Anda di halaman 1dari 11

BAB 2

KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT:
PARADIGMA BARU DALAM MANAJEMEN BENCANA DI INDONESIA

ABSTRAK
Sebagai sebuah area yang “akrab” dengan risiko bencana alam, Indonesia telah
mengalami kehilangan ratusan hingga ribuan nyawa yang diakibatkan oleh bencana
gempa bumi dan tsunami. Besarnya angka kehilangan nyawa tersebut mencerminkan
akan kesiapsiagaan masyarakat yang sangat rendah, khususnya terkait dengan kurangnya
pengetahuan dan kesadaran mengenai bahaya bencana alam dan dampak negatif dari
bencana tersebut. Meskipun Pemerintah Indonesia telah mempersiapkan Kantor
Manajemen Penanggulangan Bencana baik di tingkat nasional, provinsi dan
kabupaten/kota, tugas utama dan fokus organisasi ini lebih kepada penanganan kegiatan
pasca bencana, khususnya selama tahap tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi,
sehingga faktor kesiapsiagaan masyarakat seringkali diabaikan. Secara umum provinsi-
provinsi di Indonesia teridentifikasi sebagai wilayah dengan risiko bencana yang tinggi.
Kondisi tersebut di atas menunjukkan bahwa seluruh nelayan dan masyarakat yang
tinggal di kawasan pesisir sangat rentan terhadap risiko bencana. Dalam hal ini tentunya
upaya untuk melakukan edukasi publik dan kesiapsiagaan masyarakat menjadi hal yang
sangat penting dan dibutuhkan dengan segera untuk dipersiapkan. Sehingga upaya
meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat, khususnya dalam menghadapi bencana gempa
bumi dan tsunami, menjadi paradigma baru dalam manajemen bencana di Indonesia.
Tujuan utama dari hal tersebut adalah untuk memperkuat kapasitas masyarakat dalam
mengurangi dampak kerusakan akibat bencana dengan meningkatkan pemahaman
berbagai lapisan masyarakat mengenai bahaya dan bencana. Selain itu juga untuk
menyediakan panduan praktis mengenai berbagai hal yang harus dipersiapkan dan
dilakukan sebelum, selama dan sesudah kejadian bencana.

2.1 URGENSI PERUBAHAN PARADIGMA DALAM MANAJEMEN


PENANGGULANGAN BENCANA
Manajemen bencana di Indonesia selama ini masih difokuskan pada penanganan
pasca bencana, yang sangat bergantung sekali pada kondisi tanggap darurat selama dan

Halaman 2 dari 12
sesaat setelah bencana, serta tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Pada saat bencana
terjadi, Pemerintah, khususnya institusi yang bertanggungjawab, yaitu Badan Nasional
Penanggulangan Bencana atau dikenal dengan nama BNPB, dan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah, atau pemangku kepentingan lain yang terkait, seringkali disibukkan
dengan proses pencarian, penyelamatan dan evakuasi korban bencana. Kemudian setelah
itu, Pemerintah mulai menyediakan kebutuhan dasar bagi para pengungsi, seperti
makanan, pelayanan kesehatan dan tempat tinggal sementara. Meskipun Pemerintah
memiliki pengalaman dalam manajemen pasca bencana sepanjang wilayah Indonesia,
Pemerintah tetap sering mengalami berbagai kesulitan dalam menyediakan kebutuhan
dasar bagi para korban bencana, terutama karena besarnya jumlah pengungsi dan tersebar
dalam area yang luas, serta lokasi bencana yang terisolir.
Masa tanggap darurat telah terbukti tidak efektif dalam mengurangi risiko bencana,
khususnya dalam menyelamatkan nyawa masyarakat. Kejadian gempa bumi dan tsunami
yang pernah terjadi menunjukkan bahwa bencana-bencana ini telah mengambil banyak
korban jiwa dan menimbulkan kerugian material yang tidak sedikit di Indonesia. Hal
tersebut pernah terjadi pada saat bencana gempa bumi dan tsunami di Provinsi NAD dan
Kabupaten Nias pada 26 Desember 2004 menyebabkan lebih kurang 170.000 orang
meninggal dunia, 37.000 hilang dan 500.000 orang menjadi pengungsi.
Kejadian bencana yang luar biasa di Aceh tersebut telah menyebabkan perubahan
demografis di daerah yang terkena dampak tsunami. Sebagai contoh di Kabupaten Aceh
Besar, jumlah penduduk menurun secara substansial, hingga mencapai sekitar 70% di
Kecamatan Leupung. Tsunami telah membunuh sebagian besar penduduk di Dayah
Mamplam di Leupung, hingga menyisakan sekitar 12% penduduk saja yang masih hidup.
Sebagian besar korban berasal dari kelompok yang rentan yaitu wanita dan anak-anak.
Ran fastBencana tersebut juga telah menyebabkan meningkatnya rasio gender dari angka
96 menjadi 131 di Leupung. Selain itu kepadatan penduduk juga menurun drastis dari 104
menjadi 34 jiwa per km2 di Leupung.
Masyarakat panik ketika bencana terjadi di Aceh. Kebanyakan orang pada saat itu
tidak mengetahui apa yang harus dilakukan dan bagaimana menyelamatkan diri, sehingga
mengakibatkan banyak korban. Banyak masyarakat pesisir berlari ke pantai untuk
menangkap ikan saat air laut terlihat surut di wilayah pesisir dan banyak ikan
bermunculan di permukaan air pasca gempa bumi. Masyarakat tidak mengetahui bahwa

Halaman 3 dari 12
hal tersebut merupakan pertanda alam dari bencana tsunami. Pada saat tsunami datang,
masyarakat dilanda kepanikan dan berlari kencang namun tentunya sudah terlambat.
Risiko bencana gempa bumi dan tsunami sangat bervariasi, tergantung pada kondisi
kerentanan fisik dan sosial ekonomi pada setiap lokasi. Zona gempa bumi, menurut para
ahli geologi, ditemukan di hampir semua bagian negara, mulai dari ujung utara Pulau
Sumatera hingga ke bagian utara Pulau Papua. Selain itu pantai barat Pulau Sumatera,
pantai selatan Pulau Jawa, Pulau Maluku, Pulau Sulawesi dan bagian utara Pulau Papua
juga dinilai rentan terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Sebagian besar tsunami di
Indonesia dikelompokkan sebagai tipe lokal dengan sumber sekitar 100-200 km dari
pantai dan sekitar 10-30 menit waktu pencapaiannya ke wilayah pantai. Hal ini berarti
seluruh masyarakat pesisir dan para nelayan sangat rentan terkena bencana.
Hilangnya nyawa dalam jumlah besar dan perubahan keadaan kependudukan
menunjukkan bahwa kesiapsiagaan bencana masyarakat di daerah bencana masih sangat
rendah. Hal ini tentunya berkaitan erat dengan kurangnya pengetahuan dan kesadaran
tentang bencana gempa bumi dan tsunami serta kurangnya keterampilan untuk
mengurangi risiko bencana. Menyadari tingkat kerentanannya yang tinggi, masyarakat
tidak punya pilihan lain selain mempersiapkan diri dalam mengantisipasi bencana
semacam itu.

2.2 MOMENTUM UNTUK PARADIGMA BARU


Bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh bukanlah bencana yang pertama di
Indonesia, begitu banyak bencana telah terjadi sejak dulu. Selama 100 tahun terakhir,
telah terjadi lebih kurang 64 kejadian gempa bumi. Antara tahun 1801 dan 2010, gempa
bumi telah menyebabkan lebih dari 100 tsunami.
Pada saat bencana tsunami besar terjadi di Aceh, sebagian besar masyarakat
Indonesia dalam kondisi terkejut dan bingung. Besarnya jumlah korban yang ditimbulkan
menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia tidak belajar dan tidak memperdulikan
kejadian bencana-bencana sebelumnya, serta tidak mempersiapkan diri untuk
mengantisipasi kejadian bencana yang akan datang. Sebagian besar masyarakat Indonesia
tidak menyadari atau tidak mempedulikan bukti sejarah kejadian bencana dan menaruh
perhatian yang sangat kecil sekali terhadap pentingnya kesiapsiagaan masyarakat dalam
mengurangi risiko bencana.

Halaman 4 dari 12
Kondisi tersebut secara umum terjadi di seluruh negeri ini, dan sangat mungkin
sekali berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai berbagai bencana gempa
bumi dan tsunami sebelumnya. Dengan demikian bencana alam dan pengurangan risiko
bencana bukan menjadi prioritas utama dalam kebijakan dan program pemerintah.
Kurangnya informasi juga dapat disebabkan karena terbatasnya media publikasi dan
media penyiaran dalam sosialisasi mengenai hal tersebut. Sebelum tahun 1990-an,
jumlah, cakupan dan kapasitas stasiun televisi, radio, koran dan majalah masih sangat
terbatas. Selain itu, sebagian besar orang percaya bahwa bencana datang dari Allah dan
mereka harus tunduk atau pasrah akan hal ini, dengan tulus hati dan jiwa, menerima
kejadian bencana tersebut.
Ketika bencana tsunami terjadi di Aceh, sebagian besar pelayanan kantor
pemerintah tidak berjalan, dikarenakan beberapa pegawainya ada yang menjadi korban
tsunami dan yang lainnya disibukkan oleh menyelamatkan dirinya masing-masing atau
mencari anggota keluarga atau kerabatnya yang hilang. Bantuan dari luar Aceh datang
agak terlambat, dikarenakan terdapat kendala akses berupa kerusakan yang signifikan
terhadap sarana dan prasarana transportasi, seperti jalan, jembatan dan pelabuhan. Selain
itu, banyak pula korban yang tidak dapat diselamatkan karena peralatan pertolongan
pertama, pencarian dan penyelamatan (SAR) juga datang terlambat, disaat perlengkapan
pelayanan kesehatan juga sangat terbatas selama masa kritis ini, sesaat setelah terjadi
bencana. Oleh karena itu, akhirnya masyarakat Aceh dengan kemampuan dan kapasitas
yang terbatas, berupaya mengatasi sendiri hal tersebut sebelum bantuan dari luar masuk
ke dalam lokasi bencana.
Banyak anggota masyarakat dikarenakan kondisi psikologi mereka tidak
mengambil inisiatif untuk menyelamatkan keadaan korban lain yang terdekat. Masih
dengan diliputi perasaan cemas, mereka mencari anggota keluarga atau kerabat mereka,
di tengah kondisi pasca bencana yang tak menentu. Saat melewati tubuh-tubuh korban
bencana, mereka memeriksa satu persatu apakah termasuk anggota keluarga atau kerabat
mereka. Jika bukan, mereka kemudian dengan segera mencari kembali untuk dapat
memastikan apakah keluarga atau kerabat mereka selamat atau telah meninggal. Mereka
meninggalkan begitu saja para korban bencana tanpa memberikan pertolongan, sehingga
menyebabkan semakin banyak kemungkinan korban jiwa karena dibiarkan tanpa
pertolongan. Meskipun keyakinan Muslim bahwa hidup seseorang tergantung terhadap

Halaman 5 dari 12
kehendak Allah, para korban bencana memiliki kemungkinan dapat bertahan hidup
apabila korban selamat lainnya memberikan bantuan pertolongan, meskipun bantuan
pertolongan tersebut sangat kecil sekali.
Konsep saling membantu satu sama lain, meskipun korban bukan merupakan
anggota keluarga maupun kerabat yang tidak dikenal, perlu ditumbuhkan dan
dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat. Apabila setiap korban selamat dapat
membantu korban terdekat, hal ini dapat menyelamatkan nyawa korban tersebut. Dan
dimungkinkan pula setiap anggota keluarga atau kerabat dari korban selamat tersebut
yang berada di wilayah lain juga dapat diselamatkan oleh korban selamat lainnya di
daerah tersebut. Tindakan ini tentunya dapat menurunkan individualistis dan fanatisme
keluarga atau kelompok, dan untuk tujuan kemanusiaan, hal tersebut dapat mengurangi
risiko bencana.
Namun, beberapa korban selamat dari bencana mengatakan bahwa mereka tidak
membantu korban lain karena mereka tidak tahu apa atau bagaimana melakukannya.
Mereka panik dan tidak bisa berpikir dengan benar. Mereka sangat khawatir dengan
kondisi anggota keluarga mereka; sehingga, mereka berusaha keras untuk
menemukannya tanpa mempertimbangkan situasi yang terjadi saat itu. Beberapa orang
yang selamat mencoba membantu korban lain, tetapi karena kurangnya pengetahuan dan
keterampilan mereka, ternyata mereka menciptakan lebih banyak masalah kesehatan,
seperti dengan membawa korban patah tulang pada posisi yang salah, menyebabkan lebih
banyak rasa sakit bagi para korban.
Paradigma lama penanggulangan bencana di Indonesia, yang berfokus pada
manajemen pasca bencana, membuktikan bahwa hal itu tidak dapat mengurangi risiko
bencana, terutama jumlah korban, dan pengalaman bencana sebelumnya mencatat bahwa
jumlah total korban jiwa terlalu besar dan harus diminimalkan dan berkurang secara
signifikan. Akibatnya, paradigma lama harus diubah menjadi paradigma baru yang
mencakup kesiapsiagaan dan mitigasi masyarakat dalam penanggulangan bencana. Sejak
itu terjadi, bencana aceh telah menjadi momentum penting dan tepat untuk mengubah
paradigma.
Paradigma baru sebenarnya telah didukung oleh pemerintah dalam Undang-
Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sehingga jelas

Halaman 6 dari 12
berdasarkan hal ini bahwa manajemen penanggulangan bencana meliputi pencegahan,
kesiapsiagaan bencana dan mitigasi.

2.3 DARI SAINS KE INFORMASI YANG LEBIH POPULER


Meningkatkan kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat sangat penting untuk
mengurangi risiko bencana, dan oleh karena itu harus diperhitungkan dalam manajemen
bencana. Sebelum bencana Aceh, pengetahuan tentang gempa bumi dan tsunami sangat
jarang diketahui oleh kalangan orang awam di Indonesia. Gempa bumi dan tsunami
menjadi hal yang eksklusif, hanya dapat dipahami oleh kalangan ilmuwan dan peneliti
secara terbatas saja. Kebanyakan orang Indonesia tidak tahu dan tidak menyadari bahaya
alam ini, walaupun Indonesia memiliki banyak pengalaman mengenai gempa dan
tsunami. Rendahnya pengetahuan tentang gempa bumi dan tsunami tidak hanya domain
orang biasa dengan tingkat pendidikan yang rendah tetapi juga mereka yang lebih
berpendidikan. Seorang guru sekolah dasar di Aceh, misalnya, menjelaskan bahwa: “Saya
tidak tahu tentang gempa bumi, ketika gempa kuat terjadi, saya pikir ada sesuatu yang
salah dengan saya, saya terhuyung-huyung dan hampir jatuh, saya pikir sudah waktunya
bagi saya untuk berjumpa dengan Allah - untuk mati”.
Pengetahuan dan informasi tentang gempa bumi dan tsunami sangat penting.
Pertanyaannya adalah bagaimana mentransfer "sains" yang "dipahami sebagai sesuatu"
yang "sulit dimengerti", "membingungkan" dan "membeku" bagi kebanyakan orang
biasa, untuk menjadi pengetahuan yang mudah dipahami, menarik dan meningkatkan
motivasi orang untuk bersiap dalam mengantisipasi bencana? Pertanyaan ini harus
dijawab oleh ahli geologi, peneliti dan praktisi pendidikan serta para pejabat yang
menangani penanggulangan bencana di Indonesia. Pertanyaan tersebut juga berlaku untuk
pemangku kepentingan terkait lainnya, seperti spesialis komunikasi, ilmuwan sosial dan
ahli desain grafis. Para pemangku kepentingan ini menghadapi tantangan besar untuk
membuat gempa bumi dan tsunami, baik proses alami maupun dampaknya terhadap
masyarakat lokal dan lingkungan sekitarnya, menjadi informasi yang lebih populer dan
yang mudah dipahami serta dapat diimplementasikan oleh siapa saja.

2.4 MENINGKATKAN KESADARAN DAN KESIAPSIAGAAN MASYARAKAT

Halaman 7 dari 12
Bencana yang mengerikan di Aceh sangat mengejutkan masyarakat Indonesia dan
dunia pada umumnya. Bencana ini memberikan pengalaman sangat luar biasa yang dapat
menjadi pembelajaran sangat penting dan momentum yang sangat berharga untuk
merubah paradigma dalam penanggulangan bencana di Indonesia. Peningkatan kesadaran
dan kesiapsiagaan masyarakat seharusnya dimasukkan kedalam siklus penanggulangan
bencana untuk pengurangan risiko bencana.
Tsunami besar di Aceh telah menjadi momentum dan inspirasi bagi berbagai
lembaga atau institusi dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat, sehingga berbagai
inisiatif telah dilakukan. Berbagai inisiatif yang berbeda dalam kesiapsiagaan bencana
berbasis masyarakat telah dilaksanakan di negeri ini, pada berbagai level yang berbeda
dan dalam berbagai pendekatan yang dilaksanakan oleh berbagai organisasi yang
berbeda. Saat ini sulit untuk mengetahui sejauh mana upaya telah dapat dicapai karena
bahan kesiapsiagaan bervariasi dan tanpa standar yang ditetapkan, tergantung pada minat,
persiapan dan kapasitas masing-masing organisasi. Oleh karena itu, kerangka kerja untuk
kesiapsiagaan masyarakat sangat penting dan sangat dibutuhkan untuk menjadi standar
dan alat untuk mengukur kesiapsiagaan masyarakat.
Sebagai upaya pengakuan terhadap pentingnya kerangka kesiapsiagaan
masyarakat, LIPI bekerja sama dengan UNESCO / ISDR, mengembangkan kerangka
kerja pada tahun 2006 yang terdiri dari parameter, yaitu pengetahuan tentang bahaya alam
dan bencana; pernyataan dan peraturan kebijakan; rencana tanggap darurat (khususnya
yang terkait dengan penyelamatan, pertolongan pertama, evakuasi, penyediaan kebutuhan
dasar bagi para korban selamat dan fasilitas penting); sistem peringatan dan distribusinya;
dan kapasitas mobilisasi sumber daya (terutama sumber daya manusia, anggaran,
infrastruktur dan alat yang relevan).
Menggunakan kerangka kerja ini, LIPI dan UNESCO / ISDR pada tahun 2006 dan
LIPI pada tahun 2007-2008 melakukan penilaian kesiapsiagaan masyarakat di 9 daerah
rawan bencana di seluruh Indonesia, termasuk di Sumatera (Kabupaten Aceh Besar dan
Padang Pariaman, serta kota-kota seperti di Kota Padang dan Kota Bengkulu), di Jawa
(Kabupaten Serang dan Kabupaten Cilacap), di Nusa Tenggara (Kabupaten Sikka), di
Maluku (Kota Ternate), dan di Papua (Kabupaten Biak). Penilaian tersebut menerapkan
kombinasi pendekatan kualitatif (survei) dan kuantitatif (wawancara mendalam, diskusi
kelompok terfokus, lokakarya, dan observasi).

Halaman 8 dari 12
Sebagian besar lokasi studi tidak cukup siap dalam mengantisipasi bencana gempa
dan tsunami. Hanya Kota Padang dan Kabupaten Cilacap yang hampir siap. Tingkat
kesiapsiagaan masyarakat dihitung dari indeks kumulatif tiga pemangku kepentingan
utama, yaitu rumah tangga, pemerintah, dan komunitas sekolah. Kurangnya persiapan
dapat dilihat di semua pemangku kepentingan utama, yaitu rumah tangga, pemerintah dan
komunitas sekolah. Indeks terendah ditemukan di Kota Bengkulu, Kabupaten Sikka dan
di Biak. Kondisi ini mengejutkan, karena daerah ini memiliki banyak pengalaman
bencana, gempa bumi di Bengkulu (2000) dan Biak (1996) serta tsunami di Flores / Sikka
(1992). Hasil penilaian membuktikan bahwa masyarakat di daerah-daerah ini tidak
memperhitungkan bencana sebelumnya dan menerimanya sebagai pembelajaran; oleh
karena itu, kesiapan mereka masih rendah.
Informasi tentang bahaya gempa bumi dan tsunami serta saat terjadi bencana dan
setelah tsunami Aceh dan bencana lainnya sangat banyak dan intensif, terutama dari
media massa, termasuk televisi, radio dan surat kabar. Informasi telah meningkatkan
pengetahuan masyarakat di lokasi penelitian ini, dan berkontribusi pada tingkat kesadaran
masyarakat.
Namun, peningkatan pengetahuan tersebut tidak diikuti oleh meningkatnya
tindakan kesiapsiagaan. Kondisi ini ditunjukkan oleh kurangnya persiapan rencana
tanggap darurat oleh rumah tangga. Rumah tangga di sebagian besar lokasi tidak memiliki
rencana evakuasi, peralatan darurat atau perjanjian di mana anggota rumah tangga harus
bertemu ketika bencana terjadi. Sebagian besar rumah tangga di sebagian besar lokasi
belum mengikuti peringatan dan / atau latihan atau simulasi evakuasi. selain itu, sebagian
besar rumah tangga memiliki pengetahuan yang terbatas tentang sistem peringatan dini.
Mereka tidak tahu bahwa pemerintah telah membentuk Sistem Peringatan Dini.
Kurangnya kesiapan rumah tangga juga disebabkan oleh terbatasnya kapasitas mereka
dalam memobilisasi sumber daya. Sebagian besar rumah tangga mengakui bahwa
anggota rumah tangga mereka tidak meningkatkan keterampilan mereka dalam
mengurangi risiko bencana.

2.5 PERAN PEMERINTAH

Halaman 9 dari 12
Pemerintah adalah pemangku kepentingan utama yang harus memainkan peran
penting dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat. Kesiapsiagaan pemerintah
karena itu bersifat menghancurkan, terutama dalam kondisi di mana kesadaran dan
kesiapsiagaan masyarakat masih rendah.
Hasil penilaian menginformasikan bahwa peran pemerintah dalam meningkatkan
kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat di sebagian besar lokasi masih terbatas. Ini dapat
terlihat dari kebijakan pemerintah, peraturan atau manual tentang kesiapsiagaan bencana
yang masih terbatas. Sebagian besar pemerintah kurang memperhatikan kesiapsiagaan
bencana karena fokus utama mereka masih pada manajemen pasca bencana. Peran
lembaga penanggulangan bencana seperti Satlak atau BPBD masih terbatas, karena
kurangnya pemahaman dan kesadaran Satlak atau staf BPBD tentang pentingnya
kesiapsiagaan masyarakat dan pengurangan risiko.
Selain itu, kurangnya kebijakan pemerintah tercermin dari kurangnya alokasi
anggaran untuk kesiapsiagaan. Anggaran untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat
di beberapa lokasi studi bahkan belum dialokasikan, dan di beberapa daerah yang lain,
meskipun disediakan, jumlah totalnya sangat rendah. Anggaran yang tidak dapat
diandalkan atau terbatas kemudian menjadi alasan penting dan menjadi kambing hitam
karena kurangnya kegiatan kesiapsiagaan di sebagian besar lokasi studi. Alokasi
anggaran untuk bencana masih difokuskan pada respon pasca bencana, terutama dalam
fase darurat serta rehabilitasi dan rekonstruksi.
Kapasitas pemerintah dalam memobilisasi sumber daya juga masih terbatas dengan
berbagai variasi yang luas mulai dari tidak siap hingga menjadi siap. Penanggulangan
bencana melibatkan banyak pemangku kepentingan, baik dari lembaga pemerintah dan
non pemerintah, termasuk LSM, Organisasi Masyarakat, para profesional, ilmuwan, dan
sektor swasta. Pengalaman dari penanggulangan bencana sebelumnya menunjukkan
koordinasi dan kerja sama antara lembaga pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya
masih terbatas, oleh karena itu mereka melaksanakan kegiatan secara terpisah; sering
tumpang tindih, dan saling bertentangan di lapangan. Selain itu, pemerintah belum secara
optimal meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, terutama staf Satlak atau BPBD,
memproduksi dan mendistribusikan kesiapan dan materi pendidikan untuk masyarakat
atau menyediakan infrastruktur dan alat yang relevan untuk merespon situasi darurat.

Halaman 10 dari 12
2.6 KESIMPULAN
Makalah ini fokus pada kebutuhan mendesak dan penting untuk mengubah
paradigma manajemen bencana di Indonesia, dari manajemen pasca bencana untuk
memasukkan kesiapan dalam siklus manajemen. Momentum terpenting dari perubahan
ini adalah gempa bumi dan tsunami yang mengerikan di Aceh yang telah menjadi
pelajaran penting untuk dipelajari tidak hanya oleh orang Indonesia tetapi juga orang-
orang di seluruh dunia. Berbagai inisiatif untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat
sedang dibuat dan diimplementasikan di seluruh Indonesia, di berbagai tingkatan dan
pendekatan oleh berbagai organisasi. Namun, hasil penilaian menunjukkan bahwa
masyarakat masih belum cukup siap di sebagian besar lokasi. Gambaran kondisi ini
menunjukkan bahwa sebagian besar lokasi belum optimal dalam mempersiapkan dan
mengantisipasi terjadinya bencana. Kondisi demikian perlu mendapat perhatian serius,
mengingat sebagian besar wilayah di Indonesia rawan bencana gempa dan tsunami.
Upaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dan meningkatkan peran
pemerintah, telah menjadi sesuatu yang sangat penting, terutama di area yang berisiko
tinggi.

—o0o—

Review Buku “Community Approach To Disaster”

Bab 2
Kesiapsiagaan Masyarakat: Paradigma Baru Dalam Manajemen Bencana Di
Indonesia

Masyarakat di sebagian besar kabupaten/kota yang dikaji masih kurang siap


dalam mengantisipasi bencana gempa dan tsunami, padahal Indonesia berada di daerah
rawan bencana alam. Pengelolaan bencana yang responsif terfokus pada penanganan
pasca bencana, seperti yang selama ini dilakukan, terbukti tidak efektif dalam mengurangi
risiko bencana.
Perubahan paradigma penanganan bencana menjadi sangat krusial dan urgent
untuk dilakukan. Kesiapsiagaan masyarakat untuk pengurangan risiko bencana
merupakan paradigma baru yang harus menjadi bagian penting dalam pengelolaan

Halaman 11 dari 12
bencana. Bagi masyarakat di daerah rawan bencana tidak ada pilihan lain selain siap siaga
dengan cara meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta melakukan berbagai
upaya untuk mengurangi risiko bencana, terutama korban jiwa. Salah satu upaya yang
dapat ditempuh dalam pengurangan risiko bencana khususnya meminimalisir kehilangan
jiwa serta meminimalisir dampak cedera pada korban selamat dari bencana.
Upaya meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat mulai dilakukan oleh berbagai
lembaga, tetapi hasil kajian mengungkapkan stakeholders utama kesiapsiagaan
masyarakat (rumah tangga, pemerintah, dan komunitas sekolah) masih kurang siap dalam
mengantisipasi bencana. Gambaran ini mengindikasikan kesiapsiagaan masyarakat masih
perlu terus ditingkatkan agar kejadian-kejadian bencana yang menelan banyak korban
tidak terulang lagi. Upaya lain yang dapat ditempuh dalam hal ini adalah dengan membuat
dan menyebarkan informasi atau pengetahuan mengenai bencana melalui media
sosialisasi dan publikasi dengan sajian materi yang mudah dipahami dan dapat menarik
perhatian masyarakat kebanyakan.

Halaman 12 dari 12

Anda mungkin juga menyukai