PENDAHULUAN
Berbicara tentang narkoba akhir-akhir ini sangat marak di masyarakat Indonesia, dari pusat sampai
daerah didirikan berbagai organisasi peduli terhadap penanggulangan narkoba. Berbagai kasus penyalahgunaan
narkoba sudah sangat mengkawatirkan, korban narkoba sangat banyak, meluas dan menyerang hampir semua
lapisan masyarakat, mulai dari artis, mahasiswa, pelajar sampai pada orang dewasa. Korban narkoba dari tahun
ke tahun meningkat jumlahnya dan kebanyakan yang terkena narkoba adalah remaja.
Berdasarkan data yang dikutip oleh Sarwono (2007: 59) menyatakan bahwa sekitar 2
juta jiwa penderita ke- tergantungan narkoba, sebanyak 80 per- sen di antaranya adalah
remaja usia sekolah.
Sejalan dengan itu, Data Badan Narkotika Nasional 2007 dalam Harefa menyatakan bahwa pecandu
narkoba di Indonesia meningkat tajam dalam dasawarsa terakhir, hal ini mengindikasikan suatu fenomena sosial
pecandu narkoba terbanyak adalah remaja berusia 15 sampai dengan 25 tahun. Remaja adalah manusia yang
sedang berada pada usia transisi, suatu masa penuh kesulitan dan gejolak, Remaja cenderung berpikir pendek
dan ingin cepat dalam mengentaskan masalah hidup dengan menempuh jalan
sesat dan mengandung risiko seperti menggunakan narkoba. Karena proses berpikir seperti itu, remaja
tidak mampu membedakan antara baik dengan buruk yang akan dijadikan acuan perilaku, sehingga pada
akhirnya narkobalah menjadi solusi atas permasalahan hidup yang mereka hadapi
Beranjak dari fenomena remaja korban narkoba di atas, maka fokus tulisan ini
menekankan kepada siapa remaja dan apa sebenarnya narkoba, apa faktor penyebab remaja
senang menggunakan narkoba, dan apa akibatnya mengkonsumsi narkoba, bagaimana kon-
seling berperan dalam mencermati masalah remaja korban narkoba. Sehingga dengan itu
pengawasan dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan konseling terpadu untuk pemuliha
pecandu korban narkoba agar bisa sadar dan bisa lebih kearah positif lagi.
PEMBAHASAN
Hakikat Narkoba
Narkoba merupakan singkatan dari
narkotika dan obat berbahaya. Selain narkoba istilah yang diperkenalkan oleh Departemen Kesehatan Republik
Indonesia adalah napza yang merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif. Narkotika adalah
zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sin- tetis maupun semi sintetis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis
bukan narkoba, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku pemakainya. Selanjutnya zat adiktif mengacu
pada zat yang menimbulkan efek kecanduan bagi penggunanya. Dengan demikian baik narkotika, psikotropika,
zat adiktif, napza atau narkoba pada dasarnya mengandung bahaya terhadap keselamatan jasmani dan ruhani
pemakainya (Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika, 1997: 3)
Bahaya Narkoba
Menurut Willis, (2008; 175) Keluarga berperan memelihara anggota supaya tidak
mendapat marabahaya. Salah satu yang amat pesat saat ini adalah bahaya narkoba. Narkoba
bahkan sudah memasuki sekolah-sekolah, termasuk SD. Tumah tanggapun tidak terlepas dari
jangkauan barang laknat tersebut, karena dapat merusak otak, sehingga mematikan
nerotransmitter otak, akibatnya orang yang kecanduan narkoba kehilangan daya pikir, daya
mengingat, dan daya menyimpan. Jika seorang siswa telah kecanduan narkoba, dia tidak akan
bisa lagi melanjutkan sekolahnya, walaupun orangtuanya sanggup membiayainya sampai
sekolah tinggi.
a. Konseling Individual
Menurut Ivey & Downing dalam Willis, (2010; 175) Konseling Individual (KI)
Penerapan KI adalah upaya membantu klien oleh konselor secara individual dengan
mengutamakan hubungan konseling antara konselor dengan klien yang bernuansa emosional
(dan keagamaan, jika konselor mampu), sehingga besar kepercayaan klien terhadap konselor.
Pada gilirannya klien akan bicara jujur membuka rahasia batinnya (disclosure) yang selama
ini tidak pernah dikemukakan kepada orang lain termasuk keluarga.
KI bertujuan menanamkan kepercayaan diri klien atas dasar kesadaran diri untuk :
1. Tidak menyalahkan orang lain atas kecerobohan dan kesalahannya mengkonsumsi narkoba.
2. Menumbuhkan kesadaran untuk mengambil tanggung jawab atas perbuatannya yang
destruktif yang dilakukan selama ini dengan menerima segala akibatnya (seperti; keluar dari
sekolah/kuliah, kehilangan pekerjaan, dijauhi orang-orang yang dicintai)
3. Menerima realitas hidup dengan jujur.
4. Membuat rencana-rencana hidup secara rasional dan sistematik untuk keluar dari
cengkeraman setan narkoba dan menjadi manusia yang baik.
5. Menumbuhkan keinginan dan kepercayaan diri untuk melaksanakan rencana hidup tersebut
Jika konselor menguasai pendidikan agama akan lebih baik KI diiringi dengan
ajaran-ajaran agama seperti; penyerahan diri kepada Allah, menerima cobaan hidup dengan
tawakal, taat ibadah, dan berbuat baik terhadap sesama. Jika konselor tidak menguasai soal
agama, konselor harus mamasukkan seorang ahli agama kedalam tim konselor.
Prosedur Konseling Individual
Menurut Willis, (2010; 176) prosedur konseling individual sebagai berikut;
1. Konselor menciptakan hubungan konseling yang menumbuhkan kepercayaan klien terhadap
konselor, sehingga klien menjadi jujur dan terbuka, bersedia mengatakan segala isi hati dan
rahasia pribadi berkaitan dengan kecanduannya. Hal ini disebabkan oleh sikap empati,
hangat, terbuka, memahami, dan asli (genuine) dari konselor, serta memiliki kemampuan-
kemampuan teknik konseling yang baik.
2. Konselor membantu klien agar dia mampu memahami diri dan masalahnya. Kemudian
bersedia bersama konselor untuk menemukan jalan keluar atas kekacauan dirinya sehinga
membuat keluarga klien menderita karena merasa malu, mengeluarkan biaya yang tidak
sedikit, dan memungkinkan sekolah adik-adiknya terganggu.
3. Konselor membantu klien untuk memahami dan menaati rencana atau program yang telah
disusun konselor bersama klien, selanjutnya klien siap untuk melaksanakan program tersebut.
c. Konseling Keluarga
Menurut Willis, (2008; 173) Pemulihan klien terhadap narkoba sangat amat
diperlukan dukungan keluarga seperti ayah, ibu, saudara istri, suami, pacar, keluarga terdekat.
Fasilitator konseling keluarga adalah konselor, sedangkan pesertanya adalah klien, orang tua,
saudara, suami/istri, dan sebagainya. Anggota keluarga mempunyai peran penting untuk
pemulihan klien. Dampaknya tumbuh rasa aman, percaya diri, rsa tanggung jawab klien
terhadap diri dan keluarga.
e. Kunjungan (Visiting)
Menurut Willis, (2009; 184) Proses pemulihan dengan program kunjungan
diperlukan. Konselor harus mampu memilih objek kunjungan agar substansinya dapat
mempercepat pemulihan. Misalnya pesantren dan lembaga-lembaga keterampilan. Pada
kunjungan ke pesantren makna akan diperoleh klien terutama makna ketuhanan, hidup, dan
ibadah. Khusus makna hidup, dipesantren diajarkan tentang hidup sederhana, kebersamaan,
demokratis, dan etika moral-agama.
f. Partisipasi Sosial
Menurut jourard & Landsman dalam Willis, (2010; 182) Kegiatan ini bertujuan untuk
menanamkan kesadaran sosial atau hidup bermasyarakat secara wajar dan produktif. Secara
wajar artinya klien terlepas dari kebergantungan narkoba ia harus kembali ke masyarakatnya
dengan memenuhi nilai, norma, dan tuntutan sosial yang demokratis dan bersahabat.
KESIMPULAN
Narkoba atau bisa juga disebut NAPZA yaitu narkotika, psikotropika, zat adiktif,
merupakan obat yang berbahaya dimana jika dikonsumsi secara terus menerus akan
menyebabkan penurunan kesadaran, hilangnya rasa, dan menimbulkan ketergantungan,
merusak otak, daya pikir, daya mengingat, menyimpan berkurang, dan bisa berujung
kematian.
Pemulihan para pecandu narkoba tidak bisa secara langsung dan harus melalui
berbagai tahap, seperti halnya para pecandu tidak bisa langsung sembuh dengan cara
mengonsumsi obat secara terus menerus karena akan mengalami ketergantungan, maka dari
itu para pecandu harus diarahkan pada hal kesibukan yang positif, konseling sangat
diperlukan dalam menangani pecandu narkoba, dengan metode konseling terpadu diharapkan
para pecandu narkoba bisa sadar, bisa bersosialisasi terhadap lingkungan sekitar, menjadi
anggota masyarakat yang normal, bermoral, dan bisa menghidupi dirinya maupun
keluarganya.
Konseling terpadu di dalamnya ada konseling individual, bimbingan kelompok,
konseling keluarga, pendidikan dan pelatihan, kunjungan (visiting), partisipasi sosial, di
dalam berbagai konseling tersebut ada prosedur pelaksanaan agar konselor dan klien dapat
terarah sesuai dengan yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2007. “Psiko- logi Remaja”. Jakarta: Raja Gara- findo Persada.
Sofyan S. Willis. 2008. Konseling Keluarga “Family counseling” Bandung: Alfabeta
Sofyan S. Willis. 2010. Remaja dan Masalahnya ”Mengupas berbagai bentuk kenakalan remaja
seperti narkoba, free sexx dan pemecahannya” Bandung: Alfabeta