Anda di halaman 1dari 17

BAB III

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

HIPOTESIS

3.1. Kajian Pustaka

3.1.1. Overall Equipment Effectiveness

Overall Equipment Effectiveness atau OEE adalah cara terbaik untuk

memantau dan meningkatkan efektivitas proses manufaktur (misalnya mesin, sel

manufaktur, lini perakitan). OEE sederhana dan praktis. Dibutuhkan sumber yang

paling umum dan penting dari kehilangan produktivitas manufaktur,

menempatkan mereka ke dalam tiga kategori utama dan menyederhanakannya

menjadi metrik yang memberikan sebuah pengukur yang sangat baik untuk

mengukur di mana dan bagaimana dapat dilakukan perbaikan. OEE sering

digunakan sebagai metrik kunci dalam TPM (Total Productive Maintenance) dan

program Lean Manufacturing dan memberi cara yang konsisten untuk mengukur

efektivitas TPM dan inisiatif lain dengan menyediakan suatu kerangka

menyeluruh untuk mengukur efisiensi produksi. (Vorne Industries Inc., 2008:4)

3.1.2. Menghitung OEE

Menurut Vorne Industries Inc.(2008:6), nilai atau skor OEE dihitung

dengan mempertimbangkan tiga faktor, yaitu:

22
23

 Availability: memperhitungkan Down Time Loss, yang mencakup setiap

peristiwa yang menyebabkan produksi berhenti untuk jangka waktu yang

cukup (biasanya beberapa menit - cukup lama). Contohnya termasuk

kegagalan peralatan, kekurangan material, dan waktu change over. Waktu

change over termasuk dalam analisis OEE, karena merupakan bentuk

down time. Meskipun tidak mungkin untuk menghilangkan waktu change

over, dalam kebanyakan kasus itu dapat dikurangi. Waktu yang tersedia

tersisa disebut Waktu Operasi (Operating Time).

 Performance: memperhitungkan Speed Loss, yang meliputi faktor-faktor

apa saja yang menyebabkan proses untuk beroperasi berkurang dari

kecepatan maksimum yang mungkin, ketika menjalankannya. Contohnya

termasuk keausan mesin, bahan di bawah standar, salah pasok, dan

inefisiensi operator. Waktu yang tersedia tersisa disebut Waktu Operasi

Bersih (Net Operating Time).

 Quality: memperhitungkan Quality Loss, yang menyumbang produk yang

dihasilkan yang tidak memenuhi standar kualitas, termasuk produk-produk

yang memerlukan pengerjaan ulang. Waktu yang tersisa disebut Waktu

Produktif Sepenuhnya (Fully Productive Time).

Setiap faktor tersebut merepresentasikan perspektif yang berbeda mengenai

seberapa dekat proses manufaktur suatu perusahaan pada keadaan sempurna.

Saat genba ke lantai produksi, masalah umum yang sering dijumpai adalah

peralatan produksi tidak beroperasi dengan baik sehingga mempengaruhi proses


24

lainnya. OEE ini mengukur apakah peralatan produksi tersebut dapat bekerja dengan

normal atau tidak. OEE meng-highlights 6 kerugian utama (the six big losses)

penyebab peralatan produksi tidak beroperasi dengan normal (Denso, 2006:

6-7), yaitu:

1. Breakdown (Down Time Loss), masuk kategori ini bisa berupa tooling

failures, unplanned maintenance, general breakdowns, equipment failures,

dan sejenisnya.

2. Setup and Adjustment (Down Time Loss), yang termasuk kelompok ini di

antaranya setup/ changeover, material shortages, operator shortages,

major adjustment dan warm-up time. Intinya, masalah ini muncul karena

adanya waktu yang hilang saat setup atau changeover.

3. Small Stops (Speed Loss), yang termasuk dalam golongan ini di antaranya

obstructed product flows, component jams, misfeed, sensor blocked,

delivery blocked dan cleaning. Indikator masalah ini adalah berhentinya

mesin tidak lebih dari lima menit dan tidak membutuhkan personel

maintenance.

4. Reduced Speed (Speed Loss), yang termasuk dalam deretan ini di

antaranya adalah rough running, under nameplate capacity, under design

capacity, equipment wear dan operator inefficiency. Penyebab munculnya

masalah ini karena kecepatan proses berada di luar batas toleransi

nameplate capacity.
25

5. Start-up Reject (Quality Loss), yang terdaftar dalam group ini di antaranya

scrap, rework, in-process damage, in-process expiration dan incorrect

assembly. Reject ini biasanya terjadi proses warm-up dan bisa juga karena

disebabkan oleh kekeliruan set-up mesin.

6. Production Rejects (Quality Loss), yakni reject yang terjadi selama proses

produksi.

Tabel 3.1 Six Big Losses dan OEE Loss Category


Six Big Losses OEE Loss Event Example Comment

Category Category

 Tooling Failures
 Unplanned Maintenance There is flexibility on where to set
Breakdown Downtime Loss  General Breakdowns the threshold between a
Breakdown (Down Time Loss) and
 Equipment Failure a Small Stop (Speed Loss).

 Setup/Changeover
Setup and Downtime Loss  Material Shortages
Adjustments This loss is often addressed
 Operator Shortages through setup time reduction
 Major Adjustments programs.
 Warm-Up Time

 Obstructed Product Flow


 Component Jams Typically only includes stops that

Small Stops Speed Loss  Misfeeds


are under five minutes and that do
 Sensor Blocked not require maintenance
 Delivery Blocked personnel.
 Cleaning/Checking

 Rough Running
 Under Nameplate
Capacity Anything that keeps the process
 Under Design Capacity from running at its theoretical
 Equipment Wear maximum speed (a.k.a. Ideal Run
Reduced Speed Speed Loss
Rate or Nameplate Capacity).
 Operator Inefficiency

 Scrap
Startup Rejects Quality Loss  Rework Rejects during warm-up, startup or
 In-Process Damage other early production. May be
 In-Process Expiration due to improper setup, warm-up
 Incorrect Assembly period, etc.

 Scrap
 Rework
Production Quality Loss  In-Process Damage Rejects during steady-state
Rejects production.
 In-Process Expiration
 Incorrect Assembly

(sumber Vorne Industries Inc., 2008:8)


26

3.1.3. Rumus Perhitungan OEE

Vorne Industries Inc. (2008:11) merumuskan perhitungan nilai OEE

sebagai berikut:

a. Availability

Availability = Operating Time / Planned Production Time

b. Performance

Performance = Ideal Cycle Time / (Operating Time / Total Pieces)

c. Quality

Quality = Good Pieces / Total Pieces

d. OEE

OEE = Availability x Performance x Quality

3.1.4. Lean Manufacturing

Lean adalah suatu upaya terus-menerus untuk menghilangkan pemborosan

(waste) dan meningkatkan nilai tambah (value added) produk agar memberikan

nilai kepada pelanggan (customer value). Tujuan lean adalah untuk meningkatkan

terus-menerus customer value melalui peningkatan terus-menerus rasio antara

nilai tambah terhadap waste (the value-to-waste ratio). (Gaspersz, 2007:1)

Implementasi Lean Manufacturing (metode serta tools-nya) dilakukan

secara terus-menerus untuk menciptakan perbaikan pada proses dan inovasi di


27

perusahaan, sehingga perusahaan tersebut melakukan apa yang disebut continuous

improvement (CI) untuk mencapai operational excellence dan customer intimacy.

Tabel 3.2. The Value to Waste Ratio berbagai Perusahaan di Dunia


NO Perusahaan The Value-to-Waste

Ratio

1 Perusahaan-perusahaan Jepang secara umum 50%


2 Toyota Group 57%

3 Perusahaan Terbaik di Amerika Utara 30%

4 Perusahaan Terbaik di Indonesia 10%

(Sumber: Gaspersz, 2007:1)

Suatu perusahaan dapat dianggap lean apabila the value-to-waste ratio telah

mencapai minimum 30%. Apabila perusahaan itu belum lean, perusahaan tersebut

dapat disebut sebagau Un-Lean Enterprise dan dikategorikan sebagai perusahaan

tradisional.

Lean dapat didefinisikan sebagai suatu pendekatan sistemik dan sistematik

untuk mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan (waste) atau aktivitas-

aktivitas yang tidak bernilai tambah melalui peningkatan terus-menerus secara

radikal dengan cara mengalirkan produk (material, work-in-process, output) dan

informasi menggunakan sistem tarik (pull system) dari pelanggan internal dan

eksternal untuk mengejar keunggulan dan kesempurnaan. (Gaspersz, 2007:2)

Lean yang diterapkan pada keseluruhan perusahaan disebut Lean

Enterprise. Lean yang diterapkan pada manufacturing disebut sebagai Lean


28

Manufacturing. Lean yang diterapkan dalam bidang jasa disebut sebagai Lean

Service. (Gaspersz, 2007:2)

Terdapat lima prinsip dasar lean, yaitu:

1. Mengidentifikasi nilai produk berdasarkan perspektif pelanggan, di mana

pelanggan menginginkan produk berkualitas superior dengan harga yang

kompetitif dan penyerahan yang tepat waktu.

2. Mengidentifikasi value stream mapping (pemetaan proses pada value

stream) untuk setiap produk.

3. Menghilangkan pemborosan yang tidak bernilai tambah dari semua

aktivitas sepanjang proses value stream itu.

4. Mengorganisasikan agar material , informasi, dan produk itu mengalir

secara lancar dan efisien sepanjang proses value stream menggunakan

sistem tarik (pull system).

5. Terus-menerus mencari berbagai teknik dan alat peningkatan

(improvement tools and techniques) untuk mencapai keunggulan dan

peningkatan terus-menerus.

3.1.5. Jenis-Jenis Pemborosan (waste)

Menurut Gaspersz (2007) dikenal dua kategori utama pemborosan, yaitu

type one waste dan type two waste. Type one waste adalah aktivitas kerja yang

tidak menciptakan nilai tambah dalam proses transformasi input menjadi output

sepanjang value stream, namun aktivitas tersebut saat ini tidak bisa dihindarkan
29

karena berbagai alasan. Misalnya, aktivitas penyortiran dan inspeksi dari perspektif

lean merupakan aktivitas tidak bernilai tambah sehingga merupakan waste, namun

pada saat sekarang kita masih membutuhkan inspeksi dan penyortiran karena mesin

dan peralatan yang digunakan sudah tua sehingga tingkat keandalannya berkurang.

Dalam jangka panjang type one waste harus dapat dihilangkan atau dikurangi. Type

one waste ini sering disebut sebagai incidental activity atau incidental work yang

termasuk ke dalam aktivitas tidak bernilai tambah (non-value-adding activity)

Type two waste merupakan aktivitas yang tidak menciptakan nilai tambah dan

dapat dihilangkan dengan segera. Misalnya, menghasilkan produk cacat (defect) atau

melakukan kesalahan (error) yang harus dapat dihilangkan dengan segera. Type two

waste ini sering disebut waste saja karena benar-benar merupakan pemborosan yang

harus dapat diidentifikasi dan dihilangkan dengan segera.

Konsep value added activity, incidental (non value added) activity atau type

one waste, dan type two waste (waste) ditunjukkan dalam Gambar 3.1 di bawah ini.

Gambar 3.1. Un-Lean (Traditional) Work Activity


(sumber: Gaspersz, 2007)
30

Dari Gambar 3.1 di atas terlihat bahwa untuk Un-Lean (Traditional) Enterprise

memiliki the value added-to-waste ratio di bawah 30%, di mana dihitung

berdasarkan formula: (value added activity)/(type one waste + type two waste).

(Gaspersz, 2007:8)

Untuk memudahkan mengidentifikasi dan menghilangkan waste (type one

waste dan type two waste), Gaspersz (2007) menciptakan akronim E-

DOWNTIME Waste. Tabel 3.4 menjelaskan jenis-jenis pemborosan yang sering

terjadi di perusahaan manufacture.

Tabel 3.3. Jenis-Jenis Pemborosan (type one waste dan type two waste)
No Akronim Keterangan

E Environmental, Health, and Safety (EHS), jenis pemborosan yang terjadi karena
1 kelalaian dalam memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip
EHS.
2 D Defects, jenis pemborosan yang terjadi karena cacat atau kegagalan produk
3 O Over Production, jenis pemborosan yang terjadi karena produksi melebihi
kuantitas yang dipesan oleh pelanggan.
4 W Waiting, jenis pemborosan yang terjadi karena menunggu.
N Not utilizing employeees knowledge, skills, and abilities, jenis pemborosan sumber
5 daya manusia (SDM) yang terjadi karena tidak menggunakan pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan karyawan secara optimum.
6 T Transportation, jenis pemborosan yang terjadi karena transportasi yang berlebihan
sepanjang proses value stream.
7 I Inventories, jenis pemborosan yang terjadi karena inventory yang berlebihan.
8 M Motions, jenis pemborosan yang terjadi karena pergerakan yang lebih banyak
daripada yang seharusnya sepanjang proses value stream.
9 E Excess processing, jenis pemborosan yang terjadi karena langkah-langkah proses
yang lebih panjang daripada yang seharusnya sepanjang proses value stream.
(sumber : Gaspersz, 2007:20-21)

3.1.6. Diagram Pareto (Pareto Chart)

Pareto Chart adalah salah satu jenis chart yang terdiri dari grafik balok dan

juga garis. Penamaannya sendiri diambil dari nama orang yang menemukannya yaitu

Vilfredo Pareto. Pada chart ini, value individu direpresentasikan oleh balok
31

dalam urutan yang menurun dan jumlah total kumulatif direpresentasikan oleh

garis. (Suwandi, 2014)

Gambar 3.2. Pareto Chart of Late Arrivals by Reported Cause


(sumber: Suwandi, 2014)

Sumbu vertical yang ada di sebelah kiri adalah frecuency of occurrence, tetapi hal

ini dapat merepresentasikan cost atau unit pengukuran lainnya yang cukup

penting. Sedangkan sumbu vertical yang terdapat pada sebelah kanan adalah

persentase kumulatif dari jumlah total occurrences, total cost, atau jumlah total

dari suatu unit yang diukur. Karena alasan-alasan tersebut disusun dalam urutan

yang menurun, maka fungsi kumulatifnya adalah fungsi concave atau parabolik

cekung. Jika melihat contoh yang ada pada gambar, untuk mengurangi jumlah

dari kedatangan yang terlambat sebanyak 80%, maka kita cukup menyelesaikan

tiga masalah pertama.

Tujuan dari pareto chart adalah untuk memperjelas faktor yang paling

penting (atau yang paling besar) dari beberapa faktor yang ada. Dalam quality
32

control, hal ini sering kali merepresentasikan sumber defect yang paling sering

ditemui, jenis defect yang paling sering muncul, ataupun alasan-alasan yang

paling sering muncul saat terdapat complain dari konsumen, dan banyak lagi hal

lain yang sejenis. Wilkinson pada tahun 2006 merancang sebuah algoritma untuk

memproduksi batas yang masih dapat ditolerasi (acceptable limit) berdasarkan

ilmu statistik untuk masing-masing balok pada pareto chart. Hal ini memiliki

kesamaan juga dengan confidence interval.

Pareto chart dapat dibuat dengan program spreadsheet sederhana seperti

OpenOffice Calc, Microsoft Excel, dan software tool yang khusus untuk statistik

yang bekerja sebaik onile quality chart generator. Pareto chart juga termasuk ke

dalam tujuh tools dasar dari quality control.

3.1.7. Fish Bone Diagram (Ishikawa Diagram)

Ishikawa diagram atau yang biasa disebut juga dengan diagram tulang

ikan (fish bone diagram), herringbone diagram, cause and effect diagram,

maupun fishikawa ini adalah sebuah causal diagram yang menunjukan causes

dari suatu event atau kejadian tertentu. Ishikawa diagram yang ditemukan oleh Dr.

Kaoru Ishikawa pada tahun 1990 ini adalah salah satu tools yang digunakan

dalam melakukan Root Cause Analysis (RCA). (Goetsch dan Davis, 2000:459)

Menurut Goetsch dan Davis, Causes (penyebab) yang dipilih dalam

membuat diagram ini telah dikategorikan menjadi beberapa bagian yaitu :

 Man, mencakup siapa saja yang terlibat dalam proses.


33

 Methods, bagaimana proses dijalankan dan specific requirements apa yang

dibutuhkan dalam melakukan suatu proses tersebut.

 Machines, mencakup segala equipment, komputer, tools, dan lain-lain.

yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan.

 Materials, mencakup bahan baku, parts, pulpen, kertas, dan lain-lain yang

digunakan untuk memproduksi barang atau jasa.

 Measurements, berupa data yang dihasilkan dari proses yang digunakan

untuk mengevaluasi kualitas dari proses itu sendiri.

 Environment, mencakup kondisi sekitar seperti lokasi, waktu, temperature,

dan budaya di tempat berjalannya proses.

Langkah-langkah untuk membuat diagram ishikawa adalah sebagai berikut:

Langkah 1

Tuliskan effect yang akan diinvestigai dan gambarkan sebuah panah ‘tulang ikan’

menuju tulisan tersebut.

Langkah 2

Identifikasi segala area yang memungkinkan terjadinya causes

Langkah 3

Tuliskan segala detail kemungkinan untuk setiap area atau causes utama yang

telah Anda buat. Pastikan segala penyebab baik kecil maupun besar tercatat agar

tercipta diagram yang baik dan faktual.


34

Jika sudah selesai, akan didapatkan sebuah diagram yang merepresentasikan

sebuah ‘mind dump’ dari segala faktor yang terhubung dengan effect yang akan

dianalisis beserta hubungan antara causes dan effect. Selanjutnya akan lebih

mudah dalam mencari solusi dari masalah yang ada, salah satunya dengan

menggunakan Root Cause Analysis.

Gambar 3.3. Causes vs Effect Diagram (Ishikawa Diagram)


(sumber: Goetsch dan Davis, 2000)

3.1.8. Kaizen Approach

Kaizen berasal dari bahasa Jepang, terdiri atas Kai yang berarti berubah

dan Zen yang berarti baik. Kaizen diartikan membuat perubahan lebih baik secara

terus-menerus dan tanpa akhir. (Goetsch dan Davis, 2000:620).

Filosofi kaizen berasumsi bahwa jalan hidup kita, baik itu kehidupan kerja

kita, kehidupan sosial kita, atau kehidupan rumah kita harus fokus pada usaha-

usaha perbaikan yang konstan. Konsep ini sangat natural dan jelas bagi bangsa

Jepang di mana mereka bahkan tidak menyadari bahwa mereka mempunyai

konsep tersebut. Menurut pendapat saya (Imai, M) kaizen telah berkontribusi

besar terhadap kesuksesan negara Jepang di dunia. (Imai, 2012:1-2)


35

3.2. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang Overall Equipment Effectiveness sudah banyak

dilakukan baik oleh praktisi industri maupun akademisi. Di antaranya adalah:

a. Samad dan kawan-kawan dalam jurnal yang berjudul Analysis of

Performance by Overall Equipment Effectiveness of the CNC Cutting

Section of a Shipyard menyimpulkan bahwa nilai OEE di CNC Cutting di

perusahaan Western Marine Shipyard Ltd. adalah sebesar 35,01%.

Beberapa rekomendasi diusulkan untuk meningkatkan efisiensi mesin

CNC Cutting dengan mengeliminasi downtime, speed loss, dan quality

loss. (Samad et. al, 2012)

b. Menurut Binoy Boban dan Jenson Joseph dalam jurnal yang berjudul

Enhancing Overall Equipment Effectiveness for a Manufacturing Firm

through Total Productive Maintenance menyatakan bahwa perbandingan

nilai OEE sebelum dan sesudah dilakukan TPM cukup signifikan

peningkatan performancenya.

c. Kumary dan kawan-kawan dalam jurnal yang berjudul Implementing the

Lean Sigma framework in an Indian SME: a Case Study menyimpulkan

implementasi Lean Tools yang terintegrasi (Current State Map, 5S system,

dan TPM) secara dramatis bisa meningkatkan defect per unit (DPU),

process capability index, mean and standard deviation of casting density,

yield, dan OEE.

d. Menurut Vijayakumar, S. R. dan Gajendran, S. dalam jurnal yang berjudul

Improvement of Overall Equipment Effectiveness (OEE) in Injection


36

Moulding Process Industry menyatakan bahwa nilai OEE di proses

injection moulding meningkat dari 61% menjadi 81% melalui

implementasi availability, utilisasi sumber daya, produk berkualitas tinggi,

dan juga meningkatkan moral dan kepercayaan diri pekerja.

e. Menurut Wudhikarn, Ratapol dalam jurnal yang berjudul A Framework for

Integrating Overall Equipment Effectiveness with Analytic Network

Process Method menyatakan OEE adalah metode perbandingan yang

kurang cocok karena tiap-tiap elemen dalam OEE (Availability rate,

performance rate, dan quality rate) diukur dengan bobot yang sama,

padahal loss yang terjadi di tiap elemen sangat berbeda dan loss yang

terjadi juga saling terkait antar elemen, sehingga ketidaksesuaian ini

memungkinkan menyebabkan keputusan yang diambil tidak tepat.

Penelitian ini mempiliki tujuan untuk mengusulkan metode kuantifikasi

yang baru yaitu dengan mengimplementasikan Analytic Network Process

(ANP) dengan OEE untuk meningkatkan kelemahan dari OEE lama dan

perhitungan lain yang diadaptasi.

f. Puvanasvaran dan kawan-kawan dalam jurnal yang berjudul Consideration of

Demand Rate in Overall Equipment Effectiveness (OEE) on Equipment

with Constant Process Time menemukan ada dua dimensi, yang pertama

bahwa utilisasi yang tinggi dari mesin tanpa melihat tingkat permintaan

pelanggan akan berhadapan dengan biaya inventory handling yang tinggi. Hal

ini terkadang akan menyebabkan over production khususnya selama periode

low customer demand. Dimensi yang kedua,


37

implementasi OEE mengalami kesulitan dalam mendapatkan ideal cycle

time, khusunya peralatan-peralatan dengan process time yang konstan.

Paper ini selanjutnya mengajukan solusi dengan definisi dari performance

ratio dan menggunakan definisi itu di dalam mengukur utilisasi mesin dari

waktu ke waktu. Waktu yang tersedia untuk produksi dihitung berdasarkan

availability dari OEE, di mana kemudian digunakan untuk mendapatkan

takt time.

g. Menurut Zandieh dan kawan-kawan dalam jurnal yang berjudul

Evaluation of Overall Equipment Effectiveness in a Continuous Process

Production System of Condensate Stabilization Plant in Assalooyeh

menyimpulkan meskipun nilai OEE tidak berada pada world class level,

tetapi jika dicoba untuk melakukan improvement secara terus-menerus,

performance perusahaan bisa diterima.

h. Menurut Hegde dan kawan-kawan dalam jurnal yang berjudul Overall

Equipment Effectiveness Improvement by TPM and 5S Techniques in a

CNC Machine Shop menyatakan setelah dilakukan pendekatan TPM

memperlihatkan ada kenaikan nilai OEE di CNC Machine Shop dari 43%

menjadi 72% dan total cost saving sekitar Rs 453.600 per tahun.

i. Atkinson, William dalam jurnal yang berjudul Overall Equipment

Effectiveness: an Old Metric Offers New Ways of Boosting Performance

menyatakan nilai OEE yang bagus biasanya menandakan perusahaan

mempunyai data statistik yang positif termasuk reduced equipment


38

downtime, efisiensi pekerja yang meningkat, kualitas produk lebih tinggi,

dan biaya produksi yang rendah.

j. Schonberger dalam jurnal yang berjudul Overall Equipment

Effectiveness: An Unworthy Metric menyatakan bahwa OEE tidak layak

dan membingungkan untuk digunakan sebagai alat untuk mengukur

kinerja di dalam manajemen perawatan. Lean membutuhkan peralatan

yang berfungsi dengan baik dikarenakan target lean adalah response yang

cepat terhadap kebutuhan pelanggan di mana tidak mentolerir

keterlambatan waktu karena mesin rusak dan tidak berfungsi. Lean tidak

membutuhkan OEE karena itu akan mengganggu.

3.3. Kerangka Berfikir

Gambar 3.4. Kerangka Berpikir

Anda mungkin juga menyukai