Anda di halaman 1dari 30

Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

MODUL 6
KECEPATAN DISOLUSI

I PRINSIP PERCOBAAN

Menentukan pengaruh suhu dan kecepatan pengadukkan terhadap kecepatan


disolusi zat menggunakan alat uji disolusi tipe dayung dengan metode titrasi asam
basa dan metode suspensi.

II TUJUAN PERCOBAAN
2.1 Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat
2.2 Menentukan kecepatan disolusi suatu zat
2.3 Menggunakan alat penentu kecepatan disolusi

III LANDASAN TEORI


3.1 Disolusi
3.1.1 Pengertian Disolusi
Disolusi merupakan proses ketika suatu zat padat masuk ke dalam pelarut
menghasilkan suatu larutan atau dengan kata lain proses saat zat padat melarut.
Maka kecepatan disolusi dapat dinyatakan sebagai jumlah zat dalam bentuk
padatan yang terlarut dalam pelarut tertentu sebagai fungsi dari waktu. Prinsip
disolusi dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dengan pelarut (Rara, 2008).
Disolusi atau pelarutan didefinisikan sebagai proses melarutnya suatu zat
dari sediaan padat dalam medium tertentu. Selain itu disolusi juga dikatakan
sebagai hilangnya kohesi suatu padatan karena aksi dari cairan yang menghasilkan
suatu dispersi homogen bentuk ion (dispersi molekuler) sedangkan kecepatan
pelarutan atau laju pelarutan adalah kecepatan melarutnya zat kimia atau senyawa
zat ke dalam medium tertentu dari suatu padatan (Rara, 2008).

3.1.2 Tetapan Laju Disolusi


Tetapan laju disolusi merupakan suatu besaran yang
menunjukkan jumlah bagian senyawa zat yang larut dalam media per

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 1 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

satuan waktu. Uji disolusi yang diterapkan pada sediaan zat bertujuan untuk
mengukur serta mengetahui jumlah zat aktif yang terlarut dalam media pelarut
yang diketahui volumenya pada waktu dan suhu tertentu, menggunakan
alat tertentu yang didesain untuk uji parameter disolusi.

3.1.3 Tahap Disolusi


Tahap disolusi meliputi proses pelarutan zat pada permukaan partikel
padat yang membentuk larutan jenuh di sekeliling partikel yang dikenal sebagai
lapisan diam (stagnant layer). Kemudian zat yang terlarut dalam lapisan diam ini
berdifusi ke dalam pelarut dari daerah konsentrasi zat yang tinggi ke daerah
konsentrasi zat yang rendah (Hadie, 2007).

3.1.4 Prinsip Kerja Alat Disolusi


Prinsip kerja alat disolusi adapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:

1. Alat terdiri dari sebuah wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan
transparan yang inert, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan
keranjang yang berbentuk silinder dan dipanaskan dengan tangas air suhu
37oC (Dirjen POM, 1995).

2. Alat yang digunakan adalah dayung yang terdiri dari daun dan batang
sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian rupa sehingga
sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikel
wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti (Dirjen
POM, 1995).

3.1.5 Tujuan dan Manfaat Disolusi


Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis
yang penting dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi
telah masuk persyaratan wajib USP untuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak
tahun 1960. Berbagai studi telah berhasil dalam korelasi disolusi invivo dengan
disolusi invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu peramal koefisien terapi,

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 2 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

tetapi disolusi lebih merupakan paramenter mutu yang dapat memberikan


informasi berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk (Martin, 2008).
Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi dan
menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan:
 Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokomia yang ada
dalam model disolusi dapat berarti untuk berpengaruh dalam proses
invivo apabila dikembangkan suatu model yang berhasil meniru
situasi invivo.
 Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya
dengan sifat disolusi dan absorbsinya sesuai.
 Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur
pengendalian mutu untuk produk akhir.
 Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda
dari bentuk sediaan solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan
ketersediaan hayati telah ditetapkan.
 Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses
fofrmulasi dan manufaktur.
 Penetapan kecapatan disolusi intrisik berguna untuk mengetahui sifat
disolusi zat aktif yang beru.
 Agar sistem disolusi invitro bernilai maka sistem hatus meniru secara
dekat sistem invivo sampai tingakat invivo-invivo yang konsisten
tercapai. Oleh karena itu keuntungan dalam biaya, tenaga kerja,
kemudahan dapat diberikan dengan penggunaan sistem (Martin,
2008).

3.2 Kecepatan Disolusi


3.2.1 Pengertian Kecepatan Disolusi
Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu
zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Persamaan kecepatan
menurut Noyes dan Whitney sebagai berikut (Ansel, 1993):
dM.dt-1 : Kecepatan disolusi

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 3 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

D : Koefisien difusi
Cs : Kelarutan zat padat
C : Konsentrasi zat dalam larutan pada waktu tertentu
h : Tebal lapisan difusi

3.2.2 Faktor – faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi

1. Suhu
Meningkatnya suhu umumnya dapat memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat
yang bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat.
Menurut Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan melalui persamaan
berikut:
D=kT/6ƞr
Dimana:
D = Koefisien Difusi
K = Konstanta Boltzman (1,38 × 10-24 joule/atom K)
T = Suhu
r = Jari-jari molekul
ƞ = Viskositas pelarut
(Prasetya dkk, 2012).
2. Viskositas
Turunya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat.
Hal ini sesuai dengan persamaan Einstein. Meningkatnya suhu juga
menurunkan viskositas dan memperbesar kecepatan disolusi (Prasetya
dkk, 2012).
3. pH Pelarut
kelarutan zat aktif yang bersifat asam lemah dan basa lemah dipengaruhi
oleh pH pelarut. Suatu senyawa asam lemah akan memiliki kelarutan yang
lebih besar pada pelarut dengan pH tinggi. Demikian dengan senyawa basa
lemah akan memiliki kelarutan yang lebih besar dalam pelarut dengan pH

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 4 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

rendah. Hal ini sesuai dengan persamaan untuk masing-masing senyawa,


yaitu:
- Asam Lemah
dc
/dt = K S Cs (1+ Ka / H+)
Jika H+ kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat sehingga
kecepatan disolusi zat juga meningkat.
- Basa Lemah
dc
/dt = K S Cs (1+H+/ Ka)
Jika H+ besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat sehingga
kecepatan disolusi juga meningkat (Prasetya dkk, 2012).
4. Kecepatan Pengadukan
Kecepatan pengadukan mempengaruhi kecepatan disolusi beberapa jenis
zat. Pada zat yang mudah menggumpa setelah menjadi partikel, maka
kecepatan pengadukan yang tinggi akan mencegah terjadinya agregat
sehingga pengukuran konsentrasi terdisolusi akan lebih baik. Kecepatan
pengadukan juga mempengaruhi tebal lapisan disolusi (h). Pengadukan
yang cepat menyebabkan tipisnya lapisan difusi sehingga kecepatan
disolusi akan meningkat (Prasetya dkk, 2012).
5. Ukuran Partikel
Ukuran partikel juga mempengaruhi kecepatan disolusi. Semakin kecil
ukuran partikel zat maka luas permukaan efektif semakin besar sehingga
kecepatan disolusi meningkat (Prasetya dkk, 2012).
6. Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur
internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang
berbeda juga. Kristal meta stabil umumnya lebih mudah larut daripada
bentuk stabilnya, sehingga kecepatan disolusinya besar (Prasetya dkk,
2012).
7. Sifat permukaan zat
Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat sifatnya
hydrophobic. Adanya surfaktan di dalam pelarut akan menurun sehingga

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 5 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

zat mudah terbasahi. Akibatnya, kecepatan disolusinya bertambah


(Prasetya dkk, 2012).

3.2.3 Metode penentuan kecepatan disolusi


Ada 2 metode penentuan kecepatan disolusi, yaitu:

1. Metode Suspensi
Serbuk zat padat ditambahkan ke dalam pelarut tanpa pengontrolan
terhadap luas permukaan partikelnya. Sampel diambil pada wakt tertentu dan
jumlah zat yang larut ditentukan dengan cara yang sesuai (Martin, 1993).

2. Metode Permukaan Konstan


Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya
sehingga varuabel perbedaan luas permukaan efektif dapat diabaikan.
Umumnya zat diubah menjadi tablet terlebih dahulu, kemudian ditentukan
seperti pada metode suspensi (Martin, 1993).

3.3 Titrasi Asam Basa

Titrasi asam basa adalah suatu prosedur untuk menentukan kadar


(pH) suatu larutan asam/basa berdasarkan reaksi asam basa. Kadar larutan
asam dapat ditentukan dengan menggunakan larutan basa yang sudah
diketahui kadarnya, dan sebaliknya kadar larutan basa dapat ditentukan
dengan menggunakan larutan asam yang sudah diketahui kadarnya. Titrasi
yang menyandarkan pada jumlah volum larutan disebut titrasi volumetri.
Pengukuran volum diusahakan setepat mungkin dengan menggunakan alat-
alat, seperti buret dan pipet volumetric (Sutresna, 2007).
Larutan yang akan dicari kadarnya dimasukkan ke dalam labu
erlemeyer, sementara larutan yang sudah diketahui kadarnya dimasukkan ke
dalam buret. Sebelum memulai titrasi, larutan yang akan dititrasi ditetesi
larutan indikator. Jenis indikator yang digunakan disesuaikan dengan titrasi

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 6 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

yang dilakukan, misalnya Fenolftalein untuk titrasi asam kuat oleh basa kuat
(Sutresna, 2007).
Secara teknis, titrasi dilakukan dengan cara mereaksikan sedikit
demi sedikit larutan penitrasi melalui buret, ke dalam larutan yang akan
dititrasi dalam labu erlemeyer. Penambahan dilakukan terus menerus sampai
kedua larutan tepat habis bereaksi yang ditandai dengan berubahnya warna
indikator. Kondisi pada saat terjadi perubahan warna indikator disebut titik
akhir titrasi. Titik akhir titrasi diharapkan mendekati titik ekuivalen titrasi,
yaitu kondisi pada saat larutan asam habis bereaksi dengan larutan basa.
Pendekatan antara titik akhir titrasi dan titik ekuivalen titrasi bergantung pada
pH perubahan warna dari larutan indikator. Jika perubahan warna indikator
terletak pada pH titik ekuivalen, maka titik akhir titrasi sama dengan titik
ekuivalen. Akan tetapi, jika perubahan warna terjadi setelah penambahan
larutan penitrasi yang berlebih, maka titik akhir titrasi berbeda dengan titik
ekuivalen. Perbedaan antara titik akhir titrasi dengan titik ekuivalen disebut
kesalahan titrasi. Besar kecilnya kesalahan titrasi ditentukan oleh pemilihan
indikator. Jika indikator yang digunakan tepat, maka kesalahan titrasinya
kecil (Sutresna, 2007).
Dalam titrasi, ada saat dimana terjadi perubahan pH secara drastis.
Kondisi ini terjadi saat titrasi mendekati titik ekuivalen. Perubahan ini akan
tetap terjadi meskipun larutan penitrasi yang ditambahkan sangat sedikit.
Titik ekuivalen dalam titrasi berbeda-beda tergantung jenis titrasinya. Titrasi
asam kuat oleh basa kuat dan sebaliknya mempunyai titik ekuivalen pada pH
7. Titik ekuivalen titrasi asam lemah oleh basa kuat terjadi pada pH basa,
antara 8 dan 9. Sementara titik ekuivalen titrasi basa lemah oleh asam kuat
berada pada pH asam (Sutresna, 2007).

3.4 Monografi Zat

3.4.1 Air Suling

Nama resmi : AQUA DESTILLATA

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 7 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

Nama lain : Aquades, air suling


Rumus Molekul/BM : H2O/18,02
Pemerian : Cairann jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sebagai pelarut

3.4.2 Asam Salisilat

Sinonim : Asam salisilat, Asam 0-hydroksidbenzoat,


Salicylzuur, Salicylic acid, 2-Hydroxybenzoic acid.

Rumus moelkul/BM : C7 H6 O3 / 138,12.

Pemerian : Hablur, serbuk ringan, putih, tidak berbau, masa


agak manis

Kelarutan : 550/air, 4/enatol, 45/CHCL3 3/eter

Khasiat : Antikeratolitik (kosentrasi tinggi), antiseptik dalam


cairan, salap, bedak tabur dan plaster, sebagai garam Na : Antipiretikk dan
Analgetik

Catatan : Dapat menyebabkan ruang kulit pad aorang yang


sensitif (Duin, 1954).

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 8 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

IV PROSEDUR KERJA
4.1 Pengaruh Kecepatan Pengadukan terhadap Kecepatan Disolusi

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 9 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

Bejana diisi dengan 900 mL air suling dan thermostat dipasang pada suhu 30oC

2 gram asam salisilat dimasukkan jika suhu air di dalam bejana sudah mencapai
30oC dan motor penggerak dihidupkan pada kecepatan 50 rpm

Sebanyak 20 mL air diambil dari bejana setiap selang waktu 1, 5, 10, 15, dan
20 menit setelah pengadukan. Setelah selesai pengambilan sampel, segera
digantikan dengan 20 mL air suling

Kadar asam salisilat terlarut dari setiap sempel ditentukan dengan metode
titrasi asam basa menggunakan NaOH dan indikator Fenolftalein. Faktor
koreksi konsentrasi asam salisilat yang diperoleh setiap selang waktu
pengenceran yang dilakukan karena penggantian larutan sempel dengan air
suling dihitung.

Pada suhu 37o dan 45o C dilakukan percobaan yang sama untuk melihat
pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi

Hasil yang diperoleh ditabelkan dan kurva hubungan antar konsentrasi asam
salisilat yang diperoleh dengan waktu dibuat

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 10 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

Bejana diisi degan 900 mL air suling , dan thermostat dipasang pada suhu 30oC

2 gram asam salisilat dimasukkan jika suhu air di dalam bejana sudah mencapai
30oC dan motor penggerak dihidupkan pada kecepatan 50 rpm

Sebanyak 20 mL air diambil dari bejana setiap selang waktu 1, 5, 10, 15, dan
20 menit setelah pengadukan. Setelah selesai pengambilan sampel, segera
digantikan dengan 20 mL air suling

Kadar asam salisilat terlarut dari setiap sempel ditentukan dengan metode
titrasi asam basa menggunakan NaOH dan indikator Fenolftalein. Faktor
koreksi konsentrasi asam salisilat yang diperoleh setiap selang waktu
pengenceran yang dilakukan karena penggantian larutan sempel dengan air
suling dihitung.

Pada suhu kecepatan pengadukan 100 dan 150 rpm dilakukan percobaan yang
sama untuk melihat pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi

Hasil yang diperoleh ditabelkan dan kurva hubungan antar konsentrasi asam
salisilat yang diperoleh dengan waktu dibuat

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 11 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

4.2 Pengaruh Suhu terhadap Kecepatan Disolusi

Bejana diisi dengan 900 mL air suling dan thermostat dipasang pada suhu 30oC

2 gram asam salisilat dimasukkan jika suhu air di dalam bejana sudah mencapai
30oC dan motor penggerak dihidupkan pada kecepatan 50 rpm

Sebanyak 20 mL air diambil dari bejana setiap selang waktu 1, 5, 10, 15, dan
20 menit setelah pengadukan. Setelah selesai pengambilan sampel, segera
digantikan dengan 20 mL air suling

Kadar asam salisilat terlarut dari setiap sempel ditentukan dengan metode
titrasi asam basa menggunakan NaOH dan indikator Fenolftalein. Faktor
koreksi konsentrasi asam salisilat yang diperoleh setiap selang waktu
pengenceran yang dilakukan karena penggantian larutan sempel dengan air
suling dihitung.

Pada suhu 37o dan 45o C dilakukan percobaan yang sama untuk melihat
pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi

Hasil yang diperoleh ditabelkan dan kurva hubungan antar konsentrasi asam
salisilat yang diperoleh dengan waktu dibuat

V DATA PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 12 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

5.1 Tabel Pengamatan

5.1.1 Pengaruh Kecepatan Pengaduk

PENGARUH KECEPATAN PENGADUK


WAKTU
50 RPM 100 RPM 150 RPM
(MENIT)
V (ml) C (N) F(N) V (ml) C (N) F(N) V (ml) C (N) F(N)
1 0,7 1,75 X 10-3 1,75 X 10-3 2,6 6,5 X 10-3 6,5 X 10-3 0,9 2,25 X 10-3 2,25 X 10-3
5 1,4 3,5 X 10-3 3,54 X 10-3 2,1 5,25 X 10-3 5,39 X 10-3 3 7,5 X 10-3 7,55 X 10-3
10 2,1 5,25 X 10-3 5,37 X 10-3 3,3 8,25 X 10-3 8,51 X 10-3 3,9 9,75 X 10-3 9,97 X 10-3
15 2,8 7 X 10-3 7,23 X 10-3 4,3 10,75 X 10-3 11,19 X 10-3 4,6 11,5 X 10-3 11,93 X 10-3
20 3,6 9 X 10-3 9,39 X 10-3 4,7 11,75 X 10-3 12,43 X 10-3 5,1 12,75 X 10-3 13,44X 10-3

5.1.2 Pengaruh Suhu

PENGARUH SUHU
WAKTU
30°C 37°C 45°C
(MENIT)
V (ml) C (N) F(N) V (ml) C (N) F(N) V (ml) C (N) F(N)
1 0,7 1,75 X 10-3 1,75 X 10-3 0,7 1,75 X 10-3 1,75 X 10-3 0,3 0,75 X 10-3 0,75 X 10-3
5 1,4 3,5 X 10-3 3,54 X 10-3 0,9 2,75X 10-3 2,79 X 10-3 1,5 3,75 X 10-3 3,77 X 10-3
10 2,1 5,25 X 10-3 5,37 X 10-3 2,3 5,75 X 10-3 5,85 X 10-3 2,5 6,25 X 10-3 6,35 X 10-3
15 2,8 7 X 10-3 7,23 X 10-3 3,3 8,25 X 10-3 8,48 X 10-3 3,9 9,75 X 10-3 9,99 X 10-3
20 3,6 9 X 10-3 9,39X 10-3 3,8 9,5 X 10-3 9,97 X 10-3 4,6 11,5 X 10-3 11,95 X 10-3

5.2 Perhitungan

5.2.1 Perhitungan NaOH 0,05 N (volume = 250 ml)

g
1000
N  
BE
V
g 1000
0 , 05 N  
40 V
g  0,5 gram

5.2.2 Perhitungan Kecepatan Pengadukan

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 13 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

1. 50 rpm
 1 menit
Dik : V0 = 0,0 ml
Vt = 0,7 ml
V2 = Vt - V0 = 0,7 - 0,0 = 0,7 ml

V1 . N1 = V2. N2
V2 . N2
N1 = V1
0,7 . 0,05
N1 = 20

N1 = 1,75 x 10-3 N

 5 menit
Dik : V0 = 0,7 ml
Vt = 2,1 ml
V2 = Vt - V0 = 2,1 - 0,7 = 1,4 ml

V1 . N1 = V2. N2
V2 . N2
N1 = V1
1,4 . 0,05
N1 = 20

N1 = 3,5 x 10-3 N

 10 menit
Dik : V0 = 2,1 ml
Vt = 4,2 ml
V2 = Vt - V0 = 4,2 – 2,1 = 2,1 ml

V1 . N1 = V2. N2
V2 . N2
N1 = V1
2,1 . 0,05
N1 = 20

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 14 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

N1 = 5,25 x 10-3 N

 15 menit
Dik : V0 = 4,2 ml
Vt = 7 ml
V2 = Vt - V0 = 7 – 4,2 = 2,8 ml

V1 . N1 = V2. N2
V2 . N2
N1 = V1
2,8 . 0,05
N1 = 20

N1 = 7 x 10-3 N

 20 menit
Dik : V0 = 7,0 ml
Vt = 10,6 ml
V2 = Vt - V0 = 10,6 – 7,0 = 3,6 ml

V1 . N1 = V2. N2

V2 . N2
N1 = V1

3,6 . 0,05
N1 = 20

N1 = 9 x 10-3 N

2. 100 rpm
 1 menit
Dik : V0 = 10,6 ml
Vt = 13,2 ml
V2 = Vt - V0 = 13,2 – 10,6 = 2,6 ml

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 15 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

V1 . N1 = V2. N2
V2 . N2
N1 = V1

2,6 . 0,05
N1 = 20

N1 = 6,5 x 10-3 N

 5 menit
Dik : V0 = 13,2 ml
Vt = 15,7 ml
V2 = Vt - V0 = 15,7-13,2 = 2,1 ml

V1 . N1 = V2. N2
V2 . N2
N1 = V1

2,1 . 0,05
N1 = 20

N1 = 5,25x 10-3 N

 10 menit

Dik : V0 = 15,7 ml

Vt = 18,6 ml

V2 = Vt - V0 = 18,6-15,7 = 2,3 ml

V1 . N1 = V2. N2

V2 . N2
N1 = V1

3,3 . 0,05
N1 = 20

N1 = 8,25 x 10-3 N

 15 menit

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 16 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

Dik : V0 = 18,6 ml

Vt = 22,9 ml

V2 = Vt - V0 = 22,9-18,6 = 4,3 ml

V1 . N1 = V2. N2

V2 . N2
N1 = V1

4,3 . 0,05
N1 = 20

N1 = 10,75 x 10-3 N

 20 menit

Dik : V0 = 22,9 ml

Vt = 27,6 ml

V2 = Vt - V0 = 27,6- 22,9 = 4,7 ml

V1 . N1 = V2. N2

V2 . N2
N1 = V1

4,7 . 0,05
N1 = 20

N1 = 11,75 x 10-3 N

3. 150 rpm
 1 menit
Dik : V0 = 27,6 ml
Vt = 28,5 ml
V2 = Vt - V0 = 28,5-27,6 = 0,9 ml

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 17 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

V1 . N1 = V2. N2

V2 . N2
N1 = V1

0,9 . 0,05
N1 = 20

N1 = 2,25 x 10-3 N

 5 menit
Dik : V0 = 28,5ml
Vt = 31,5 ml
V2 = Vt - V0 = 31,5-28,5 = 3 ml

V1 . N1 = V2. N2

V2 . N2
N1 = V1

3 . 0,05
N1 =
20

N1 =7,5 x 10-3 N

 10 menit
Dik : V0 = 31,5 ml
Vt = 35,4 ml

V2 = Vt - V0 = 35,4-31,5 = 3,9 ml

V1 . N1 = V2. N2

V2 . N2
N1 = V1

3,9 . 0,05
N1 = 20

N1 = 9,75 x 10-3 N

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 18 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

 15 menit
Dik : V0 = 35,4 ml
Vt = 40 ml

V2 = Vt - V0 = 40-35,4 = 4,6 ml

V1 . N1 = V2. N2

V2 . N2
N1 =
V1

4,6 . 0,05
N1 = 20

N1 = 11,5 x 10-3 N

 20 menit

Dik : V0 = 40 ml

Vt = 45,1 ml

V2 = Vt - V0 = 45,1- 40 = 5,1 ml

V1 . N1 = V2. N2

V2 . N2
N1 = V1

5,1 . 0,05
N1 = 20

N1 = 12,75 x 10-3 N

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 19 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

5.2.3 Faktor koreksi pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan


disolusi

1. 50 Rpm

N1'  N1  1,75 10 -3 N

20
N5'  N5  (N1)
900
N5'  3,5  10 -3 
20
900

1,75  10 -3 
N5'  3,54  10 N-3

20
N10'  N10  ( N1  N5)
900
20
N10'  5,25  10 -3  (1,75  10 -3  5,25  10 3 )
900
N10'  5,37  10 N
-3

20
N15'  N15  (N1  N5  N10)
900
20
N15'  7  10 -3  (1,75  10 3  10,5  10 3  5,25  10 3 )
900
N15'  7,23  10 -3 N

20
N20'  N20  (N1  N5  N10  N15)
900
20
N20'  9  10 -3  (17,5  10 3 )
900
N20'  9,39  10 N-3

2. 100 rpm

N1'  N1  6,5 10 -3 N


20
N5'  N5  (N1)
900
N5'  5,39 10 -3 
20
900
6,5 10 -3  
N5'  8,5110 -3 N

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 20 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

20
N10'  N10  ( N1  N5)
900
20
N10'  8,25  10 -3  (6,5  10 -3  5,25  10 3 )
900
N10'  8,51  10 -3 N

20
N15'  N15  (N1  N5  N10)
900
20
N15'  10,75  10 -3  (6,5  10 3  8,25  10 3  5,25  10 3 )
900
N15'  11,19  10 -3 N

20
N20'  N20  (N1  N5  N10  N15)
900
20
N20'  11,75 10 -3  (6,5 10 3  8,25 10 3  5,25 10 3  11,19 10 3 )
900
N20'  12,43 10 N
-3

3. 150 rpm

N1'  N1  2,25  10 -3 N

20
N5'  N5  (N1)
900
N5'  7,5  10 -3 
20
900

2,25  10 -3 
N5'  7,55  10 N-3

20
N10'  N10  ( N1  N5)
900
20
N10'  9,75 10 -3  (2,25 10 -3  7,5 10 3 )
900
N10'  9,97 10 N
-3

20
N15'  N15  (N1  N5  N10)
900
20
N15'  11,5 10 -3  (2,25 10 3  7,5 10 3  9,75 10 3 )
900
N15'  11,93 10 N-3

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 21 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

20
N20'  N20  (N1  N5  N10  N15)
900
20
N20'  12,75  (2,25 10 3  7,5 10 3  9,75 10 3  11,5 10 3 )
900
N20'  13,44 10 -3 N

5.2.4 Perhitungan Suhu

1. 30o C
 1 menit
Dik : V0 = 0,0 ml
Vt = 0,7 ml
V2 = Vt - V0 = 0,7 - 0,0 = 0,7 ml
V1 . N1 = V2. N2
V2 . N2
N1 = V1
0,7 . 0,05
N1 = 20

N1 = 1,75 x 10-3 N

 5 menit
Dik : V0 = 0,7 ml
Vt = 2,1 ml
V2 = Vt - V0 = 2,1 - 0,7 = 1,4 ml
V1 . N1 = V2. N2
V2 . N2
N1 = V1
1,4 . 0,05
N1 = 20

N1 = 3,5 x 10-3 N

 10 menit
Dik : V0 = 2,1 ml

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 22 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

Vt = 4,2 ml
V2 = Vt - V0 = 4,2 – 2,1 = 2,1 ml

V1 . N1 = V2. N2
V2 . N2
N1 = V1
2,1 . 0,05
N1 = 20

N1 = 5,25 x 10-3 N

 15 menit
Dik : V0 = 4,2 ml
Vt = 7 ml
V2 = Vt - V0 = 7 – 4,2 = 2,8 ml
V1 . N1 = V2. N2
V2 . N2
N1 = V1
2,8 . 0,05
N1 =
20

N1 = 7 x 10-3 N

 20 menit
Dik : V0 = 7,0 ml
Vt = 10,6 ml
V2 = Vt - V0 = 10,6 – 7,0 = 3,6 ml
V1 . N1 = V2. N2
V2 . N2
N1 = V1
3,6 . 0,05
N1 = 20

N1 = 9 x 10-3 N

2. 37 o C
 1 menit
Dik : V0 = 0,0 ml

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 23 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

Vt = 0,7 ml
V2 = Vt - V0 = 0,7 - 0,0 = 0,7 ml
V1 . N1 = V2. N2
V2 . N2
N1 = V1

0,7 . 0,05
N1 = 20

N1 = 1,75 x 10-3 N

 5 menit
Dik : V0 = 0,7 ml
Vt = 1,8 ml
V2 = Vt - V0 = 1,8 - 0,7 = 1,1 ml
V1 . N1 = V2. N2
V2 . N2
N1 = V1

1,1 . 0,05
N1 =
20

N1 = 2,75 x 10-3 N

 10 menit

Dik : V0 = 1,8 ml

Vt = 4,1 ml
V2 = Vt - V0 = 4,1 – 1,8 = 2,3 ml
V1 . N1 = V2. N2

V2 . N2
N1 = V1

2,3 . 0,05
N1 = 20

N1 = 5,75 x 10-3 N

 15 menit

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 24 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

Dik : V0 = 4,1 ml

Vt = 7,4 ml

V2 = Vt - V0 = 7,4 – 4,1 = 3,3 ml

V1 . N1 = V2. N2

V2 . N2
N1 = V1

3,3 . 0,05
N1 = 20

N1 = 8,25 x 10-3 N

 20 menit

Dik : V0 = 7,4 ml

Vt = 11,2 ml

V2 = Vt - V0 = 11,2 – 7,4 = 3,8 ml

V1 . N1 = V2. N2

V2 . N2
N1 =
V1

3,8 . 0,05
N1 = 20

N1 = 9,5 x 10-3 N

3. 45 o C
 1 menit
Dik : V0 = 11,2 ml
Vt = 11,5 ml
V2 = Vt - V0 = 11,5 – 11,2 = 0,3 ml
V1 . N1 = V2. N2

V2 . N2
N1 = V1

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 25 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

0,3 . 0,05
N1 = 20

N1 = 0,75 x 10-3 N

 5 menit
Dik : V0 = 11,5 ml
Vt = 13 ml
V2 = Vt - V0 = 13 – 11,5 = 1,5 ml

V1 . N1 = V2. N2

V2 . N2
N1 = V1

1,5 . 0,05
N1 = 20

N1 = 3,75 x 10-3 N

 10 menit
Dik : V0 = 13 ml
Vt = 15,5 ml

V2 = Vt - V0 = 15,5 – 13 = 2,5 ml

V1 . N1 = V2. N2

V2 . N2
N1 = V1

2,5 . 0,05
N1 = 20

N1 = 6,25 x 10-3 N

 15 menit
Dik : V0 = 15,5 ml
Vt = 19,4 ml

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 26 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

V2 = Vt - V0 = 19,4 – 15,5 = 3,9 ml

V1 . N1 = V2. N2

V2 . N2
N1 = V1

3,9 . 0,05
N1 = 20

N1 = 9,75 x 10-3 N

 20 menit

Dik : V0 = 19,4 ml

Vt = 24 ml

V2 = Vt - V0 = 24 – 19,4 = 4,6 ml

V1 . N1 = V2. N2

V2 . N2
N1 = V1

4,6 . 0,05
N1 = 20

N1 = 11,5 x 10-3 N

5.2.5 Faktor koreksi pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi


1. 30o C

N1'  N1  1,75 10 -3 N


20
N5'  N5  (N1)
900
N5'  3,5  10 -3 
20
900

1,75  10 -3 
N5'  3,54  10 N-3

20
N10'  N10  ( N1  N5)
900
20
N10'  5,25  10 -3  (1,75  10 -3  5,25  10 3 )
900
N10'  5,37  10 -3 N

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 27 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

20
N15'  N15  (N1  N5  N10)
900
20
N15'  7  10 -3  (1,75  10 3  10,5  10 3  5,25  10 3 )
900
N15'  7,23  10 N-3

20
N20'  N20  (N1  N5  N10  N15)
900
20
N20'  9  10 -3  (1,75  10 3  3,5  10 3  7  10 3 )
900
N20'  9,39  10 N-3

2. 37oC

N1'  N1  1,75  10 -3 N
20
N5'  N5  (N1)
900
N5'  2,75 10 -3 
20
900

1,75 10 -3 
N5'  2,79 10 N-3

20
N10'  N10  ( N1  N5)
900
20
N10'  5,75 10 -3  (1,75 10 -3  5,25 10 3 )
900
N10'  5,35 10 N
-3

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 28 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

20
N15'  N15  (N1  N5  N10)
900
20
N15'  7 10 -3  (1,75 10 3  10,5 10 3  5,25 10 3 )
900
N15'  8,48 10 -3 N

20
N20'  N20  (N1  N5  N10  N15)
900
20
N20'  9 10 -3  (1,75 10 3  2,25 10 3  5,75 10 3  8,25 10 3 )
900
N20'  9,91 10 N-3

3. 45°C

N1'  N1  0,75  10 -3 N

20
N5'  N5  (N1)
900
N5'  3,75  10- 3 
20
900
0,75  10- 3  
N5'  3,77  10 N
-3

20
N10'  N10  ( N1  N5)
900
20
N10'  6,25 10 -3  (0,75 10 -3  3,75 10 3 )
900
N10'  6,35 10 -3 N

20
N15'  N15  (N1  N5  N10)
900
20
N15'  9,75 10 -3  (0,75 10 3  3,75 10 3  6,25 10 3 )
900
N15'  9,99 10 -3 N

20
N20'  N20  (N1  N5  N10  N15)
900
20
N20'  11,5 10 -3  (0,75 10 3  3,75 10 3  6,25 10 3  9,75 10 3 )
900
N20'  11,95 10 -3 N
Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 29 dari 30
Laporan Praktikum Farmasi Fisika 1441H/2019M

VI PEMBAHASAN

VII KESIMPULAN

Dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa suhu dan kecepatan


pengadukan berpengaruh terhadap kecepatan disolusi, dimana semakin
tinggi suhu maka semakin cepat kecepatan disolusinya. Begitu pun dengan
kecepatan pengadukan, semakin cepat kecepatan pengadukan maka semakin
cepat pula kecepatan disolusinya.

DAFTAR PUSTAKA

Ansel. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press: Jakarta.


Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi III, Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.
Martin, Alfred. (1993). Farmasi Fisika. Universitas Indonesia Press: Jakarta
Rara. (2008). Uji Disolusi (ketersediaan hayati in vitro).
http://rara87.wordpress.co/2008/11/29/uji-ketersediaan-hayati-in-vitro/. Diakses
Tanggal 13 Oktober 2019.
Prasetya, Jemmy Anton dkk. (2012). Petunjuk Praktikum Farmasi Fisika.
Jimbaran: Udayana University Press.
Sutresna, Nana. 2007. Cerdas Belajar Kimia. Bandung: Grafindo.
Van Duin, C.F. (1954). Buku Penuntun Ilmu Resep Dalam Praktek dan Teori.
Jakarta: Soeroengan.

Laboratorium Farmasi Terpadu Unit E – Farmasetika | Program Studi Farmasi | Fakultas MIPA – Unisba Halaman 30 dari 30

Anda mungkin juga menyukai