Gender adalah keadaan dimana individu sebagai laki-laki dan perempuan yang kemudian memperoleh pencirian sosial melalui atribut-atribut maskulinitas dan feminitas yang sering didukung oleh nilai-nilai atau sistem dan simbol di masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain, gender dapat diartikan sebagai suatu konsep kultural dan cenderung merujuk pada peran sosial budaya dari perempuan maupun laki-laki di dalam masyarakat. Dari pengertian gender tersebut, gender adalah sesuatu yang terbentuk secara sosial, dan dapat dipertukarkan perannya.
2. Apakah gender itu sama dengan seks atau kodrat?
Gender dengan seks atau kodrat merupakan dua hal yang berbeda. Seks merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Contohnya jelas terlihat, seperti laki-laki memiliki penis, scrotum, memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki vagina, rahim, memproduksi sel telur. Alat-alat biologis tersebut tidak dapat dipertukarkan sehingga sering dikatakan sebagai kodrat atau ketentuan dari Tuhan. Sedangkan, gender merupakan suatu sifat maupun peranan yang melekat pada kaum laki- laki dan perempuan yang dikontruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, laki-laki itu kuat, rasional, perkasa. Sedangkan perempuan itu lembut, lebih berperasaan dan keibuan. Namun demikian, ada pula perempuan yang kuat, rasional dan perkasa, begitu juga sebaliknya. Seks terbentuk dengan alami, dapat dilihat sejak seorang individu lahir. Sedangkan gender dibentuk oleh sosial dan budaya. Seks cenderung tidak bisa dipertukarkan, bahwa penis adalah milik laki- laki dan vagina milik perempuan. Sementara itu, gender bisa dipertukarkan. Misalnya, perempuan bisa bersifat maskulin dan laki-laki ada yang bersifat feminin. Gender adalah perbedaan peran, hal, kewajiban, kuasa, dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan dapat dipertukarkan.
3. Apakah pusat kajian gender dalam hukum adalah perempuan?
Iya, karena didalam gender ditemukan fenomena ketidakadilan gender yang diterima khususnya oleh pihak perempuan. Konsep sosialkultural gender yang berkembang di masyarakat telah melahirkan marginalisasi, subordinasi, stereotype, kekerasan dan beban kerja lebih berat yang harus ditanggung oleh perempuan. Fenomena ketidakadilan dan ketimpangan dalam gender inilah yang membawa perempuan sebagai pusat kajian gender dalam hukum. Tentunya, untuk mengikis konstruksi sosial budaya yang tidak berkeadilan gender dan membentuk kesetaraan dan keseimbangan gender melalui pemahaman konsep-konsepnya. Budaya ketimpangan gender yang telah berkembang dalam masyarakat, sering menempatkan perempuan dalam posisi “tidak enak”. Kultur seksis dan diskriminasi sosial melalui budaya patriarki adalah contoh bentuk penindasan yang sudah bukan hal baru dirasakan oleh banyak perempuan. Kekerasan juga tak jarang diterima oleh perempuan karena penempatan stereotype dan subordinasi kaum perempuan, baik kekerasan dalam rumah tangga, bahkan hingga tindak pelecehan seksual hingga pemerkosaan. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa perempuan merupakan pusat kajian gender dalam hukum. Karena melalui wadah hukum, khususnya undang-undang, diharapkan mampu mewujudkan kesetaraan gender, baik untuk perempuan maupun laki-laki.