OLEH:
TEDY YUDHA PRAYOGA
1202106048
2. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika utara, 5% dari orang dewasa juga dirundung oleh asma.
Keseluruhannya, kira-kira 1 juta orang Kanada dan 15 juta orang Amerika yang
menderita dari penyakit ini.
Angka dari kasus-kasus baru dan angka tahunan dari opname rumah sakit
untuk asma telah meningkat 30% selama 20 tahun belakangan ini. Bahkan dengan
kemajuan dalam perawatan, kematian-kematian karena asma diantara orang-orang
muda sudah lebih dari berlipat ganda.
4. PATOFISIOLOGI
Asma adalah obstruksi jalan nafas yang disebabkan oleh kontraksi otot-otot
yang mengelilingi bronki, pembengkakan membran yang melapisi bronki,
pengisian mukus kental. Akibatnya beban alveoli menjadi meningkat dan dinding
alveoli menebal serta menjadi hiperinflasi pada alveoli. Hal ini menyebabkan
udara terperangkap di dalam jaringan paru (CO 2 terjebak di dalam darah, O2 tak
bisa masuk), inilah yang menyebabkan obstruksi saluran nafas. Pada beberapa
individu, system imunologis mengalami kelainan sehingga mengalami respon
imun yang buruk, di mana IgE menyerang sel-sel mast (yang bertugas memfagosit
sel-sel radang kronis) dan menyebabkan reaksi antigen-antibodi.
Hal ini menyebabkan proses mediator kimiawi yaitu pelepasan dari produk-
produk sel mast, seperti histamine, bradikinin, prostaglandin, dan anafilaksis dari
substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan - pelepasan tersebut
mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas sehingga menyebabkan
bronkospasme. System saraf otonom mempengaruhi paru. Tonus otot bronkial
diatur melalui saraf parasimpatis. Ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang
infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi, polutan, maka jumlah asetilkolin menjadi
meningkat. Peningkatan tersebut menyebabkan bronkokonstriksi dan juga
merangsang pembentukan mediator kimiawi. Sedangkan saraf simpatis terletak di
dalam bronki, terdapat reseptor α- dan β- adrenergic. Keseimbangan reseptor-
reseptor tersebut diatur oleh siklik adenosine minofosfat (cAMP). Jika reseptor α-
distimulasi maka cAMP menjadi menurun dan menyebabkan peningkatan
mediator kimiawi serta menyebabkan bronkokonstriksi. Sedangkan reseptor β-
jika distimulasi maka cAMP meningkat, terjadilah penurunan mediator kimiawi
dan menyebabkan bronkodilatasi (Price, 2005)..
Pathway terlampir
5. KLASIFIKASI
a. Berdasarkan Penyebab
1) Asma alergik : disebabkan oleh alergen – alergen yang dikenal (misal : serbuk
sari, binatang, makanan, amarah, jamur). Pasien dengan asma alergik biasanya
mempunyai riwayat keluarga yang alergik dan riwayat medis masa lalu
ekzema atau rhinitis alergik.
2) Asma idiopatik atau non alergik : tidak berhubungan dengan alergen spesifik,
faktor penyebab : perubahan cuaca, infeksi traktus respiratorius, latihan,
emosi. Beberapa agens farmakologi, seperti aspirin, pewarna rambut,
antagonis beta-adrenergik, dan agens sulfit (pengawet makanan) juga mungkin
menjadi faktor. Serangan asma idiopatik atau non alergik menjadi lebih berat
dan dapat berkembang menjadi bronkitis kronik dan emfisema.
3) Asma gabungan : merupakan bentuk asma yang paling umum, mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik maupun idiopatik/non alergik.
c. Berdasarkan stadiumnya :
1) Stadium I
Waktu terjadinya edema dinding bronkus, batuk proksisimal, karena iritasi dan
batuk kering. Sputum yang kental dan mengumpul merupakan benda asing
yang merangsang batuk
2) Stadium II
Sekresi bronkus bertambah banyak dan batuk dengan dahak yang jernih dan
berbusa. Pada stadium ini anak akan mulai merasa sesak napas berusaha
bernapas lebih dalam. Ekspirasi memanjang dan terdengar bunyi mengi.
Tampak otot napas tambahan turut bekerja. Terdapat retraksi supra sternal,
epigastrium dan mungkin juga sela iga. Anak lebih senang duduk dan
membungkuk, tangan menekan pada tepi tempat tidur atau kursi. Anak tampak
gelisah, pucat, sianosisi sekitar mulut, toraks membungkuk ke depan dan lebih
bulat serta bergerak lambat pada pernapasan. Pada anak yang lebih kecil,
cenderung terjadi pernapasan abdominal, retraksi supra sternal dan interkostal.
3) Stadium III
Obstruksi atau spasme bronkus lebih berat , aliran udara sangat sedikit
sehingga suara napas hampir tidak terdengar. Stadium ini sangat berbahaya
karena sering disangka ada perbaikan. Juga batuk seperti ditekan. Pernapasan
dangkal, tidak teratur dan frekuensi napas yang mendadak meninggi.
7. DIAGNOSIS KRITERIA
a. Ringan : Denyut nadi < 100/menit, (APE > 60 %)
b. Sedang : Denyut nadi 100 – 120/menit, (APE 40 – 60 %)
c. Berat : Denyut nadi > 120 /menit, (APE < 40 % atau 100/menit)
8. PEMERIKSAAN FISIK
9. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan laboratorium
Darah ( terutama eosinofil, Ig E total, Ig E spesifik )
Sputum (eosinofil, spiral curshman, kristal charcot – leyden )
b. Penunjang
Tes faal paru : pengukuran faal paru digunakan untuk menilai :
- Obstruksi jalan nafas
- Reversibiliti kelainan faal paru
- Variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-
ponsif jalan nafas.
Pemriksaan AGDA
Pemeriksaan AGDA sebaiknya dilakukan pada :
- Serangan asma akut berat
- Membutuhkan perawatan rumah sakit
- Tidak respon dengan pengobatan rumah sakit
- Ada komplikasi antara lain pneumonia, pneumotoraks dll
Pada keaadan fasiliti tidak memungkinkan pemeriksaan analisa
gas darah tidak perlu dilakukan. Pada keadaan dibawah ini analisa gas
darah mutlak dilakukan yaitu :
- Mengancam jiwa
- Tidak respon dengan pengobatan atau memburuk
- Gagal nafas
- Sianosis, kesadaran menurun dan gelisah.
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan
kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa
melalui prosedur yang standar. Untuk mendapatkan nilai yang akurat ,
diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable.
Obstruksi jalan nafas diketahui dari nilai rasio VEP1 / KVP < 75% atau
<80 % nilai prediksi.
1) Memberikan penyuluhan
2) Menghindari faktor pencetus
3) Pemberian cairan
4) Fisiotherapy
5) Beri O2 bila perlu.
b. Pengobatan farmakologik. Golongan obat yang termasuk obat antiasma
adalah:
Bronkodilator
Untuk bronkodilatasi atau pelebaran bronkus.
a. Agonis β 2
Terbutalin, salbutamol, dan feneterol memiliki lama kerja 4 - 6 jam, sedangkan
agonis β 2 long-acting bekerja lebih dari 12 jam, seperti salmeterol, foemoterol,
bambuterol, dan lain – lain. Bentuk aerosol dan inhalansi memberikan efek
bronkodilatasi yang sama dengan dosis yang jauh lebih kecil yaitu sepersepuluh
dosis oral dan pemberiannya lokal.
b. Metilxantin
Teofilin dan aminofilin termasuk golongan ini. Efek bronkodilatornya berkaitan
dengan konsentrasinya di dalam serum. Efek samping obat ini dapat ditekan
dengan pemantauan kadar teofilin serum dalam pengobatan jangka panjang.
c. Antikolinergik
Antiinflamasi menghambat inflamasi jalan nafas dan mempunyai efek supresi dan
profilaksis. Salah satu contoh antikolinergik ini adalah atropin. Jenis obat-obatan
ini menimbulkan efek bronkodilator.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat mengurangi inflamasi dan mengurangi konstriksi saluran
nafas. Jenis kortikosteroid yang biasa digunakan adalah hidrokortison. Obat jenis
ini biasanya diberikan secara intravena (Smeltzer, 2002; Price, 2005).
11. KOMPLIKASI
1. Mengancam pada gangguan keseimbangan asam basa dan gagal nafas
2. Chronic persisten bronhitis
3. Bronchitis
4. Pneumonia
5. Emphysema
6. Meskipun serangan asma jarang ada yang fatal, kadang terjadi reaksi kontinu
yang lebih berat, yang disebut “status asmatikus”, kondisi ini mengancam hidup
(Smeltzer & Bare, 2002)
DAFTAR PUSTAKA
Dochterman, Joanne McCloskey. 2004. Nursing Interventions Classification (NIC)
Fourth Edition. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier
Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC
Moorhead, Sue. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth Edition. St.
Louis, Missouri: Mosby Elsevier
NANDA. 2012-2014. Nursing Diagnosis: Definitions and Classification,
Philadelphia, USA.
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC