Anda di halaman 1dari 13

MATA KULIAH AUDITING II

Dosen : Syafdinal.,S.E.,M.M.
Kelas :
_____________________________________________________________________
Pertemuan ke 5:

Audit Sampling for Tests of Details of Balances

Capaian Pembelajaran:

Setelah menempuh mata kuliah ini mahasiswa semester 6 (enam) akan mampu
memahami dengan baik:

1. Differentiate audit sampling for tests of details of balances and for tests of controls
and substantive tests of transactions
2. Apply nonstatistical sampling to tests of details of balances
3. Apply monetary unit sampling
4. Describe variables sampling

Kemampuan Akhir:
Setelah menyelesaikan bahan kajian ini mahasiswa diharapkan mampu menerapkan
teknik sampling pada berbagai pengujian audit (audit test), meliputi pengujian
pengendalian (test of control) dan pengujian substantive (substantive test).
Tujuan pemelajaran umum
Setelah mempelajari modul ini, peserta diklat mampu:
1. Menjelaskan pengertian risiko audit dan pengujian dalam audit.
2. Menjelaskan pengertian sampling audit, sampel, populasi serta permasalahan dalam
sampling, dan tahapan sampling audit.
3. Penggunaan metode sampling pada pengujian pengendalian.
4. Penggunaan metode sampling pada pengujian substantif.

Latar belakang sampling audit


Dalam setiap pelaksanaan audit baik keuangan maupun operasional, auditor selalu
dihadapkan dengan banyaknya bukti-bukti transaksi yang harus diaudit dengan waktu
audit yang sangat terbatas. Sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, auditor
berkepentingan dengan keabsahan simpulan dan pendapatnya terhadap keseluruhan isi
laporan dan/atau kegiatan yang diauditnya. Mengingat tanggung jawab ini, maka auditor
hanya akan dapat menerbitkan laporan yang sepenuhnya benar, jika dia memeriksa
seluruh bukti transaksi. Namun demikian, hal ini tidak mungkin dilakukan. Pertama,
dari segi waktu dan biaya hal ini akan memerlukan sumberdaya yang sangat besar.
Kedua, dari segi konsep, audit memang tidak dirancang untuk memberikan jaminan
mutlak bahwa hasil audit 100% sesuai dengan kondisinya.
Oleh karena itu, auditor harus merancang cara untuk mengatasi hal tersebut. Cara yang
dapat dilakukan auditor adalah hanya memeriksa sebagian bukti yang ditentukan dengan
cara seksama, sehingga bisa untuk mengambil kesimpulan secara menyeluruh. Hal ini
dapat dilakukan dengan metode sampling audit.
Dengan cara demikian maka audit dapat dilakukan dengan biaya dan waktu yang
rasional.
Jadi digunakannya metode pengujian dengan sampling audit diharapkan auditor dapat
memperoleh hasil pengujian yang objektif dengan waktu dan biaya yang minimal,
sehingga pekerjaan audit bisa efektif dan efisien.

Konsep sampling
Sampling adalah metode penelitian, yang kesimpulannya terhadap populasi diteliti
didasarkan pada hasil pengujian terhadap sampel. Sampel adalah merupakan
sekelompok pos atau elemen yang diambil dari populasi. Sampel juga bisa diartikan
bagian dari populasi, yang dipilih untuk diteliti, berfungsi sebagai perwakilan dari
seluruh anggota populasi. Populasi, yang dikenal pula dengan istilah field atau universe,
adalah sekumpulan data yang menjelaskan beberapa kejadian yang menjadi perhatian
peneliti. Populasi dapat juga diartikansebagai kumpulan yang lengkap dari kelompok
data yang menjadi objek penelitian.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sampling adalah penelitian kurang dari 100%, karena
dalam sampling, pengujian tidak dilakukan terhadap seluruh anggota populasi.
Penelitian 100%, yang menguji seluruh anggota populasi disebut sensus.
Hubungan antara sampel, sampling, populasi dan sensus dapat digambarkan sebagai
berikut:
Sebagaimana terlihat dalam gambar, pada sampling pengujian dibatasi pada sampel saja.
Dari pengujian tersebut diketahui keadaan sampel. Berdasarkan keadaan sampel itu
dibuat perkiraan mengenai kondisi populasi yang diuji.
Contoh:
Seorang bendahara yang anda audit memiliki bukti pengeluaran kas (kuitansi=X)
sebanyak 10 (N = 10) lembar sebagai berikut:

X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 Total (T)

100 90 110 80 120 115 85 105 95 100 1000

Tentukan perkiraan (estimasi) total pengeluaran kas berdasarkan sampel sebanyak


enam (n = 6) kuitansi, yaitu X2, X4, X5, X7, X8, X9.
Pemecahan:
Sampel:
X2 X4 X5 X7 X8 X9 Total (t)
90 80 120 85 105 95 575

Rata-rata (X) = t/n = 575/6 = 95,83


Jadi, Perkiraan Total Populasi (Ť) = NX = 10 x 95,83 = 958,30
Dari contoh di atas diketahui bahwa hasil sampling ("estimasi" terhadap keadaan
populasi), tidak sama dengan keadaan populasi yang "sebenarnya".
Dalam hal ini:
- Estimasi (perkiraan total populasi) =958,30 (Ť)
- Total populasi yang sebenarnya = 1.000,00 (T)
- Selisih (error)= - 41,70 (E)
Selisih (E) itu disebut kesalahan sampling (sampling error). Jika nilai E positif atau Ť>
T disebut over estimate, jika E negatif atau Ť< T disebut under estimate.
Diyakini bahwa kesalahan sampling itu selalu ada, karena pengujian pada sampling
terbatas pada sampel saja (tidak 100%), sedangkan sifat sampel selalu tidak persis/sama
dengan sifat populasi yang diwakilinya.
Oleh karena itu, dalam melaksanakan sampling seorang auditor harus melakukan
pertimbangan yang seksama agar hasil sampling mendekati kondisi populasinya. Untuk
itu, setiap auditor dalam melaksanakan sampling audit harus melakukan hal-hal sebagai
berikut:
1) Perencanaan (Planning) yaitu kalau sampling audit digunakan, auditor harus
mempertimbangkan hubungan antara tujuan pengendalian manajemen/intern dan
juga mempertimbangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ukuran sampel
(besarnya sampel).
2) Pemilihan (Selection) yaitu bahwa pemilihan sampel harus dilakukan terhadap
item-item yang bisa mewakili (representative) yang ada dalam populasi.
3) Evaluasi (Evaluation) yaitu auditor harus menilai hasil sampel dari item-item
sampel yang telah dipilih dan harus mempertimbangkan resiko sampling.

Selain itu auditor juga mempertimbangkan aspek kualitatif dari hasil sampling.
Ketiga hal di atas merupakan permasalahan yang dihadapi auditor dalam pelaksanaan
sampling audit. Namun permasalahan yang sangat penting dalam sampling audit adalah
apakah sampel yang diambil dari populasi telah mewakili karakteristik yang ada dalam
populasi, hal ini kadang-kadang tidak bisa diketahui oleh auditor sampai pekerjaan audit
selesai. Namun demikian, auditor harus mengupayakan secara optimal hal tersebut.
Salah satu cara yang dapat ditempuh, yang secara ilmiah lebih mudah
dipertanggungjawabkan, adalah penggunaan metode sampling statistik.

Generalisasi sampel ke populasi Menggunakan Teknik MUS oleh Auditor

Berapapun metode pengambilan sampel yang dipilih, auditor tetap harus melakukan
generalisasi dari sampel ke populasi dengan (1) memproyeksikan salah saji dari hasil
sampel ke populasi dan (2) menentukan kesalahan pengambilan sampelnya.
Tabel pengambilan sampel atribut digunakan untuk menghitung hasilnya.

1. Hasil atribut harus dikonversikan ke dalam mata uang. MUS memperkirakan


jumlah uangyang salah saji dalam populasi, bukan persentase populasi yang
salah saji.
2. Auditor harus membuat asumsi tentang persentase salah saji untuk setiap bagian
populasi yang salah saji. Dengan asumsi ini, auditor dapat menggunakan tabel
pengambilansampel atribut untuk mengestimasi jumlah salah saji.
3. Hasil statistik yang didapatkan dengan menggunakan MUS disebut batas salah sa
ji(misstatement bounds). Batas salah saji ini mengestimasi kemungkinan
tertinggi darilebih saji (batas salah saji atas) dan kemungkinan tertinggi dari
kurang saji (batas salah saji bawah) pada ARIA tertentu. Auditor menghitung
keduanya, baik batas salah saji atas maupun bawah.

Generalisasi dari sampel ke populasi merupakan langkah terakhir yang penting dilakuka
n.Generalisasi akan berbeda jika auditor tidak menemukan salah saji dalam sampel untu
k dibandingkan.

Dua kondisi berikut akan mengevaluasi tindakan generalisasi, yaitu:

1. Generalisasi dari Sampel ke Populasi Ketika Salah Saji Tidak Ditemukan deng
an Menggunakan MUS.
Asumsikan bahwa auditor mengonfirmasi suatu populasi pitang dagang atas
kebenaran nilai moneternya. Total Populasi adalah Rp 1.200.000 dan sampelnya
menggunakan 100 konfirmasi. Selama audit, seluruh salah saji ditemukan dalam
sampel. Auditor ingin menentukan jumlah maksimum dari lebih saji atau kurang
saji yang dapat muncul dalam populasi meskipun salah saji tidak ditemukan dalam
sampel. Hal ini disebut batas saalah saji atas (upper misstatement bound) dan batas
salah saji bawah (lower misutatement bound). Berikut 3 contoh asumsi yang dibuat
untuk mengilustrasikan hal tersebut:

Asumsi 1
Jumlah lebih saji adalah 100%;Jumlah kurang saji adalah 100%; batas salah saji
pada ARIA 5% adalah:
Batas salah saji atas= Rp 1.200.000 x 3%x100%= Rp 36.000.000
Batas salah saji bawah=Rp 1.200.000 x 3%x100%= Rp 36.000.000
Diasumsikan bahwa, secara rata-rata, bagian populasi ini telah salah saji sebesar
total uang dari nilai tercatat. Oleh karena batas salah saji adalah 3%, maka nilai
salah saji mungkin tidak melebihi Rp 36.000.000 (3% dari total uang tercatat dalam
populasi). Jika seluruh jumlah ternyata lebih saji, maka terdapat lebih saji sebesar
Rp 36.000.000. Jika seluruhnya kurang saji, maka terdapat kurang saji sebesar Rp
36.000.000.

Asumsi 100% salah saji tersebut sebenarnya sangat konservatif, terutama untuk
lebih saji. Asumsikan tingkat pengecualian populasi aktual adalah 3%. Di bawah ini
merupakan dua kondisi yang muncul sebelum nilai Rp 36.000.000 secara tepat
menunjukkan jumlah lebih saji yang sebenarnya.

Seluruh jumlah harus lebih saji. Saling hapus (offsetting) akan mengurangi jumlah
salah saji.

Seluruh bagian populasi yang salah saji harus 100% salah saji. Oleh karena itu tidak
mungkin, misalnya, salah saji sebesar Rp 226.000 dicatat sebesar Rp 262.000.
Berarti hanya ada 13,7% salah saji (262.000-226.000= 36.000) lebih saji;
36.000/262.000 = 13,7%).

Asumsi 2
Jumlah lebih saji adalah 10%; jumlah kurang saji adalah 10%; batas salah saji pada
ARIA 5% yaitu:
Batas atas salah saji= Rp 1.200.000 x 3%x100%= Rp 36.000.000
Batas bawah salah saji= Rp 1.200.000 x 3%x100%= Rp 36.000.000
Asumsinya adalah bahwa, secara rata-rata, bagian-bagian yang salah saji tidak
melebihi 10%. Jika seluruh bagian telah salah saji pada satu arah, maka batas salah
saji adalah +Rp 3.600.000 dan –Rp 3.600.000. Perubahan asumsi salah saji dari
100% menjadi 10% secara signifikan memengaruhi batas salah saji. Dampaknya
secara langsung adalah pada nilai perubahannya.

Asumsi 3
Jumlah lebih saji adalah 20%; jumlah kurang saji adalah 200%; batas salah saji
pada ARIA 5% yaitu:
Batas atas salah saji= Rp 1.200.000 x 3%x100%= Rp 36.000.000
Batas bawah salah saji= Rp 1.200.000 x 3%x100%= Rp 36.000.000
Alasan dari persentase yang lebih besar atas kurang saji tersebut adalah potensi
terjadinya salah saji lebih besar dalam bentuk persentase. Misalnya, piutang dagang
tercatat pada Rp 20.000 yang seharusnya dicatat sebesar Rp 200.000 sehingga
kurang saji sebesar 900% [(200.000-20.000)/20.000], sementara yang lainnya
tercatat sebesar Rp 200.000 yang seharusnya dicatat sebesar Rp 20.000 sehingga
lebih saji sebesar 90% [(200.000- 20.000)/200.000].
Bagian yang terdiri atas jumlah kurang saji yang lebih besar memiliki nilai tercatat
lebih kecil sebagai hasil dari salah saji tersebut. Konsekuensinya, karena
mekanisme dari MUS, hanya sedikit di antaranya yang akan terpilih dalam sampel.
Oleh karena alasan ini, beberapa auditor memilih sampel tambahan dari saldo kecil
untuk menambah jumlah sampel, saat jumlah kurang saji menjadi perhatian dalam
audit.

Persentase yang Tepat dalam Asumsi Salah Saji


Asumsi yang tepat untuk keseluruhan persentase salah saji dalam populasi yang
mengandung salah saji merupakan keputusan auditor. Dalam situasi tersebut,
auditor harus menetapkan persentase tersebut berdasarkan penilaian profesional.
Bila sebaiknya, tidak terdapat informasi yang menyakinkan, maka perlu
mengasumsikan jumlah 100% baik untuk lebih saji maupun kurang saji, kecuali jika
tidak terdapat salah saji dalam hasil sampel. Pendekatan ini termasuk konservatif,
tetapi lebih mudah untuk dijustifikasi dibandingkan asumsi lain. Batas atas dan
batas bawah salah saji lebih tepat disebut batas salah saji (dalam MUS)
dibandingkan kecenderungan salah saji maksimum atau pun batas keyakinan
(confidence limit). Alasannya adalah luasnya penggunaaan asumsi konservatif
tersebut. Jika tidak dinyatakan sebaliknya, maka asumsi salah saji 100% digunakan
dalam bab ini dan sebagai bahan permasalahan.

2. Generalisasi Ketika Salah Saji Ditemukan

       Sejauh ini, kita telah mengasumsikan sampel yang tidak mengandung salah saji.
Apa yang terjadi jika salah saji ditemukan?

Generalisasi dari sampel ke populasi penggunaannya dimodifikasi sebagai berikut:

1. Jumlah lebih saji dan kurang saji dibuat terpisah kemudian digabungkan.
Pertama, batas atas dan atas bawah salah saji dihitung secara terpisah untuk
memperoleh jumlah lebih saji dan kurang saji. Kemudian, titik estimasi lebih saji
dan kurang saji dihitung. Titik estimasi untuk kurang saji digunakan untuk
mengurangi batas atas salah saji awal, dan titik estimasi lebih saji digunakan
untuk mengurangi batas salah saji awal.
2. Perbedaan asumsi salah saji dibuat untuk setiap salah saji, termasuk salah saji
nol. Ketika tidak terdapat salah saji dalam sampel, asumsi diperlukan untuk
persentase rata-rata salah saji atas populasi yang salah saji. Batas salah saji yang
dihitung menunjukkan beberapa asumsi yang berbeda. Ketika salah saji
ditemukan, auditor dapat menggunakan informasi sampel tersedia dalam
menentukan batas-batas salah saji. Asumsi salah saji masih diperlukan, tetapi
dapat dimodifikasi berdasarkan data salah saji aktual.

Jika salah saji ditemukan, maka 100% asumsi untuk seluruh salah saji tidak
hanya konservatif, tetapi juga tidak konsisten dengan hasil sampel. Asumsi yang
umum diterapkan, dan salah satunya diikuti dalam buku ini, adalah bahwa salah
saji aktual dapat mewakili salah saji populasi. Asumsi ini mensyaratkan auditor
untuk menghitung presentase setiap sampel yang salah saji (salah saji/jumlah
tercatat) dan menerapkan persentase tersebut ke populasi.
     3. Auditor harus setuju dengan lapisan (layer) tingkat pengecualian atas yang
diperhitungkan/ computed upper exception rate (CUER) dari tabel pengambilan
sampel atribut. Auditor harus melakukan ini karena perbedaan asumsi salah saji
yang muncul di setiap salah saji. Lapisan tersebut dihitung dengan menentukan
CUER dari setiap tabel salah saji kemudian menghitung setiap lapisannya.

  4. Asumsi salah saji harus dihubungkan untuk setiap lapisan. Metode paling umum
dalam menghubungkan asumsi salah saji dengan lapisan adalah mengaitkan
persentase salah saji pada jumlah uang terbesar dengan lapisan tertinggi. Sebagai
contoh, salah saji rata-rata terbesar adalah 0,671 untuk pelanggan 9816. Salah
saji ini berhubungan dengan faktor lapisan 0,0017, lapisan tertinggi di mana
salah saji ditemukan.

Porsi dari batas atas presisi yang berhubungan dengan lapisan salah saji nol memiliki
asumsi salah saji yang masih konservatif, yaitu 100%. Batas salah saji atas dihitung
seolah-seolah tidak terdapat jumlah kurang saji, dan batas salah saji bawah dihitung
seolah-olah tidak terdapat jumlah lebih saji.

Kebanyakan pengguna MUS yakin bahwa pendekatan ini terlalu konservatif saat terjadi
saling-hapus. Jika jumlah kurang saji ditemukan, maka cukup logis dan masuk akal
bahwa atas untuk jumlah lebih saji seharusnya lebih rendah dari yang sebenarnya, tidak
perlu ada sejumlah kurang saji yang ditemukan, dan sebaliknya. Penyesuaian batas
untuk jumlah saling-hapus dibuat sebagai berikut.

1. Titik estimasi atas salah saji dibuat untuk jumlah lebih saji dan kurang saji.
2. Setiap batas dikurangi oleh titik estimasi yang berlawanan.

Titik estimasi untuk lebih saji dihitung dengan mengalikan rata-rata jumlah lebih saji
dalam unit mata uang yang diaudit dikalikan dengan nilai tercatat. Pendekatan serupa
digunakan untuk titik estimasi pada kurang saji. Contoh sebelumnya menunjukkan
jumlah kurang saji sebesar 3% per Rp 1.000 per unit untuk sampel sejumlah 100. Titik
estimasi kurang saji adalah Rp 360.000 (0,03/100,000 x Rp 1.200.000). Dengan cara
yang sama, titik estimasi lebih saji adalah Rp 9.086.000 [(0,671 + 0,07 +0,016 +
0,0002)/100 x Rp 1.200.000.000].

 Batas awal sebesar Rp 51.220.000 dikurangi dengan estimasi jumlah kurang saji
yang paling mungkin terjadi sebesar Rp 360.000 ke batas yang disesuaikan
sebesar Rp 50.860.000.
 Batas bawah awal sebesar Rp 36.612.000 dikurangi dengan estimasi jumlah
lebih saji yang paling mungkin terjadi sebesar Rp 9.086.000 ke batas yang
disesuaikan sebesar Rp 27.526.000.

Dengan mengikuti metodologi dan asumsi yang ada, auditor menyimpulkan bahwa
terdapat 5% risiko dimana piutang dagang lebih saji sebesar lebih dari Rp 50.860.000
atau kurang saji lebih dari Rp 27.526.000.

Perlu dicatat bahwa jika terdapat asumsi salah saji yang berubah, maka batas salah saji
juga berubah. Metode yang digunakan untuk menyesuaikan batas atas untuk jumlah
yang saling-hapus hanya salah satu dari beberapa metode yang digunakan.

Menentukan Keberterimaan Populasi Menggunakan MUS

Setelah batas salah saji dihitung, auditor harus memutuskan apakah populasi dapat
diterima.Terdapat aturan pengambilan keputusan untuk tindakan tersebut. Aturan
pengambilan keputusanuntuk MUS adalah: lika baik batas salah saji bawah (Iower
misstatement bounds / LMB) maupun batas salah saji atas (upper misstatement bounds /
UMB) terletak di antara jumlah kurang sajidan lebih saji yang dapat diterima, maka
dapat disimpulkan bahwa salah saji nilai buku tidak material. lika tidak, maka salah saji
tersebut material.

Auditor harus memutuskan bahwa LMB dan UMB pada situasi 1 dan 2 letaknya di
antara batas kurang saji dan lebih saji yang dapat diterima. Untuk situasi 3,4, dan 5 baik
LMB maupun UMB, atau keduanya, melebihi salah saji yang diterima. Oleh karena itu,
nilai buku populasi akan ditolak.
Diasumsikan bahwa auditor memiliki suatu set jumlah salah saji yang dapat diterima
untuk piutang dagang Rp 40.000.000 (lebih saji atau kurang saji). Seperti yang
disampaikan sebelumnya, auditor memilih 100 sampel, menemukan 5 salah saji, dan
menghitung batas bawah sebesar Rp 27.526.000 dan batas atas Rp 50.860.000.
Penerapan keputusan ini membuat auditor berkesimpulan bahwa populasi tidak boleh
diterima karena batas salah saji atas melebihi salah saji yang dapat diterima sebesar Rp
40.000.000.

Tindakan yang Dilakukan Jika Populasi Ditolak

            Jika salah satu atau kedua batas salah saji berada di luar batas salah saji yang
dapat diterima dan dianggap tidak bisa diterima, maka auditor menghadapi beberapa
pilihan. Hal ini sama dengan yang didiskusikan dalam pengambilan sampel nonstatistik.

Menentukan Sampel Menggunakan MUS

Metode yang digunakan untukmenentukan jumlah sampel MUS sama denganyang


digunakan dalam unit fisik pengambilan sampel atribut, yaitu menggunakan tabel
pengambilan sampel atribut.Terdapat lima hal yang diperlukan untuk menghitung
jumlah sampel menggunakan MUS.

1. Materialitas Penilaian awal tentang materialitas secara normal berbasis pada


jumlah salah saji yang dapat diterima yang digunakan. Jika salah saji dalam
pengujian non-MUS diperkirakan terjadi, maka salah saji yang dapat diterima
merupakan materialitas dikurangi jumlah tersebut. Salah saji yang dapat diterima
bisa berbeda untuk kurang saji atau lebih saji.

2. Asumsi Persentase Rata-Rata Salah Saji untuk Populasi yang Mengandung


Salah Saji. Sekali lagi,  bisa terdapat perbedaan asumsi untuk batas atas dan batas
bawah. Hal ini juga merupakan penilaian auditor. Hal ini sebaiknya didasarkan pada
pengetahuan auditor atasklien dan pengalaman masa lalu, dan jika kurang dari
100% yang digunakan, maka asumsi harus kuat.
3. Risiko yang Dapat Diterima atas Kesalahan Penerimaan. ARIA merupakan
penilaiandari auditor dan biasanya dicapai dengan bantuan model risiko audit.

4. Nilai Populasi Tercatat


Nilai uang dari populasi diambil dari pencatatan klien.

5. Estimasi Tingkat Pengecualian Populasi. Secara normal, estimasi tingkat


pengecualian populasi untuk MUS adalah nol, karena MUS kebanyakan digunakan
saat tidak terjadi salah saji, atau hanya sedikit yang diperkirakan terjadi. Ketika
salah saji diperkirakan terjadi, total uang dari ekspektasi salah saji populasi
diestimasi dan dicerminkan dalam presentase jumlah populasi tercatat. Dalam
contoh ini, diperkirakan terdapat salah saji sebesar Rp 20.000.000. Jumlah ini
ekuivalen dengan 4% tingkat pengecualian. Agar konservatif, digunakan ekspektasi
tingkat pengecualian sebesar 5%.
Oleh karena hanya satu sampel yang diambil untuk lebih saji dan salah saji, maka
yang lebih besar dari kedua jumlah sampel yang dihitung akan digunakan, dalam
hal ini adalah 149. Dalam mengaudit sampel, jika auditor menemukan adanya salah
saji, maka batas bawah akan melebihi batas batas yang dapat diterima karena
jumlah sampel tersebut didasarkan pada tidak adanya ekspektasi salah saji.
Sebaliknya, sejumlah lebih saji bisa saja ditemukan sebelum batas atas yang dapat
diterima dilampaui. Saat menghadapi temuan salah saji yang tidak diekspektasikan
yang dapat mengakibatkan populasi ditolak, auditor dapat berjaga-berjaga dengan
menambah jumlah sampel diatas jumlah yang ditemukan dalam tabel. Dalam
ilustrasi ini, auditor dapat menggunakan jumlah sampel 200 bukan 149.

Hubungan antara Model Risiko Audit dengan Ukuran Sampel MUS

 MUS digunakan dalam melakukan pengujian atas perincian saldo. Oleh karenanya,
auditor perlu memahami hubungan antara ketiga faktor independen dalam model risiko
audit, prosedur analitis, dan pengujian substantif dengan jumlah sampel untuk pengujian
atas perincian saldo.
Auditing dan Jasa Assurance Jilid 2 12th Edition by Alvin A.Arens, Randal J. Elder, dan
Mark S. Beasley

     

Anda mungkin juga menyukai