Dari pengalaman Asrori, ia masih menemui adanya jemaah yang sakit tapi
bersikeras untuk berangkat haji, bahkan berharap meninggal dunia di Arab
Saudi. Bila situasinya dapat membahayakan diri dan orang lain, maka
negara harus bisa mengambil keputusan demi kebaikan bersama.
“Poin pertama dari ijtima ulama ialah jika ada masalah kesehatan maka ada
dua solusi bagi jemaah haji, ditunda atau jika tidak ada peluang pulih maka
digantikan, istilahnya badal haji,” tambahnya lagi.
“Istitaah kesehatan ini sebuah ikhtiar agar dalam melakukan ibadah, jemaah
dalam kondisi sehat dan bugar. Jemaah yang sudah sampai embarkasi
harus benar-benar lolos pemeriksaan di daerah,” jelas Dr. Rosidi Roslan,
SH, SKM, MPH, Kepala Bidang Pembimbingan dan Perlindungan Faktor
Risiko Kesehatan, Pusat Kesehatan Haji Kemenkes.
Kepada seluruh peserta yang umumnya pemuka agama di Jawa Tengah,
Rosidi berharap para alim ulama bisa menjadi garda terdepan dalam
membangun pemahaman akan pentingnya istitaah kesehatan bagi jemaah
haji. Keluarnya ijtima ulama Komisi Fatwa MUI tahun 2018 merupakan
dukungan strategis dari para ulama.
Saat membuka acara sosialisasi, dr. Yulianto Prabowo, M.Kes, Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, turut menekankan pentingnya istitaah
kesehatan mengingat ibadah haji adalah ibadah yang tidak mudah. Jemaah
haji perlu menyiapkan diri agar status kesehatannya baik dan optimal serta
terus dipertahankan selama menjalankan ritual haji.
Dengan adanya Fatwa MUI tentang Istitaah Kesehatan Haji, bagi Kepala
Pusat Kesehatan Haji, Dr. dr. Eka Jusup Singka, MSc, ketetapan tersebut
menandakan komitmen kuat ulama dalam mendukung penyelenggaraan
haji.