Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan cara
menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja sadar,
tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada
hubungannya dengan kesehatan. Penyuluhan kesehatan adalah gabungan berbagai
kegiatan dan kesempatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai
suatu keadaan, dimana individu, keluarga, kelompok atau masyarakat secara
keseluruhan ingin hidup sehat, tahu bagaimana caranya dan melakukan apa yang bisa
dilakukan, secara perseorangan maupun secara kelompok dan meminta pertolongan
(Effendy, 1998).
Pendidikan kesehatan adalah suatu proses perubahan pada diri seseorang yang
dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan individu, dan masyarakat .
Pendidikan kesehatan tidak dapat diberikan kepada seseorang oleh orang lain, bukan
seperangkat prosedur yang harus dilaksanakan atau suatu produk yang harus dicapai,
tetapi sesungguhnya merupakan suatu proses perkembangan yang berubah secara
dinamis, yang didalamnya seseorang menerima atau menolak informasi, sikap, maupun
praktek baru, yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat (Suliha, dkk., 2002).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan pendidikan kesehatan dan penyuluhan kesehatan?
2. Apa perbedaan pendidikan dan penyuluhan kesehatan?
3. Apa prinsip pendidikan dan penyuluhan kesehatan?
4. Bagaimana ruang lingkup pendidikan kesehatan?
5. Sebutkan metode dalam pendidikan kesehatan?
6. Apa saja alat bantu atau media?
7. Bagaimana prilaku kesehatan?
8. Apa saja domain prilaku kesehatan?
9. Bagaimana perubahan prilaku dalam pendidikan kesehatan?
10. Bagaimana bentuk prilaku dalam pendidikan kesehatan?
11. Bagaimana study kasus dalam pendidikan kesehatan?

1
1.3 Tujuan
1. Dapat menjelaskan pengertian pendidikan kesehatan.
2. Dapat menjelaskan pengertian penyuluhanan kesehatan.
3. Dapat menyebutkan perbedaan pendidikan dan penyuluhan kesehatan.
4. Dapat menyebutkan prinsip pendidikan dan penyuluhan kesehatan.
5. Mengetahui ruang lingkup pendidikan kesehatan.
6. Mengetahui metode pendidikan kesehatan.
7. Mengetahui alat bantu atau media dalam pendidikan kesehatan.
8. Menjelaskan prilaku kesehatan.
9. Mengetahui domain prilaku kesehatan
10. Menyebutkan perubahan prilaku.
11. Menyebutkan bentuk prilaku.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi pendidikan kesehatan & Penyuluhan kesehatan


a. Definisi pendidikan kesehatan
Pendidikan pada dasarnya adalah segala upaya yan terencana untuk mempengaruhi,
memberikan perlindungan dan bantuan sehingga peserta memiliki kemampuan
untuk berperilaku sesuai harapan. Pendidikan dapat dikatakan juga sebagai proses
pendewasaan pribadi. Selain itu, pendidikan merupakan proses bimbingan dan
tuntutan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dan tampak adanya perubahan-
perubahan dalam diri peserta didik.

Pendidikan adalah sebuah proses perencanaan yang sistematis dan digunakan secara
sengaja untuk memberikan pengaruh terhadap perilaku melalui suatu proses
perubahan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan. Pendidikan adalah suatu proses
pencapaian tujuan, artinya pengertian tersebut mencakup bahwa pendidikan beruapa
serangkaian kegiatan yang bermula dari kondisi-kondisi aktual dari individu yang
belajar, tertuju pada pencapaian individu yang diharapkan.
(Sumber: Triwibowo & Pusphandani. 2015. Pengantar Dasar Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.)

Pendidikan kesehatan merupakan suatu proses perubahan perilaku yang dinamis,


dengan tujuan mengubah perilaku manusia yang meliputi komponen pengetahuan,
sikap, ataupun perbuatan yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat baik secara
individu, kelompok, maupun masyarakat, serta menggunakan fasilitas pelayanan
kesehatan yang ada dengan tepat dan sesuai.

Pendidikan kesehatan adalah alat yang digunakan untuk memberi penerangan yang
baik kepada masyarakat, sehingga masyarakat mampu mengenal kebutuhan
kesehatan dirinya. keluarga, dan kelompok dalam meningkatkan kesehatannya.
Pendidikan kesehatan dapat pula diartikan sebagai penambahan pengetahuan dan
kemampuan seseorang melalui teknik praktik belajar atau instruksi.
(Sumber: Triwibowo & Pusphandani. 2015. Pengantar Dasar Ilmu Kesehatan
Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.)

3
Pendidikan kesehatan merupakan sekumpulan pengalaman yang bermanfaat dalam
mempengaruhi perilaku kesehatan. Selanjutnya, pendidikan kesehatan merupakan
suatu proses yang lebih dari sekedar penyampaian fakta, kebutuhan yang
melibatkan peserta dalam proses jauh yang lebih besar.
Secara konsep pendidikan kesehatan adalah upaya untuk mempengaruhi, dan atau
mengajak orang lain, baik individu, kelompok, atau masyarakat, agar melaksanakan
perilaku hidup sehat. Sedangkan, secara operasional, pendidikan kesehatan adalah
semua kegiatan untuk memberikan dan atau meningkatkan pengetahuan, sikap, dan
praktik masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri.

Dalam hal pendidikan kesehatan, didalamnya mencakup dimensi dan kegiatan-


kegiatan intelektual, psikologi, dan sosial yang diperlukan untuk meningkatkan
kemampuan individu dalam mengambil keputusan secara sadar dan yang
mempengaruhi kesejahteraan diri, keluarga, dan masyarakat. Proses ini didasarkan
pada prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang memberi kemudahan untuk belajar dan
perubahan perilaku, baik bagi tenaga kesehatan maupun bagi pemakai jasa
pelayanan, termasuk anak-anak dan remaja.

Pendidikan kesehatan pada dasarnya merupakan upaya-upaya terencana untuk


mengubah perilaku individu, kelompok, keluarga, dan masyarakat. Hal tersebut
juga menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan membutuhkan pemahaman yang
mendalam karena melibatkan berbagai istilah atau konsep seperti perubahan
perilaku dan proses pendidikan. (Sumber: Triwibowo & Pusphandani. 2015.
Pengantar Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.)

Kesimpulannya adalah pendidikan kesehatan adalah proses membuat orang mampu


meningkatkan kontrol dan memperbaiki kesehatan individu. Kesempatan yang
direncanakan untuk individu, kelompok atau masyarakat agar belajar tentang
kesehatan dan melakukan perubahan-peubahan secara suka rela dalam tingkah laku
individu.

4
b. Definisi Penyuluhan Kesehatan
Penyuluhan diartikan sebagai prosek pendidikan atau proses perubahan perilaku
melalui kegiatan belajar. Dengan kata lain, proses belajar merupakan kata kunci
dari kegiatan penyuluhan. Penyuluhan tanpa melalui proses belajar, bukanlah
penyuluhan. Sejak manusia dilahirkan ke dunia hingga meninggalnya selalu
melakukan kegiatan belajar. Kegiatan belajar tersebut, dilakukan baik dengan
sengaja (mengikuti program pendidikan sekolah, kursus, dll) maupun tidak
sengaja, yang diperolehnya dari pengamatan, percakapan, diskusi, tukar pikiran,
dll.

Dari proses belajar tersebut, mereka memperoleh pengalaman berupa hasil belajar,
yang seringkali bermanfaat atau dapat dimanfaatkan dalam kehidupannya.
Amien (2005) secara sederhana menyatakan bahwa, hakekat pendidikan adalah
untuk meningkatkan kemampuan manusia agar dapat mempertahankan atau
bahkan memperbaiki mutu keberadaannya agar menjadi semakin baik. Pada tataran
filosofis, proses belajar merupakan upaya pembangunan manusia seutuhnya atau
untuk memanusiakan manusia. Upaya tersebut diwujudkan dalam bentuk untuk
menggali dan mengembangkan keunggulan-keunggulan manusia (yang belajar),
baik sebagai individu maupun sebagai (anggota) komunitas.

Berkaitan dengan kegiatan belajar tersebut, Kibler, et al (1981) mengemukakan


adanya 5 (lima) alasan orang untuk mengikuti kegiatan belajar, yaitu:
1. Hanya sekadar ingin tahu
2. Pemenuhan kebutuhan jangka pendek, yang hanya dapat dipenuhi oleh hasil
belajarnya
3. Pemenuhan kebutuhan jangka panjang, yang hanya dapat dipenuhi oleh hasil
belajarnya
4. Pemenuhan kebutuhan jangka pendek, yang tidak berkaitan langsung dengan
hasil belajarnya
5. Pemenuhan kebutuhan jangka panjang, yang tidak berkaitan langsung dengan
hasil belajarnya.

(Sumber: Waryana. 2016. Promosi kesehatan, penyuluhan, dan pemberdayaan


masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.)

5
Oleh sebab itu, tujuan sesorang untuk mengikuti pendidikan, memang selalu
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan (terutama kebutuhan jangka pendek) yang
hanya dapat dipenuhi oleh hasil belajarnya. Sehingga, proses belajar yang
dilakukan oleh individu yang bersangkutan, akan memberikan hasil yang lebih baik
dibanding dengan mereka yang hanya sekadar ingin tahu atau memiliki tujuan yang
tidak berkaitan langsung dengan hasil belajarnya. Berbeda dengan pendapat
tersebut, Darkenwaldt (1984) juga menyatakan adanya lima macam motivasi yang
mendorong seseorang untuk mengikuti program pendidikan, yaitu:

1. Pelarian diri dari keadaan rutin atau yang membuatnya frustasi.


2. Peningkatan profesionalisme, yaitu kebutuhan hasilbelajar yang akan
berpengaruh terhadap pengembangan keahlian, karir dan penghasilannya.
3. Tuntutan perbaikan kesejahteraan sosial, baik dalam pengertian ekonomi
maupun non ekonomi.
4. Minat kognitif atau keinginan belajar untuk menambah pengetahuan.
5. Berbagai alasan yang dirasakan sebagai tekanan atau paksaan dari luar

(Sumber: Waryana. 2016. Promosi kesehatan, penyuluhan, dan pemberdayaan


masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.)

Sedang Singh dan Pal (Dahama dan Bhatnagar, 1980) berhasil mengungkapkan
beragam motif keikutsertaan seseorang dalam kegiatan pendidikan yang
mencakup:

1. Sifat keinovatifan atau keinginan untuk menggali/mencari, menemukan atau


menerapkan ide-ide beru maupun yang bersifat petualangan.
2. Keinginan untuk bergabung atau agar dapat diterima oleh warga masyarakat di
lingkungannya.
3. Ingin memperoleh jabatan dan atau kekuasaan.
4. Perbaikan kesejahteraan (pengetahuan dan ekonomi) bagi dirinya sendiri
maupun demi keluarganya.
5. Melepaskan diri dari beban (hutang, dll) yang dirasakan.
6. Kebutuhan untuk memperoleh jaminan hari tua yang lebih baik.
7. Rasa tanggungjawabnya, baik kepada dirinya sendiri, keluarganya, maupun
masyarakatnya yang berkaitan dengan program-program nasional.

6
8. Keinginan berprestasi atau meningkatkan prestasi atas hasil-hasil yang telah
dicapainya.
9. Kebutuhan aktualisasi diri, untuk menjadi lebih baik atau terbaik dari orang
lain di lingkungannya.

(Sumber: Waryana. 2016. Promosi kesehatan, penyuluhan, dan pemberdayaan


masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.)

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan seseorang untuk belajar
ternyata sangat beragam, yaitu:

1. Sebagai jawaban terhadap panggilan hidupnya, untuk melakukan kegiatan


belajar seumur hidup, guna mempertahankan dan memperbaiki kehidupannya
2. Untuk menambah pengetahuan, baik sebagai petualangan (sekadar tahu)
maupun untuk dimanfaatkan bagi kehidupan. baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang.
3. Sebagai kesadaran untuk berafiliasi atau bergabung dengan sesamanya., dan
tujuan-tujuan sosial yang lain.
4. Sebagai rasa tanggungjawabnya sebagai warga masyarakat, yang harus
berpartisispasi dalam upaya perbaikan kehidupan msyarakatnya.
5. Untuk mencapai prestasi tertentu bagi pengembangan keahlian, karir dan
penghasilan.
6. Untuk memperoleh penghargaan dari lingkungannya atau setidak-tidaknya
diakui sebagai anggota system sosialnya
7. Sebagai aktualisasi dari keberadaannya.

(Sumber: Waryana. 2016. Promosi kesehatan, penyuluhan, dan pemberdayaan


masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.)

Kesimpulannya penyuluhan kesehatan yaitu suatu kegiatan atau usaha untuk


menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau individu.
Dengan harapan bahwa dengan adanya pesan tersebut atau individu dapat
memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik. Akhirnya
pengetahuan tersebut diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilakunya. Dengan
kata lain, dengan adanya pendidikan tersebut dapat membawa akibat terhadap

7
perubahan perilaku sasaran. Penyuluhan kesehatan juga suatu proses, dimana
proses tersebut mempunyai masukan (input) dan keluaran (output)

2.2 Perbedaan Pendidikan dan Penyuluhan Kesehatan

No Penyuluhan Kesehatan Pendidikan Kesehatan


Harus dilakukan oleh tenaga Dapat dilakukan oleh siapa saja yang
1
kesehatan. mengerti tentang kesehatan.
Dilakukan dalam asuhan
2 Tidak harus dalam asuhan kebidanan
kebidanan
Dalam pelaksanaan diberikan di Dapat dilaksanakan hanya di depan
3
depan kelompok atau masyarakat. individu (satu orang)
4 Bersifat umum Dapat bersifat umum dan pribadi

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta:
Rineka Cipta.)
Kesimpulannya adalah penyuluhan kesehatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan sedangkan pendidikan kesehatan dapat dilakukan oelh siapapun yang
mengerti tentang kesehatan.
(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta:
Rineka Cipta.)

2.3 Prinsip pendidikan dan penyuluhan kesehatan


a. Prinsip pendidikan kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan dalam memberikan pendidikan di
dalam bidang kesehatan. Dan merupakan suatu kegiatan untuk membantu individu,
kelompok, atau masyarakat dalam meningkatkan kemampuan atau perilakunya,
untuk mencapai kesehatan secara optimal. Ada beberapa prinsip dalam pendidikan
kesehatan yang perlu dipahami yaitu:
1. Pendidikan kesehatan bukan hanya pelajaran di kelas, tetapi merupakan
kumpulan pengalaman dimana saja dan kapan saja sepanjang dapat
mempengaruhi pengetahuan sikap dan kebiasaan sasaran pendidikan.
2. Pendidikan kesehatan tidak dapat secara mudah diberikan oleh seseorang
kepada orang lain, karena pada akhirnya sasaran pendidikan itu sendiri yang
dapat mengubah kebiasaan dan tingkah lakunya sendiri.

8
3. Bahwa yang harus dilakukan oleh pendidik adalah menciptakan sasaran agar
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat dapat mengubah sikap dan
tingkah lakunya sendiri.
4. Pendidikan kesehatan dikatakan berhasil bila sasaran pendidikan (individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat) sudah mengubah sikap dan tingkah
lakunya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

(Sumber: Triwibowo & Pusphandani. 2015. Pengantar Dasar Ilmu Kesehatan


Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.)

Semua petugas kesehatan telah mengakui bahwa pendidikan kesehatan itu penting
untuk menunjang program-program kesehatan yang lain. Akan tetapi pengakuan
mi tidak didukung oleh kenyataannya. Artinya, dalam program-program pelayanan
kesehatan kurang melibatkan pendidikan kesehatan. Meskipun program itu telah
melibatkan, pendidikan kesehatan, tetapi kurang memberikan bobot. Argumentasi
mereka adalah karena pendidikan kesehatan itu tidak segera dan jelas
memperlihatkan hasil.

Dengan kata lain, pendidikan kesehatan itu tidak segera membawa manfaat bagi
masyarakat dan tidak mudah dilihat atau diukur. Hal ini memang benar karena
pendidikan merupakan 'behavioral investmen' jangka panjang. hasil investasi
pendidikan kesehatan baru dapat dilihat beberapa tahun kemudian. Dalam waktu
yang pendek (immediate impact) pendidikan kesehatan hanya menghasilkan
perubahan ataupeningkatan pengetahuan masyarakat. Sedangkan peningkatan
pengetahuan saja belum akan berpengaruh langsung terhadap indikator kesehatan.

Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka


menengah (intermediate impact) dari Pendidikan kesehatan. Selanjutnya perilaku
kesehatan akan berpengaruh pada meningkatnya indikator kesehatan masyarakat
Sebagai keluaran (outcome) pendidikan kesehatan. Hal ini berbeda dengan
program kesehatan yang lain, terutama program pengobatan yang dpat langsung
memberikan hasil (immediate impact) terhadap penurunan angka kesakitan.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.


Jakarta: Rineka Cipta.)

9
Kesimpulannya adalah pendidikan dan penyuluhan kesehatan bukan hanya
pelajaran di kelas atau di tempat pelayanan kesehatan, tetapi merupakan kumpulan
pengalaman dimana saja dan kapan saja sepanjang dapat mempengaruhi
pengetahuan sikap dan kebiasaan sasaran pendidikan, pendidikan dan penyuluhan
kesehatan tidak dapat secara mudah diberikan oleh seseorang kepada orang lain,
karena pada akhirnya sasaran pendidikan itu sendiri yang dapat mengubah
kebiasaan dan tingkah lakunya sendiri.

b. Prinsip Penyuluhan
Kegiatan belajar memalui penyuluhan yang dilakukan oleh seseorang tidak
mungkin diwakilkan, tetapi harus dilakukan sendiri. Jika tidak, maka hasil belajar
yang berupa pengalaman belajar yang diperoleh, pasti tidak sebaik dibanding
dengan mereka yang benar-benar aktif mengikuti proses belajar Berdasarkan dari
pemahaman tersebut maka setiap kegiatan belajar harus memperhatikan pronsip-
prinsip belajar, yaitu:
1. Prinsip Latihan (practice)
Prinsip Latihan (practice) yaitu proses belajar yang dibarengi dengan latihan),
atau aktivitas fisik untuk lebih merangsang kegiatan anggota badan (kaki,
tangan, dll). Atau belajar sambil melakukan kegiatan yang dialami sendiri oleh
warga belajar. Prinsip latihan, dilandasi oleh pemahaman bahwa hasil belajar
akan semakin baik manakala warga belajar memiliki pengalaman praktek,
lebih-lebih jika kegiatan itu dilakukan secara berulang-ulang repetition) yang
mengendap di dalam pikerannya (retensi) yang semakin banyak. Meskipun
demikian, harus pula diingat bahwa kegiatan latihan dan pengulangan kegiatan
itu jangan sampai berlebihan sehingga menimbulkan kejenuhan (over learning)
yang justru akan dapat menurunkan mutu hasil belajar yang dicapai.
(Sumber: Waryana. 2016. Promosi kesehatan, penyuluhan, dan pemberdayaan
masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.)

2. Prinsip menghubung-hubungkan (association)


Prinsip menghubung-hubungkan (association) yaitu proses belajar dengan cara
menghubung-hubungkan perilaku lama (terutama sikap dan pengetahuan atau
perasaan dan pikiran) dengan stimulus-stimulus baru. Dalam proses belajar
seperti ini, stimulus (baru) yang memiliki kemiripan dan kaitan erat
(berurutan) dengan perilaku dan telah dimiliki, akan semakin mudah diterima

10
dan dipahami. Sebaliknya, stimulus yang tidak memiliki kaitan atau bahkan
bertentangan dengan pengalaman yang telah dimiliki akan semakin sulit
dipahami dan diterima. Karena itu, selama proses belajar, pengajar atau pelatih
harus mampu membantu proses belajar dari warga belajarnya dengan
memberikan contoh-contoh (stimulus) yang memiliki kemiripan dengan
pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki sasaran didiknya, atau
menyampaikan materi ajarannya dengan memperhatikan urut. an atau
sistematika yang baik.

3. Prinsip akibat (effect)


Seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu, setiap peserta. didik pasti
memiliki tujuan (kebutuhan, keinginan, kemauan , atau harapan-harapan) yang
bermanfaat yang ingin dicapai/ diperoleh melaluiproses belajarnya. Karenaitu,
hasil belajar ya ng diharapkan melalui suatu kegiatan penyuluhan akan
semakin baik manakala proses belajar itu akan memberikan sesuatu yang
bermanfaat bagi warga belajarnya, atau memberikan sesuatu yang disenangi
atau membuat warga belajar menyenanginya. Berkaitan dengan itu, dalam
setiap program pendidikan, para pendidik harus terlebih dahulu dapat
menunjukkan tujuan dan manfaat kepada peserta didiknya setelah mengikuti
program belajar tersebut. Tanpa upaya seperti itu, pendidikan yang
dilaksanakan seringkali tidak dapat memberikan hasil seperti yang
diinginkannya.

4. Prinsip kesiapan (readiness)


Telah dikemukakan pula, bahwa hasil belajar akan semakin baik, jika yang
bersangkutan (peserta didik) memang memiliki kesiapan untuk belajar, baik
kesiapan fisik maupun mental atau kemauan/keinginan untuk belajar. Oleh
sebab itu, setiap kegiatan pendidikan hanya akan berhasil baik jika pendidik
mampu memahami keadaan peserta didiknya, terutama yang berkaitan dengan
keadan fisik (kenyaman lingkungan diselenggarakannya pendidikan, waktu
pelaksanaan, lamamyany kegiatan dan lain-lain) maupun kesiapan sasarannya
(kebutuhsn, keinginsn, hal-hal yang tidak disuka, dll).
(Sumber: Waryana. 2016. Promosi kesehatan, penyuluhan, dan pemberdayaan
masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.)

11
Proses belajar dalam kegiatan penyuluhan di masyarakat adalah proses pendidikan
yang diterapkan dalam pendidikan orang dewasa (adult education / andragogy,
yaitu proses belajar mengajar yang berlangsung secara horizontal, sebgai proses
belajar bersama yang partisipatif di mana semua yang terlibat saling bertukar
informasi, pengetahuan, dan pengalaman. Proses sharing tersebut, tidak hanya
berlangsung antar peserta penyuluhan, tetapi juga antara penyuluh atau fasilitator
dengan masyarakat yang menjadi kliennya.

Kedudukan penyuluh tidak berada di atas atau lebih tinggi dibanding petaninya
melainkan dalam posisi yang sejajar. Kedudukan sebagai mitra sejajar tersebut,
tidak hanya terletak pada proses sharing selama berlangsunya kegiatan penyuluhan,
tetapi harus dimulai dari sikap pribadi dalam berkomunikasi, tempat duduk, bahasa
yang digunakan, sikap saling menghargai, saling menghormati, dan saling
mempedulikan karena merasa saling membutuhkan dan memiliki kepentingan
bersama. (Sumber: Waryana. 2016. Promosi kesehatan, penyuluhan, dan
pemberdayaan masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.)

Peran penyuluh bukan sebagai guru yang harus menggurui petani/masyarakatnya,


melainkan sebatas sebagai fasilitator yang membantu proses belajar, baik selaku:
moderator (pemandu acara), motivator (yang merangsang dan mendorong proses
belajar) atau sekadar sebagai narasumber manakala terjadi “kebuntuan” dalam
proses belajar yang berlangsung.
Dalam persiapan pelaksanaan kegiatan penyuluhan, perlu memperhatikan
karakteristik orang dewasa, yang pada umumnya telah mengalami “kemunduran"
indera (penglihatan, pendengaran), dan daya tangkap/penalara. Di samping itu.
dalam proses belajar juga perlu memperhatikan karakteristik emosional orang
dewasa, yang biasanya lebih perasa, mudah tersinggung, tidak mau digurui, merasa
lebih berpengalaman.

(Sumber: Waryana. 2016. Promosi kesehatan, penyuluhan, dan pemberdayaan


masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.)

12
Materi penyuluhan, harus berangkat dari “kebutuhan yang dirasakan” (felt need),
terutama menyangkut:
1. Kegiatan yang sedang dan akan segera dilakukan
2. Masalah yang sedang dan akan dihadapi
3. Perubahan-perubahan yang diperlukan/diinginkan

Karena itu, meskipun melalui kegiatan penyuluhan diharapkan terjadi penyampaian


“inovasi” (yang berupa: produk, ide, tekno-logi, kebijakan, dll), inovasi yang disam
paikan harus yang terkait dengan kebutuhan'kebutuhan yang sedang dirasakan
masyarakat. Tempat dan waktu pelaksanaan penyuluhan, sebaiknya juga harus
disesuaikan dengan kesepakatan masyarakat tentang waktu dan tempat yang biasa
mereka gunakan untuk keperluan-keperluan serupa. Karena itu, kegiatan
penyuluhan tidak boleh menetapkan bakuan tentang waktu dan tempat
penyelenggaraannya. Sehingga, penetapan jadwal/waktu dan tempat kegiatan
penyuluhan yang dibakukan sebagaimana ditetapkan dalam sistem kerja Latihan
dan Kunjungan/Training and Visit (LAKU/TV), hendaknya tidak diterapkan secara
rigid/kaku, tetapi sebaiknya disesuaikan dengan kesepakatan masyarakatnya, yaitu
tempat penyuluhan tidak harus selalu di hamparan/lahan usahatani dan tidak harus
menetap, tetapi dapat berpindah-pindah sesuai dengan materi dan kesempatan yang
dimiliki. (Sumber: Waryana. 2016. Promosi kesehatan, penyuluhan, dan
pemberdayaan masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.)

Hari dan waktu pertemuan, tidak harus tetap, tetapi yang penting ada kepastian
tentang waktu kunjungan tidak harus 2 minggu sekali, tetapi yang penting
dilakukan pertemuan (kunjungan) 2 kali dalam sebulan, atau untuk masyarakat
Jawa dapat diundur sedikit menjadi 2 kali dalam selapan (35 hari). Keberhasilan
proses belajar, tidak diukur dari seberapa banyak terjadi “transfer of knowledge”,
tetapi lebih memperhatikan seberapa jauh terjadi dialog (diskusi, sharing) antar
peserta kegiatan penyuluhan. Berlangsungnya dialog seperti ini memiliki arti yang
sangat penting, kaitannya dengan:

a. Penggalian inovasi yang ditawarkan, baik yang ditawarkan dari “luar” maupun
“indegenuous technology" yang digali dari pengalaman atau warisan generasi
tua
b. Peluang diterima dan keberhasilan inovasi yang ditawarkan

13
c. Berkembangnya partisipasi masyarakat dalam bentuk untuk “merasa
memiliki”, keharusan “turut mengamankan” segala keputusan yang telah
disepakati (melaksanakan, monitoring, dll)

Setiap kegiatan penyuluhan harus mengacu kepada kebutuhan yang (sedang)


dirasakan kliennya, baik yang berkaitan dengan kebutuhan kini, dan kebutuhan
masa mendatang (jangka pendek, menengah, dan jangka panjang). Lebih lanjut,
kegiatan penyuluhan harus memberikan manfaat atau memiliki relevansi tinggi
dengan kebutuhannya tersebut. Oleh sebab itu, penyelenggaraan penyuluhan harus
diawali dengan “scopping” atau penelusuran tentang program pendidikan yang
diperlukan dan analisis kebutuhan atau “need assesment”. Untuk kemudian,
berdasarkan analisis kebutuhannya, disusunlah programa atau acara penyuluhan
yang dalam pendidikan formal (sekolah) disebut silabus dan kurikulum.

(Sumber: Waryana. 2016. Promosi kesehatan, penyuluhan, dan pemberdayaan


masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.)

Kesimpulannya adalah pendidikan dan penyuluhan kesehatan dikatakan berhasil


bila sasaran pendidikan (individu, keluarga, kelompok dan masyarakat) sudah
mengubah sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan,
kegiatan penyuluhan harus memberikan manfaat atau memiliki relevansi tinggi
dengan kebutuhannya tersebut.

2.4 Ruang lingkup pendidikan kesehatan


Ruang lingkup pendidikan kesehatan sangat luas, meliputi:
1. Kesehatan dan pendidikan kesehatan, berkaitan dengan semua orang, meliputi
aspek fisik, mental, sosial, emosional, spiritual, dan masyarakat.
2. Pendidikan kesehatan, merupakan proses seumur hidup dari lahir sampai
meninggal, membantu orang untuk berubah dan beradaptasi pada semua tahap
kehidupan.
3. Pendidikan kesehatan, berkaitan dengan orang pada semua titik kesehatan dan
penyakit, dari sehat secara lengkap sampai sakit kronik dan yang memperberat,
untuk memaksimalkan potensi masing-masing individu untuk kehidupan yang
sehat.
4. Pendidikan kesehatan, ditujukan secara langsung terhadap individu, keluarga,
kelompok, dan komunitas.

14
5. Pendidikan kesehatan, berkaitan dengan membantu orang untuk bekerja
menciptakan kondisi yang lebih sehat bagi setiap orang.
6. Pendidikan kesehatan, meliputi proses belajar-mengajar secara forrma| dan
informal menggunakan metode yang terarah.
7. Pendidikan kesehatan, berkaitan dengan tujuan yang terarah, termasuk memberi
informasi, perubahan sikap, perubahan tingkah laku, dan perubahan sosial.

(Sumber: Triwibowo & Pusphandani. 2015. Pengantar Dasar Ilmu Kesehatan


Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.)

Ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari berbagai dimensi, antara lain
dimensi sasaran pendidikan, dimensi tempat pelaksanaan atau aplikasinya, dan dimensi
tingkat pelayanan kesehatan. Dari dimensi sasarannya, pendidikan kesehatan dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yakni:

1. Pendidikan kesehatan individual, dengan sasaran individu


2. Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok
3. Pendidjkan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat luas.

Dimensi tempat pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat berlangsung di berbagai


tempat atau tatanan dengan sendirinya sasarannya berbeda pula, misalnya:

1. Pendidikan kesehatan di dalam keluarga (rumah).


2. Pendidikan kesehatan di sekolah, dilakukan di sekolah dengan sasaran murid.
3. Pendidikan kesehatan di institusi pelayanan kesehatan, (dilakukan di rumah sakit-
rumah sakit dengan sasaran pasien atau keluarga pasien, di Puskesmas, dan
sebagainya).
4. Pendidikan kesehatan di tempat-tempat kerja dengan sasaran buruh atau karyawan
yang bersangkutan.
5. Pendidikan kesehatan di tempat-tempat umum (TTU)

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta:
Rineka Cipta.)

15
Dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kehatan dapat dilakukan berdasarkan
Lima tingkat pencegahan (five levels of prevention) dari Leavel and Clark, sebagai
berikut:

1. Promosi kesehatan (health promotion)


Dalam tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan misalnya dalam peningkatan
gizi, kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi, lingkungan higiene perorangan, dan
sebagainya.
2. Perlindungan khusus (specific protection)
Dalam program imunisasi sebagai bentuk pelayan perlindungan khusus ini
pendidikan kesehatan sangat diperlukan terutama di negara-negara berkembang.
Hal ini karena kesadaran masyarakat tentang pentingnya imunisasi sebagai
perlindungan terhadap penyakit pada dirinya maupun pada anak-anaknya masih
rendah.
3. Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment)
Dikarenakan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan
dan penyakit, maka sulit mendeteksi penyakit-penyakit yang terjadi dalam
masyarakat. Bahkan kadang-kadang, masyarakat sulit atau tidak mau diperiksa dan
diobati penyakitnya. Hal ini akan menyebabkan masyarakat tidak memperoleh
pelayanan kesehatan yang layak. Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan sangat
diperlukan pada tahap ini.
4. Pembatasan cacat (disability limitation)
Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan
dan penyakit, maka sering masyarakat tidak melanjutkan pengobatannya sampai
tuntas. Dengan kata lain, mereka tidak melakukan pemeriksaan dan pengobatan
yang komplit terhadap penyakitnya. Pengobatan yang tidak layak dan sempurna
dapat mengakibatkan orang yang bersangkutan cacat atau mengalami
ketidakmampuan. Oleh karena itu, pendidikan kesehatan juga diperlukan pada
tahap ini.
(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.
Jakarta: Rineka Cipta.)

16
5. Rehabilitasi (rehabilitation)
Setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu, kadang-kadang orang menjadi cacat.
Untuk memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang diperlukan latihanalatihan
tertentu. Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran orang tersebut, ia tidak
atau segan melakukan latihan-latihan yang dianjurkan. Disamping itu, orang yang
cacat setelah sembuh dari penyakit kadang-kadang malu untuk kembali ke
masyarakat. Sering terjadi pula masyarakat tidak mau menerima mereka sebagai
anggota masyarakat yang notmal. Oleh sebeb itu, jelas pendidikan kesehatan
diperlukan bukan saja untuk orang yang cacat tersebut, tetapi perlu pendidikan
kesehatan kepada masyarakat.
(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.
Jakarta: Rineka Cipta.)

Kesimpulannya adalah ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari berbagai
dimensi, antara lain dimensi sasaran pendidikan, dimensi tempat pelaksanaan atau
aplikasinya, dan dimensi tingkat pelayanan kesehatan. Kesehatan dan pendidikan
kesehatan, berkaitan dengan semua orang, meliputi aspek fisik, mental, sosial,
emosional, spiritual, dan masyarakat.

2.5 Metode pendidikan kesehatan


1. Metode pendidikan Individual (perorangan)
Bentuk dari metode individual ada 2 (dua) bentuk:
a. Bimbingan dan penyuluhan (guidance and counseling), yaitu:
1) Kontak antara klien dengan petugas lebih intensif
2) Setiap masalah yang dihadapi oleh klien dapat dikorek dan dibantu
penyelesaiannya.
3) Akhirnya klien tersebut akan dengan sukarela dan berdasarkan kesadaran,
penuh pengertian akan menerima perilaku tersebut (mengubah perilaku)

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.


Jakarta: Rineka Cipta.)

17
b. Interview (wawancara)
1) Merupakan bagian dari bimbingan dan penyuluhan
2) Menggali informasi mengapa ia tidak atau belum menerima perubahan,
untuk mengetahui apakah perilaku yang sudah atau yang akan diadopsi itu
mempunyai dasar pengertian dan kesadaran yang kuat, apabila belum
maka perlu penyuluhan yang lebih mendalam lagi.

2. Metode pendidikan Kelompok


Metode pendidikan Kelompok harus memperhatikan apakah kelompok itu besar
atau kecil, karena metodenya akan lain. Efektifitas metodenya pun akan tergantung
pada besarnya sasaran pendidikan.
a. Kelompok besar
1) Ceramah; metode yang cocok untuk sasaran yang berpendidikan tinggi
maupun rendah.
2) Seminar; hanya cocok untuk sasaran kelompok besar dengan pendidikan
menengah ke atas. Seminar adalah suatu penyajian (presentasi) dari satu
ahli atau beberapa ahli tentang suatu topik yang dianggap penting dan
biasanya dianggap hangat di masyarakat.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.


Jakarta: Rineka Cipta.)

b. Kelompok kecil
1) Diskusi kelompok
 

Dibuat sedemikian rupa sehingga saling berhadapan, pimpinan


diskusi/penyuluh duduk diantara peserta agar tidak ada kesan lebih tinggi,
tiap kelompok punya kebebasan mengeluarkan pendapat, pimpinan
diskusi memberikan pancingan, mengarahkan, dan mengatur sehingga
diskusi berjalan hidup dan tak ada dominasi dari salah satu peserta.
2) Curah pendapat (Brain Storming) 
 

Merupakan modifikasi diskusi kelompok, dimulai dengan memberikan


satu masalah, kemudian peserta memberikan jawaban/tanggapan,
tanggapan/jawaban tersebut ditampung dan ditulis dalam flipchart/papan
tulis, sebelum semuanya mencurahkan pendapat tidak boleh ada komentar

18
dari siapa pun, baru setelah semuanya mengemukaan pendapat, tiap
anggota mengomentari, dan akhirnya terjadi diskusi.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan


seni. Jakarta: Rineka Cipta.)

3) Bola salju (Snow Balling)


Tiap orang dibagi menjadi pasangan-pasangan (1 pasang 2 orang).
Kemudian dilontarkan suatu pertanyaan atau masalah, setelah lebih
kurang 5 menit tiap 2 pasang bergabung menjadi satu. Mereka tetap
mendiskusikan masalah tersebut, dan mencari kesimpulannya. Kemudian
tiap 2 pasang yang sudah beranggotakan 4 orang ini bergabung lagi
dengan pasangan lainnya dan demikian seterusnya akhirnya terjadi diskusi
seluruh kelas.
4) Kelompok kecil-kecil (Buzz group)
Kelompok langsung dibagi menjadi kelompok kecil-kecil, kemudian
dilontarkan suatu permasalahan sama/tidak sama dengan kelompok lain,
dan masing-masing kelompok mendiskusikan masalah tersebut.
Selanjutnya kesimpulan dari tiap kelompok tersebut dan dicari
kesimpulannya.
5) Memainkan peranan (Role Play)
Beberapa anggota kelompok ditunjuk sebagai pemegang peranan tertentu
untuk memainkan peranan tertentu, misalnya sebagai dokter puskesmas,
sebagai perawat atau bidan, dll, sedangkan anggota lainnya sebagai
pasien/anggota masyarakat. Mereka memperagakan bagaimana
interaksi/komunikasi sehari-hari dalam melaksanakan tugas.
6) Permainan simulasi (Simulation Game)
Merupakan gambaran role play dan diskusi kelompok. Pesan-pesan
disajikan dalam bentuk permainan seperti permainan monopoli. Cara
memainkannya persis seperti bermain monopoli dengan menggunakan
dadu, gaco (penunjuk arah), dan papan main. Beberapa orang menjadi
pemain, dan sebagian lagi berperan sebagai nara sumber.
(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.
Jakarta: Rineka Cipta.)

19
3. Metode pendidikan Massa
Pada umumnya bentuk pendekatan (cara) ini adalah tidak langsung. Biasanya
menggunakan atau melalui media massa. Contoh:
a. Ceramah umum (public speaking), dilakukan pada acara tertentu, misalnya
Hari Kesehatan Nasional, misalnya oleh menteri atau pejabat kesehatan lain.
b. Pidato-pidato diskusi tentang kesehatan melalui media elektronik baik TV
maupun radio, pada hakikatnya adalah merupakan bentuk pendidikan
kesehatan massa.
c. Simulasi, dialog antar pasien dengan dokter atau petugas kesehatan lainnya
tentang suatu penyakit atau masalah kesehatan melalui TV atau radio adalah
juga merupakan pendidikan kesehatan massa. Contoh : ”Praktek Dokter
Herman Susilo” di Televisi.
d. Sinetron ”Dokter Sartika” di dalam acara TV juga merupakan bentuk
pendekatan kesehatan massa. Sinetron Jejak sang elang di Indosiar hari Sabtu
siang (tahun 2006)
e. Tulisan-tulisan di majalah/koran, baik dalam bentuk artikel maupun tanya
jawab /konsultasi tentang kesehatan antara penyakit juga merupakan bentuk
pendidikan kesehatan massa.
f. Bill Board, yang dipasang di pinggir jalan, spanduk poster dan sebagainya
adalah juga bentuk pendidikan kesehatan massa. Contoh : Billboard ”Ayo ke
Posyandu”. Andalah yang dapat mencegahnya (Pemberantasan Sarang
Nyamuk).
(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.
Jakarta: Rineka Cipta.)

Kesimpulannya adalah ada beberapa metode dalam pemdidikan kesehatan


diantaranya Metode pendidikan Individual (perorangan) digunakan untuk membina
perilaku baru atau seseorang yang telah mulai tertarik kepada suatu perubahan
perilaku atau inovasi, metode pendidikan kelompok dan metode pendidikan massa

20
2.6 Alat bantu atau media
a. Alat bantu (peraga)
1. Pengertian
Yang dimaksud alat bantu pendidikan adalah alat-alat yang digunakan dalam
menyampaikan bahan pendidikan atau pengajaran. Alat bantu ini leboh sering
disebut ‘alat peraga’ karean berfungsi utnukt membantu dan meragakan
sesuatu dalam proses pendidikan atau pengajara.

Alat peraga ini disusun berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan yang ada pada
setiap manusia itu diterima atau ditangkap melalui panca indra. Semakin
banyak indra yang digunakan untuk menerima sesuatu maka semakin banyak
dan semakin jelas pula pengertian atau pengetahuan yang diperoleh. Dengan
kata lain, alat peraga ini dimaksudkan untuk mengerahkan indra sebanyak
mungkin kepada suatu objek, sehingga mempermudah penerimaan pesan.
(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.
Jakarta: Rineka Cipta.)

Seseorang atau masyarakat didalam proses pendidikan dapat memperoleh


pengalaman atau pengetahuan melalui berbagai macam alat bantu pendidikan.
Tetapi masing-masing alat mempunyai intensitas yang berbeda-beda dalam
membantu persepsi seseorang. Edgar Dale membagi alat peraga tersebut
menjadi 11 macam, dan sekaligus menggambarkan tingkat intensitas tiap-tiap
alat tersebut dalam suatu kerucut.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.


Jakarta: Rineka Cipta.)

21
Dari gambar kerucut tersebut dapat dilihat bahwa lapisan yang paling dasar
adalah benda asli dan yang paling atas adalah ‘kata-kata’. Hal ini berarti
bahwa dalam proses pendidikan, benda asli mempunyai intensitas yang paling
tinggi untuk mempersepsi bahan pendidikan atau pengajaran. Sedangkan
penyampaian bahan yang hanya dengan kata-kata saja sangat kurang efektif
atau intensitasnya paling rendah. Jelas bahwa menggunakan alat peraga
adalah salah satu prinsip prosesp pendidikan.

Dalam rangka pendidikan kesehatan masyarakat sebagai Sasaran pendidikan


juga dapat dilibatkan dalam pembuatan alat peraga (alat bantu pendidikan).
Untuk itu, petugas kesehatan berperan untuk membimbing dan membina,
bukan hanya dalam hal kesehatan mereka sendiri, tetapi juga memotivasi
mereka sehingga meneruskan informasi kesehatan kepada anggota masyarakat
yang lain.

Alat peraga akan membantu dalam melakukan penyuluhan, agar pesan-pesan


kesehatan dapat disampaikan lebih jelas, dan masyarakat sasaran dapat
menerima pesan tersebut dengan jelas dan tepat. Dengan alat peraga, orang
dapat lebih mengerti informasi kesehatan yang dianggap rumit sehingga
mereka dapat menghargai betapa bernilainya kesehatan itu bagi kehidupan.
(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.
Jakarta: Rineka Cipta.)

2. Faedah Alat Bantu Pendidikan


Secara terperinci, faedah alat peraga antara lain:
a. Menimbulkan minat sasaran pendidikan.
b. Mencapai sasaran yang lebih banyak.
c. Membantu mengatasi hambatan bahasa.
d. Merangsang sasaran pendidikan untuk melaksanakan pesan-pesan
kesehatan.
e. Membantu sasaran pendidikan untuk belajar lebih banyak dan tepat.
f. Merangsang sasaran pendidikan untuk meneruskan pesanpesan yang
diterima kepada orang lain.
g. Mempermudah penyampaian bahan pendidikan/informasi oleh para
pendidik atau pelaku pendidikan.

22
h. Mempermudah penerimaan informasi oleh sasaran pendidikan. Seperti
diuraikan di atas bahwa pengetahuan yang ada pada seseorang diterima
melalui indra. Menurut penelitian para ahli indra, yang paling banyak
menyalurkan pengetahuan ke dalam otak adalah “mata”.
Kurang lebih 75% sampai 87% dari pengetahuan manusia diperoleh atau
disalurkan melalui mata. Sedangkan 13% sampai 25% lainnya tersalur
melalui indra yang lain. Dari sini dapat disimpulkan bahwa alat-alat visual
lebih mempermudah cara penyampaian dan penerimaan informasi atau
bahan pendidikan.
i. Mendorong keinginan orang untuk mengetahui, kemudi lebih mendalami,
dan akhirnya memberikan pengertian yang lebih baik. Orang yang melihat
sesuatu yang memang diperlukan akan menimbulkan perhatiannya dan
apa yang dilihat dengan penuh perhatian akan memberikan pengertian
baru baginya, yang merupakan pendorong untuk melakukan atau memakai
sesuatu yang baru tersebut.
j. Membantu menegakkan pengertian yang diperolah. Di dalam menerima
sesuatu yang baru, manusia mempunyai kecenderungan untuk melupakan
atau lupa. Untuk mengatasi hal tersebut, ‘AVA’ (Audio Visual Aids) akan
membantu menegakkan pengetahuan-pengetahuan yang telah diterima
oleh manusia, sehingga apa yang diterima, akan lebih lama
tinggal/disimpan di dalam ingatan.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.


Jakarta: Rineka Cipta.)

3. Macam-macam Alat Bantu Pendidikan.


Pada garis besarnya, hanya ada dua macam alat bantu pendidikan (alat
peraga):
a. Alat bantu lihat (visual aids).
Alat ini berguna dalam membantu menstimulasi indra mata (penglihatan)
pada waktu terjadinya proses pendidikan. Alat ini ada dua bentuk:
a) Alat yang diproyeksikan, misalnya: slide, film, film strip, dan
sebagainya.

23
b) Alat-alat yang tidak diproyeksikan:
1. Dua dimens, gambar peta, bagan, dan sebagainya
2. Tiga dimensi misal, bola dunia, boneka, dan sebagainya.

b. Alat-alat bantu dengar (audio aids)


Ialah alat yang dapat membantu menstimulasi indra pendengaran, pada
waktu proses penyampaian bahan pendidikan atau pengajaran. Misalnya:
piringan hitam, radio, pita suara dan sebagainya.
Alat bantu dengar seperti Televisi, video cassette. Alat-alat bantu ini lebih
dikenal dengan AVA (Audia Visual Aids).

Di samping pembagian tersebut, alat peraga juga dapat dibedakan menjadi dua
macam menurut pembuatannya dan penggunaannya.

1. Alat peraga yang ‘complicated’ (rumit), seperti film, film stripe, slide, dan
sebagainya yang memerlukan listrik dan proyektor.
2. Alat peraga yang sederhana, yang mudah dibuat sendiri, dengan bahan-
bahan setempat yang mudah diperoleh seperti: bambu, karton, kaleng
bekas, kertas kor an, dan sebagainya. Beberapa contoh alat peraga yang
sederhana yang dapat dipergunakan di berbagai tempat, misalnya:
1) Di rumah tangga, seperti: leaflet, model buku bergambar, benda-
benda yang nyata seperti buah-buahan, sayursayuran, dan sebagainya.
2) Di kantor-kantor dan sekolah-sekolah, seperti papan tulis, flipchart,
poster, leaflet, buku cerita dan bergambar, kotak gambar gulung,
boneka, dan sebagainya.
3) Di masyarakat umum: misalnya poster, spanduk, léaflet, flanel graph,
boneka wayang, dan sebagainya.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan


seni. Jakarta: Rineka Cipta.)

Ciri-ciri alat peraga kesehatan yang sederhana antara lain:

1. Mudah dibuat
2. Bahan-bahannya dapat diperoleh dari bahan-bahan local
3. Mencerminkan kebiasaan, kehidupan, dan kepercayaan setempat.
4. Ditulis (digambar) dengan sederhana.

24
5. Bahasa setempat dan mudah dimengerti oleh masyarakat
6. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan petugas kesehatan dan masyarakat.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan


seni. Jakarta: Rineka Cipta.)

4. Sasaran yang Dicapai Alat Bantu Pendidikan


Menggunakan alat peraga harus didasari pengetahuan tentang sasaran
pendidikan yang akan dicapai alat peraga tersebut.
1. Individu atau kelompok.
2. Kategeri-kategori sasaran seperti: kelompok umur bendidlkan, pekerjaan,
dan sebagainya.
3. Bahasa yang mereka gunakan.
4. Adat-istiadat serta kebiasaan.
5. Minat dan perhatian.
6. Pengetahuan dan pengalaman mereka tentang pesan yang akan diterima.

Tempat memasang (menggunakan) alat-alat peraga:

1. Di dalam keluarga, antara lain dalam kesempatan kunjungan rumah,


waktu menolong persalinan, merawat bayi, mau menolong orang sakit,
dan sebagainya.
2. Di masyarakat, misalnya seperti pada waktu perayaan hari-hari besar,
arisan-arisan, pengajaran, dan sebagainya, serta dipasang juga di tempat-
tempat umum yang strategis.
3. Di instansi-instansi, antara lain: Puskesmas, rumah sakit, kantor-kantor,
sekolah-sekolah, dan sebagainya.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.


Jakarta: Rineka Cipta.)

Alat-alat peraga tersebut sedapat mungkin dapat diper. gunakan oleh:

1. Petugas-petugas Puskesmas atau Kesehatan.


2. Kader Kesehatan.
3. Guru-guru sekolah dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya.
4. Pamong Desa.

25
5. Merencanakan dan Menggunakan Alat Peraga

Biasanya kita menggunakan alat peraga sebagai pengganti objek-objek yang


nyata sehingga dapat memberikan pengalaman yang tidak langsung bagi
sasaran. Gunakan alat peraga untuk memperjelas pesan-pesan yang
disampaikan kepada masyarakat, gunakan benda-benda yang mendekati
aslinya atau sebenarnya untuk mempermudah masyarakat mengerti serta
memahaminya, karena alat peraga seperti ini merupakan benda-benda yang
mereka jumpai sehari-hari.

Oleh karena itu, sebelum mempergunakan alat peraga lain sebagai pengganti
benda-benda asli, perlu ditelaah terlebih dahulu apakah penggunaan
bendabenda asli memungkinkan atau tidak. Sebaliknya, kalau tidak ada benda-
benda yang asli, maka buatlah alat peraga dari benda-benda pengganti.
Sebelum membuat alat-alat peraga kita harus merencanakan dan memilih alat
peraga yang paling tepat untuk digunakan, oleh karena itu perlu diperhatikan
tujuan yang hendak dicapai.

a. Tujuan pendidikan, tujuan ini dapat untuk:


a) Mengubah pengetahuan atau pengertian, pendapat, dan konsep-
konsep.
b) Mengubah sikap dan persepsi.
c) Menanamkan tingkah laku/kebiasaan yang baru.
b. Tujuan penggunaan alat peraga.
a) Sebagai alat bantu dalam latihan atau penataran atau pendidikan.
b) Untuk menimbulkan perhatian terhadap sesuatu masalah.
c) Untuk mengingatkan sesuatu pesan atau informasi.
d) Untuk menjelaskan fakta-fakfa, prosedur, dan tindakan.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan


seni. Jakarta: Rineka Cipta).

26
Perencanaan dan pemilihan alat peraga ditentukan sebagian besar oleh tujuan
ini. Kalau tujuannya itu rumit maka mungkin diperlukan lebih dari satu macam
alat peraga. Kemampuan penyampaian pesan masing-masing alat peraga
berbeda-beda, misalnya leaflet dan famplet lebih banyak berisi pesan,
sedangkan poster lebih sedikit pesan-pesan, tetapi bersifat pemberitahuan dan
propaganda. Dengan sendirinya alat peraga yang dipergunakan untuk
meningkatkan pengetahuan, akan berbeda dengan alat peraga yang
dipergunakan untuk meningkatkan keterampilan.

Persiapan penggunaan alat peraga, semua alat peraga yang dibuat berguna
sebagai alat bantu belajar dan tetap harus diingat bahwa alat ini dapat
berfungsi mengajar dengan sendirinya. Kita harus mengembangkan
keterampilan dalam memilih, mengadakan alat peraga secara tepat sehingga
mempunyai hasil yang maksimal.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.


Jakarta: Rineka Cipta.)

Misalnya, satu Set flip chart tentang makanan sehat untuk bayi atau anak-anak
harus diperlihatkan satu per satu secar berurutan sambil menerangkan tiap-tiap
gambar beserta pesannya. Kemudian diadakan pembahasan sesuai dengan
kebutuhan pendengarnya agar terjadi komunikasi dua arah. Apabila kita tidak
mempersiapkan diri dan hanya mempertunjukkan lembaran-lembaran flip
chart satu demi satu tanpa menerangkan atau membahasnya maka penggunaan
flip chart tersebut mungkin gagal.

Sebelum menggunakan alat peraga sebaiknya petugas mencoba terlebih dahulu


alat-alat tersebut, yang masih dalam bentuk kasar sebelum diproduksi
seluruhnya. Gunanya tes percobaan ini adalah untuk mengetahui sejauh mana
alat peraga tersebut dapat dimengerti oleh sasaran pendidikan.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.


Jakarta: Rineka Cipta.)

27
Contoh: Seperti poster yang akan dipergunakan menunjang program keluarga
berencana dibuat desain/rancangan beberapa buah. Lalu ini dicobakan pada
sekelompok kecil sasaran yang dianggap mempunyai ciri-ciri yang sama
dengan sasaran pada umumnya, kepada siapa poster ini nantinya ditujukan.
Salah satu desain yang paling mudah dipahami, terutama yang dapat dikenal
pesan-pesannya dengan baik itulah yang akan diproduksi dan diperbanyak.

Cara melakukan percobaan tersebut antara lain:

1. Merencanakan terlebih dahulu tes pendahuluan untuk suatu media yang


akan diproduksi.
2. Menentukan pokok-pokok yang akan dipesankan dalam media tersebut.
3. Menentukan gambar-gambar pokok atau simbol-simbol yang disesuaikan
dengan ciri-ciri sasaran.
4. Memperlihatkan alat peraga atau media tersebut kepada sasaran tercoba.
5. Menanyakan kepada sasaran tercoba:
1) Apakah mereka mengalami kesukaran dalam memahami pesan-pesan,
kata-kata dan gambar-gambar dalam media tersebut.
2) Menanyakan hal-hal yang tidak dimengerti.
3) Mencatat komentar-komentar dari sasaran tercoba.
4) Melakukan perbaikan alat peraga (media) tersebut.
6. Mendiskusikan alat yang dibuat tersebut dengan orang lain (teman-teman)
atau dengan para ahli.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.


Jakarta: Rineka Cipta.)

Cara mempergunakan alat peraga sangat tergantung pada alatnya.


Menggunakan gambar sudah barang tentu lain dengan menggunakan film strip
dan sebagainya. Di samping itu juga dipertimbangkan faktor sasaran
pendidikannya. Untuk masyarakat yang buta huruf akan lain dengan
masyarakat yang telah berpendidikan. Dan yang lebih penting alat yang
digunakan harus menarik, sehingga menimbulkan minat para pesertanya. Pada
waktu menggunakan AVA hendaknya memperhatikan halhal berikut:

28
1. Senyum adalah lebih baik, untuk mencari simpati
2. Tunjukkan perhatian, bahwa hal yang akan dibicarakan/diperagakan itu
adalah penting.
3. Pandangan mata hendaknya ke seluruh pendengar, agar mereka tidak
kehilangan kontrol dari pihak pendidik.
4. Nada suara hendaknya ditukartukar agar pendengar tidak bosan dan tidak
mengantuk.
5. Ikut sertakan para peserta/pendengar, berikan kesempatan untuk
memegang dan atau mencoba alat-alat tersebut.
6. Jika perlu berilah selingan humor, guna menghidupkan suasana, dan
sebagainya.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.


Jakarta: Rineka Cipta.)

Kesimpulannya adalah Alat bantu lihat (visual aids). Alat bantu ini digunakan
untuk membantu menstimulasi indera mata (penglihatan) pada waktu terjadinya
proses pendidikan. Alat ini ada 2 bentukyaitu alat yang diproyeksikan
(misalnya, slide, OHP, dan film strip), alat-alat yang tidak diproyeksikan
(misalnya, 2 dimensi, gambar peta, dan bagan) termasuk alat bantu cetak atau
tulis, misalnya leafet, poster, lembar balik, dan buklet. Termasuk tiga dimensi
seperti bola dunia dan boneka).

b. Media pendidikan kesehatan


Yang dimaksud dengan media pendidikan kesehatan sebenarnya nama lain dari alat
bantu pendidikan AVA. Disebut media pendidikan karena alat-alat tersebut
merupakan alat saluran (channel) untuk menyampaikan informasi-informasi
kesehatan. Alat-alat tersebut digunakan untuk mempermudah penerimaan pesan-
pesan kesehatan bagi masyarakat atau ‘klien’. Terminologi media sebenarnya
ditunjang dari istilah komunikasi. Berdasarkan fungsinya sebagai penyaluran
pesan-pesan kesehatan media, media ini dibagi menjadi tiga, yakni:

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.


Jakarta: Rineka Cipta.)

29
1. Media cetak
Media cetak sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pean kesehatan sangat
bervariasi, antara lain:
a. Booklet ialah suatu media untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan
dalam bentuk buku, baik tulisan maupun gambar
b. Leaflet ialah bentuk penyampaian informasi atau pesan-pesan kesehatan
melalui lembaran yang dilipat. Isi informasi bisa berupa kalimat maupun
gambar atau kombinasi.
c. Flyer (selebaran) ialah seperti leaflet. tetapi tidak dalam bentuk lipatan.
d. Flip chart (lembar balik) ialah media penyampaian pesan atau informasi-
informasi kesehatan dalam bentuk lembar balik Biasanya dalam bentuk
buku, di mana tiap lembar (halaman) berisi gambar peragaan dan di
baliknya berisi kalimat sebagai pesan atau informasi berkaitan dengan
gambar tersebut.
e. Rubrik atau tulisan-tulisan pada surat kabar atau majalah, mengenai
bahasan suatu masalah kesehatan, atau hal-halyang berkaitan dengan
kesehatan.
f. Poster ialah bentuk media cetak berisi pesan-pesan/informasi kesehatan
yang biasanya ditempel di tembok-tembok, di tempat-tempat umum, atau di
kendaraan umum.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.


Jakarta: Rineka Cipta.)

2. Media Elektronik
Media elektronik sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan atau
informasi-informasi kesehatan dan jenisnya berbeda-beda, antara lain:
a. Televisi ialah penyampaian pesan atau informasi-informasi kesehatan
melalui media televisi dapat dalam bentuk sandiwara, sinetron, forum
diskusi atau tanya jawab sekitar masalah kesehatan, pidato (ceramah), TV,
sport, quiz atas cerdas cermat, dan sebagainya.
b. Radio ialah penyampaian informasi atau pesan-pesan kesehatan melalui
radio juga dapat berbentuk macam-macam antara lain: obrolan (Tanya
jawab), sandiwara radio, ceramah, radio spot dan sebagianya.

30
c. Video ialah penyampaian informasi atau pesan-pesan kesehatan yang
dikemas dalam bentuk video
d. Slide juga dapat digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi
kesehatan
e. Film strip juga dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan
kesehatan.

3. Media papan (Billboard)


Papan (Billboard) yang dipasang di tempat-tempat umum dapat dipakai dan
diisi dengan pesan-pesan atau informasi-informasi kesehatan. Media papan
disini juga mencakup pesan-pesan yang ditulis pada lembaran yang ditempel
pada kendaraan-kendaraan umum (bus atau taksi).

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.


Jakarta: Rineka Cipta.)
Kesimpulannya adalah media pendidikan kesehatan adalah alat-alat untuk
menyampaikan informasi-informasi kesehatan. Alat-alat tersebut digunakan untuk
mempermudah penerimaan pesan-pesan kesehatan bagi masyarakat atau ‘klien’.
Terminologi media sebenarnya ditunjang dari istilah komunikasi yang dapat
disalurkan melalui media cetak, elektronik dan media papab (Billboard).

2.7 Prilaku kesehatan


Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap
stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan, serta lingkungan. Batasan ini mempunyai dua unsur pokok, yakni respons
dan stimulus atau perangsangan.
Respons atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan sikap),
maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau praktis). Sedangkan stimulus atau
rangsangan di sini terdiri empat unsur pokok, yakni: sakit dan penyakit, sistem
pelayanan kesehatan dan lingkungan.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta:
Rineka Cipta).

31
Dengan demikian secara lebih terinci perilaku kesehatan itu mencakup:
1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia
berespons, baik secara pasif mengetahui, bersikap, dan mempersepsi penyakit dan
rasa sakit yang ada pada dirinya dan di luar dirinya, maupun aktif (tindakan) yang
dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut. Perilaku terhadap sakit
dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan tingkat-tingkat pencegahan
penyakit, yakni:
a. Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health
promotion behavior). Misalnya makan makanan yang bergizi, olahraga, dan
sebagainya.
b. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior), adalah respons
untuk melakukan pencegahan penyakit, misalnya: tidur memakai kelambu untuk
mencegah gigitan nyamuk malaria, imunisasi, dan sebagainya. Termasuk juga
perilaku untuk tidak menularkan penyakit kepada orang lain.
c. Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeking behavior),
yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan, misalnya berusaha
mengobati sendiri penyakitnya, atau mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas
kesehatan modern (Puskesmas, mantri, dokter praktik, dan sebagainya), maupun
ke fasilitas kesehatan tradisional (dukun, sinshe, dan sebagainya).
d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation
behavior), yaitu perilaku yang berhubungan dengan usaha-usaha pemulihan
kesehatan setelah sembuh dari suatu penyakit. Misalnya melakukan diet,
mematuhi anjuran dokter dalam rangka pemulihan kesehatannya.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.


Jakarta: Rineka Cipta).

2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, adalah respons seseorang terhadap


sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan modern maupun
tradisional. Perilaku ini menyangkut respons terhadap fasilitas pelayanan, cara
pelayanan, petugas kesehatan, dan obat-obatannya yang terwujud dalam
pengetahuan, persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas, dan obat-obatan.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.


Jakarta: Rineka Cipta).

32
3. Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior), yakni respons seseorang terhadap
makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku ini meliputi
pengetahuan, persepsi, sikap dan praktik kita terhadap makanan serta unsur-unsur
yang terkandung di dalamnya (zat gizi), pengolahan makanan, dan sebagainya,
sehubungan kebutuhan tubuh kita.
4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behavior) adalah
respons seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia.
Lingkup perilaku ini seluas lingkup kesehatan lingkungan itu sendiri. Perilaku ini
antara lain mencakup:
a. Perilaku sehubungan dengan air bersih, termasuk di dalamnya komponen,
manfaat, dan penggunaan air bersih untuk kepentingan kesehatan.
b. Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor, yang menyangkut segi-
segi higiene pemeliharaan teknik, dan penggunaannya.
c. Perilaku sehubungan dengan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair.
Termasuk di dalamnya sistem pembuangan sampah dan air limbah, serta
dampak pembuatan limbah yang tidak baik.
d. Perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat, yang meliputi ventilasi,
pencahayaan, lantai, dan sebagainya.
e. Perilaku sehubungan dengan pembersihan sarang-sarang nyamuk (vektor) dan
sebagainya.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni.


Jakarta: Rineka Cipta)

Menurut Ensiklopedi Amerika, perilaku diartikan sebagai suatu aksi dan reaksi
organisme terhadap lingkungannya. Hal iniberarti bahwa perilaku baru terjadi apabila
ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut
rangsangan. Dengan demikian, maka tentu rangsangan tertentu akan menghasilkan
reaksi atau perilaku tertentu.

Robert Kwick (1974) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu
organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku tidak sama dengan
sikap. Slkap adalah hanya suatu kecenderungan untuk mengadakan tindakan terhadap
suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk menyenangi
atau tidak 1mmyenangi objek tersebut, sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia.

33
Dalam proses pembentukan dan atau perubahan, perilaku di pengaruhi oleh beberapa
faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri. Faktor-faktor tersebut
antara lain: susunan saraf pusat, persepsi, motivasi, emosi, proses belajar, lingkungan,
dan sebagainya. Susunan saraf pusat memegang peranan penting dalam perilaku
manusia, karena merupakan sebuah bentuk perpindahan dari rangsangan yang masuk
menjadi perbuatan atau tindakan. Perpindahan ini dilakukan oleh susunan saraf pusat
dengan unit-unit dasarnya yang disebut neuron. Neuron memindahkan energi-energi
dalam impuls-impuls saraf. Impuls-impuls saraf indra pendengaran, penglihatan,
pembauan, pencicipan, dan perabaan disalurkan dari tempat terjadinya rangsangan
melalui impuls-impuls saraf ke susunan saraf pusat.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta:
Rineka Cipta).

Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui persepsi.


Persepsi adalah sebagai pengalaman yang dihasilkan melalui panca indra. Setiap orang
mempunyai persepsi yang berbeda, meskipun mengamati terhadap objek yang sama.
Motivasi yang diartikan sebagai suatu dorongan untuk bertindak mencapai suatu tujuan
juga dapat terwujud dalam bentuk perilaku. Perilaku juga dapat timbul karena emosi.
Aspek psikologis yang mempengaruhi emosi berhubungan erat dengan keadaan
jasmani, yang pada hakikatnya merupakan faktor turunan (bawaan). Manusia dalam
mencapai kedewasaan semua aspek tersebut di atas akan berkembang sesuai dengan
hukum perkembangan.

Belajar, diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku yang dihasilkan dari praktik-
praktik dalam lingkungan kehidupan. Belajar adalah suatu perubahan perilaku y ang
didasari oleh perilaku terdahulu (sebelumnya). Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa perilaku itu dibentuk melalui suatu proses dan berlangsung dalam interaksi
manusia dengan lingkungaxmya. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya
perilaku dibedakan menjadi dua, yakni faktor-faktor intern dan ekstem.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta:
Rineka Cipta).

Faktor intern mencakup: pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi, dan


sebagamya yang berfungsi unt mengolah rangsangan dan luar. Sedangkan faktor

34
ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun nonfisik Seperti: iklim, manusia,
sosial-ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya.

Dari uraian di atas tampak jelas bahwa perilaku merupakan konsepsi yang tidak
sederhana, sesuatu yang kompleks, yakni Suatu pengorganisasian proses-proses
psikologis oleh seseorang yang memberikan predisposisi untuk melakukan respons
menurut cara tertentu terhadap suatu objek.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta:
Rineka Cipta).

Becker (1979) mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan


(health related behavior) sebagai berikut:

1. Perilaku kesehatan (health behavior), yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan
atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya.
Termasuk juga tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan
perorangan, memilih makanan, sanitasi, dan sebagainya.
2. Perilaku sakit (sick behavior), yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan
oleh individu yang merasa sakit, untuk merasakan dan mengenal keadaan
kesehatannya atau rasa sakit. Termasuk di sini juga kemampuan atau pengetahuan
individu untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab penyakit, serta usaha-usaha
mencegah penyakit tersebut.
3. Perilaku peran sakit (the sick behavior), yakni segala tindakan atau kegiatan yang
dilakukan oleh individu yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan.
Perilaku ini di samping berpengaruh terhadap kesehatan/kesakitannya sendiri, juga
berpengaruh terhadap orang lain. terutama kepada anakanak yang belum
mempunyai kesadaran dan tanggung jawab terhadap kesehatannya.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta:
Rineka Cipta).

Saparinah Sadli (1982) menggambarkan individu dengan lingkungan sosial yang saling
berpengaruh dalam suatu diagram. Setiap individu sejak lahir terkait dengan suatu
kelompok, terutama kelompok keluarga. Dalam keterkaitannya dengan kelompok ini
membuka kemungkinan untuk dipengaruhi dan mempengaruhi anggota-anggota
kelompok lain. Oleh karena pada setiap kelompok senantiasa berlaku aturan-aturan dan

35
norma-norma sosial tertentu, maka perilaku tiap individu anggota kelompok
berlangsung dalam suatu jaringan normatif. Demikian pula perilaku individu tersebut
terhadap masalah-masalah kesehatan.

Keterangan:

1. Perilaku kesehatan individu: sikap dan kebiasaan individu yang erat kaitannya
dengan lingkungan.
2. Lingkungan keluarga: kebiasaan-kebiasaan tiap anggota keluarga mengenai
kesehatan.
3. Lingkungan terbatas: tradisi, adat-istiadat dan kepercayaan masyarakat sehubungan
dengan kesehatan.
4. Lingkungan umum: kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang kesehatan. Undang-
undang kesehatan, program-program kesehatan, dan sebagainya.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta:
Rineka Cipta).

Kosa dan Robertson mengatakan bahwa perilaku kesehatan seseorang cenderung


dipengaruhi oleh kepercayaan orang yang bersangkutan terhadap kondisi kesehatan
yang diinginkan, dan kurang mendasarkan pada pengetahuan biologi. Memang
kenyataannya demikian, setiap individu mempunyai cara yang berbeda dalam
mengambil tindakan penyembuhan atau Pencegahan berbeda, meskipun gangguan
kesehatan sama. Pada umumnya tindakan yang diambil berdasarkan penilaian individu
atau mungkin dibantu oleh orang lain terhadap gangguan tersebut. Penilaian semacam

36
ini menunjukkan bahwa gangguan yang dirasakan individu menstimulasikan
dimulainya suatu proses sosial psikologis. Proses semacam ini menggambarkan
berbagai tindakan yang dilakukan si penderita mengenai gangguan yang dialami, dan
merupakan bagian integral interaksi sosial pada umumnya.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta:
Rineka Cipta).

Proses ini mengikuti suatu keteraturan tertentu yang dapat diklasifikasikan dalam empat
bagian, yakni:

1. Ada suatu penilaian dari orang yang bersangkutan terhadap suatu gangguan atau
ancaman kesehatan. Dalam hal ini persepsi seseorang yang bersangkutan atau
orang lain (anggota keluarga) terhadap gangguan tersebut berperan. Selanjutnya,
gangguan dikomunikasikan kepada orang lain (anggota keluarga), dan mereka
yang diberi informasi tersebut menilai dengan kriteria subjektif.
2. Timbulnya kecemasan karena adanya persepsi terhadap gangguan tersebut.
Disadari bahwa setiap gangguan kesehatan akan menimbulkan kecemasan baik
bagi yang bersangkutan maupun bagi anggota keluarga lainnya. Bahkan gangguan
tersebut dikaitkan dengan ancaman adanya kematian.,Dari ancaman-ancaman ini
akan menimbulkan bermacam-macam bentuk perilaku.
3. Penerapan pengetahuan orang yang bersangkutan mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan masalah kesehatan, khususnya mengenai gangguan yang
dialami. Oleh karena gangguan kesehatan terjadi secara teratur dalam suatu
kelompok tertentu, maka setiap orang dalam kelompok tersebut dapat menghimpun
pengetahuan tentang berbagai macam gangguan kesehatan yang mungkin terjadi.
Dari sini sekaligus orang menghimpun berbagai cara mengenai gangguan
kesehatan itu, baik secara tradisional maupun secara modern. Berbagai cara
penerapan pengetahuan baik dalam menghimpun berbagai macam gangguan
maupun cara-cara mengatasinya tersebut merupakan pencerminan dari berbagai
bentuk perilaku.
4. Dilakukannya tindakan manipulatif untuk meniadakan atau menghilangkan
kecemasan atau gangguan tersebut. Dalam hal ini baik orang awam maupun tenaga
kesehatan melakukan manipulasi tertentu dalam arti melakukan suatu yang

37
mengatasi gangguan kesehatan. Dari sini lahirlah pranata-pranata kesehatan baik
tradisional maupun modern.

(Sumber: Notoadmodjo Soekidjo. 2015. Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta:
Rineka Cipta).

Kesimpulannya adalah perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons


seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit,
sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Batasan ini mempunyai dua
unsur pokok, yakni respons dan stimulus atau perangsangan, respons atau reaksi
manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan sikap), maupun bersifat aktif
(tindakan yang nyata atau praktis). Sedangkan stimulus atau rangsangan di sini terdiri
empat unsur pokok, yakni: sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan
lingkungan.

2.8 Domain perilaku kesehatan


Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas.
Perilaku terbagi dalam tiga domain, yaitu:
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindera manusia, yakni : indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa,
dan raba.
Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni:
a. Tahu (know), tahu artinya sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan ini adalah mengingat kembali
(recall ) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, “tahu" merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah.
b. Memahami (comprehension), memahami diartikan sebagai suatu kemampuan
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginterpretasi materi tersebut secara benar.

(Sumber: Triwibowo & Pusphandani. 2015. Pengantar Dasar Ilmu Kesehatan


Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.)

38
c. Aplikasi (application), aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi
sebenarnya.
d. Analisis (analysis), analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan
materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam
suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (syhthesis), sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk
meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis merupakan suatu kemampuan
untuk menyusun suatu formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
f. Evaluasi (evaluation), evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

(Sumber: Triwibowo & Pusphandani. 2015. Pengantar Dasar Ilmu Kesehatan


Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.)

2. Sikap (Attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu
stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya
dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Dalam
kehidupan seharihari, sikap merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap
stimulus sosial. Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan
bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap mempunyai tiga komponen
pokok, yakni:
1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau eva|uasi emosional terhadap suatu objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).

(Sumber: Triwibowo & Pusphandani. 2015. Pengantar Dasar Ilmu Kesehatan


Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.)

39
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu:

a. Menerima (receiving), menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan


memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang
terhadap gizi, dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian seseorang terhadap
ceramahceramah.
b. Merespon (responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan,
dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
Suatu usaha untuk menjawab suatu pertanyaan atau mengerjakan tugas yang
diberikan berarti orang dapat menerima ide tersebut.
c. Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi
sikap tingkatan yang ketiga. Misalnya : seorang ibu yang mengajak ibu yang
lain untuk pergi menimbangkan anaknya ke Posyandu, atau mendiskusikan
tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa ibu tersebut telah mempunyai sikap
positif terhadap gizi anak
d. Bertanggung jawab (responsible), bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.

(Sumber: Triwibowo & Pusphandani. 2015. Pengantar Dasar Ilmu Kesehatan


Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.)

3. Praktek atau tindakan (practice)


Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya
sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu
kondisi yang memungkinkan.
Tindakan terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu:
a. Persepsi (perception), mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan
dengan tindakan yang akan diambil merupakan tindakan tingkat pertama.
b. Respon terpimpin (guided respons), dapat melakukan sesuatu sesuai dengan
urutan yang benar sesuai dengan contoh merupakan indikator tindakan
tingkatan kedua.
c. Mekanisme (mechanism), apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu
dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan
maka ia sudah mencapai tlndakan tingkat ketiga.

40
d. Adaptasi (adaptation), adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah
berkembang dengan baik. Artinya tindakan tersebut sudah dimodifikasi tanpa
mengurangi kebenaran tindakannya.

(Sumber: Triwibowo & Pusphandani. 2015. Pengantar Dasar Ilmu Kesehatan


Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika.)

Kesimpulannya adalah perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang


lingkup yang sangat luas. Perilaku terbagi dalam tiga domain, yaitu: pengetahuan, siap
dan tindakan atau praktek.

2.9 Perubahan perilaku


Terbentuknya suatu perilaku dimulai dari domain kognitif dalam arti tahu subyek tahu
terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa obyek diluarnya. Stimulus ini
menimbulkan pengetahuan yang selanjutnya menjadi respon dalam bentuk siakp.
Setelah obyek mengetahui dan menyadari sepenuhnya maka akan menimbulkan respon
lebih jauh lagi berupa tindakan sehubungan dengan stimulus atau subyek tadi. Ada juga
stimulus yang dapat langsung menimbulkan tindakan artinya seseorang dapat
berprilaku tanpa mengetahui terlebih dahulu makna dari stimulus yang diterimanya,
dengan kata lain. Tindakan atau praktek seseorang tidak harus disadari.

Sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru dalam diri orang tersebut terjadi 4 proses
yang berurutan, yakni: awareness (kesadaran), interest (merasa tertarik), evaluation
(menimbangnimbang), trial, dan adaption. Awareness yaitu keadaan dimana orang
tersebut menyadari daiam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).
Tahap interest, orang tersebut mulai merasa tertarik terhadap stimulus atau obyek
tersebut, sisi sikap subyek sudah mulai timbul. Tahap evaluation, subyek menimbang-
nimbang terhadap baik tidaknya stimulus terhadap dirinya, hal ini berarti sikap
responden sudah lebih baik lagi. Tahap trial, subyek mulai mencoba melakukan sesuatu
sesuai apa yang dikehendaki oleh stimulus. Kemudian pada tahap terakhir yaitu
adaption, subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan
sikapnya terhadap stimulus. (Sumber: Triwibowo & Pusphandani. 2015. Pengantar
Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika)
Namun demikian, dalam penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa
perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Terdapat empat teori
tentang perubahan perilaku, yaitu :

41
1. Teori StimuIus-Organisme-Respons (SOR)
Teori ini mendasarkan asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku
tergantung kepada kualitas stimulus yang berkomunikasi dengan organisme.
Artinya, kualitas dari sumber komunikasi (sources) misalnya kredibilitas,
kepemimpinan, gaya berbicara sangat menentukan keberhasilan perubahan
perilaku seseorang, kelompok atau masyarakat.

Hosiandetal (1953) dalam Geocities (2006), mengatakan bahwa proses perubahan


perilaku pada hakekatnya sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku
tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari : stimulus,
penerimaan, bersikap, dan perubahan perilaku.

Stimulus yang diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak. Apabila
stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak efektif
mempengaruhi perhatian individu dan stimulus tersebut efektif. Apabila stimulus
telah mendapat perahtian dari organisme (diterima), maka ia mengerti stimulus ini
dan dilanjutkan kepada proses berikutnya. Setelah itu, organisme mengolah
stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang
diterimanya (bersikap). Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari
lingkungan maka stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut
(perubahan prilaku).

Teori ini mengatakan bahwa perilaku dapat berubah apabila stimulus yang
diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula. Stimulus yang dapat
melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat
meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan organisme ini, faktor reinforcement
memegang peranan penting.

(Sumber: Triwibowo & Pusphandani. 2015. Pengantar Dasar Ilmu Kesehatan


Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika)

2. Teori festinger (Dissonance theory)


Teori festinger dicetuskan oleh Finger pada tahun 1957. Finger telah banyak
pengaruhnya da;am psikologi social. Teori ini sama dengan konsep imbalance
(tidak seimbang). Hal ini berarti bahwa kedaan cognitive dissonance merupakan
keadaan ketidakseimbangan psikologis yang diliputi oleh ketegangan diri yang

42
berusaha untuk mencapai keseimbangan kembali. Apabila terjadi keseimbangan
dalam diri individu maka berarti sudah tidak terjadi ketegangan diri dan keadaan
ini disebut consonance (keseimbangan).

Dissonance (ketidakseimbangan) terjadi karena dalam diri individu terdapat 2


elemen kognisi yang saling bertentangan. Elemen kognisi merupakan pengetahuan,
pendapat atau keyakinan. Apabila individu menghadapi suatu stimulus atau objek
dan stimulus tersebut menimbulkan pendapat atau keyakinan yang berbeda atau
bertentangan di dalam diri individu sendiri maka terjadilah dissonance atau
ketidakseimbangan.

Ketidakseimbangan dalam diri seseorang yang akan menyebabkan perubahan


perilaku terjadi disebabkan karena adanya perbedaan jumlah elemen kognitif yang
seimbang dengan jumlah elemen kognitif yang tidak seimbang serta sama-sama
pentingnya. Hal ini akan menimbulkan konflik pada diri individu tersebut.
Contoh: seorang ibu rumah tangga yang bekerja di kantor. Di satu pihak, dengan
bekerja ia dapat tambahan pendapatan bagi keluarganya yang akhirnya dapat
memenuhi kebutuhan bagi keluarga dan anak-anaknya, termasuk kebutuhan
makanan yang bergizi. Apabila ia tidak bekerja, jelas tidak dapat memenuhi
kebutuhan pokok keluarga. Di pihak yang lain, apabila ia bekerja, ia khawatir
terhadap perawatan anak-anaknya akan menimbulkan masalah. Kedua elemen
(argumentasi) ini sama-sama pentingnya, yakni rasa tanggung jawabnya sebagai
ibu rumah tangga yang baik.

(Sumber: Triwibowo & Pusphandani. 2015. Pengantar Dasar Ilmu Kesehatan


Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika)

3. Teori Fungsi
Teori ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan perilaku individu itu tergantung
kepada kebutuhan. Hal ini berarti bahwa stimulus yang dapat mengakibatkan
perubahan perilaku seseorang apabila stimulus tersebut dapat dimengerti dalam
konteks kebutuhan orang tersebut. Menurut Katz (1960) dalam Geocities (2006),
perilaku dilatarbelakangi oleh kebutuhan individu yang bersangkUtanKatz
berasumsi bahwa:
a. Perilaku memiliki fungsi instrumental, artinya dapat
berfungsidanmemberikanpeiayananterhadapkebutuhan. Seseorang dapat

43
bertindak (berperilaku) positif terhadap objek demi pemenuhan kebutuhannya.
Sebaliknya bila objek tidak dapat memenuhi kebutuhannya maka ia akan
berperitaku negatif. Misalnya, orang mau membuat jamban apabila jamban
tersebut benar-benar menjadi kebutuhannya.

b. Perilaku dapat berfungsi sebagai defence mecanism atau sebagai pertahanan


diri dalam menghadapi lingkungannya. Artinya dengan perilakunya, dengan
tindakan-tindakannya, manusia dapat melindungi ancaman-ancaman yang
datang dari luar. Misalnya, orang dapat menghindari penyakit demam berdarah
karena penyakit tersebut merupakan ancaman bagi dirinya.
c. Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan memberikan arti. Dalam
peranannya dengan tindakannya itu, seseorang senantiasa menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Dengan tindakan sehari-hari tersebut, seseorang telah
melakukan keputusan-keputusan Sehubungan dengan objek atau stimulus yang
dihadapi. Pengambilan keputusan yang mengakibatkan tindakan-tindakan
tersebut dilakukan secara spontan dan dalam Waktu yang singkat. Misalnya,
jika seseorang merasa sakit kepala maka secara cepat tanpa berpikir lama ia
akan bertindak untuk mengatasi rasa sakit tersebut dengan membeli obat di
warung dan meminumnya, atau tindakan-tindakan lain.

(Sumber: Triwibowo & Pusphandani. 2015. Pengantar Dasar Ilmu Kesehatan


Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika)
[

d. Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspreshc dari diri seseorang dalam menjawab
suatu situasi. Nilai ekspresif ini berasal dari konsep diri seseorang dan
merupakan pencerminan dari hati sanubari. Oleh sebab itu, perilaku itu dapat
merupakan "layar” dimana segala ungkapan diri orang dapat ditihat. Misalnya,
orang yang sedang marah, senang, gusar, dan sebagainya dapat dilihat dari
perilaku atau tindakannya.

Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku itu mempunyai fungsi untuk menghadapi
dunia luar individu dan senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya

44
menurut kebutuhannya. Oleh sebab itu, dalam kehidupan manusia, perilaku itu
tampak terus-menerus dan berubah secara relatif.

4. Teori Kurt Lewin (1970)


Teori Kurt Lewin berpendapat bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan yang
seimbang antara kekuatankekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan-
kekuatan penahan (restrining forces). Perilaku ini dapat berubah apabila terjadi
ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut dalam diri seseorang. Sehingga
ada 3 kemungkinan terjadinya perubahan perilaku pada diri seseorang itu, yakni:
a. Kekuatan-kekuatan pendorong meningkat. Hal ini terjadi karena adanya
stimulus-stimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan-perubahan
perilaku. Stimulus ini berupa penyuluhan-penyuluhan atau informasi-informasi
sehubungan dengan perilaku yang bersangkutan.
Misalnya seseorang yang belum ikut Keluarga Berencana (KB) (ada
keseimbangan antara pentingnya anak sedikit dengan kepercayaan banyak
anak banyak rezeki) dapat berubah perilakunya (ikut KB) kalau kekuatan
pendorong yakni pentingnya ber-KB dinaikkan dengan penyuluhanpenyuluhan
atau usaha-usaha lain.
b. Kekuatan-kekuatan penahan menurun. Hal ini akan terjadi karena adanya
stimulus-stimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut. Misalnya,
dengan memberikan pengertian kepada orang tersebut bahwa banyak anak
banyak rezeki, banyak adalah kepercayaan yang salah maka kekuatan penahan
tersebut melemah dan akan terjadi perubahan perilaku pada orang tersebut.

(Sumber: Triwibowo & Pusphandani. 2015. Pengantar Dasar Ilmu Kesehatan


Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika)

c. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menururn. Dengan


keadaan semacam ini jelas juga akan terjadi perubahan prilaku.
Misalnya penyuluhsn KB yang berisikan memberikan pengertian terhadap
orang tersebut tentang pentingnya ber-KB dan tidak benarnya kepercayaan
anak banyak, rezeki banyak, akan meningkatkan kekuatan pendorong dan
sekaligus menurunkan kekuatan penahan.

(Sumber: Triwibowo & Pusphandani. 2015. Pengantar Dasar Ilmu Kesehatan


Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika)

45
Kesimpulannya adalah Sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru dalam diri
orang tersebut terjadi 4 proses yang berurutan, yakni: awareness (kesadaran),
interest (merasa tertarik), evaluation (menimbangnimbang), trial, dan adaption.
Awareness yaitu keadaan dimana orang tersebut menyadari daiam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek). Tahap interest, orang tersebut mulai
merasa tertarik terhadap stimulus atau obyek tersebut, sisi sikap subyek sudah
mulai timbul, dan banyak teori yang membahas tentang perubahan perilaku.

2.10 Bentuk prilaku


Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respons organisme atau
seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar objek tersebut. Respons ini
berbentuk dua macam, yakni:
1. Bentuk pasif adalah respons internal, yaitu yang terjadi di dalam diri manusia dan
tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berpikir, tanggapan
atau sikap batin dan pengetahuan. Misalnya, seorang ibu tahu bahwa imunisasi itu
dapat mencegah suatu penyakit tertentu, meskipun ibu tersebut tidak membawa
anaknya ke Puskesmas untuk diimunisasi. Contoh lain, seorang yang menganjurkan
orang lain untuk mengikuti keluarga berencana meskipun 1a sendiri tidak ikut
keluarga berencana. Dari kedua contoh tersebut terlihat bahwa si ibu telah tahu
guna imunisasi dan contoh kedua, orang tersebut telah mempunyai sikap yang
positif untuk mendukung keluarga berencana, meskipun mereka sendiri belum
melakukan secara konkret terhadap kedua hal tersebut. Oleh sebab itu perilaku
mereka ini masih terselubung (covert behavior), atau perilaku tertutup.

(Sumber: Triwibowo & Pusphandani. 2015. Pengantar Dasar Ilmu Kesehatan


Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika)

2. Bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung.
Misalnya pada kedua contoh tersebut, si ibu sudah membawa anaknya ke
Puskesmas atau fasilitas kesehatan lain untuk imunisasi, dan pada kasus kedua
sudah ikut keluarga berencana dalam arti sudah menjadi akseptor KB. Oleh karena
perilaku mereka ini sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata, maka disebut
‘overt behavior’, atau perilaku terbuka.

(Sumber: Triwibowo & Pusphandani. 2015. Pengantar Dasar Ilmu Kesehatan


Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika)

46
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan dan sikap merupakan respons
seseorang terhadap stimulus atau rangsangan yang masih bersifat terselubung, dan
disebut ‘covert be avior’. Sedangkan tindakan nyata seseorang sebagai respons
seseorang terhadap stimulus (practice) adalah ‘overt behavior’.

2.11 Studi kasus

47
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pendidikan kesehatan adalah proses membuat orang mampu meningkatkan kontrol dan
memperbaiki kesehatan individu. Kesempatan yang direncanakan untuk individu,
kelompok atau masyarakat agar belajar tentang kesehatan dan melakukan perubahan-
peubahan secara suka rela dalam tingkah laku individu.
1. Penyuluhan kesehatan yaitu suatu kegiatan atau usaha untuk menyampaikan pesan
kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau individu. Dengan harapan bahwa
dengan adanya pesan tersebut atau individu dapat memperoleh pengetahuan
tentang kesehatan yang lebih baik. Akhirnya pengetahuan tersebut diharapkan
dapat berpengaruh terhadap perilakunya. Dengan kata lain, dengan adanya
pendidikan tersebut dapat membawa akibat terhadap perubahan perilaku sasaran.
Penyuluhan kesehatan juga suatu proses, dimana proses tersebut mempunyai
masukan (input) dan keluaran (output)
2. Penyuluhan kesehatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan sedangkan
pendidikan kesehatan dapat dilakukan oelh siapapun yang mengerti tentang
kesehatan.
3. Pendidikan dan penyuluhan kesehatan bukan hanya pelajaran di kelas atau di
tempat pelayanan kesehatan, tetapi merupakan kumpulan pengalaman dimana saja
dan kapan saja sepanjang dapat mempengaruhi pengetahuan sikap dan kebiasaan
sasaran pendidikan, pendidikan dan penyuluhan kesehatan tidak dapat secara
mudah diberikan oleh seseorang kepada orang lain, karena pada akhirnya sasaran
pendidikan itu sendiri yang dapat mengubah kebiasaan dan tingkah lakunya
sendiri.
4. Pendidikan dan penyuluhan kesehatan dikatakan berhasil bila sasaran pendidikan
(individu, keluarga, kelompok dan masyarakat) sudah mengubah sikap dan tingkah
lakunya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, kegiatan penyuluhan harus
memberikan manfaat atau memiliki relevansi tinggi dengan kebutuhannya tersebut.
5. Tuang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari berbagai dimensi, antara
lain dimensi sasaran pendidikan, dimensi tempat pelaksanaan atau aplikasinya, dan
dimensi tingkat pelayanan kesehatan. Kesehatan dan pendidikan kesehatan,
berkaitan dengan semua orang, meliputi aspek fisik, mental, sosial, emosional,
spiritual, dan masyarakat.

48
6. Ada beberapa metode dalam pemdidikan kesehatan diantaranya Metode
pendidikan Individual (perorangan) digunakan untuk membina perilaku baru atau
seseorang yang telah mulai tertarik kepada suatu perubahan perilaku atau inovasi,
metode pendidikan kelompok dan metode pendidikan massa.
7. Media pendidikan kesehatan adalah alat-alat untuk menyampaikan informasi-
informasi kesehatan. Alat-alat tersebut digunakan untuk mempermudah
penerimaan pesan-pesan kesehatan bagi masyarakat atau ‘klien’. Terminologi
media sebenarnya ditunjang dari istilah komunikasi yang dapat disalurkan melalui
media cetak, elektronik dan media papab (Billboard).
8. Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang (organisme)
terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan, serta lingkungan. Batasan ini mempunyai dua unsur pokok,
yakni respons dan stimulus atau perangsangan, respons atau reaksi manusia, baik
bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan sikap), maupun bersifat aktif (tindakan
yang nyata atau praktis). Sedangkan stimulus atau rangsangan di sini terdiri empat
unsur pokok, yakni: sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan
lingkungan.
9. Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas.
Perilaku terbagi dalam tiga domain, yaitu: pengetahuan, siap dan tindakan atau
praktek.
10. Sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru dalam diri orang tersebut terjadi 4
proses yang berurutan, yakni: awareness (kesadaran), interest (merasa tertarik),
evaluation (menimbangnimbang), trial, dan adaption. Awareness yaitu keadaan
dimana orang tersebut menyadari daiam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap
stimulus (obyek). Tahap interest, orang tersebut mulai merasa tertarik terhadap
stimulus atau obyek tersebut, sisi sikap subyek sudah mulai timbul, dan banyak
teori yang membahas tentang perubahan perilaku.
11. Pengetahuan dan sikap merupakan respons seseorang terhadap stimulus atau
rangsangan yang masih bersifat terselubung, dan disebut ‘covert be avior’.
Sedangkan tindakan nyata seseorang sebagai respons seseorang terhadap stimulus
(practice) adalah ‘overt behavior’.

49
3.2 Saran
Para pekerja layanan kesehatan, seharusnya lebih memperhatikan kesehatan
masyarakat, baik itu di lingkungan kerja atau dilingkungan tempat tinggalnya.

50

Anda mungkin juga menyukai