhur Sasak. Begitupun dengan segala bentuk aktivitas di masyarakat Suku Sasak, secara
falsafah harus dipahami melalui kacamata agama dan budaya, termasuk ekoturisme di
Gunung Rinjani.

Bagi masayarakat Suku Sasak terdahulu, perjalanan ke Rinjani bukan merupakan


perjalanan wisata yang terdorong dari keinginan menaklukkan alam, Namun, perjalanan
penuh makna spiritualitas. Masyarakat biasanya terdorong karena tuntunan spiritual
maupun karena dipanggil melalui mimpi dan isyarat. Kemudian, perjalan menuju Rinjani
harus dibarengi tekad dan niat yang kuat. Disamping itu, Masyarakat terdahulu ketika
mendaki Gunung Rinjani harus didampingi oleh lokaq atau mangku yang memiliki
kemampuan secara spiritual tertentu dan melakukan beberapa laku adat sebagai bentuk
inisiasi penghormatan terhadap Gunung Rinjani. Begitulah, gambaran umum betapa
tertibnya laku adat para pendaki terdahulu sebelum menuju ke Gunung Rinjani. Namun,
hal tersebut berbanding terbalik dengan realita pendakian di Gunung Rinjani dewasa ini.
Data yang di peroleh dalam penelitian yang dilakukan oleh Arfi Hidayat dengan judul
Gempa Bumi dan Mitos Dewi Anjain pada Masyarakat Suku Sasak menunjukkan bahwa
Gunung Rinjani adalah tempat kemaliq atau keramat yang harus di hormati, akan tetapi
hal tersebut bertentangan dengan realita sosial yang di temukan bahwa telah terjadi
degradasi moral, kerusakan lingkungan dan tidak dijalankannya adat ketika mendaki
Gunung Rinjani. Permasalahan tersebut merupakan pekerjaan rumah bagi setiap lembaga
terkait, maka dari itu, selaku penerus generasi Suku Sasak, penulis berpandangan bahwa
meskipun kita berada di arus sungai globalisasi yang mambawa transformasi nilai adat
sehingga mulai hilang dan di ganti ke arah hal serba praktis, hendaknya semua
stakeholders tidak boleh lengah dan membiarkan khazanah kekayaan Suku Sasak mulai
terlupakan. Perlu terobosan sebuah inovasi untuk menyelaraskan nilai global dan lokal
sehingga terwujudlah harmonisasi dengan manusia dan alam.

Salah satu teori dalam disiplin ilmu sosiologi menyatakan keselarasan antara
pengaruh global dan lokal dinamakan teori glokalisasi. Teori glokalisasi penting untuk di
terapkan sebagai alternatif penetralisir budaya global yang masuk, penganut teori
glokalisasi akan menyeimbangkan kebududayaan lokal tanpa harus kaku dengan rasa
kesukuan yang tinggi meskipun akan di padukan dengan budaya global. Oleh sebab itu,
akan muncul timbal balik yang menghasilkan manfaat tersendiri, tergantung kepada
aspek penerapannya. Teori glokalisasi perlu di terapkan dalam setiap aktivitas kehidupan
bangsa termasuk dalam pariwisata. Sebagai contoh, negara Jepang telah sukses dengan
pariwisata berbasis kearifan lokal yang menjadi daya tarik tersendiri dan ciri khas bangsa
tersebut, meskipun mengusung konsep lokal akan tetapi dalam penerepannya selalu
berorientasi kepada kecanggihan teknologi yang dimiliki Jepang. Betapa indahnya
pariwisata di jepang karena menerapkan teori glokalisasi yang di landaskan pada nilai
luhur yang membawa manfaat kepada kondisi sosial humaniora, ekologi budaya dan
pendapatan negara.

Dewasa ini, terdapat beberapa komunitas adat yang menolak kembalinya di buka
pendakian di Gunung Rinjani karena menurut mereka tempat tersebut adalah tempat yang
sakral, untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan karena terjadi pelanggaran adat
di Gunung Rinjani akhirnya mereka sepakat untuk menolak dibukanya kembali
pendakian di Gunung Rinjani. Hal tersebut menandakan bahwa belum sepenuhnya
masyarakat setuju dengan birokrasi pengelolaan pariwisata yang ada di Gunung Rinjani.
Oleh sebab itu, solusi yang tepat sebagai upaya menghindari konflik sosial dan menjaga
adat serta menjaga alam adalah melalui pariwisata berbasis kearifan lokal.

Dalam essay ini akan di bahas secara umum konsep penerapan dan benefit yang
akan di dapatkan dalam pariwisata berbasis kearifan lokal di Gunung Rinjani yang
didasari kepada falsafah Suku Sasak “Tunjung Tilah, Aiq Meneng, Empak Bau”:

Makna Tunjung Tilah, Aiq Meneng, Mpak Bau dan implementasinya kepada
pariwisata di Gunung Rinjani.

Frase falsafah diatas secara harfiah memiliki arti: bunga teratai yang utuh, air tetap
jernih dan ikan tertangkap. Sebuah gambaran ideal yang akan mendasari konsep
pariwisata berbasis kearifan lokal di Gunung Rinjani. Gambaran kesuksesan dalam
bidang pariwisata dapat dilihat dari bagaimana cara menjalani hidup saat ini, lantas jika
proses hidup saat ini selalu berorientasi kepada persaingan global tanpa memerhatikan
keutuhan nilai lokal maka pada dasarnya falsafah sasak telah mengajarkan bahwa hal
tersebut tidak akan terwujud, pasti akan ada hambatan-hambatan yang akan mengganggu
proses perkembangan pariwisata tersebut. Pariwisata yang baik adalah pariwisata yang
berkembang dari transformasi yang berrelasi kepada redefinisi gaya hidup, paradigma
metafisis, pengembangan potensi dan tradisionalitas. Hal tersebut akan menghasilkan
sebuah produk pariwisata yang sehat, humanis, ekologis, dan ekonomis. Disisi lain,
tujuan kesejahteraan akan terwujud, kondisi sosial akan tetap damai dan alam akan lestari.
Nilai lokal sangat dibutuhkan dalam masa persaingan global saat ini, terlebih dalam
bidang pariwisata. Lokal wisdom akan membawa suatu daerah dalam menciptakan suatu
rancangan produk pariwisata tersendiri dengan lebih humanis dan berbasis kultural yang
akan di padukan dengan nilai global yang berlaku pada waktunya. Kearifan inilah yang
seharusnya menjadi modal masyarakat Suku Sasak dalam memetakan pariwisata berbasis
kearifan lokal yang di rumuskan dengan strategi Tunjung Tilah, Aiq Meneng, Mpaq bau.
(bunga teratai yang utuh, air tetap jernih dan ikan tertangkap). Dalam rangka memberikan
pemahaman secara umum terhadap pembaca, berikut penulis uraikan konsep penerapan
pariwisata berbasis kearifan lokal di Gunung Rinjani:

Tunjung Tilah

Tunjung tilah, melambangkan sebuah lingkungan ekologis yang terawat dan terjaga
keberadaanya, oleh sebab itu, yang berperan dalam hal ini adalah pemangku adat yang
mengawal setiap kelompok yang akan mendaki Gunung Rinjani, otomatis nanti
lingkungan ekologis akan senantiasa terjaga dan kesinambungan fungsi sumber daya
alam akan membawa kedamaian bagi alam dan populasi sosial sebagai mana pandangan
masyarakat Suku Sasak.

Aiq Meneng

Aiq Meneng, melambangkan kedamaian antar sosial yang bersifat harmonis dan humanis,
aiq meneng secara luas juga akan berkaitan dengan iklim sosial politik yang bebas akan
konflik vertikal maupun horisontal. Oleh sebab itu perlu adanya aturan agar menghasilkan
kedamaian untuk bersama. Berikut beberapa aturan sebelum mendaki Gunung Rinjani
agar menimbulkan kedamaian baik dengan alam maupun manusia:

• Setiap rombongan yang hendak mendaki didampingi oleh pemangku adat sesuai
wilayah jalur pintu masuk pendakiannya dan hendaknya mengikuti aturan yang
dilakukan sebelum mendaki rinjani seperti ritual dan sebagainya tergantung awiq-
awiq (aturan disuatu daerah) yang berlaku pada mangku tersebut.
• Tidak menggunakan pakaian yang sopan agar masyarakat tidak terpengaruh dan
menjadi bahan propokasi. Sehingga, akan terwujud harmonisasi antara pendaki
dengan populasi sosial dilingkungan tersebut.
• Mempelajari adat Sasak secara umum dan menerapkan beberapa laku adat yang
berlaku ketika mendaki Gunung Rinjani.

Empaq Bau

Sedangkan empak bau, melambangkan tercapainya sebuah tujuan atau kesejahteraan,


baik kesejahteraan individu, sosial maupun dengan alam. Tujuan yang dapat tercapai juga
adalah tujuan yang bernilai praktis, ekonomis, luhur maupun secara keseluruhan. Empak
bau juga berorientasi kepada pemupukan modal dan peningkatan kapasitas untuk bekerja
secara mandiri pada sektor pariwisata di Gunung Rinjani. Oleh sebab itu, apabila falsafah
tunjung tilah dan aiq meneng mampu tercapai dengan baik maka hal tersebut yang dapat
menjadikan goals untuk pariwisata akan kemenarikan tersendiri yang ditawarkan dan
sensasi keindahan alam yang masih terjaga akan memicu kedatangan wisatawan sebagai
pendapatan bagi daerah.

Manajemen (One Comand, One Gate)

Ekoturisme yang terdapat di Gunung Rinjani sepenuhnya belum terkelola dengan


kerjasama yang baik antar lembaga terkait. Ada beberapa lembaga pemangku
kepentingan yang terlibat langsung dalam ekoturisme di Gunung Rinjani meski telah
diawasi oleh lembaga pengurus TNGR. Pada dasarnya hal tersebut kurang efektif. Karna
akan memicu terjadinya konflik. Melalui pariwisata berbasis kearifan lokal ini, akan
mulai ditanamkan pengelolaan pariwisata yang bersifat one command, one gate (satu
komando, satu pintu). Akan ada satu kelompok yang menjadi pemberi kebijakan langsung
dalam mengurusi segala bentuk manajemen maupun konservasi terhadap ekoturisme di
Gunung Rinjani yang diberi nama Badan Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal (BPBK) di
Gunung Rinjani. Untuk menghindari konflik dan sebagai wujud implementasi kepada
falsafah aiq meneng maka BPBK akan terdiri dari beberapa lembaga terkait dengan
Gunung Rinjani seperti pengurus TNGR, BKSDA, KLHK, dispar dan lembaga adat. Satu
komando dan satu pintu ini akan menghasilkan kebijakan yang terpusat dan akan lebih
efisien dalam mengurusi urusan pariwisata di Gunung Rinjani.

Media Manajemen (Mangku dan e-Rinjani)

Media pembantu berjalannya manajeman dalam pariwisata berbasis kearifan lokal di lihat
melalui dua sudut pandang sebagaiman teori glokalisasi, keberadaan e-Rinjani akan
membantu para pendaki yang hendak mendaki Gunung Rinjani. Dalam aplikasi tersebut
akan termuat pembelian tiket dan orientasi aturan adat Suku Sasak ketika mendaki
Gunung Rinjani. Sedangkan, pemangku adat akan kembali diaktifkan sebagaimana
pendakian sejak jaman dahulu. Dengan adanya pemangku adat maka akan menjadi media
pengawas untuk terimplementasi falsafah tunjung tilah, aiq meneng, empak bau pada
pendaki.

Komunikasi dan Propesionalitas


Komunikasi dan propesionalitas akan menjadi pegangan kuat bagi seluruh pegawai yang
bertugas mengawal pariwisata di Gunung Rinjani. Komunikasi harus dibumikan agar
terwujud manajemen yang harmonis dan dengan sistem sosial. Propesionalitas hendaknya
dijunjung tinggi agar falsafah tunjung tilah, aiq meneng, empak bau dapat terwujud.

Proporsi dan apresiasi

Proporsi dan apresiasi berkaitan dengan pemerataan porsi pekerjaan dan konsep bagi
hasil. Dalam setiap devisi yang mengawal ekoturisme tersebut hendaknya memolakan
pembagian pekerjaan mereka dan memberlakukan azaz bagi hasil sesuai porsi kerja
kepada setiap pegawai. Falsafah Suku Sasak aiq meneng akan terwujud dengan selalu
mengapresiasi satu sama lain sebagai energi positif yang mendorong kinerja pegawai.

Selaku pemegang tongkat estapet penerus bangsa Sasak, penulis berharap melalui
pariwisata berbasis kearifan lokal ini masyarakat Suku Sasak akan dapat menerima
konsep hidup sesungguhnya berdasarkan falsafah tunjung tilah, aiq meneng, empak bau.
Melalui pariwisata berbasis kearifan lokal ini 1) akan menjadikan budaya Suku Sasak
akan kembali terkenal tanpa gengsi untuk mengakui khazanah kekayaan adat karena
konsep ini bernilai lokal dan global (glokalisasi). 2) membuka lapangan kerja baru bagi
masyarakat di kawasan konservasi TNGR. 3) menjadi daya tarik tersendiri karena
menawarkan konsep pariwisata berbasis kearifan lokal. 4) menjadikan pariwisata yang
sehat, humanis, dan ekologis.

Budaya dan tradisi Suku Sasak sesungguhnya telah menyediakan segala


pandangan hidup jauh sebelum pandangan global masuk, karena budaya Sasak tidak
dapat lepas dari ajaran agama Islam. Marilah kita mempelajari adat sasak dan
melestarikannya. Kita boleh saja terbawa arus sungai globalisasi. Namun, jangan sampai
menghasilkan produk degradasi moral dalam hal budaya dan tradisi. Budaya Suku Sasak
adalah khazanah kekayaan yang harus kita jaga kedepannya.

Think Globaly. But, Act Localy.


Daftar Pustaka

Sudirman H dan Bahri, Studi Sejarah dan Budaya Lombok, Pusakanda, Mataram, 2014.

Hidayat Arfi dan Arsyad Imam AP, Gempa Bumi dan Mitos Dewi Anjani pada
Masyarakat Suku Sasak, 2019.

Fathurrahman Agus, Kosmologi Suku Sasak: Risalah Inen Paer, Genius, Mataram,
2017.

Anda mungkin juga menyukai