IMAM KURNIAWAN
NIM. 0203162075
1
Fatah, Eep Saefulloh. 2000. Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru. Rosda: Jakarta.
Hal. 32
1
dimana masyarakat ikut berpartisipasi dalam keputusan publik. Orde Baru juga
melahirkan unsur ketiga yakni personalisasi. Kekuasaan yang memusat dan
otonom kemudian dipersonalisasikan di tangan Soeharto. 2 Apapun keputusan
politik harus sesuai dengan “petunjuk bapak presiden”. Begitulah istilah yang
sering digunakan menteri dalam menjelaskan kebijakan pemerintah.
2
Ibid. Fatah, Eep Saefulloh. 2000. Hal.. 37
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia “Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde
Baru”. Kencana,prenada media group: Jakarta. Hal. 49
3
DPR, diantaranya DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran dan
pengawasan, dan lain sebaganya.
3. Reformasi sistem kepartaian. Pada masa orde baru, parpol tidak diberi
ruang untuk berkembang dan melaksanakan fungsinya, tapi kini setiap
parpol dapat mencantumkan ciri tertentu sesuai dengan kehendak dan cita-
citanya asal tidak bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945.
4. Reformasi penyelenggaraan pemerintah daerah. Selama masa orba
penyelenggaraan pemda diwarnai kuatnya peran pusat dalam menetukan
pembangunan di daerah. Namun setelah adanya reformasi kini
pembangunan daerah dapat sesuai dengan aspirasi dan potensi yang ada di
daerah.
Pada masa reformasi, masyarakat di beri keleluasaan untuk mendirikan
partai politik dengan ideologi yang beragam, sehingga masyarakat umum atau
rakyat pun lebih terasa bebas dalam menyalurkan aspirasinya. Selain itu beberapa
keorganisasian yang tumbuh dalam masyarakatpun semakin beragam dan terlihat
semakin aktif dalam memengaruhi kebijakan publik yang berkenaan dengan
bidang yang mereka tekuni. Sehingga dari sisni dapat terlihat bahwa aspirasi
masyarakatpun semakin dapat tereksplore dengan mudah dan bebas tanpa adanya
tekanan dari pihak pemerintah seperti selama masa orde lama dan baru.
Reformasi pada tahun 1998 telah memberikan sumbangan bagi
berkembangnya budaya politik partisipan, namun kuatnya budaya politik
patrimonial dan otoriterianisme politik yang masih berkembang di kalangan elit
politik dan penyelenggara pemerintahan masih senantiasa mengiringi. Walaupun
rakyat mulai peduli dengan input-input politik, akan tetapi tidak diimbangi dengan
para elit politik karena mereka masih memiliki mentalitas mentalitas budaya
politik sebelumnya. Sehingga budaya politik yang berkembang cenderung
merupakan budaya politik subjek-partisipan.
Terdapat lima proposisi tentang perubahan politik dan budaya politik yang
berlangsung sejak reformasi 1998, antara lain :4
1. Orientasi terhadap kekuasaan
4
Ibid. Marijan, Kacung. 2010. Hal. 63
4
Misalnya saja dalam partai politik, orientasi pengejaran
kekuasaan yang sangat kuat dalam partai politik telah membuat
partai-partai politik era reformasi lebih bersifat pragmatis.
2. Politik mikro vs politik makro
Politik Indonesia sebagian besar lebih berkutat pada politik mikro
yang terbatas pada hubungan-hubungan antara aktor-aktor politik,
yang terbatas pada tukar menukar kepentingan potik. Sedangkan
pada politi makro tidak terlalu diperhatikan dimana merupakan
tempat terjadinya tukar-menukar kekuatan-kekuatan sosial seperti
negara, masyarakat, struktur politik, sistim hukum, civil society,
dsb.
3. Kepentingan negara vs kepentingan masyarakat
4. Realita politik lebih berorientasi pada kepentingan negara
dibandingkan kepentingan masyarakat.
5. Bebas dari kemiskinan dan kebebasan beragama
Pada kenyataannya yang terjadi bukanlah desentralisasi politik, melainkan
lebih pada berpindahnya sentralisme politik dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah. Dengan demikian, budaya politik era reformasi tetap masih bercorak
patrimonial, berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan, bersifat sangat
paternalistik, dan pragmatis. Hal ini menurut Soetandyo Wignjosoebroto dalam
Budi Winarno (2008) karena adopsisistem politik hanya menyentuh pada dimensi
struktur dan fungsi-fungsi politiknya, namun tidak pada budaya politik yang
melingkupi pendirian sistem politik tersebut.
5
tidak jarang berada pada posisi tidak berdaya menghadapi kebebasan yang
terkadang melebihi batas kepatutan, sebab walaupun kebebasan yang berlebihan
tersebut bersifat kontekstual dan polanya tidak melembagakan, cenderung
mengarah pola tindakan anarkis.
Demikian pula dengan potensi kemajemukan masyarakat Indonesia yang
didalamnya mengandung benih konflik sosial dan sara. Kasus-kasus pemilihan
pimpinan daerah sampai pemilihan Kepala Desa memunculkan pertengkaran
warga diberbagai daerah menjadi ancaman bagi keutuhan persatuan serta kesatuan
masyarakat. Kondisi ini merupakan tantangan yang perlu mendapat perhatian dan
ditindaklanjutidengan cepat, tepat serta menyentuh substansi permasalahannya.
Tumbuh dan berkembangnya partai politik dan organisasi massa yang berorientasi
penonjolan agama, etnis dan kecemburuan sosial merupakan tantangan pula untuk
mewujudkan sistem politik yang stabil transparan dan aemokratis.6
Banyak kasus yang lebih mengedepankan kepentingan politik daripada
penegakkan supremasi hukum dan penghargaan atas hak asasi manusia serta
persatuan dan kesatuan bangsa, merupakan contoh betapa kerasnya usaha yang
harus diperjuangkan dalam mempercepat proses penegakkan demokrasi yang
benar. Oleh karena itu diperlukan diperlukan karakter budaya politik dan tingkat
pendidikan politik yang representatif dapat menjadi faktor penting terwujudnya
kehidupan demokrasi yang bermartabat.7
6
Rahman, Arifin. “ Sistem Politik Indonesia”. Surabaya: SIC, kerjasama dengan LPM
IKIP Surabaya. 1998. Hal 86
7
Syafiie, Inu Kencana.”Sistem Politik Indonesia”. Surabaya: Refika. 2002. Hal 72
8
Winarno, Budi. 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Medpress:
Yogyakarta.Hal. 52
6
Awal perubahan baik ini dapat dilihat pada pemilu 1999, dimana itu
adalah pemilu pertama setelah jatuhnya rezim Soeharto. Ketika pada masa
orde baru pemilu hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan Soeharto.
Namun, pada pemilu 1999 partisipasi pollitik diberikan ruang yang lebih
luas. Partisipasi masyararakat juga tinggi untuk memilih partai politik dan
wakil-wakil yang akan menduduki jabatan-jabatan publik tanpa adanya
interpensi.
2. Adanya reformasi politik dan fungsi -fungsi politik yang melekat pada
struktur tersebut.
Adanya amandemen UUD 1945 pada tahun 2002 yang menegaskan bahwa
presiden tidak lagi dipilih MPR, tapi dipilih langsung oleh rakyat oleh
pemilu. Dan presiden hanya dapat dijatuhkan oleh parlemen jika terbukti
dapat melakukan pelanggran hukum. Dibandingkan dengan masa orde
baru walaupun presiden merupakan mandataris MPR , tetapi pada
kenyataanya MPR tidak mempunyai kekutatan yang cukup untuk meminta
pertanggungjawaban presiden.
3. Reformasi sistem kepartaian.
Pada masa orde baru partai politik tidak diberi ruang untuk berkembang
dan melaksanakan fungsi-fungsinya secara maksimal dalam sistem politik
demokrasi. Maka dalam reformasi sistem kepartaian terdapat banyak
perubahan antara lain jika pada masa orde baru partai-partai politik (PPP
dan PDI) tidak diizinkan untuk beroperasi sampai ketingkat grass root
(desa). Akibatnya, partai politik tidak mempunyai kekuatan yang
mengakar kebawah. Tapi setelah lahirnya reformasi, partai politik
mempunyai ruang yang luas untuk berkembang.
4. Reformasi penyelenggaraan pemerintah daerah.
Selama masa orde baru penyelenggaraan pemerintahaan daerah diwarnai
terlalu kuatnya peran pusat dalam menentukan pembangunan daerah.
Selain itu, perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah juga menimbulkan banyak persoalan. Pemerintah daerah hanya
diberi peluang untuk mendapatkan pendapatan dari pajak daerah yang
kecil sementara pendapatan daerah yang besar dikuasai pusat sehingga
7
mereka merasa dicurangi. Kelemahan itu mulai di benahi setelah reformasi
melalui lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan
UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah.
5. Kekuasaan presiden berkurang, jadi kecenderungan ke arah sistem
pemerintahan yang otoriter tidak ada lagi.
6. Adanya mekanisme checks and balance mengakibatkan terciptanya
pengawasan.
7. Media massa kini dapat dengan bebas berdiri dan membantu masyarakat
pendapatkan informasi politik.
8. Penghapusan dwifungsi ABRI sehingga peran militer dalam pemerintahan
tidak seperti dulu (cenderung ke arah otoriter).
Dalam perjalanan waktu menjahui orde baru, masalah-masalah baru yang
merasuki perpolitikan indonesia terus datang dan semakin kompleks. Atau
mungkin masih melekatnya masalah-masalah lama yang menempel hingga
sekarang. Seperti yang dikutip dari buku Sistem Politik Indonesia Era Reformasi
oleh Prof. DR. Budi Winarno, MA. Berikut beberapa keburukan yang terjadi
dalam perjalanan perpolitikan indonesia pasca reformasi :9
1. Reformasi terkesan hanya terjadi pada kulitnya saja.
Hal ini terjadi karena reformasi sistem politik hanya menyentuh pada
dimensi struktur dan fungsi-funsi politiknya saja (biasanya dalam bentuk
konstitusi) tidak pada semangat kebudayaan yang melingkupi pendirian
sistem politik tersebut. Padahal konstitusi bukan hanya sekedar dokumen-
dokumen belaka melainkan suatu komitmen, keberpihakan, dan makna-
makna yang hidup dalam sepanjang perjalanan sejarah.
2. Ketiadaan talenta politik yang mengawal reformasi.
Sebagai contoh, keberhasilan reformasi di Turki, sangat ditentukan oleh
peran kuat dan kecerdasan Mustafa Kemal. Namun, di Indonesia talenta
seperti ini nampaknya tidak ada. Amien Rais yang sempat dianggap
sebagai tokoh kunci dalam reformasi 1998, tidak masuk dalam struktur
eksekutif. Keberadaannya dalam lembaga seperti MPR membuatnya tidak
9
Ibid. Winarno, Budi. 2007. Hal. 72
8
mampu berbuat banyak untuk mengendalikan jalannya reformasi, karena
agenda reformasi justru sangat ditentukan oleh kapasitas eksekutif dan
legislatif. Sementara di lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif tidak
memiliki orang-orang yang diharapkan dapat mengawal refomasi, bahkan
banyak diantara mereka adalah orang-orang pemegang kekuasaan di era
rezim orde baru yang sarat akan budaya KKN.
3. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh eksekutif, tidak jarang harus
dikompromikan dengan kepentingan-kepentingan politik yang ada di DPR.
4. Demokrasi menjadi kurang terarah, misalnya demonstrasi terhadap
kebijakan pemerintah yang bersifat anarkis, hingga merusak aset-aset
negara.
5. Media massa sering bersifat tidak netral karena di pengaruhi oleh partai-
partai politik.
10
Sanit, Arbi. “Reformasi Politik”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998 Hal 82 – 84
9
badan-badan umum milik swasta, tidak lagi melulu milik negara), dan
sosial (misalnya: rakyat berhak memberikan tanggapan dan kritikan
terhadap pemerintah).
5. Peranan militer di dalam bidang politik pemerintahan terus dikurangi
(sejak 2004, wakil militer di MPR/DPR dihapus).
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Reformasi diartikan sebagai usaha mendesak Presiden Soeharto mundur
dari jabatannya dan pemerintahan yang menjabat pada saat itu. Reformasi di awali
pada tahun 1998 yang menimbulkan aksi demo mahasiswa terhadap pemerintahan
Presiden Soeharto pada masa itu yang marak terjadi kasus KKN.Terjadinya
transfer kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada wakil presiden B.J. Habibie
pada 21 Mei 1998 telah membawa perubahan-perubahan yang berarti pada sistem
politik Indonesia. Sistem politik Indonesia yang sebelumnya otoriter namun
sekarang mengarah ke demokratis. Di era Reformasi terdapat perubahan yaitu
netralisasi militer dari birokrasi, perubahan kerangka kelembagaan, sistem multi
partai, pemilu yang demokratis, pers yang bebas, upaya menjadikan desentralisasi.
Reformasi pada tahun 1998 membuat berkembangnya budaya politik
partisipan. Rakyat mulai peduli dengan input-input politik, akan tetapi tidak
diimbangi dengan para elit politik karena mereka masih memilih mentalitas-
mentalitas budaya politik sebelumnya. Perkembangan demokrasi belum terserap
dengan maksimal. Kepentingan dan kekuasaan rakyat masih sangat terasa dalam
kehidupan politik, baik dari elit politik , penyelenggara pemerintah maupun
kelompok-kelompok kepentingan.
3.2 Saran
Politik di Indonesia belum berkembang dengan baik, sistem yang di tanam
dalam perpolitikan di Indonesia sudah bagus. Hanya saja, proses pelaksanaan
kerjanya kurang berjalan sesuai dengan sistem yang diterapkan. Seharusnya
pemerintah atau elit-elit politik yang yang merekrut bawahan atau anggota
haruslah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Sehingga dengan
menjalankan standarisasi yang telah ditetapkan akan mengurangi yang namanya
KKN, dan sumber daya manusia yang ada di pemerintahan akan menjalankan
tugasnya dengan baik dan benar.
11
DAFTAR PUSTAKA
12