Anda di halaman 1dari 12

Kasus pertama

Keterangan:

A = suami F dan G = anak perempuan A- B

B = istri pertama (meninggal) H = istri kedua

C,D,E = anak laki-laki A-B I dan J = anak laki-laki A-H

“A merupakan laki-laki beragama Hindu yang menikahi B, seorang anak perempuan


tunggal yang juga beragama Hindu. A dan B melakukan perkawinan “Nyentana” dan
memiliki 5 orang anak (3 laki-laki; C, D, E) dan 2 perempuan (F dan G).”

 Dari Segi Hukum Kekeluargaan


Hukum keluarga adalah keseluruhan norma-norma hukum, tertulis maupun tidak
tertulis, yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan hubungan
kekeluargaan, baik yang diakibatkan oleh hubungan darah maupun yang diakibatkan oleh
suatu perbuatan hukum tertentu.
Hubungan hukum dengan hukum kekeluargaan, jika yang dimaksud adalah anak,
maka dalam masyarakat hukum Bali dikenal dengan macam-macam atau jenis-jenis anak
yaitu :
1. Anak sah, yaitu anak yang lahir dari perkawinan sah kedua orang tuanya, meliputi
anak kandung dan anak bukan kandung (anak angkat, anak tiri, anak piara)
2. Anak tidak sah, anak luar kawin (natuurlijk kind) atau anak alam, yaitu anak yang
dilahirkan dari hubungan yang tidak pernah disahkan.
Hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya ada apabila pada waktu anak
tersebut lahir, orang tuanya ada dalam perkawinan yang sah. Hubungan hukum ini
menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal balik. Kewajiban orang tua terhadap anak
antara lain seperti memelihara dan mendidiknya, menjamin kesejahteraannya sesuai dengan
kemampuan dan juga memberikan pembagian warisan. Anaknya pun mempunyai kewajiban
untuk mengurus orangtuanya jika sudah tua, menggatikan kedudukan orang tua serta sebagai
penerus generasinya kelak. Hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya dapat putus
apabila anak tersebut diangkat anak oleh orang lain atau kawin keluar, anak perempuan
kawin meninggalkan orang tuanya atau anak laki-laki yang kawin nyeburin dan juga anak
yang dianggap durhakan kepada orang tuanya sehingga dipecat sebagai anak yang berakibat
si anak tidak diberikan hak untuk mewaris.

Dalam kasus yang telah dijabarkan, status anak A dan B adalah anak sah dikarenakan
anak-anak (C, D, E, F, dan G) tersebut lahir dari perkawinan sah kedua orang tuanya.
Sehingga dalam hubungan hukum antara anak dengan orang tua, anak-anak (C, D, E) masih
berhak sebagai ahli waris, F hanya berhak atas pembagian harta orang tua sebagai nafkah
hidupnya (pengupa jiwa) dan karena G yang telah kawin keluar sehingga hubungan hukum
antara anak dan orang tua telah diputus. Alasan karena semua anak-anak B merantau ke luar

1
daerah sehingga kewajiban dilaksanakan oleh A maka dari itu warisan dikuasai oleh A dan
diwariskan kepada anak-anak dari perkawinan dengan H menurut saya itu adalah keputusan
sepihak yang tidak adil dan tidak dapat dilakukan karena A dan H secara tersirat memecat
semua anak-anak B sebagai anak dan berakibat si anak tidak diberikan hak ahli warisnya.
Karena untuk memutus hubungan hukum antara anak dan orang tua anak jika anak-anak
tersebut diangkat anak oleh orang lain atau kawin keluar, anak perempuan kawin
meninggalkan orang tuanya atau anak laki-laki yang kawin nyeburin dan juga anak yang
dianggap durhakan kepada orang tuanya itu baru dapat diputus dan dicabut hak ahli warisnya.
Tetapi untuk anak-anak yang berada di luar daerah saya rasa masih banyak solusi yang dapat
di berikan agar semua anak-anak B yang berstatus sebagai ahli waris dapat melaksanakan
kewajibannya sehingga kewajiban-kewajibannya terpenuhi. Karena walapun anak-anak
tersebut tinggal di luar daerahnya, anak-anak tersebut masih hidup dan masih berstatus
menjadi ahli waris yang masih mampu menjalankan kewajiban-kewajiban yang harus mereka
lakukan.

 Dari Segi Hukum perkawinan


Dalam adat Bali, Perkawinan Nyentana merupakan jenis perkawinan dimana di dalam
upacaranya diselenggarakan oleh pihak keluarga perempuan dan kelangsungan upacaranya
pun di rumah si perempuan. Dalam perkawinan nyentana, hubungan keluarga suami
dilepaskan dan masuk ke keluarga si perempuan dan pelepasan ini dilakukan dengan
membayar uang yang biasanya disebut uang jujur. Dan perkawinan ini hanya bisa
dilaksanakan oleh orang tua yang hanya mempunyai anak perempuan saja.

Secara ringkas, yang menjadi sebab dari dilakukannya perkawinan Nyentana adalah:

1. Orang tua hanya memiliki anak perempuan;


2. Adanya keinginan dari pada orang tua untuk tetap berkumpul dengan semua anaknya;
3. Anak laki-lakinya cacat mental;
4. Harta peninggalan orang tua dapat diwariskan pada anak kandungnya sendiri

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam hukum perkawinan adalah mengenai harta
benda perkawinan. Mengikuti penggolongan UU No. 1 Tahun 1974, harta benda perkawinan
meliputi :

1. Harta bersama (harta gono gini), yaitu harta yang diperoleh oleh suami istri selama
perkawinan berlangsung (Pasal 35 ayat (1)).
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan (Pasal 35 ayat (2)).

Harta bersama dikuasai oleh suami istri secara bersama-sama sehingga jika suami
atau istri melakukan tindakan hukum (seperti menjual, menggadaikan,dll) terhadap harta
tersebut, maka harus berdasarkan persetujuan bersama. Harta bawaan dari masing-masing
suami dan istri serta harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan
adalah di bawah kekuasaan masing-masing suami atau istri tersebut kecuali para pihak
menentukan lain.

2
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa alasan atau sebab dilakukannya
perkawinan Nyentana antara A dan B, karena B merupakan anak perempuan tunggal di
keluarganya. Sehingga, disini suamilah (A) yang pindah dari keluarganya dan masuk dalam
keluarga pihak istri (B) dan istri pula yang menjadi ahli waris kekayaan bapaknya, sedangkan
suami kedudukannya tidak mendapat warisan. Akibatnya, status dari seorang laki-laki
(purusa) berubah menjadi perempuan (predana) begitu juga sebaliknya. Dari seorang
perempuan (predana) berubah statusnya menjadi laki-laki (purusa). Dalam hal ini B memiliki
kedudukan sebagai “Sentana Rajeg”.

Mengenai harta benda warisan, dalam kedudukan hukum sentana nyeburin, jika istri
sudah meninggal maka setelah diselenggarakan pengabenan maka sisa hartanya akan menjadi
milik suami dengan catatan suami masih tinggal di rumah istri. A adalah seorang pradana
yang ditinggal mati oleh B yang berstatus sebagai purusa, sehingga A berhak atas harta
bersama yang ditinggalkan oleh B tetapi ia juga dilimpahkan kewenangan dan kewajiban dari
si B selama ia masih tinggal di rumah si B. Tetapi bukan berarti A dapat menguasai harta
warisan dari B yang ia dapat dan mewariskan harta bersama tersebut kepada anak dari istri
kedua (I dan J),karena harta warisan itu nantinya akan langsung jatuh ke keturunan purusa.

Sentana rajeg adalah anak perempuan yang diangkat statusnya menjadi status purusa yang
disebut juga putrika, dilakukan karena keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki dan
bertujuan untuk:

a. Dari segi religio magis Hindu, untuk menyelamatkan arwah leluhurnya dan
melakukan upacara pitra yajna.
b. Dari segi hukum Hindu, untuk melanjutkan dan meneruskan garis keluarga,
mengingat sistem kekerabatan Hindu di Bali yaitu patrilinial (purusa), dan menjadi
ahli waris dari orang tuanya.
c. Meneruskan kewajiban-kewajiban orang tua, baik kewajiban di parahyangan, pale-
mahan dan pawongan dan ayahan di desa

Menurut I Gde Wayan Pangkat,seorang sentana nyeburin yang telah ditinggal mati oleh
istrinya (si sentana perempuan), dapat menikah lagi dengan perempuan lain dengan syarat,
bahwa ia masih menetap di rumah mertuanya/almarhum istrinya serta telah mendapat
persetujuan dari mertua atau keluarga lelaki dari sentana perempuan itu. Dalam kasus ini, A
tidak meminta ijin kepada keluarga B sehingga berdasarkan ketentuan yang sudah dijabarkan,
status perkawinan A dengan H pun tidak sah.
Selain itu, terdapat putusan Pengadilan Negeri Denpasar di Tabanan tanggal 31 Juli 1967
No. 144/Pdt/1966 yang menetapkan bawa si “sentana nyeburin” harus keluar dari rumah
istrinya (si sentana perempuan) yang telah meninggal dunia, karena si “sentana nyeburin”
mengambil istri lagi (istri kedua) yang kawin secara sah selama kira-kira 20 tahun dan dari
perkawinan ini lahi beberapa anak. Berdasarkan pertimbangan, bahwa si “sentana nyeburin”
memiliki “hak wanita”, karena itu dia tidak berhak kawin lagi, yang disamakan dengan janda
(perempuan) harus pula meninggalkan rumah mendiang suaminya, jika ia menikah lagi.
Dalam kasus ini, seorang sentana seperti A yang berstatus sebagai pradanadan masih tinggal
di rumah B sertamasih mempunyai hubungan dengan keluarga besar B seharusnya tidak

3
boleh kawin lagi tanpa apalagi melaksanakan perkawinan di rumah B karena sesuai dengan
penjabaran diatas, bahwa A memiliki “hak wanita” sehingga A seharusnya tidak kawin lagi
serta A harus meninggalkan rumah mendiang istri pertamanya (B) jika ingin menikah lagi
dengan H.

“Dalam perjalanan waktu, B meninggal. Semua kewajiban rumah tangga dilaksanakan


oleh A. Kemudian, A menikah dengan H, perkawinan dilakukan di rumah istri
pertamanya (B) tanpa seizin keluarga besar dan anak-anak dari perkawinannya yang
pertama. Semua harta warisan dikuasai oleh A dan diwariskan kepada kedua anak laki-
lakinya (I dan J) dari hasil perkawinannya dengan H.

 Dari segi hukum adat waris bali

Putusnya perkawinan antara A dan B dikarenakan oleh faktor kematian dari pihak
istri, hal ini sesuai dengan Pasal 38 sub a Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
yaitu putusnya perkawinan karena kematian. Dilihat dari segi hukum perkawinan, hubungan
perkawinan antara A dan H dapat dikatakan sah menurut hukum perkawinan nasional akan
tetapi dikatakan tidak sah di mata hukum adat Bali karena tidak mendapat restu dari keluarga
dan anak-anaknya dari hasil perkawinan pertama.

Seorang laki-laki yang kawin Nyeburin dengan seorang wanita berkedudukan sebagai
“Sentana Nyeburin” sehingga setelah istrinya meninggal, maka kedudukan laki-laki tersebut
adalah hanya sebagai janda yang berbadan wanita.1

Dalam kasus ini, A yang tetap tinggal di rumah almarhum istrinya (B) berstatus sebagai
“janda”, dimana menurut Hukum Adat Bali, seorang janda bukanlah sebagai ahli waris dari
harta peninggalan suaminya baik Inmateriil dan Materiil.

Menurut Soeripta, Janda di Bali bukan ahli waris terhadap harta almarhum suaminya, janda
hanya berhak menikmati saja terhadap harta peninggalan suami dengan syarat:

a. Setia melakukan dharmaning janda;

b. Tetap tinggal di rumah almarhum istrinya yang berstatus purusa.2

Mengenai pewarisan,
Dalam kasus di atas, berdasarkan hukum adat waris Bali, yang seharusnya berhak atas harta
warisan tersebut adalah C, D, dan E. Mengapa? Karena menurut Hukum Adat Waris Bali
yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal, yang menjadi ahli waris adalah anak laki-
laki. Sedangkan, anak perempuan tidak diangkat sebagai ahli waris.

Dalam hukum adat waris bali dikenal garis pokok keutamaan, orang-orang yang mempunyai
hubungan darah dibagi dalam golongan-golongan yaitu:
a. Kelompok keutamaan pertama, keturunan pewaris

1
Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara, Pembinaan Hukum/Yurisprudensi, Cahaya Baru Denpasar, Tahun 1976,
hlm 59
2
Soeripto, Hukum Adat Waris Bali, Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember, Cet: II, 1979, hlm. 147 - 148

4
b. Kelompok keutamaan kedua, orang tua pewaris
c. Kelompok keutamaan ketiga, saudara-saudara pewaris dan keturunannya
d. Kelompok keutamaan keempat, kakek dan nenek pewaris, dan seterusnya

Kelompok orang-orang yang termasuk dalam garis keutamaan pertama sebagai ahli waris
adalah keturunan pewaris kenceng ke bawah, yaitu anak kandung laki-laki ataupun anak
peremuan yang ditingkatkan statusnya sebagai penerus keturunan (sentana rajeg) dan anak
angkat (sentana peperasan). Keduanya mempunyai hak yang sama dengan anak kandung
laki-laki terhadap harta warisan.

Anak perempuan dan janda bukanlah ahli waris, tetapi bila anak perempuan tersebut tidak
kawin (deha tua), maka ia berhak atas pembagian harta orang tuanya sebagai nafkah
hidupnya (pengupa jiwa). Pemberian bekal ini dapat dilaksanakan sepanjang tidak merugikan
ahli waris, yaitu dapat diberikan maksimal sepertiga bagian dari seluruh harta kekayaan (Sa-
gung Ngurah dan Nyoman Sukerti, 1986: 46).

Maka dalam kasus ini, anak perempuan (G) yang belum menikah dan masih menjadi
tanggung jawab A berhak mendapatkan pengupa jiwa. Sedangkan F, karena telah kawin ke
luar maka ia tidak berhak atas harta warisan.

Bagaimana dengan I dan J? Mereka memang merupakan anak laki-laki akan tetapi mereka
merupakan hasil perkawinan A dan H yang mana perkawinannya tidak mendapat restu dan
izin dari pihak keluarga B dan anak-anak dari hasil perkawinannya yang pertama. Sudah
merupakan konsekuensi dari perkawinan nyentana bahwa anak yang lahir dari perkawinan
nyentana itu akan menjadi pewaris dari garis keturunan ibunya. Sehingga menjadi anggota
yang meneruskan klan bapak mertua. (Van Dijk). I dan J bisa saja mendapatkan warisan akan
tetapi bukan warisan yang merupakan harta dari keluarga B, melainkan harta bersama milik
A dan H.

5
Berikut adalah silsilah dari kasus tersebut:

A
B H

I J

C D E
F G

KETERANGAN

Laki-laki Perempuan

A = suami F dan G = anak perempuan A- B


B = istri pertama (meninggal) H = istri kedua
C,D,E = anak laki-laki A-B I dan J = anak laki-laki A-H

6
ANALISA KASUS
Kasus kedua
Keterangan:

A = suami C = istri kedua A

B = istri pertama (meninggal) H I= 2 anak laki-laki dan perempuan A dan C

D E F G = 4 anak perempuan dari A dan B

Hasil perkawinan A dan B memiliki 4 anak perempun semua nikah keluar, dan
harta yang didapatkan selama perkawinan antara A dan B yaitu berupa Bank dan
usaha lainnya.

Istri A meninggal dunia dan A kawin lagi dengan C. Hasil Perkawinan ke 2 A


dan C memiliki 2 anak yaitu laki-laki dan perempuan

Dalan perjalanan waktu si A meninggal dunia, dan anak-anak dari istri pertama
yang telah kawin keluar meminta bagian dari kekayaan bapaknya ( si A) dan salah satu
anak dari istri pertama si A mengatakan bahwa dia sebagai sentana rajeg dan berhak
atas peninggalan kekayaan bapaknya

 Dari Segi Hukum Perkawinan

A. Definisi Perkawinan

Menurut pasal 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, menjelaskan bahwa


perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.

Definisi perkawinan menurut ahli hukum :

1. Menurut hukum perdata eropa ( menurut KUHper pasal 26 dan seterusnya).


Hukum Perkawinan ialah peraturan-peraturan hukum yang mengatur perbuatan-
perbuatan hukum serta akibat-akibatnya antara dua pihak, yaitu laki-laki dan
perempuan dengan maksud hidup bersama untuk waktu yang lama menurut peraturan-
peraturan yang ditetapkan dalam UU.3
2. Menurut subekti perkawinan ialah pertalian sah antara seorang lelaki dan seorang
perempuan untuk waktu lama.4
3. Sementara menurut Wirjono menyatakan bahwa perkawinan adalah hidup bersama
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang
terdapat dalam peraturan perkawinan.5

3
Kansil dan Cristine S.T Kansil, Pengantar Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal 49
4
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermesa, Jakarta, 1985, hal 23

7
B. Putusnya Perkawinan Antara A dan B dan A dengan C
Mengenai putusnya perkawinan diatur dalam UU No 1 Tahun 194 tentang
perkawinan pada pasal 38 yang berbunyi “ perkawinan dapat putus karena kematian,
perceraian dan atas keputusan pengadilan. Dan mengenai kasus yang terjadi di atas, putusnya
hubungan perkawinan antara si A dan B yaitu di karenakan si B (istri meninggal dunia).
Sedangkan untuk putusnya perkawinan ke 2 antara si A dan si C yaitu dikarenakan si A
meninggal dalam perjalanan waktu

C. Perkawinan Sentana Rajeg Dan Perkawinan Biasa


Salah satu anak dari hasi Perkawinan antara A dan B menyebutkan bahwa dirinya
adalah berstatus Sentana Rajeg. Sentana adalah anak perempuan yang diangkat statusnya
menjadi status purusa atau disebut juga putrika. Sedangkan perkawinan biasa yaitu suami
berstatus sebagai purusa, sedangkan istri sebagai pradana. Dalam bentuk perkawinan ini,
istri dilepaskan hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya (orang tua kandungnya)
selanjutnya masuk ke dalam lingkungan keluarga suaminya. Dengan demikian, hubungan
hukum kekeluargaan antara istri dengan keluarga asalnya tidak ada lagi, selanjutnya ia
menunaikan hak (swadikara) dan kewajibannya (swadharma) dalam keluarga suami.

Maka jika melihat pada kasus tersebut, dikarenakan ke 4 anak perempuan dari hasil
perkawinan A dan B telah menikah keluar, maka status dari ke 4 anak tersebut yaitu
melakukan perkawinan biasa dan bukanlah berstatus Sentana Rajeg. Yang dimana mereka
sudah tidak memiliki hubungan hukum dengan keluarga asalnya karena telah masuk ke dalam
lingkungan keluarga suaminnya. Sehingga mereka sudah tidak memiliki hak apapun dalam
keluarga asal mereka, terutama berupa harta warisan.

 Dari Segi Hukum Kekeluargaan

Isitilah hukum kekeluargaan diantara para sarjana hukum adat tidak ada kesatuan
istilah seperti Ter Haar memakai istilah hukum kesanak saudaraan, Soerjono Soekanto
memakai istilah hukum keluarga, sedangkan Djaren Saragih maupun Soerojo Wignyodipuro
memakai istilah hukum kekeluargaan. Menurut Djaren Saragih hukum keluarga adalah
sekumpulan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang
ditimbulkan oleh hubungan biologi.6
Dan untuk di bali sendiri, kedudukan seorang anak dalah keluarga dan keluarga
besarnya selain ditentukan oleh sah tidaknya perkawinan orang tuanya, juga ditentukan oleh
bentuk perkawinan orang tuannya, apakah dalam bentuk perkawinan biasa atau dalam bentuk
berkawinan nyeburin. Karena bentuk perkawinan tersebutlah yang akan mempengaruhi
nantinya mengenai pola hubungan hukum yang akan timbul baik dengan orang tua maupun
keluarga besarnya.

5
Soedharyo Soimin, Hukum Orang Dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal 3
6
Djaren Saragih, 1980, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, hal.123

8
Hubungan hukum dengan hukum kekeluargaan, jika yang dimaksud adalah anak,
maka dalam masyarakat hukum Bali dikenal dengan macam-macam atau jenis-jenis anak
yaitu :
1. Anak sah, yaitu anak yang lahir dari perkawinan sah kedua orang tuanya, meliputi
anak kandung dan anak bukan kandung (anak angkat, anak tiri, anak piara).
2. Anak tidak sah, anak luar kawin (natuurlijk kind) atau anak alam, yaitu anak yang
dilahirkan dari hubungan yang tidak pernah disahkan.
3.
Hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya ada apabila pada waktu anak
tersebut lahir, orang tuanya ada dalam perkawinan yang sah. Hubungan hukum ini
menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal balik. Kewajiban orang tua terhadap anak
antara lain seperti memelihara dan mendidiknya, menjamin kesejahteraannya sesuai dengan
kemampuan dan juga memberikan pembagian warisan. Anaknya pun mempunyai kewajiban
untuk mengurus orangtuanya jika sudah tua, menggatikan kedudukan orang tua serta sebagai
penerus generasinya kelak. Hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya dapat putus
apabila anak tersebut diangkat anak oleh orang lain atau kawin keluar.

Maka dengan berdasarkan pertimbangan tersebut, untuk anak dari hasil perkawinan
baik A dengan B serta A dengan C semuannya adalah anak sah. Hal itu dikarenakan anak
tersebut lahir dari hasil perkawinan sah kedua orang tuannya. Mengapa perkawinan A dengan
C itu sah? Itu dikarenakan salah satu faktor yaitu putusnya perkawinan antara A dan B karena
faktor kematian B yang dimana hal tersebut telah diatur dalam pasal 38 UU No 1 Tahun
1974. Dan mengenai harta warisan anak dari pasangan A dan B tidak bisa mendapatkan harta
warisan tersebut karena semua anaknya adalah perempuan yang telah menikah keluar
sehingga definisi mengenai salah satu anak yang berstatus Sentana Rajeg itu tidak bisa
digunakan karena mereka semua telah menikah keluar.
Dan untuk anak dari hasil Perkawinan A dan C bisa mendapatkan harta warisan
karena:
1. salah satu anaknya yaitu laki-laki dan di bali sendiri menggunakan sistem
kekeluargaan Patrilinial.
2. Anak laki-laki tersebut memiliki hubungan darah (anak biologis) dengan pewaris.

Dan untuk anak perempuan dari hasil perkawinan anara A dan C serta A dan B juga
bisa mendapatkan harta warisan itu jika dia menikah tetapi cerai sehingga harus kembali ke
rumah aslinya atau keluarga asalnya atau jika dia tidak menikah selama masa hidupnya
sehingga menjadi Deha tua (tidak menikah selama masa hidupnya) atau menjadi Deha Mulih
(sudah menikah akan tetapi bercerai dan kembali ke keluarga asalnya) ( dalam kasus tidak
dijelaskan apakah anak perempuan tersebut sudah menikah atau belum atau tidak menikah
selama masa hidupnya). Dan melalui Putusan Pengadilan Negeri Klungkung No
37/Pdt.G/1981/PN.Klk pada tanggal 7 juni 1982 mendalilkan bahwa Deha Tua adalah ahli
waris bersama anak-anak lainnya. Dan untuk Deha Mulih terdapat pada Putusan Pengadilan
Negeri Bangli No 11/1991/PN.Bli pada tanggal 21 maret 1987 yang mendalilkan bahwa anak
perempuan yang Mulih Deha berhak sebagai ahli waris almarhum ayahnya dan putusan
Pengadilan Negeri Singaraja No 10/Pdt/1993/PN.Sgr pada tanggal 17 mei 1993 mendalilkan

9
bahwa anak perempuan yang kawin keluar kemudian bercerah dan Mulih Deha dan diterima
baik baik oleh keluarganya, maka ia memperoleh kembali hak warisnya seperti sebelum ia
kawin. Dan jika dia belum menikah ia berhak atas pembagian harta orang tuannya sebagai
nafkah hidupnya (pengupa jiwa). Dan jika kita melihat dalam keputusan Pasamah Agung
III/2010 dimana menurut Prof Dr. Wayan P. Windia, S.H.,M.Si yaitu secara singkat bahwa
susadah 2010 wanita bali berhak atas warisan berdasarkan Keputusan Pesamun Agung III
MUDP Bali No 01/Kep/PSM-3MDP Bali/X/2010 pada tanggal 15 oktober 2010 bahwa pada
SK tersebut Wanita Bali menerima setengah dari hasil waris purusa setelah dipotong 1/3
untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian.

 Dari Segi Hukum Adat Waris Bali

Untuk mengetahui mengenai definisi hukum adat waris. Ada beberapa pendapat
sarjana yang bisa digunakan untuk mengetahui mengenai definisi tersebut salah satunya
yaitu:
1. Soepomo dalam bukunya Bab-Bab Tentang Hukum Adat merumuskan bahwa Hukum
Adat Waris memuat aturan-aturan yang mengatur mengenai proses meneruskan serta
mengoper barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda
(immatriil goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya. 7
2. Ter Haar mengemukakan bahwa : Hukum adat waris pada pokoknya berisikan aturan-
aturan mengenai proses penerusan dan pengoperan harta kekayaan matriil maupun
immatriil dari turunan ke keturunan.8
3. Sedangkan Surojo Wignyodipuro memberi rumusan : Hukum adat waris meliputi
norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik matriil maupunimmatriil yang
dapat diserahkan pada keturunannya serta sekaligus mengatur soal cara dan proses
peralihannya.9

Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi agar pewarisan atau proses penerusan dan
pengoperan harta warisan dapat berlangsung yaitu:
1. Pewaris adalah orang yang meninggalkan, baik itu laki-laki, wanita, janda, duda,
maupun anak-anak
2. Ahli waris adalah orang-orang yang akan menerima warisan dari pewaris

Seperti dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dan Soleman Biasane Taneko bahwa
untuk memudahkan menentukan ataupun menetapkan siapa yang dapat berkedudukan
sebagai ahli waris apabila ada seseorang yang meninggal, dipakailah 2 (dua) garis pokok
yaitu :
1. Garis pokok keutamaan yang terdiri dari :

7
Soepomo, 1976, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hal .67
8
Ter Haar, 1974, Pengantar dan Azaz-azaz Hukum Adat (diterjemahkan oleh Soebakti Poesponoto), Pradnya
Paramita, Jakarta, hal.199
9
Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Alumni,
Bandung.

10
a. Kelompok keutamaan I : keturunan pewaris.
b. Kelompok keutamaan II : orang tua pewaris.
c. Kelompok keutamaan III : saudara-saudara pewaris dan keturunannya.
d. Kelompok keutamaan IV : kakek atau nenek.
2. Garis pokok penggantian yang terdiri dari :
a. Orang yang tidak ada hubungannya dengan pewaris.
b. Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris.

Ketentuan yang menyebutkan bahwa yang berhak mewaris dalam masyarakat


yang menganut sistem kekeluargaan patrilinial seperti masyarakat hukum adat Bali
ataupun batak adalah anak kandung laki-laki dari pewaris dapat diketahui dari
beberapa putusan pengadilan (baca : Pangkat, 1972 dan Paneca,1986). Demikian pula
dalam yurisprudensi Makamah Agung No.32K/Sip/1971tanggal 24 Maret 1971. Juga
dalam laporan penelitian Fak.Hukum Unud, 1980/1981,serta Laporan Penelitian
Fak.Hukum Unud, 1987/1988.Jadi berdasarkan putusan-putusan pengadilan serta
ditunjang oleh adanya laporan penelitian tersebut diatas maka tampak dengan jelas
bahwa yang berkedudukan sebagai ahli waris adalah anak laki-laki sepanjang tidak
melakukan perkawinan “keceburin” atau diangkat anak oleh orang lain. Sedangkan
anak wanita,baru akan berkedudukan sebagai ahli waris apabila ia sudah berstatus
‘sentana rajeg dan sudah melakukan perkawinan keceburin. Kelompok orang-orang
yang termasuk dalam garis ketutamaan pertama sebagai ahli waris adalah keturunan
pewaris kenceng kebawah, yaitu anak kandung laki-laki ataupun perempuan yang
ditingkatkan statusnya sebagai penerus keturunan (sentana rajeg) dan anak angkat
(sentana peperasan). Sentana rajeg dan sentana peperasan mempunyai hak yang
sama dengan anak kandung laki-laki terhadap harta warisan. Anak perempuan dan
janda bukanlah ahli waris, tetapi jika anak perempuan tidak kawin (deha tua) maka ia
berhak atas pembagian harta orang tuanya sebagai nafkah hidupnya (pengupa jiwa).
Jika ahli waris pada golongan keutamaan pertama tidak ada atau pemaris tidak
memiliki keturunan, maka yang berhak atas harta warisan adalah golongan keutam
kedua, yaitu orang tua pewaris (jika masih ada). Setelah itu baru sanak saudara
pewaris sebagai golongan keutama ketiga dan jika tidak ada akan kembali ke
golongan keutama keempat yaitu kakek dan nenek.

Maka menurut hasil analisa saya maka anak perempuan dari hasil perkawinan A
dengan B atau A dengan C bukanlah ahli waris karena mereka semua telah kawin
keluar sehingga salah tau dari mereka yang menyebutkan bahwa ia berstatus Sentana
Rajeg adalah tidak benar. Akan tetapi bila anak perempuan tersebut tidak pernah
menikah selama hidupnya (Deha Tua) atau sudah menikah akan tetapi bercerai dan
diterima kembali ke keluarga asalnya (Deha Mulih) maka perempuan tersebut berhak
atas harta warisan tersebut karena mereka termasuk dalam golongan keutamaan
pertama dari sang pewaris.
Sedangkan untuk anak laki-laki dari hasil perkawinan A dengan C sudah pasti
akan menjadi ahli waris dari orang tuanya. Hal itu dikarena ia merupakan kelompok
golongan keutamaan pertama dari pewaris.
11
Kasus ketiga
I Wayan C (laki) Bersaudara kandung dengan I Ketut P (laki). Wayan C sudah kawin
tetapi dalam perkawinannya tidak mempunyai keturunan. Dalam Perkawinan I Ketut P
dengan Ni Nyoman Kem mempunyai 6 orang anak laki-laki.
Anak pertama (sulung) dari perkawinan I Ketut P dengan Ni Nyoman Kem (yang bernama I
Gede Ang) sejak kecil diajak oleh Wayan C dan disekolahkan sampai SMA, semua ijasahnya
tercantum Wayan C sebagai orang tuanya, tetapi tidak ada pengangkatan anak menurut
ketentuan Hukum adat bali
Pada tahun 2007 Wayan C meninggal dunia, sedangkan istrinya sudah meninggal
lebih dahulu
Pada tanggal 9 November 2012 atas permintaan I Gede Ang, prajuru Desa Adat A
melaksanakan upacara pemerasan/pengangkatan anak dan dibuatkan ilikita (surat) surat
upasaksi pemerasan oleh Bendesa Adat A.
Dalam Upacara pemerasan (Tahun 2012) karena Wayan C sudah meninggal (Tahun
2007) pengangkatan dilakukan tanpa dihadiri.

12

Anda mungkin juga menyukai