Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH SURVEILANS KOMUNITAS DAN SKRINING KESEHATAN

Dosen Pengampu : Dr. Ns. Rika Sabri, M.Kep., Sp.Kep.Kom

Anggota Kelompok :

Suci Rahmadini Agusty (1711312044)


Annisa Fauziah (1711312046)
Silvira Yusri (1711313004)
Aldia Yulam Tanjung (1711313006)
Devi Rizky Oktafima Putri (1711313010)
Sri Dewi Fatimah (1711313012)
Putri Indah Permata (1711313014)
Velia Atika Areny (1711313016)
Minda Putri Suyafri (1711313018)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah kami yang
berjudul “Surveilans Komunitas Dan Skrining Kesehatan” sehingga kami dapat
membuat serta menyelesaikan makalah ini. Pada makalah ini kami tampilkan hasil
diskusi kami, kami juga mengambil beberapa kesimpulan dari hasil diskusi yang
kami lakukan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan laporan ini, diantaranya:
1. Yang terhormat Dr. Ns. Rika Sabri, M.Kep., Sp.Kep.Kom selaku dosen mata kuliah
Keperawatan Komunitas
2. Pihak-pihak lain yang ikut membantu dalam pelaksanaan maupun proses
penyelesaian makalah ini.
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan
bagi para pembaca dan dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam proses
pembelajaran. Namun, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan maupun pembahasan dalam laporan ini sehingga belum begitu sempurna.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan tersebut sehingga laporan ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, 25 Februari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................5

1.3 Tujua ...............................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Introduction Surveilans ...............................................................................6

2.2 Jenis Jenis Surveilans ...................................................................................7

2.3 Pendekatan Surveilans ...............................................................................11

2.4 Analisa Surveilance ...................................................................................12

2.5 Skrining Kesehatan ....................................................................................16

2.6 Prinsip Dalam Skrining (Penapisan) ........................................................17

2.7 Jenis Pelaksanaan Skrining .......................................................................19

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ...................................................................................................22

3.2 Saran .............................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................23

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan nasional dapat terlaksana sesuai dengan cita-cita bangsa jika


diselenggarakan oleh manusia yang cerdas dan sehat. Pembangunan kesehatan
merupakan bagian penting dari pembangunan nasional yang pada hakekatnya
merupakan upaya penyelenggaraan kesehatan untuk mencapai kemampuan hidup
sehat bagi setiap penduduk, agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal, sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional.
Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat dipengaruhi oleh tersedianya sumber
daya manusia yang sehat, terampil dan ahli, serta memiliki perencanaan kesehatan
dan pembiayaan terpadu dengan justifikasi kuat dan logis yang didukung oleh data
dan informasi epidemiologi yang valid (Masrochah, 2006).

Surveilans epidemiologi dilaksanakan dengan dua cara yaitu aktif dan pasif.
Surveilans pasif berupa pengumpulan keterangan tentang kejadian penyakit secara
pasif, dengan menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable
diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Sementara surveilans aktif
menggunakan petugas khusus surveilans yang telah ditugaskan yang berasal dari
Institusi kesehatan (Puskesmas atau Dinas Kesehatan) untuk pengumpulan data
kunjungan berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga
medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi
kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus (case finding), dan
konfirmasi laporan kasus indek. Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada
surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk
menjalankan tanggung jawab itu (Noor, 2006).

Data, informasi, dan rekomendasi sebagai hasil kegiatan surveilans


epidemiologi disampaikan kepada pihak-pihak yang dapat melakukan tindakan
penanggulangan penyakit atau upanya peningkatan program kesehatan, pusat-pusat
penelitian dan pusat-pusat kajian serta pertukaran data dalam jejaring surveilans
epidemiologi (Sulistyaningsih, 2011)

3
Dalam beberapa dekade, angka penderitaan kanker leher rahim di negara-
negara maju mengalami penurunan yang tajam. Di Amerika serika,d alam 50 tahun
terakhir, insiden kanker leher rahim turun sekitar 70%. Hal tersebut dimugkinkan
karena adanya program deteksi dini dan tatalaksana yang baik, sebaliknya, di
negara-negara berkembang, angka penderita penyakit ini tidak mengakami
penurunan, bahkan justru meningkatkan populasi yang meningkat (Eaker., 2001)

Screening atau uji tapis adalah usaha mendeteksi atau menemukan pederita
penyakit tertentu yang tanpa gejala atau tidak tampak dalam suatu masyarakat atau
kelompok enduduk tertentu melalui suatu tes atau pemeriksaan secara singkat dan
sederhana untuk dapat memisahkan mereka yang betul-betul sehat terhadap mereka
yang kemungkinan besar menderita(Noor, 2008)

Screening test merupakan suatu tes yang sederhana dan relatif murah yang
di terapkan pada sekelompok populasi tertentu (yang relatif sehat) dan bertujuan
untuk mnedeteksi mereka yang mempunyai kemungkinan cukup tinggi menderita
penyakit yang sedang diamati (disease under study) . sehingga kepada mereka dapat
di lakukan diagnosis lengkap dan selanjutnya bagi mereka yang menderita penyakit
tersebut dapat di berikan pengobatan secara dini (NOOR,2008)

Strategi paling efektif dalam menanggulangi kanker payudara adalah


pencegahan sekunder, yaitu upaya deteksi dini dan pengobatan segera. Penemuan
mammografi adalah terobosan tersebas dalam sejarah penangganan kanker
payudara.mammografi dapat menemukan kanker payudara sebelum timbul keluhan
atau di sebut dengan stadium praklinis. Oleh karena itu screening test merupakan
cara yang paling tepat dalam usaha pencegahan penyakit berbahaya yang terkadang
tanpa menunjukan gejala.

1.2 Rumusan Masalah

1 Apa itu introduction surveilans

4
2 Apa saja jenis-jenis surveilans
3 Bagaimana analisis surveilans
4 Apa itu skrining kesehatan
5 Apa saja prinsip dalam skrining
6 Bagaimana jenis pelaksanaan skrining
7 Apa saja jenis-jenis skrining
8 Apa saja program skrining kesehatan

1.3 Tujuan

1 Menjelaskan apa itu introduction surveilans


2 Menjelaskan apa saja jenis-jenis surveilans
3 Menjelaskan bagaimana analisis surveilans
4 Menjelaskan apa itu skrining kesehatan
5 Menjelaskan apa saja prinsip dalam skrining
6 Menjelaskan bagaimana jenis pelaksanaan skrining
7 Menjelaskan apa saja jenis-jenis skrining
8 Menjelaskan apa saja program skrining kesehatan

BAB II

PEMBAHASAN

5
2.1 . Introduction Surveilans

Menurut WHO, Surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan,


analisis dan interprestasi data secara sistematik dan terus menerus serta
penyebaaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk diambil tindakan.

Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan analisis


data secara terus menerus dan sistematis yang kemudian di diseminasikan
(disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan
penyakit dan masalah kesehatan lainnya (DCP2, 2008). Surveilans memantau terus-
menerus kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi
outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan reservoir.

Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat


keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian
penyakit (Last, 2001). Kadang digunakan istilah surveilans epidemiologi. Baik
surveilans kesehatan masyarakat maupun surveilans epidemiologi hakikatnya sama
saja, sebab menggunakan metode yang sama, dan tujuan epidemiologi adalah untuk
mengendalikan masalah kesehatan masyarakat, sehingga epidemiologi dikenal
sebagai sains inti kesehatan masyarakat (core science of public health).

Surveilans memungkinkan pengambil keputusan untuk memimpin dan


mengelola dengan efektif. Surveilans kesehatan masyarakat memberikan informasi
kewaspadaan dini bagi pengambil keputusan dan manajer tentang masalah-masalah
kesehatan yang perlu diperhatikan pada suatu populasi. Surveilans kesehatan
masyarakat merupakan instrumen penting untuk mencegah outbreak penyakit dan
mengembangkan respons segera ketika penyakit mulai menyebar. Informasi dari
surveilans juga penting bagi kementerian kesehatan, kementerian keuangan, dan
donor, untuk memonitor sejauh mana populasi telah terlayani dengan baik (DCP2,
2008). .

Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans


dilakukan secara terus menerus tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan

6
dilakukan intermiten atau episodik. Dengan mengamati secara terus-menerus dan
sistematis maka perubahan-perubahan kecenderungan penyakit dan faktor yang
mempengaruhinya dapat diamati atau diantisipasi,sehingga dapat dilakukan
langkah-langkah investigasi dan pengendalian penyakit dengan tepat.

2.2 Jenis Jenis Surveilans

1) Surveilans Individu

surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor


individu-individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes,
cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu
memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak, sehingga
penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan
isolasi institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang
yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode
menular. Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit selama masa
inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last, 2001). Isolasi institusional pernah
digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an dan SARS. Dikenal dua jenis
karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina parsial. Karantina total membatasi
kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit menular selama masa
inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang yang tak terpapar. Karantina parsial
membatasi kebebasan gerak kontak secara selektif, berdasarkan perbedaan tingkat
kerawanan dan tingkat bahaya transmisi penyakit.

Contoh, anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit campak,


sedang orang dewasa diperkenankan terus bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan
pada pos tertentu dicutikan, sedang di pospos lainnya tetap bekerja. Dewasa ini
karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan masalah legal, politis,
etika, moral, dan filosofi tentang legitimasi, akseptabilitas, dan efektivitas langkah-
langkah pembatasan tersebut untuk mencapai tujuan kesehatan masyarakat
(Bensimon dan Upshur, 2007).

2) Surveilans Penyakit

7
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-
menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui
pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit
dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit
adalah penyakit, bukan individu. Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit
biasanya didukung melalui program vertikal (pusat-daerah).

Contoh, program surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria.

Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak
sedikit yang tidak terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah
kekurangan biaya. Banyak program surveilans penyakit vertikal yang berlangsung
paralel antara satu penyakit dengan penyakit lainnya, menggunakan fungsi
penunjang masing-masing, mengeluarkan biaya untuk sumberdaya masingmasing,
dan memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan inefisiensi.

3) Surveilans Sindromik

Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan


pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan
masing-masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-
indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum
konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator
individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium,
yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi
laboratorium tentang suatu penyakit.

Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional,


maupun nasional. Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) menerapkan kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap
penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan
berkala praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang
berpartisipasi melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana
(demam dan batuk atau sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang

8
jumlah kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan
jumlah total kasus yang teramati.

Surveilans tersebut berguna untuk memonitor aneka penyakit yang


menyerupai influenza, termasuk flu burung, dan antraks, sehingga dapat
memberikan peringatan dini dan dapat digunakan sebagai instrumen untuk
memonitor krisis yang tengah berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006).
Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari
fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu,
disebut surveilans sentinel.

Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel merupakan cara yang


baik untuk memonitor masalah kesehatan dengan menggunakan sumber daya yang
terbatas (DCP2, 2008; Erme danQuade, 2010).

4) Surveilans Berbasis Laboratorium

Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan


menonitor penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui
makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk
mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan
lebih segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma
dari klinik-klinik (DCP2, 2008).

5) Surveilans Terpadu

Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua


kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota)
sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu menggunakan
struktur, proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan
informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun
pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan data
khusus penyakitpenyakit tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et al., 2006).

Karakteristik pendekatan surveilans terpadu:

1. Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services);

9
2. Menggunakan pendekatan solusi majemuk;

3. Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural;

4. Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan,


pelaporan, analisis data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (yakni,
pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi, manajemen sumber
daya)

5. Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit. Meskipun


menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap memandang penyakit
yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda (WHO, 2002).

6) Surveilans Kesehatan Masyarakat Global

Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia


dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas
negara. Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi negara-negara
berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya
epidemi global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring yang
terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti,
pemerintah, dan organisasi internasional untuk memperhatikan kebutuhan-
kebutuhan surveilans yang melintasi batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit
menular merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit lama yang muncul
kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit yang baru muncul
(newemerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan SARS. Agenda
surveilans global yang komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk
pemangku kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi (Calain, 2006; DCP2,
2008).

2.3 Pendekatan Surveilans

Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis:

(1) Surveilans pasif

(2) Surveilans aktif (Gordis, 2000).

10
Surveilans pasif merupakan penyelenggaraan surveilans epidemiologi
dimana unit surveilans mengumpulkan data dengan cara menerima data tersebut
dari unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.

Kelebihan dari surveilans pasif yaitu relatif murah dan mudah untuk
dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah
penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat
dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional.

Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi


kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan cenderung under-reported, karena
tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kese-hatan formal. Selain itu,
tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktu petugas
terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas
kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan
perlu dibuat sederhana dan ringkas.

Surveilans aktif adalah penyelenggaraan surveilans epidemilogi dimana


unit surveilans mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit pelayanan
kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya. Dengan menggunakan petugas
khusus surveilans untuk kunjungan berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik
pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit,
dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut
penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks.

Kelebihan dari surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab
dilakukan oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan
tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak
lokal.

Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit untuk dilakukan
daripada surveilans pasif.Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas,
disebut community surveilance. Dalam community surveilance, informasi
dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader kesehatan, sehingga memerlukan
pelatihan diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi kasus yang sensitif dapat

11
membantu para kader kesehatan mengenali dan merujuk kasus mungkin (probable
cases) ke fasilitas kesehatan tingkat pertama.Petugas kesehatan di tingkat lebih
tinggi dilatih menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan
konfirmasi laboratorium. Community surveilans mengurangi kemungkinan negatif
palsu (JHU, 2006).

Penyelenggaraan berdasarkan aktifitas pengumpulan data

1) Surveilans aktif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemilogi dimana unit


surveilans mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit pelayanan kesehatan,
masyarakat atau sumber data lainnya.

2) Surveilans pasif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi dimana


unit surveilans mengumpulkan data dengan cara menerima data tersebut dari unit
pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.

2.4 Analisa Surveilance

1. Analisa dan Interpretasi Data Surveilans

Analisis data diperlukan untuk menjamin bahwa sumber data dan proses
pengumpulan data adalah adekuat. Untuk menganalisis data surveilans harus
memperhatikan beberapa hal berikut:
 Apa keistimewaan atau kekhasan data yang didapat?
 Memulai dari data yang paling sederhana ke data yang paling kompleks
 Menyadari bila ketidaktepatan dalam data menghalangi analisis-analisis
yang lebih canggih. Jika ada data yang bias maka data tersebut tidak perlu
digunakan.
 Sifat data surveilans
 Perubahan dari waktu ke waktu
 Beberapa sumber-sumber informasi
 Masalah kualitas dan kelengkapan
 Butuh pengetahuan yang mendalam tentang sistem evaluasi

2. Langkah-langkah dalam Analisis Surveilans:

12
a. Kualitas Data
Langkah pertama dalam menganalisis data surveilans berfokus pada kualitas
data. Ini berbeda dengan proses evaluasi yang memberikan pengetahuan yang
mendalam tentang proses pengumpulan data dan keterbatasan potensi data.
Frekuensi distribusi dari setiap variabel yang melihat, untuk mengidentifikasi nilai-
nilai yang hilang, tarik digit, kesalahan logis seperti tetanus neonatal mempengaruhi
orang dewasa, dan bias yang terkait dengan kurangnya representasi dari data:
 Kasus dalam sistem pengawasan mungkin lebih parah daripada kasus di
masyarakat karena bias pelaporan
 Kasus dari perkotaan mungkin lebih mewakili kasus dari daerah pedesaan
dengan cakupan miskin fasilitas kesehatan
 Sumber tertentu pemberitahuan tidak dapat diwakili, seperti dokter umum,
penyedia layanan kesehatan dari sektor swasta.

b. Analisis Deskriptif
Merupakan bentuk analisis data penelitian untuk menguji generalisasi hasil
penelitian berdasarkan satu sample.
·
c. Analisis Data Menurut Waktu
Analisis ini membandingkan jumlah kasus yang diterima selama interval waktu
tertentu dan membandingkan jumlah kasus selama periode waktu sekarang dengan
jumlah yang dilaporkan selama interval waktu yang sama dalam periode waktu
tertentu.
Data yang diterima dalam sistem surveilans sering disebut sebagai sinyal. Tujuan
dari analisis deskriptif karakteristik waktu adalah untuk menggambarkan trend,
variasi musiman, dan kecelakaan atau wabah potensial dalam residu.
Tanggal onset adalah yang terbaik satu menggambarkan peristiwa kesehatan.
Namun, karena keterlambatan dalam pelaporan, jumlah kasus dengan onset pada
minggu-minggu paling baru selalu akan berada di bawah perkiraan, memberikan
grafis rasa-salah dari tren menurun. Melihat tanggal pemberitahuan tidak
menyampaikan masalah ini. Namun, wabah terdeteksi mungkin terjadi beberapa
minggu lalu, dan dengan demikian data tidak mewakili gambaran yang benar dari

13
penyakit di masyarakat. Namun, sebagian besar waktu lebih baik untuk
menggunakan tanggal pemberitahuan karena akan memungkinkan perbandingan
dengan tahun sebelumnya tanpa mengoreksi penundaan. Epidemiologi sering
hanya mampu mendeteksi wabah pemberitahuan bukan wabah penyakit. Ini
menekankan kebutuhan untuk melaporkan tepat waktu ketika mencari sinyal
peringatan dini, tanpa menunggu konfirmasi jika akan memakan waktu, atau untuk
penyelidikan penuh.

3. Metodologi Pertimbangan Ketika Pengujian untuk hipotesis Waktu:


Data surveilans bukan hasil dari kasus sampling. Hal ini seharusnya mewakili
semua kasus yang terjadi, untuk menjadi lengkap. Dengan demikian, tes statistik
tradisional tidak dapat diterapkan, dan perbedaan dari satu kasus secara teoritis
signifikan.
Namun, data surveilans dapat dilihat sebagai sampel dari waktu ke waktu, di
mana tren penyakit ini menggambarkan kelompok individu. Jenis analisis ini
disebut analisis ekologi.
Unit-unit waktu tidak independen. Musiman dan trend sekuler mempengaruhi
proses analisis. Kasus X acara kesehatan yang terjadi di musim panas tidak dapat
ditafsirkan sebagai kasus X yang terjadi di musim dingin, karena penyakit yang
paling menular dipengaruhi oleh musim. Independensi antara "unit statistik" yang
tidak terpenuhi, tes digunakan pada sampel tidak dapat diterapkan. Analisis data
surveilans membutuhkan metode yang tepat yang menjelaskan waktu dan tempat
ketergantungan.

4. Pengujian Hipotesis untuk Waktu:


Ketika memulai pengujian hipotesis untuk hipotesis waktu, kita harus pastikan
dulu bahwa setiap pengganggu telah dihapus. Jika populasinya tidak stabil, maka
sinyal harus dinyatakan dalam tingkat untuk mewakili dinamika benar penyakit
dalam populasi. Ketika populasi stabil, jumlah dapat digunakan untuk jangka waktu
beberapa tahun.
Akuntansi ketergantungan waktu, yaitu tren dan musim, berarti untuk
menghapusnya sebelum menerapkan uji statistik. Cara termudah adalah dengan

14
membatasi analisis untuk periode sebanding tahun-tahun sebelumnya, dengan
asumsi bahwa tidak ada kecenderungan dalam data. Ini adalah apa yang dilakukan
secara rutin dalam sistem surveilans membandingkan jumlah kasus untuk minggu-
minggu terakhir dengan minggu yang sama dari tahun sebelumnya. Namun, banyak
informasi yang hilang dalam proses. Pemodelan data memungkinkan untuk
menghapus ketergantungan waktu dengan mengurangi kecenderungan linier,
biasanya garis regresi linier, dan menghapus musim dengan mengurangi kurva
sinus.
Hipotesis yang diuji adalah sebagian besar waktu apakah ada kasus yang lebih
dari yang diharapkan, sebagai sinyal untuk wabah sumber titik potensial, atau
apakah tren dari waktu ke waktu berubah, seperti apa yang membuat seseorang
menjadi transmisi orang lain dari penyakit.
a. Analisis Data Menurut Tempat
Yaitu dengan mengetahui tempat pemajan terjadi, bukan tempat laporan
berasal, mengetahui kemungkinan sumber-sumber pencegahan akan menjadi
sasaran yang efektif, menggunakan computer dan perangkat lunak untuk pemetaan
spasial, memungkinkan analisis yang lebih canggih.
Analisis deskriptif karakteristik tempat mengacu pada kasus pemetaan. Jika
jumlah kasus aktual digunakan, peta dot density paling cocok. Namun, tingkat
sering digunakan untuk menjelaskan populasi yang mungkin berbeda di seluruh
wilayah geografis. Peta ini disebut daerah-peta atau peta choropeth. Setiap kali
struktur penduduk mungkin berbeda di seluruh wilayah geografis, harga standar
perlu digunakan untuk membandingkan pola penyakit.
b. Analisis Data Menurut Orang
Analisis ini menggunakan data umur, jenis kelamin, rasa tau entitas,
status perkawinan, pekerjaan, tingkat pendapatan, dan pendidikan. Semua
data dari orang tersebut harus terlengkapi untuk dapat mengetahui sebab
kasus terjadi.

5. Pengujian Hipotesis Terkait Orang:


a. Chi square

15
untuk menguji hubungan atau pengaruh dua buah variabel nominal
dan mengukur kuatnya hubungan antara variabel yang satu dengan variabel
nominal lainnya (C = Coefisien of contingency).
b. Perbandingan berarti
c. koefisien korelasi
adalah nilai yang menunjukkan kekuatan dan arah hubungan linier
antara dua peubah acak (random variable).
2.5 Skrining Kesehatan
1. Pengertian Skrining Kesehatan
Skrining Kesehatan dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
a. Skrining untuk Preventif Primer - Skrining Riwayat Kesehatan
Skrining Riwayat Kesehatan merupakan bentuk deteksi dini untuk
penyakit yang berdampak biaya besar dan menjadi fokus pengendalian
BPJS Kesehatan yaitu Diabetes Melitus Tipe 2 dan Hipertensi.
b. Skrining untuk Preventif Sekunder Selektif (Peserta RISTI penyakit kronis
berdasarkan hasil Skrining Riwayat Kesehatan dan Deteksi Kanker)
Deteksi Kanker merupakan bentuk deteksi dini untuk penyakit
Kanker Leher Rahim pada wanita yang sudah menikah dan Kanker
Payudara.

2. Tujuan Skrining Kesehatan


a. Mendeteksi faktor risiko penyakit kronis dalam rangka mendorong
peserta untuk sadari dini, deteksi dini, dan cegah risiko secara dini
terhadap penyakit kronis.
b. Mendeteksi penyakit Kanker Leher Rahim dan Kanker Payudara pada
peserta yang memiliki faktor risiko tinggi penyakit tersebut secara lebih
dini.

3. Sasaran Skrining Kesehatan


a. Sasaran Skrining Riwayat Kesehatan adalah semua peserta BPJS
Kesehatan yang berusia 30 tahun ke atas.

16
b. Sasaran Deteksi Kanker adalah pada wanita peserta BPJS Kesehatan,
meliputi semua wanita yang pernah menikah dan wanita yang berisiko
yang berusia 30 tahun ke atas
2. 6 Prinsip Dalam Skrining (Penapisan)

Untuk menghasilkan program skrining/penapisan yang bermanfaat bagi


masyarakat luas, harus ada kriteria tertentu dalam memilih penyakit apa yang akan
diskrining/penapisan. Berikut beberapa katrakteristik penyakit yang harus
dipertimbangkan dalam memutuskan kebijkan skrining/penapisan:
1. Jenis penyakit harus termasuk jenis penyakit yang parah, yang relatif umum dan
dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat oleh masyarakat. Pada
umumnya memiliki prevalensi yang tinggi pada tahap pra-klinis. Hal ini
berkaitan dengan biaya relatif dari program skrining/penapisan dan dalam
kaitannya dengan jumlah kasus yang terdeteksi serta nilai prediksi positif.
Pengeluaran yang harus dikeluarkan untuk kegiatan skrining/penapisan harus
selaras dengan mengurangi angka morbiditas dan mortalitas. Namun kriteria ini
menjadi tidak berlaku pada kasus tertentu seperti keganasan/keparahan dari
suatu penyakit. Contohnya skrining/penapisan Fenilketouria atau
Phenylketouria (PKU) pada bayi baru lahir. Fenilketouria adalah gangguan
desakan autosomal genetik yang dikenali dengan kurangnya enzim fenilalanin
hidroksilase (PAH). Enzim ini sangat penting dalam mengubah asam amino
fenilalanina menjadi asam amino tirosina. Jika penderita mengkonsumsi
sumber protein yang mengandung asam amino ini, produk akhirnya akan
terakumulasi di otak, yang mengakibatkan retardasi mental. Meskipun hanya
satu dari 15.000 bayi yang terlahir dengan kondisi ini, karena faktor
kemudahan, murah dan akurat maka skrining/penapisan ini sangat bermanfaat
untuk dilakukan kepada setiap bayi yang baru lahir.
2. Skrining/penapisan harus aman dan dapat diterima oleh masyarakat luas. Dalam
proses skrining/penapisan membutuhkan partisipasi dari masyarakat yang
dinilai cocok untuk menjalani pemeriksaan. Oleh karena itu skrining/penapisan
harus aman dan tidak mempengaruhi kesehatannya.
3. Skrining/penapisan harus akurat dan reliable. Tingkat akurasi menggambarkan
sejauh mana hasil tes sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dari kondisi

17
kesehatan/penyakit yang diukur. Sedangkan reliabilitas biasanya berhubungan
salah satu dengan standardisasi atau kalibrasi peralatan pengujian atau
keterampilan dan keahlian dari orang-orang menginterpretasikan hasil tes.
4. Harus mengerti riwayat alamiah penyakit dengan baik dan percaya bahwa
dengan melakukan skrining/penapisan maka akan menghasilkan kondisi
kesehatan yang jauh lebih baik. Misalnya pada Kanker Prostat, secara biologis
penderita kanker tidak bisa dibedakan, namun kemungkinan banyak pria yang
kanker bisa terdeteksi oleh pemeriksaan ini (PSA Test). Meskipun demiikian,
skrining/penapisan kanker prostat juga berbahaya sehingga umumnya
skrining/penapisan ini tidak dianjurkan, meskipun dapat digunakan.
5. Skrining/penapisan akan sangat bermanfaat jika dilakukan pada saat yang tepat.
Periode antara kemungkinan diagnosis awal dapat dilakukan dan periode
kemunculan gejala merupakan waktu yang sangat tepat (lead time). Namun jika
penyakit berkembang dengan cepat dari tahap pra-klinis ke tahap klinis maka
intervensi awal kurang begitu manfaat, dan akan jauh lebih sulit untuk
mengobati penyakit tersebut.
6. Kebijakan, prosedur dan tingkatan uji harus ditentukan untuk menentukan siapa
yang harus dirujuk untuk pemeriksaan, diagnosis dan tindakan lebih lanjut.
Sistem pelayanan kesehatan dapat mengatasi banyaknya diagnosis dan pengobatan
tambahan karena menemukan penyakit yang umum yang positif palsu. Sebelum
memulai program skrining/penapisan sangat penting untuk menilai infrastruktur
yang dibutuhkan untuk mendukung pelaksanaannya. Fasilitas-fasilitas tersebut
tentu dibutuhkan untuk proses skrining/penapisan tapi, sama pentingnya juga untuk
konfirmasi lanjutan mengenai pengujian dan diagnosis, pengobatan dan tindak
lanjut bagi yang positif. Perkiraan (Nilai Prediktif) sangat dibutuhkan dalam
sebagai kemungkinan pengambilan skrining/penapisan, jumlah total yang hasilnya
positif (termasuk positif palsu), tersangka (berdasarkan prevalens penyakit dan
sensitivitas serta spesifisitas hasil pemeriksaan) dan kemungkinan dampak yang
dihasilkan berupa peningkatan permintaan pelayanan medis.

2. 7 Jenis Pelaksanaan Skrining

Jenis pelaksanaan skrining diantaranya adalah:


18
1. Mass screening adalah skrining secara masal pada masyarakat tertentu.
Skrining yang dilakukan pada seluruh populasi. Misalnya, mass X-ray
survey atau blood pressure skrining pada seluruh masyarakat yang
berkunjung pada pelayanan kesehatan.
2. Selective screening adalah Populasi tertentu menjadi sasaran dari jenis skri
ning ini, dengan target populasi berdasarkan pada risiko tertentu. Tujuan
selective screening pada kelompok berisiko tinggu untuk mengurangi
dampak negative dari skrining. Contohnya, Pap’s smear skrining pada
wanita usia>40 tahun untuk mendeteksi Ca Cervix, atau mammography
skrining yang dilakukan untuk wanita yang punya riwayat keluarga
menderita Ca.
3. Single disease screening adalah skrining yang dilakukan untuk satu jenis
penyakit. Misalnya,
skrining terhadap penderita penyakit TBC, jadi lebih tertuju pada satu
jenis penyakit.
4. Case finding screening adalah upaya dokter atau tenaga kesehatan untuk
menyelidiki suatu kelainan yang tidak berhubungan dnegan kelompok
pasien yang dating untuk kepentingan pemeriksaan kesehatan. Penderita
yang datang dengan keluhan diare kemudian dilakukan pemeriksaan
terhadap mamografi atau rongen torax.
5. Multiphasic screening Pemeriksaan skrining untuk beberapa penyakit pada
satu kunjungan waktu tertentu. Jenis skrining ini sangat sederhana, mudah
dan murah serta diterima secara luas dengan berbagai tujuan seperti pada
evaluasi kesehatan dan asuransi, contoh pemeriksaan IMS; pen yakit sesak
nafas (Harlan. 2006).

Pada sekelompok individu yang tampak sehat dilakukan pemeriksaan (tes)


dan hasil tes dapat positif dan negative. Individu dengan hasil negative pada suatu
saat dapat dilakukan tes ulang, sedangkan pada individu dengan hasil tes positif
dilakukan pemeriksaan diagnostic yang lebih spesifik dan bila positif dilakukan
pengobatan intensif, sedangkan individu dengan hasil tes negative, dapat dilakukan
tes ulang dan seterusnya sampai penderita semua penderita terjaring. Tes skrining
pada umumnya dilakukan secara masal pasa suatu kelompok populasi tertentu

19
diperkirakan mempunyai sifat risiko tinggu pada kelompok populasi tertentu, maka
tes ini dapat pula dilakukan secara selektif (misalnya khusus pada wanita dewasa)
maupun secara random yang sarannya ditunjukan terutama kepada mereka dengan
risiko tinggi. Tes ini dapat dilakukan khusus untuk satu jenis penyakit tertentu,
tetapi dapat pula dilakukan khusus untuk satu jenis penyakit tertentu, tetapi dapat
pula dilakukan secara serentak untuk lebih dari satu penyakit (Noor, 2008).

Uji skrinning terdiri dari dua tahap, tahap pertama melakukan pemeriksaan
terhadap kelompok penduduk yang dianggap mempunyai risiko tinggi menderita
penyakit dan bila hasil tes negative maka dianggap orang tersebut tidak menderita
penyakit. Bila hasil tes positif maka dilakukan pemeriksaan tahap kedua yaitu
pemeriksaan diagnostif yang bila hasilnya positif maka dianggap sakit dan
mendapatkan pengobatan, tetapi bila hasilnya negative maka dianggap tidak sakit
dan tidak memerlukan pengobatan. Bagi hasil pemeriksaaan yangnegatif dilakukan
pemeriksaan ulangsecara periodic. Ini berarti bahwa proses skrinning adalah
pemeriksaan pada tahap pertama.

Pemeriksaan yang biasa digunakan untuk skrining dapat berupa


pemeriksaan laboratorium atau radiologis, misalnya:

a. Pemeriksaan gula darah


b. Pemeriksaan radiologis untuk uji skrining penyakit TBC.

Pemeriksaan diatas harus dapat dilakukan:

1. Dengan cepat tanpa memilah sasaran untuk pemeriksaaan lebih lanjut


(pemeriksaan diagnostic).
2. Tidak mahal
3. Mudah dilakukan oleh petugas kesehatan
4. Tidak membahayakan yang diperiksa maupun yang memeriksa.

(Budiarto dan Aggraeni,2003).

Namun jika dalam pelaksanaannya tidak berpengaruh terhadap perjalanan


penyakit, usia saat terjadinya stadium lanjut penyakit atau kematian tidak akan
berubah, walaupun ada perolehan lead time, yaitu periode dan saat deteksi penyakit

20
(dengan skrining) sampai dengan saat diagnostic seharusnya dibuat jika tidak ada
skrining.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan analisis


data secara terus menerus dan sistematis yang kemudian di diseminasikan
(disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan
penyakit dan masalah kesehatan lainnya (DCP2, 2008). Uji skrinning terdiri dari
dua tahap, tahap pertama melakukan pemeriksaan terhadap kelompok penduduk
yang dianggap mempunyai risiko tinggi menderita penyakit dan bila hasil tes
negative maka dianggap orang tersebut tidak menderita penyakit. Bila hasil tes
positif maka dilakukan pemeriksaan tahap kedua yaitu pemeriksaan diagnostif yang
bila hasilnya positif maka dianggap sakit dan mendapatkan pengobatan, tetapi bila
hasilnya negative maka dianggap tidak sakit dan tidak memerlukan pengobatan.
Bagi hasil pemeriksaaan yangnegatif dilakukan pemeriksaan ulangsecara periodic.
Ini berarti bahwa proses skrinning adalah pemeriksaan pada tahap pertama.

Langkah pertama dalam menganalisis data surveilans berfokus pada kualitas


data. Ini berbeda dengan proses evaluasi yang memberikan pengetahuan yang
mendalam tentang proses pengumpulan data dan keterbatasan potensi data.
Frekuensi distribusi dari setiap variabel yang melihat, untuk mengidentifikasi nilai-
21
nilai yang hilang, tarik digit, kesalahan logis seperti tetanus neonatal mempengaruhi
orang dewasa, dan bias yang terkait dengan kurangnya representasi dari data.

3.2 Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya


penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas
dengan sumber – sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung
jawabkan.

DAFTAR PUSTAKA

Budiarto dan Anggraeni. 2003. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta:


EGC Bustan, M.N.2006. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Najmah. Epidemiologi Untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat. Raja Grafindo:


2015

Gordis, L (2000). Epidemiology. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.

JHU (=Johns Hopkins University) (2006). Disaster epidemiology. Baltimore, MD:


The Johns Hopkins and IFRC Public Health Guide for Emergencies

22

Anda mungkin juga menyukai