Dosen Pengampu
Kelompok 6
Dhea Aprilia : 180384204014
Khfifah : 180384204015
Ujatmiko : 180384204031
TAHUN AJARAN
2019
KATAPENGANTAR
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini mungkin masih banyak
sekali kekurangan-kekurangan yang ditemukan, oleh karena itu kami ucapkan
permohonan maaf yang sebesar-besarnya. Kami sangat menerima kritik dan saran
dari para pembaca sekalian dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca dan dapat menambah ilmu pengetahuan kita.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini terdapat beragam inovasi baru di dalam dunia pendidikan terutama
pada proses pembelajaran. Salah satu inovasi tersebut adalah konstruktivisme.
Pemilihan pendekatan ini lebih dikarenakan agar pembelajaran membuat siswa
antusias terhadap persoalan yang ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan
persoalannya. Pembelajaran di kelas masih dominan menggunakan metode ceramah
dan tanya jawab sehingga kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berintekrasi langsung kepada benda-benda konkret. Seorang guru perlu
memperhatikan konsep awal siswa sebelum pembelajaran. Jika tidak demikian,
maka seorang pendidik tidak akan berhasil menanamkan konsep yang benar, bahkan
dapat memunculkan sumber kesulitan belajar selanjutnya. Mengajar bukan hanya
untuk meneruskan gagasan-gagasan pendidik pada siswa, melainkan sebagai proses
mengubah konsepsi-konsepsi siswa yang sudah ada dan di mana mungkin konsepsi
itu salah, dan jika ternyata benar maka pendidik harus membantu siswa dalam
mengkonstruk konsepsi tersebut biar lebih matang.
B. Rumusan Masalah
Dalam penyusun makalah ini terdapat beberapa rumusan masalah, antara lain
adalah sebagai berikut:
1
C. Tujuan Penulisan
Dalam menyusun makalah ini terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh
penulis antara lain adalah sebagai berikut:
2
BAB II
PEMBAHASAN
Teori konstruktivisme adalah salah satu dari banyak teori belajar yang telah
didesain dalam pelaksanaan pembelajaran IPA. Seperti halnya behaviorisme dan
kognitivisme, konstruktivisme dapat diterapkan dalam berbagai aktivitas belajar baik
pada ilmu-ilmu sosial maupun ilmu eksakta. Dalam IPA, konstruktivisme telah
banyak diteliti, diterapkan, dan diuji coba pada situasi ruangan kelas yang berbeda-
beda. Dari berbagai percobaan itu telah banyak menghasilkan berbagai pandangan
yang ikut mempengaruhi perkembangan, modifikasi, dan inovasi pembelajaran.
Lahirnya berbagai pendekatan seperti pembelajaran kooperatif, sosio-kultur,
pembelajaran kontekstual, dan lain-lain merupakan hasil inovasi dan modifikasi dari
teori pembelajaran.
3
Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya
memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif
membangun sendiri pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat
memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan kepada
siswa untuk menemukan atau menerapkan ide– ide mereka sendiri, dan mengajar
siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk
belajar. Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang membawasiswa ke tingkat
pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang mereka tulis dengan
bahasa dan kata – kata mereka sendiri.
4
membangun pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui dengan menggunakan
pengalaman, struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki.
Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari
sendiri pertanyaannya.
Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara
lengkap.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
5
7. Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil
pembelajaran.
8. Menggalakkan proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.
Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak
boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus
membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu
proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat
bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak
siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk
belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya
dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.
6
bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses
berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan
(Poedjiadi, 1999: 61).
Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan
karakteristik sebagai berikut:
Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan.
Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa.
Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara
personal.
Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan
situasi kelas.
Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran,
materi, dan sumber.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas
yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pembelajar dengan
faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
7
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap
perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa jugaa disebut
tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan:
8
membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik.
9
Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga
menjadi lebih kreatif dan imajinatif.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.
Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.
Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan
Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
(3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang
sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman
yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada
diri peserta didik.
10
a) menyediakan pengalaman belajar yang menjadikan peserta didik dapat melakukan
konstruksi pengetahuan;
11
Pandangan Konstruktivistik Tentang Tujuan Pembelajaran
Kelebihan :
12
kefahaman mereka. Justru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan
masalah dalam situasi baru.
4. Kemahiran sosial : Kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan
guru dalam membina pengetahuan baru.
5. Seronok : Oleh kerana mereka terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan
berinteraksi dengan sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam membina
pengetahuan baru.
Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam
proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik sepertinya kurang begitu
mendukung.
13
mengubah informasi yang rumit dengan memeriksa informasi baru terhadap
aturan lama dan mengubah aturan apabila hal itu tidak lagi berguna (Slavin.
2009:6).
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan
teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori
ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan
kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar,
yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa.
Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-
ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap
sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988:
132).
14
penting bagi individu dalam menyusun pengetahuan tersebut.
1.Skema
16
Berdasarkan diagram tersebut, ketika anak sudah memiliki pengalaman yang
khas, itu berarti anak sudah memiliki sejumlah skemata yang khas. Pada suatu
keadaan seimbang sesaat ketika ia berhadapan dengan stimulus (bisa berupa
benda, peristiwa, gagasan) pada pikiran anak terjadi pemilahan melalui
memorinya. Dalam memori anak terdapat 2 kemungkinan yang dapat terjadi
yaitu:
17
pandangan atau skemanya sebagai akibat dari tindakan mental yang
dilakukannya terhadap stimulus itu. Peristiwa ini disebut akomodasi.
18
Karakteristik pemikiran anak praoperasional adalah konsentrasi (centration)
dan konservasi. Santrock (2014: 47) menjelaskan konsentrasi sebagai fokus atau
keterpusatan perhatian pada satu karakteristik dengan mengesampingkan hal
lainnya. Sedangkan Jamaris (2013: 28) menjelaskan konsentrasi sebagai kegiatan
memfokuskan perhatian yang dilakukan anak untuk membedakan satu objek dengan
objek lainnya. Konservasi adalah kesadaran anak tentang ciri-ciri khusus objek tidak
akan berubah walaupun ditempatkan di tempat yang lain. Pada tahap praoperasional,
sebagian besar anak gagal untuk menkonservasi. Contohnya ketika anak gagal dalam
mengkonservasi volume cairan yang dipindahkan ke dalam wadah yang berbeda
bentuk dan ukuran. Kesalahan anak dalam mengkonservasi merupakan tahap transisi
dari masa berpikir intuitif ke masa berpikir logis atau rasional pada usia selanjutnya.
3. Tahap operasional konkrit (7-11 tahun)
Pada tahap operasional konkrit terjadi perubahan pola pikir dan perilaku anak.
Pola pikir anak berubah dari pola pikir intuitif menjadi pola pikir logis. Sifat
egosentris juga sudah mulai berkurang. Perubahan pola pikir intuitif ke logis masih
terbatas pada situasi konkret, yaitu situasi yang berkaitan dengan benda-benda nyata.
Jamaris (2013: 28) menjelaskan proses perkembangan yang terjadi pada tahap ini
meliputi:
1. Seriasi (seriation), yaitu kemampuan untuk menentukan urutan objek
menurut ukuran, bentuk, dan karakteristik lainnya. Contohnya, bila
diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari
benda yang paling besar ke yang paling kecil.
2. Transtivity, yaitu kemampuan untuk memahami hubungan-hubungan
logis diantara elemen-elemen yang tersusun secara teratur.
3. Klasifikasi, yaitu kemampuan untuk menentukan satu set objek
berdasarkan karakteristik yang dimilikinya.
4. Decentering, yaitu situasi dimana anak mampu memberikan perhatian
pada aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam memecahkan suatu
masalah atau dengan kata lain anak mulai mempertimbangkan
beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya.
Contohnya, anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi
pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
5. Reversibility, yaitu kemampuan anak dalam melakukan kegiatan yang
dimulai dari belakang atau tahap akhir. Contohnya anak dapat dengan
19
cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4,
jumlah sebelumnya
6. Penghilangan sifat egosentris, yaitu kemampuan untuk menerima sudut
pandang orang lain, walaupun menurutnya pandangan tersebut salah.
7. Kemampuan dalam memecahkan masalah secara konkret atau dalam
bentuk kegiatan yang nyata.
4. Tahap operasional formal (11 tahun sampai dewasa)
Tahap operasional formal merupakan tahap tertinggi dari tahap perkembangan
kognitif Piaget. Pada tahap ini, anak sudah dapat berpikir rasional dan tidak lagi
terbatas pada hal-hal yang hanya dapat dilihat. Anak sudah dapat membayangkan
masalah dalam pikirannya dan mulai mengembangkan hipotesis secara logis.
Santrock (2014: 50) menjelaskan istilah Piaget tentang penalaran hipotesis-deduktif
sebagai konsep remaja yang dapat mengembangkan hipotesis mengenai cara untuk
memecahkan masalah dan mencapai kesimpulan secara sistematis. Elkind (Santrock.
2014: 52) mengatakan bahwa pada tahap ini juga muncul bentuk egosentrisme yang
dinamakan egosentrisme remaja, yaitu tingginya kesadaran diri yang tercermin
dalam keyakinan remaja bahwa orang lain tertarik pada mereka sama seperti mereka
tertarik pada diri mereka sendiri.
20
Vygotsky mengajar kesusasteraan di suatu sekolah Propinsi sebelum
memberi kuliah psikologi pada suatu sekolah keguruan. Dia dipercaya
membawakan kuliah psikologi walaupun secara formal tidak pernah
mengambil studi psikologi. Dari sinilah dia semakin tertarik dengan kajian
psikologi sehingga menulis disertasi Ph.D. mengenai ”Psychology of Art” di
Moscow Institute of Psychology pada tahun 1925.
Vygotsky bekerja kolaboratif bersama Alexander Luria and Alexei
Leontiev dalam membuat dan menyusun proposal penelitian yang sekarang ini
dikenal dengan pendekatan Vygotsky. Selama hidupnya Vygotsky mendapat
tekanan yang begitu besar dari pemegang kekuasaan dan para penganut idelogi
politik di Rusia untuk mengadaptasi dan mengembangkan teorinya.
Setelah dia meninggal pada usia yang masih dibilang sangat muda (38
tahun), pada tahun 1934 akibat menderita penyakit tuberculosis (TBC),
barulah seluruh ide dan teorinya diterima oleh pemerintah dan tetap dianut dan
dipelajari oleh mahasiswanya. Kepeloporannya dalam meletakkan dasar
tentang psikologi perkembangan telah banyak mempengaruhi sekolah
pendidikan di Rusia yang kemudian teorinya berkembang dan dikenal luas di
seluruh dunia hingga saat ini.
Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan
dalam pembelajaran. Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang,
kebudayaan, termasuk pengalaman dalam lingkungan tersebut. Orang lain
merupakan bagian dari lingkungan (Taylor, 1993), pemerolehan pengetahuan
siswa bermula dari lingkup sosial, antar orang, dan kemudian pada lingkup
individu sebagai peristiwa internalisasi (Taylor, 1993). Vygotsky menekankan
pada pentingnya hubungan antara individu dan lingkungan sosial dalam
pembentukan pengetahuan yang menurut beliau, bahwa interaksi sosial yaitu
interaksi individu tersebut dengan orang lain merupakan faktor terpenting
yang dapat memicu perkembangan kognitif seseorang. Vygotsky berpendapat
bahwa proses belajar akan terjadi secara evisien dan efektif apabila anak
belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain dalam suasana dan lingkungan
yang mendukung (supportive), dalam bimbingan seseorang yang lebih
mampu, guru atau orang dewasa.
Dengan hadirnya teori konstruktivisme Vygotsky ini, banyak
pemerhati pendidikan yang megembangkan model pembelajaran kooperatif,
21
model pembelajaran peer interaction, model pembelajaran kelompok, dan
model pembelajaran problem poshing. Konstruktivisme menurut pandangan
Vygotsky menekankan pada pengaruh budaya. Vygotsky berpendapat fungsi
mental yang lebih tinggi bergerak antara inter-psikologi (interpsychological)
melalui interaksi sosial dan intrapsikologi (intrapsychological) dalam
benaknya. Internalisasi dipandang sebagai transformasi dari kegiatan eksternal
ke internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara inter-psikologi (antar
orang) dan intra-psikologi (dalam diri individu).
a. Pengelolaan pembelajaran
22
Interaksi sosial individu dengan lingkungannya sengat mempengaruhi
perkembanganbelajar seseorang, sehingga perkemkembangan sifat-sifat dan jenis
manusia akan dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Menurut Vygotsky dalam
Slavin (2000), peserta didik melaksanakan aktivitas belajar melalui interaksi dengan
orang dewasa dan teman sejawat yang mempunyai kemampuan lebih. Interaksi
sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual
peserta didik.
b. Pemberian bimbingan
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of
Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.
23
Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis
sosial) disebut pendekatan konstruktivisme sosial. Filsafat konstruktivisme sosial
memandang kebenaran IPA tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi IPA sebagai
hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh
manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood
(1992) menyebutnya dengan konstruktivisme sosio (socio-constructivism), siswa
berinteraksi dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman
informal siswa mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah yang
diberikan. Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan
karakteristik RME.
Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam
ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri,
tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau
temannya (peer); Bantuan atau support dimaksud agar si anak mampu untuk
24
mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari
pada tingkat perkembangan kognitif si anak.
Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan
intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman
yang lebih pandai;
Vygostky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit,
dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah
siswa.
25
sesungguhnya (aktual) dan tingkat perkembangan potensial anak. Tingkat
perkembangan aktual adalah pemfungsian intelektual individu saat ini dan
kemampuan untuk mempelajari sesuatu dengan kemampuannya sendiri (kemampuan
memecahkan masalah secara mandiri), sedang tingkat perkembangan potensial anak
adalah kondisi yang dapat dicapai oleh seseorang individu dengan bantuan orang
dewasa atau melalui kerja sama dengan teman sebaya yang lebih mampu.
(kemampuan memecahkan masalah dibawah bimbingan orang dewasa atau teman
sebaya). Jadi pada saat siswa bekerja dalam daerah perkembangan terdekat
(ZPD) mereka, tugas-tugas yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri, akan dapat
mereka selesaikan dengan bantuan teman sebaya atau orang dewasa. Pembelajaran
di sekolah hendaknya bekerja dalam daerah ini, menarik kemampuan-
kemampuan anak dengan maksud mendorong pertumbuhan seefektifnya.
3. Pemagangan kognitif. Vygotsky menekankan bahwa pemagangan kognitif mengacu
pada proses di mana seseorang yang sedang belajar tahap demi tahap memperoleh
keahlian melalui interaksinya dengan pakar. Pakar yang dimaksud adalah orang
menguasai permasalahan yang dipelajari, jadi dapat berupa orang dewasa atau teman
sebaya. Dalam konteks koperatif, siswa yang lebih pandai dalam kelompoknya dapat
merupakan pakar bagi teman-teman dalam kelompok tersebut.
4. Perancahan (Scaffolding). Perancahan (scaffolding) mengacu kepada pemberian
sejumlah bantuan oleh teman sebaya atau orang dewasa yang berkompeten kepada
anak. Menurut Slavin (Ratumanan, 2004:47) scaffolding berarti memberikan kepada
anak sejumlah besar dukungan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian
mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil
tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu melakukan tugas
tersebut secara mandiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk,
peringatan, dorongan, menguraikan masalah dalam bentuk lain yang memungkinkan
siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa
dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan
dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal
dalam meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk
membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat
dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang lebih tinggi menjadi optimum. Prinsip
ini melahirkan metode penemuan terbimbing dalam pembelajaran.
26
5. Bergumam (Private Speech). Berguman adalah berbicara dengan diri sendiri atau
berbicara dalam hati untuk tujuan membimbing dan mengarahkan diri sendiri.
Menurut Vygotsky private speech dapat memperkuat interaksi sosial anak dengan
orang lain. Private speech dapat dilihat pada seorang anak yang dihadapkan pada
suatu masalah dalam sebuah ruangan di mana terdapat orang lain, biasanya orang
dewasa. Anak kelihatannya berbicara pada dirinya sendiri mengenai masalah
tertentu, tetapi pembicaraanya diarahkan pada orang dewasa. Private
speech kemudian dihalangi, tertangkap dan ditransformasikan ke dalam proses
berfikir.
Inti teori Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan
eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran.
Menurut teori Vigotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi social
masing-masing individu dalam konteks budaya. Vigotsky juga yakin bahwa
pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum
dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau
tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka.
27
Situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu
diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka
terhadap topik yang akan dibahas. Siswa dituntun agar merekamau mengemukakan
gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentanggejala-gejala fisika yang mereka amati
dalam lingkungan hidupnya seharihari. Pengungkapan gagasan tersebut dapat
memalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan
tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai
dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemooh dan ditertawakan bila
gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak menghakiminya.
Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya
melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif.
Refleksi.
28
c) membangun ulang kerangka konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan
sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal.
Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu
d) memiliki keunggulan dari gagasan yang lama.
Aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi
menuju konsepsi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep
ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang
instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara empiris. Mereka akan mampu
membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasa secara
keilmuan.
o Review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang
telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada
awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila
miskonsepsi yang muncul kembali bersifat sangar resisten. Hal ini penting
dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya
menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada
kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan.
Dari uraian di atas maka secara garis besar perbedaan antara konstruktivistik
kognitif dan konstruktivistik sosial sebagai berikut:
29
Dibangun secara individual dan
internal. Sistem pengetahuan secara Dibangun dalam konteks sosial
aktif dibangun oleh pebelajar sebelum menjadi bagian pribadi
Pengetahuan berdasarkan struktur yang sudah ada individu
Dalam interaksi sosial dikelas, ketika terjadi saling tukar pendapat antar siswa
dalam memecahkan suatu masalah, siswa yang lebih pandai memberi bantuan
kepada siswa yang mengalami kesulitan berupa petunjuk bagaimana cara
memecahkan masalah tersebut, maka terjadi scaffolding, siswa yang mengalami
kesulitan tersebut terbantu oleh teman yang lebih pandai. Ketika guru membantu
secukupnya kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya, maka terjadi
scaffolding.
30
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Model pembelajaran konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang
proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan
pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif. Konflik kognitif ini hanya
dapat diatasi melalui pengetahuan akan dibangun sendiri oleh anak melalui
pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya. Pembelajaran yang
mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan
siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam
refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain,
siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi .
Saran
1. Diharapkan kepada guru untuk menggunakan teori belajar konstruktivitisme
dalam proses belajar mengajar. Khususnya dalam pembelajaran IPA.
2. Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental
yang digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran
yang dikembangkan dan yang dibuat para sisiwa untuk mendukung model-
model itu.
3. Saat menerapkan teori belajar konstruktivitisme guru harus kreatif mengelola
kelas.
4. Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang
sesuai dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman
yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi engetahuan pada
diri peserta didik
31
Daftar Pustaka
32