Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Definisi perdarahan post partum adalah perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi
lahir. Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah perdarahan sampai sebanyak itu
sebab menghentikan perdarahan lebih dini akan memberikan prognosis lebih baik. Pada
umumnya bila terdapat perdarahan yang lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan
perubahan tanda vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin,
sesak napas, serta tensi < 90 mmHg dan nadi > 100/menit), maka penanganan harus
segera dilakukan (Prawirohardjo, 2011).
Diagnosa perdarahan pasca persalinan biasanya tidak sulit, terutama apabila timbul
perdarahan banyak dalam waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam jangka
waktu lama, tanpa disadari pasien telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak
pucat. Nadi serta pernafasan menjadi lebih cepat dan tekanan darah menurun. Seorang
wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total tanpa
mengalami gejala-gejala klinik. Gejala-gejala baru tampak pada kehilangan darah 20%.
Jika perdarahan berlangsung terus, dapat timbul syok. Diagnosis perdarahan
pascapersalinan dipermudah apabila pada tiap-tiap persalinan setelah anak lahir secara
rutin diukur pengeluaran darah dalam kala III dan satu jam sesudahnya. Apabila terjadi
perdarahan pascapersalinan dan plasenta belum lahir, perlu diusahakan untuk melahirkan
plasenta segera. Jika plasenta sudah lahir, perlu dibedakan antara perdarahan akibat atonia
uteri atau perdarahan karena perlukaan jalan lahir.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan perdarahan post partum?
2. Apa saja jenis-jenis perdarahan post partum?
3. Apa saja klasifikasi post partum?
4. Apa saja penyebab perdarahan post partum?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui penyebab perdarahan post partum
2. Mengetahui apa saja jenis-jenis perdarahan post partum

1
3. Mengetahui klasifikasi post partum
4. Mengetahui apa saja penyebab perdarahan post partum

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Asuhan Kegawatdaruratan Pada Persalinan Kala III dan IV


2.1.1 Pengertian Perdarahan Post Partum
Definisi perdarahan post partum adalah perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi
lahir. Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah perdarahan sampai sebanyak itu sebab
menghentikan perdarahan lebih dini akan memberikan prognosis lebih baik. Pada umumnya
bila terdapat perdarahan yang lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan perubahan tanda
vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak napas, serta tensi
< 90 mmHg dan nadi > 100/menit), maka penanganan harus segera dilakukan (Prawirohardjo,
2011).
Perdarahan postpartum sering didefenisikan secara berturut-turut sebagai kehilangan
darah berlebihan dari traktus genetalia dalam 24 jam setelah persalinan, sebanyak 500 ml atau
lebih, atau sebanyak apapun yang mengganggu kesejahtraan ibu (Widiarti, 2007).
Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah
perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai perdarahan
yang lebih dari normal dimana telah menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain pasien
mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik
<90 mmHg, denyut nadi> 100 x/menit, kadar Hb < 8 g/dL.
Pendarahan pasca persalinan (post partum) adalah pendarahan pervaginam 500 ml
atau lebih sesudah anak lahir. Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu (40%-
60%) kematian ibu melahirkan di Indonesia. Pendarahan pasca persalinan dapat disebabkan
oleh atonia uteri, sisa plasenta, retensio plasenta, inversio uteri dan laserasi jalan lahir .

2.1.2 Jenis-Jenis Perdarahan Post partum


Menurut pendapat (Varney, 2008). Perdarahan post partum dibagi menjadi 2:
1. Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post Partum Primer (Early Postpartum
Hemorrhage). Perdarahan post partum dini adalah perdarahan yang terjadi dalam 24
jam pertama setelah kala III. Penyebab utama perdarahan post partum primer adalah
atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta dan robekan jalan lahir. Terbanyak dalam
2 jam pertama.
2. Perdarahan pada Masa Nifas I Perdarahan Post Partum Sekunder (Late Postpartum
Hemorrhage). Perdarahan post partum sekunder ialah perdarahan yang terjadi setelah
3
anak lahir biasanya hari ke 5-15 post partum. Penyebab utamanya robekan jalan lahir
dan sisa plasenta.

2.1.3 Klasifikasi Perdarahan Post Partum


1. Perdarahan paska persalinan dini/ early HPP/ primary HPP adalah perdarahan
berlebihan ( 600 ml atau lebih ) dari saluran genitalia yang terjadi dalam 12 - 24 jam
pertama setelah melahirkan.
2. Perdarahan paska persalinan lambat / late HPP/ secondary HPP adalah perdarahan
yang terjadi antara hari kedua sampai enam minggu paska persalinan.

2.1.4 Penyebab Perdarahan Post Partum


2.1.4.1 Atonia Uteri
a. Definisi
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya otnuys/kontraksi rahim yang menyebabkan
uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta
setelah bayi dan plasenta lahir (Prawirohardjo, 2011).
b. Tanda dan Gejala
1. Perdarahan pervaginam
2. Konsistensi lunak
3. Fundus uteri tinggi
4. Terdapat tanda-tanda syok.
c. Etiologi
1. Umur terlalu muda 25 tahun atau tim 35 tahun.
2. Paritas.
3. Partus lama yang menyebabkan inersia uteri karena kelelahan pada otot-otot
uterus.
4. Uterus terlalu regang dan besar, pada kondisi ini miometrium teregang dengan
hebat sehingga kontraksi setelah kelahiran bayi tidak menjadi efisien.
5. Kandung kemih yang penuh menghalangi kontraksi uterus.
6. Solusio placenta, bila terjadi solusio maka darah di dalam rongga uterus dapat
meresap diantara serat-serat otot uterus dan mengakibatkan kontraksi uterus
menjadi tidak efektif.
7. Penatalaksanaan yang salah pada kala tiga.

4
8. Placenta yang baru lepas sebagian, maka akan terjadi robekan pada sinus-sinus
maternalis dan plasenta yang masih melekat menghambat kontraksi dan
relaksasi dan otot-otot uterus.
9. Persalinan yang terlalu cepat, bila uterus sudah berkontraksi terlalu kuat dan
terus menerus maka uterus akan kekurangan kemampuannya untuk
berkontraksi (Saifudin, 2005).
d. Penatalaksanaanya
1. Pencegahan:
a. Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang
bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan pascapersalinan
akibat atonia uteri.
b. Pemberian misoprostol peroral 2 – 3 tablet (800 – 1.000 g) segera setelah
bayi lahir (Prawirohardjo, 2011).
2. Penanganan:
Banyak darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan pasien. Pasien bisa
masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat hipovelemik. Pada
umunya dilakukan secara stimulatan (bila pasien syok) hal – hal sebagai berikut:
a. Sikap trendelenburg, memasang venous line, dan memberikan oksigen.
b. Masase fundus uteri dan merangsang putting susu.
c. Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara IM, IV, atau SC.
d. Memberikan derivat prostaglandin F2 alfa (carboprost tromethamine) yang
kadang memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual– muntah,
fibris, dan takikardia.
e. Pemberian misoprostol 800 – 1.000 ug per-rektal.
f. Kompresi bimanual eksternal
Kompresi bimanual eksternal yaitu menekan uterus melalui dinding abdomen
dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi
uteus. Bila perdarahan berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga
uterus dapat kembali berkontraksi atau dibawa ke fasilitas kesehata rujukan.
g. Kompresi bimanual internal
Kompresi bimanual internal yaitu uterus ditekan diantara telapak tangan pada
dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjempit pembuluh
darah didalam miometrium.

5
h. Kompresi aorta abdominalis
Kompresi aorta abdominalis yaitu raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan
kiri, pertahankan posisi tersebut genggam tangan kanan kemudian tekankan
pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai
kolumna vertebralis, penekanan yang tepat akan menghetikan atau mengurangi,
denyut arteri femoralis.
i. Pemasangan “tampon kondom”, kondom dalam kavum uteri disambungkan
dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan di isi cairan infuse 200 ml
yang akan mengurangi perdarahan dan menghindari tindakan operatif.
Catatan: tindakan memasang tampon kasa utero- vaginal tidak dianjurkan dan
hanya bersifat temporer sebelum tindakan bedah ke rumah sakit rujukan.

2.1.4.2 Robekan Jalan Lahir


a. Definisi
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma.
Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan
robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat
pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi,
robekan spontan perineum, truama forseps atau vakum ekstraksi, atau karena versi
ekstraksi.
b. Tanda dan gejala
Gejala yang selalu ada yaitu perdarahan segera, darah segar mengalir segera
setelah bayi lahir, kontraksi uterus baik, keadaan plasenta baik.
c. Etiologi
1. Episiotomi yang terlalu lebar.
2. Robekan servik yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen
bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti, meskipun plasenta
sudah lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi dengan baik. perlu dipikirkan
perlukaan jalan lahir, khususnya robekan servik uteri.
3. Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak sering
dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi
sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin harus diputar.
Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan
speculum.
6
4. Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang
juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis
tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus
pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah
dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkum ferensia suboksipitobregmatika
Laserasi pada traktus genitalia sebaiknya dicurigai, ketika terjadi perdarahan yang
berlangsung lama yang menyertai kontraksi uterus yang kuat (Prawirohardjo,
2007).
d. Penatalaksanaan
1. Pencegahan
a. Lakukan episotomi.
b. Pemijitan perineum (perineum masage).
c. Posisi meneran yang benar.
2. Penanganan
a. Periksalah dengan seksama keadaan jalan lahir, dan periksa robekan pada
serviks, vagina dan perineum.
b. Tentukan tingkatan robekan jalan lahir yaitu:
1. Robekan tingkat 1 yang mengenai mukosa vagina dan jaringan ikat,
robekan ini dapat sembuh sendiri tidak perlu di jahit.
2. Robekan tingkat II yang mengenai mukosa vagina dan kulit perineum,
lakukan heating dengan jahitan pada mukos vagina secara jelujur
menggunakan catgut chromic 2-0 selanjutnya dilakukan jahitan otot.
3. Robekan tingkat III dan IV yang mengenai rectum dan spingter ani,
dilakukan jabitan pada spingter ani mengunakan catgut chromic 3-0 atau
4-0 secara interuptus dengan 0,5 cm antara jahitan (Prawirohardjo, 2007).

2.1.4.3 Retensio Placenta


a. Definisi
Retensio placenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir selama 30 menit
setelah bayi lahir (Prawirohardjo, 2007).
b.Tanda/Gejala
1. Gejala yang selalu ada: plasenta belum lahir setelah 30 menit, perdarahan segera,
kontraksi uterus baik.

7
2. Gejala yang kadang-kadang timbul: tali pusat putus akibat kontraksi berlebihan,
inversi uteri akibat tarikan, perdarahan lanjutan (Salemba, 2010).
c. Etiologi
1. Plasenta belum terlepas dan dinding rahim karena melekat dan tumbuh dalam. Menurut
tingkat perlekatannya.
2. Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam.
3. Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua endometrium
sampai ke miometrium.
4. Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau peritoneum dinding rahim.
5. Plasenta sudah terlepas dan dinding rahim namun belum keluar karena atonia uteri atau
adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim yang akan menghalangi plasenta keluar
(plasenta inkarserata).
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila
sebagian plasenta sudah lepas maka akan terjadi perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk
segera mengeluarkannya.
d. Penatalaksanaan
1. Pencegahan:
Upaya pencegahan retensio plasenta yaitu dengan cara mempercepat proses
separasi dan kelahiran plasenta dengan cara memberikan uterotonika segera setelah bayi
lahir dan melakukan peregangan tali pusat terkendali. Upaya ini juga disebut
penatalaksanaan aktif kala III.
2. Penanganan
a. Jika placenta terlihat didalam vagina, mintalah ibu untuk mengedan. jika anda dapat
merasakan placenta dalam vagina, keluarkan placenta tersebut.
b. Pastikan kandung kemih kosong bila diperlukan lakukan kateterisasi.
c. Jika placenta belum keluar. Berikan oksitosin 10 U LM, jika belum dilakukan pada
penanganan aktif kala tiga, jangan berikan ergometrin karena dapat menyebabkan kontraksi
uterus yang tonik yang bisa memperlambat pengeluaran placenta.
d. Jika placenta belum lahir setelah 30 menit pemberian oksitosin dan uterus terasa
berkontraksi, lakukan peregangan tali pusat terkendali, hindari penarikan tali pusat dan
penekanan nindus yang yang terlalu kuat karena dapat menyebabkan inversi uterus.
e. Jika traksi tali pusat terkendali belum berhasil, cobaiah untuk melakukan pengeluaran
placenta secara manual dengan cara mengeluarkan plasenta secara manual yang merupakan
tindakan darurat untuk mengatasi perdarahan pasca persaiinan cian mencegah kematian ibu.
8
Waktu sangat menentukan, dan kebersihan mutlak perlu. Cuci tangan sebelum memulai
tindakan.
f. Peralatan yang diperlukan adalah:
1. Alat dan bahan untuk pemberian cairan intravena.
2. Kateter.
3. Analgesia atau anastesia
4. Kocher
5. Sarung tangan steril
6. Desinfektan
7. Partus set
g. Prosedur yang diiakukan adaiah:
(1) Berikan analgesia secara intramuskuler (misalnya pethidin 25 mg) dan sedatif
(misalnya diazepam 10 mg i.m, fenobarbital 30 mg atau fènergan 50 mg melaiui karet
infus) untuk menenangkan ibu. Jika obat tersebut tidak tersedia, langsung lakukan
pengeluaran plasenta secara manual. Ibu mungkin tidak tenang dan tidak nyaman, tetapi
tindakan ini dilakukan untuk menyelamatkan nyawanya.
Catatan : ibu sudah datang dalam keadaan perdarahan dan janin telah lahir.
(2) Pasang infus 5% Dextrose dalam cairan NaC1 0,9 % atau cairan infus apapun yang
tersedia. Cairan infus kan menggantikan sebagian cairan yang hilang akibat perdarahan.
Hal ini dapat mencegah syok.
Catatan : ibu sudah datang dalam keadaan perdarahan dan janin telah lahir.
(3) Beritahu ibu tentang apa yang akan dilakukan. Baringkan ibu terlentang dengan
kedua lututnya ditekuk. Jika ia tidak dapat buang air kecil sendiri, pasang kateter dengan
benar dan kosongkan kandung kencingnya. Kandung kencing yang penuh dapat menahan
lahirnya plasenta. Cabut kateter setelah kandung kemih dikosongkan. Jika plasenta
terlihat dalam vagina, mintalah ibu untuk mengedan sedikit. Jika plasenta belum keluar
dalam 15 menit, berikan oksitosin 10 unit I.M sekali lagi. Dan minta suami untuk
memilin-milin putting susu ibu dan meminta keluarga menyiapkan surat rujukan.
(4) Lakukan masase uterus agar berkontraksi. Jepit tali pusat dengan kocher kemudian
tegangkan tali pusat sejajar lantai. Jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit
cobalah untuk melakukan pengeluaran plasenta secara manual.
(5) Cuci tangan dengan 6 langkah. Kenakan sarung tangan steril, waktu sangat
menentukan, lanjutkan prosedur.

9
(6) Bersihkan vulva dan perineum dengan cairan antiseptic kemudian jari tangan kiri
membuka labia minora.
(7) Kemudian masukkan tangan dengan posisi obstetrik (ibu ditekuk ke dalam telapak
tangan dengan punggung tangan ke bawah) ke dalam vagina. Telusuri tali pusat bagian
bawah sampai ke plasenta. Jika tangan sudah, dimasukkan ke dalam uterus, jangan
mengeluarkannya sampai plasenta berhasil dilepaskan dan dikeluarkan. Tangan tidak
boleh keluar masuk dan uterus, karena hal ini dapat memperbesar resiko infeksi.
(8) Setelah tangan mencapai pembukaan serviks, minta asisten untuk memegang kocher,
kemudian tangan lain penolong menahan fundus uteri. Hal ini akan mencegah uterus
bergerak dan membantu kontraksi uterus.
(9) Sambil menahan rundus uteri, masukkan tangan dalam ke kavum uteri sehingga
mencapai tempat implantasi plasenta.
Melepas Plasenta Dari Dinding Uterus :
a) Buka tangan obstetric menjadi seperti memberi salam (ibu jari merapat ke pangkai
jari telunjuk. Jaringan terasa seperti spons (bahan busa) yang terlepas ketika plasenta
terpisah dan uterus. Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling
bawah.
b) Bila berada di belakang, tali pusat tetap di sebelah atas. Bila di bagian depan,
pindahkan tangan ke bagian depan tali pusat dengan punggung tangan menghadap ke
atas.
c) Bila plasenta di bagian belakang, lepaskan plasenta dari tempat implantasinya dengan
jalan menyelipkan ujung jari di antara plasenta dan dinding uterus, dengan punggung
tangan menghadap ke dinding dalam uterus.
d) Bila plasenta di bagian depan, lakukan hal yang sama (punggung tangan pada dinding
kavurn uteri) tetapi tali pusat berada di bawah telapak tangan kanan.
e) Kemudian gerakkan tangan kanan ke kiri dan kanan sambil bergeser ke kranial
sehingga semua permukaan maternal plasenta dapat dilepaskan.
Catatan: Sambil melakukan tindakan, perhatikan keadaan ibu (pasien), lakukan
penanganan yang sesuai bila terjadi penyulit.
Mengeluarkan Plasenta :
a) Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri, lakukan eksplorasi ulangan untuk
memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih melekat pada dinding uterus.
b) Pindahkan tangan luar ke supra sinifisis untuk menahan uterus pada saat plasenta
dikeluarkan.
10
c) Instruksikan asisten yang memegang kocher untuk menarik tali pusat sambil tangan
dalam menarik plasenta keluar (hindari percikan darah).
d) Keluarkan plasenta dengan hati-hati pada saat uterus berkontraksi. Jangan hanya
menarik sebagian plasenta karena plasenta dapat robek. Selaput ditarik keluar secara
perlahan dan hati-hati, dengan cara yang sama seperti mengeluarkan plasenta. Ingat,
selaput sekecil apapun yang tertinggal di dalam uterus dapat menyebabkan perdarahan
pasca persalinan dan/atau inteksi.
e) Letakkan plasenta ke dalam tempat yang telah disediakan.
f) Lakukan sedikit pendorongan uterus (dengan tangan luar) ke dorsokranial setelah
plasenta lahir.
g) Perhatikan kontraksi uterus dan jumlah perdarahan yang keluar tidak lebih dari 500
cc
h) Dekontaminasi pasca tindakan, cuci tangan pasca tindakan.
Perawatan Pasca tindakan :
a) Periksa kembali tanda vital pasien, segera lakukan tindakan dan instruksi apabila
masih diperlukan.
b) Catat kondisi pasiendan buat laporan tindakan di dalam kolom yang tersedia.
c) Buat instruksi pengobatan lanjutan dan hal-hal penting untuk dipantau.
d) Beritahukan kepada pasien dan keluarganya bahwa tindakan telah selesai tetapi pasien
masih memerlukan perawatan.
e) Jelaskan pada petugas tentang perawatan apa yang masih diperlukan, lama perawatan
dan apa yang perlu dilaporkan (Anggraini, 2010).

2.1.4.4 Rest Placenta


a. Definisi
Adalah tertinggalnya sisa-sisa plasenta atau sebagian selaput mengandung pembuluh
darah (Prawirohardio, 2011).
b. Tanda dan gejala
1. Gejala yang selalu ada yaitu plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah)
tidak lengkap dan perdarahan segera.
2. Gejala yang kadang-kadang timbul yaitu uterus berkontraksi baik tetapi tinggi fundus tidak
berkurang (WHO, 2003).
c. Etiologi
1. Kesalahan penatalaksanaan kala tiga.
11
2. Potongan-potongan placenta yang ketinggalan tanpa diketahui.
3. Jaringan yang melekat dengan kuat.
d. Penatalaksanaan
1. Pencegahan
Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan
kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca
persalinan lanjut, sebagian besar pasien-pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan
keluhan perdarahan setelah 6-10 hari pulang ke rumah dan sub-involusi uterus.
2. Penanganan
a) Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis. Antibiotika
yang dipilih adalah ampisilin dengan dosis awal 1 G intravena dilanjutkan dengan 3 x 1 G
oral dikombinasi dengan metronidazole 1 G supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral.
b) Dengan dipayungi antibiotika tersebut, lakukan eksplorasi digital (bila serviks
terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui
oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan AVM atau D&K.
c) Bila kadar Hb < 8 gr% berikan tranfusi darah. Bila kadar HB  8 gr %, berikan Sulfas
Ferosus 600 mg/hari selama 10 hari.

2.1.5 Faktor Predisposisi


Beberapa kondisi selama hamil dan bersalin dapat merupakan faktor predisposisi
terjadinya perdarahan paska persalinan, keadaan tersebut ditambah lagi dengan tidak
maksimalnya kondisi kesehatannya dan nutrisi ibu selama hamil. Oleh karena itu faktor-
faktor haruslah diketahui sejak awal dan diantisipasi pada waktu persalinan :
1. Trauma persalinan
Setiap tindakan yang akan dilakukan selama proses persalianan harus diikuti dengan
pemeriksaan jalan lahir agar diketahui adanya robekan pada jalan lahir dan segera
dilakukan penjahitan dengan benar.
2. Atonia Uterus
Pada kasus yang diduga berisiko tinggi terjadinya atonia uteri harus diantisipasi
dengan pemasangan infus. Demikian juga harus disiapkan obat uterotonika serta
pertolongan persalinan kala III dengan baik dan benar.

12
3. Jumlah darah sedikit
Keadaan ini perlu dipertimbangkan pada kasus keadaan itu jelek, hipertensi saat
hamil, pre eklampsia dan eklamsi.
4. Kelainan pembekuan darah
Meskipun jarang tetapi bila terjadi sering berakibat fatal, sehingga perlu
diantisipasi dengan hati-hati dan seksama.

2.1.6 Patofisiologi
Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah didalam uterus masih
terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum spongiosum
sehingga sinus-sinus maternalis ditempat insersinya plasenta terbuka.
Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan menutup,
kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga perdarahan akan terhenti.
Adanya gangguan retraksi dan kontraksi otot uterus, akan menghambat penutupan pembuluh
darah dan menyebabkan perdarahan yang banyak. Keadaan demikian menjadi faktor utama
penyebab perdarahan paska persalinan. Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan
seperti robekan servix, vagina dan perinium.

2.1.7 Manifestasi Klinis


Untuk memperkirakan kemungkinan penyebab perdarahan paska persalinan sehingga
pengelolaannya tepat, perlu dibenahi gejala dan tanda sebagai berikut :

Gejala dan tanda Penyulit Diagnosa


penyebab
Uterus tidak berkontraksi dan Syok Atonia uteri
lembek Bekuan darah pada serviks
Perdarahan segera setelah bayi atau pada posisi terlentang
lahir akan menghambat aliran
darah keluar
Darah segar mengalir segera Pucat Robekan jalan
setelah anak lahir Lemah lahir
Uterus berkontraksi dan keras Mengigil
Plasenta lengkap

13
Plasenta belum lahir setelah 30 Tali pusat putus Retensio plasenta
menit. Inversio uteri
Perdarahan segera, uterus Perdarahan lanjutan
berkontraksi dan keras.
Plasenta atau sebagian selaput Uterus berkontraksi tetapi Tertinggalnya
tidak lengkap tinggi fundus uteri tidak sebagian plasenta
Perdarahan segera berkurang

2.2 Pengkajian Kasus Kegawatdaruratan Pada Perdarahan Pasca Persalinan


Identitas klien : Sering terjadi pada ibu usia dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun.
A. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering didapatkan dari klien dengan perdarahan post partum
adalah perdarahan dari jalan lahir, badan lemah, limbung, keluar keringat dingin,
kesulitan nafas, pusing, pandangan berkunang-kunang.
2. Riwayat kehamilan dan persalinan
Riwayat hipertensi dalam kehamilan, preeklamsi / eklamsia, bayi besar, gamelli,
hidroamnion, grandmulti gravida, primimuda, anemia, perdarahan saat hamil. Persalinan
dengan tindakan, robekan jalan lahir, partus precipitatus, partus lama/kasep,
chorioamnionitis, induksi persalinan, manipulasi kala II dan III.
3. Riwayat kesehatan :
Kelainan darah dan hipertensi
4. Pengkajian fisik :
Tanda vital :
a. Tekanan darah : Normal/turun ( kurang dari 90-100 mmHg).
b. Nadi : Normal/meningkat ( 100-120 x/menit).
c. Pernafasan : Normal/ meningkat ( 28-34x/menit).
d. Suhu : Normal/ meningkat.
e. Kesadaran : Normal / turun.
f. Fundus uteri/abdomen : lembek/keras, subinvolusi.
g. Kulit : Dingin, berkeringat, kering, hangat, pucat, capilary refil memanjang.
h. Pervaginam : Keluar darah, robekan, lochea ( jumlah dan jenis ).

14
i. Kandung kemih : distensi, produksi urin menurun/berkurang
B. Diagnosa
1. Kekurangan volume cairan s/d perdarahan pervaginam.
2. Gangguan perfusi jaringan s/d perdarahan pervaginam.
3. Cemas/ketakutan s/d perubahan keadaan atau ancaman kematian.
4. Resiko infeksi s/d perdarahan.
5. Resiko shock hipovolemik s/d perdarahan.
C. Rencana Tindakan
A. Kekurangan volume cairan s/d perdarahan pervaginam
Goal : Mencegah disfungsional bleeding dan memperbaiki volume cairan
Rencana tindakan :
1.Tidurkan pasien dengan posisi kaki lebih tinggi sedangkan badannya tetap terlentang
R/ Dengan kaki lebih tinggi akan meningkatkan venous return dan memungkinkan darah
keotak dan organ lain.
2.Monitor tanda vital
R/ Perubahan tanda vital terjadi bila perdarahan semakin hebat.
3.Monitor intake dan output setiap 5-10 menit
R/ Perubahan output merupakan tanda adanya gangguan fungsi ginjal.
4.Evaluasi kandung kencing
R/ Kandung kencing yang penuh menghalangi kontraksi uterus.
5.Lakukan masage uterus dengan satu tangan serta tangan lainnya diletakan diatas simpisis.
R/ Massage uterus merangsang kontraksi uterus dan membantu pelepasan placenta, satu
tangan diatas simpisis mencegah terjadinya inversio uteri.
6.Batasi pemeriksaan vagina dan rektum
R/ Trauma yang terjadi pada daerah vagina serta rektum meningkatkan terjadinya
perdarahan yang lebih hebat, bila terjadi laserasi pada serviks / perineum atau terdapat
hematom. Bila tekanan darah semakin turun, denyut nadi makin lemah, kecil dan cepat,
pasien merasa mengantuk, perdarahan semakin hebat, segera kolaborasi.
7.Berikan infus atau cairan intravena
R/ Cairan intravena mencegah terjadinya shock.
8.Berikan uterotonika ( bila perdarahan karena atonia uteri )
R/ Uterotonika merangsang kontraksi uterus dan mengontrol perdarahan.
9.Berikan antibiotik

15
R/ Antibiotik mencegah infeksi yang mungkin terjadi karena perdarahan pada
subinvolusio.
10. Berikan transfusi whole blood ( bila perlu )
R/ Whole blood membantu menormalkan volume cairan tubuh.

B. Gangguan perfusi jaringan sampai dengan perdarahan pervaginam


Goal : Tanda vital dan gas darah dalam batas normal
Rencana keperawatan :
1. Monitor tanda vital tiap 5-10 menit
R/ Perubahan perfusi jaringan menimbulkan perubahan pada tanda vital.
2. Catat perubahan warna kuku, mukosa bibir, gusi dan lidah, suhu kulit
R/ Dengan vasokontriksi dan hubungan keorgan vital, sirkulasi di jaingan perifer berkurang
sehingga menimbulkan cyanosis dan suhu kulit yang dingin.
3. Kaji ada / tidak adanya produksi ASI
R/ Perfusi yang jelek menghambat produksi prolaktin dimana diperlukan dalam produksi ASI
4. Tindakan kolaborasi :
- Monitor kadar gas darah dan PH ( perubahan kadar gas darah dan PH merupakan
tanda hipoksia jaringan ).
- Berikan terapi oksigen ( Oksigen diperlukan untuk memaksimalkan transportasi
sirkulasi jaringan ).

C. Cemas / ketakutan berhubungan dengan perubahan keadaan atau ancaman kematian


Goal : Klien dapat mengungkapkan secara verbal rasa cemasnya dan mengatakan perasaan
cemas berkurang atau hilang.
Rencana tindakan :
1. Kaji respon psikologis klien terhadap perdarahan paska persalinan
R/ Persepsi klien mempengaruhi intensitas cemasnya.
2. Kaji respon fisiologis klien ( takikardia, takipnea, gemetar )
R/ Perubahan tanda vital menimbulkan perubahan pada respon fisiologis.
3. Perlakukan pasien secara kalem, empati, serta sikap mendukung
R/ Memberikan dukungan emosi.
4. Berikan informasi tentang perawatan dan pengobatan
R/ Informasi yang akurat dapat mengurangi cemas dan takut yang tidak diketahui.
5. Bantu klien mengidentifikasi rasa cemasnya
16
R/ Ungkapan perasaan dapat mengurangi cemas.
6. Kaji mekanisme koping yang digunakan klien
R/ Cemas yang berkepanjangan dapat dicegah dengan mekanisme koping yang tepat.

D. Potensial infeksi sehubungan dengan perdarahan


Goal : Tidak terjadi infeksi ( lokea tidak berbau dan TV dalam batas normal )
Rencana tindakan :
1. Catat perubahan tanda vital
R/ Perubahan tanda vital ( suhu ) merupakan indikasi terjadinya infeksi.
2. Catat adanya tanda lemas, kedinginan, anoreksia, kontraksi uterus yang lembek, dan
nyeri panggul.
R/ Tanda-tanda tersebut merupakan indikasi terjadinya bakterimia, shock yang tidak
terdeteksi.
3. Monitor involusi uterus dan pengeluaran lochea
R/ Infeksi uterus menghambat involusi dan terjadi pengeluaran lokea yang berkepanjangan
4. Perhatikan kemungkinan infeksi di tempat lain, misalnya infeksi saluran nafas,
mastitis dan saluran kencing.
R/ Infeksi di tempat lain memperburuk keadaan.
5. Tindakan kolaborasi
- Berikan zat besi ( Anemi memperberat keadaan).
- Beri antibiotika ( Pemberian antibiotika yang tepat diperlukan untuk keadaan infeksi.

D. Evaluasi
Semua tindakan yang dilakukan diharapkan memberikan hasil :
A. Tanda vital dalam batas normal :
a. Tekanan darah : 110/70-120/80 mmHg
b. Denyut nadi : 70-80 x/menit
c. Pernafasan : 20 – 24 x/menit
d. Suhu : 36 – 37 oc
e. Kadar Hb : Lebih atau sama dengan 10 g/dl
f. Gas darah dalam batas normal
g. Klien dan keluarganya mengekspresikan bahwa dia mengerti tentang komplikasi
dan pengobatan yang dilakukan.
h. Klien dan keluarganya menunjukkan kemampuannya dalam mengungkapkan
17
perasaan psikologis dan emosinya.
i. Klien dapat melakukan aktifitasnya sehari-hari.
j. Klien tidak merasa nyeri.
k. Klien dapat mengungkapkan secara verbal perasaan cemasnya

2.2 Diagnosis Perdarahan Pasca persalinan


Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama apabila timbul perdarahan banyak dalam
waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam jangka waktu lama, tanpa disadari pasien
telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi serta pernafasan menjadi lebih
cepat dan tekanan darah menurun. Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah
sebanyak 10% dari volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik. Gejala-gejala baru
tampak pada kehilangan darah 20%. Jika perdarahan berlangsung terus, dapat timbul syok.
Diagnosis perdarahan pascapersalinan dipermudah apabila pada tiap-tiap persalinan setelah
anak lahir secara rutin diukur pengeluaran darah dalam kala III dan satu jam sesudahnya.
Apabila terjadi perdarahan pascapersalinan dan plasenta belum lahir, perlu diusahakan untuk
melahirkan plasenta segera. Jika plasenta sudah lahir, perlu dibedakan antara perdarahan
akibat atonia uteri atau perdarahan karena perlukaan jalan lahir.
Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus membesar dan lembek pada palpasi;
sedangkan pada perdarahan karena perlukaan jalan lahir, uterus berkontraksi dengan baik.
Dalam hal uterus berkontaraksi dengan baik, perlu diperiksa lebih lanjut tentang adanya dan
dimana letaknya perlukaan jalan lahir. Pada persalinan di rumah sakit, dengan fasilitas yang
baik untuk melakukan transfusi darah, seharusnya kematian akibat perdarahan
pascapersalinan dapat dicegah. Tetapi kematian tidak data terlalu dihindarkan, terutama
apabila penderita masuk rumah sakit dalam keadaan syok karena sudah kehilangan banyak
darah. Karena persalinan di Indonesia sebagian besar terjadi di luar rumah sakit, perdarahan
post partum merupakan sebab utama kematian dalam persalinan.
Diagnosis perdarahan pascapersalinan dilakukan dengan :
1. Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
2. Memeriksa plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak.
3. Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari:
- Sisa plasenta atau selaput ketuban
- Robekan rahim
- Plasenta suksenturiata
4. Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises yang pecah
18
5. Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu Hb, COT (Clot Observation Test), dll.

Perdarahan pasca persalinan ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan
menakutkan hingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan syok. Atau dapat
berupa perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus menerus yang juga bahaya
karena kita tidak menyangka akhirnya perdarahan berjumlah banyak, ibu menjadi lemas dan
juga jatuh dalam presyok dan syok. Karena itu, adalah penting sekali pada setiap ibu yang
bersalin dilakukan pengukuran kadar darah secara rutin, serta pengawasan tekanan darah,
nadi, pernafasan ibu, dan periksa juga kontraksi uterus perdarahan selama 1 jam

2.3 Penatalaksanaan
2.3.1 Penatalaksanaan Umum
a. Ketahui secara pasti kondisi ibu bersalin sejak awal.
b. Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman.
c. Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat.
d. Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan
masalah dan komplikasi.
e. Atasi syok jika terjadi syok.
f. Pastikan kontraksi berlangsung baik ( keluarkan bekuan darah, lakukan pijatan uterus, beri
uterotonika 10 IV dilanjutkan infus 20 ml dalam 500 cc NS/RL dengan tetesan 40
tetes/menit ).
g. Pastikan plasenta telah lahir lengkap dan eksplorasi kemungkinan robekan jalan lahir.
h. Bila perdarahan tidak berlangsung, lakukan uji bekuan darah.
i. Pasang kateter tetap dan pantau cairan keluar masuk.
j. Lakukan observasi ketat pada 2 jam pertama paska persalinan dan lanjutkan pemantauan
terjadwal hingga 4 jam berikutnya.

2.3.2 Penatalaksanaan Khusus


a. Atonia uteri
1. Kenali dan tegakan kerja atonia uteri.
2. Sambil melakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika, lakukan pengurutan
uterus.
3. Pastikan plasenta lahir lengkap dan tidak ada laserasi jalan lahir.
4. Lakukan tindakan spesifik yang diperlukan :
19
- Kompresi bimanual eksternal yaitu menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan
saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uteus. Bila perdarahan
berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi atau
dibawa ke fasilitas kesehata rujukan.
- Kompresi bimanual internal yaitu uterus ditekan diantara telapak tangan pada dinding
abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjempit pembuluh darah didalam
miometrium.
- Kompresi aorta abdominalis yaitu raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri,
pertahankan posisi tersebut genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah
umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis,
penekanan yang tepat akan menghetikan atau mengurangi, denyut arteri femoralis.

b. Retensio plasenta dengan separasi parsial


1. Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil.
2. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengejan, bila ekspulsi tidak terjadi cobakan
traksi terkontrol tali pusat.
3. Pasang infus oksitosin 20 unit/500 cc NS atau RL dengan tetesan 40/menit, bila perlu
kombinasikan dengan misoprostol 400mg per rektal.
4. Bila traksi terkontrol gagal melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati
dan halus.
5. Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia.
6. Lakukan transfusi darah bila diperlukan.
7. Berikan antibiotik profilaksis ( ampicilin 2 gr IV/oral + metronidazole 1 g supp/oral ).

c. Robekkan Serviks
1. Sering terjadi pada sisi lateral, karena serviks yang terjulur akan mengalami robekan pada
posisi spina ishiadika tertekan oleh kepala bayi.
2. Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyak maka
segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan porsio.
3. Jepitan klem ovum pada kedua sisi porsio yang robek sehingga perdarahan dapat segera di
hentikan, jika setelah eksploitasi lanjutkan tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan,
jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian kearah luar sehingga semua robekan dapat
dijahit.

20
4. Setelah tindakan periksa tanda vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan
paska tindakan.
5. Berikan antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi.
6. Bila terjadi defisit cairan lakukan restorasi dan bila kadar Hb dibawah 8 gr% berikan
transfusi darah.

d.Sisa Plasenta
1. Penemuan secara dini, dengan memeriksa kelengkapan plasenta setelah dilahirkan.
2. Berika antibiotika karena kemungkinan ada endometriosis.
3. Lakukan eksplorasi digital/bila serviks terbuka dan mengeluarkan bekuan darah atau
jaringan, bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta
dengan dilatasi dan kuret.
4. Hb 8 gr% berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus 600mg/hari selama 10 hari.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Definisi perdarahan post partum adalah perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi
lahir. Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah perdarahan sampai sebanyak itu
sebab menghentikan perdarahan lebih dini akan memberikan prognosis lebih baik. Pada
umumnya bila terdapat perdarahan yang lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan
perubahan tanda vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin,
sesak napas, serta tensi < 90 mmHg dan nadi > 100/menit), maka penanganan harus
segera dilakukan (Prawirohardjo, 2011).
Diagnosa perdarahan pasca persalinan biasanya tidak sulit, terutama apabila timbul
perdarahan banyak dalam waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam jangka
waktu lama, tanpa disadari pasien telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak
pucat. Nadi serta pernafasan menjadi lebih cepat dan tekanan darah menurun. Seorang
wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volume total tanpa
mengalami gejala-gejala klinik. Gejala-gejala baru tampak pada kehilangan darah 20%.
Jika perdarahan berlangsung terus, dapat timbul syok. Diagnosis perdarahan
pascapersalinan dipermudah apabila pada tiap-tiap persalinan setelah anak lahir secara
rutin diukur pengeluaran darah dalam kala III dan satu jam sesudahnya. Apabila terjadi
perdarahan pascapersalinan dan plasenta belum lahir, perlu diusahakan untuk melahirkan
plasenta segera. Jika plasenta sudah lahir, perlu dibedakan antara perdarahan akibat atonia
uteri atau perdarahan karena perlukaan jalan lahir.

3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan yang
diharapkan, karena masih terbatasnya pengetahuan penulis. Oleh itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Makalah ini perlu dikaji ulang
agar dapat sempurna dan makalah ini harus digunakan sebagaimana mestinya.

22

Anda mungkin juga menyukai