Anda di halaman 1dari 2

Setelah terlunta-lunta melewati batas waktu yang ditentukan undang-undang, akhirnya kasus Abepura

mulai disidangkan Jum'at (7/05) ini. Dua perwira polisi harus duduk di kursi pesakitan.

Kasus pelanggaran berat HAM di Abepura, Provinsi Papua yang melibatkan seorang perwira tinggi dan
seorang perwira menengah Polri sebagai tersangka, akan mulai disidangkan di Pengadilan HAM
Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan. Kapuspenkum Kejaksaan Agung Kemas Yahya Rahman
membenarkan informasi tersebut. Benar. Besok memang sudah mulai sidang, ujarnya saat dihubungi
Kamis (8/05) malam.

Dikabarkan bahwa hakim-hakim yang akan menyidangkan perkara ini sudah tiba di Makassar Kamis
siang. Lima hakim yang sudah ditunjuk Mahkamah Agung untuk menangani perkara tersebut adalah
Jalaluddin, SH sebagai ketua majelis merangkap anggota, dan empat hakim anggota Eddy Wibisono,
Herususanto, Amiruddin Aburarera dan HM Kabul Supriadi. Disamping kelima hakim tadi, dua hakim
cadangan yang juga ditunjuk adalah Rocky Panjaitan dan Herman Heller Hutapea.

Mayoritas hakim yang akan mengadili kasus Abepura berasal dari Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta.
Tiga diantaranya pernah menangani persidangan kasus pelanggaran HAM di Timtim dan Tanjung Priok
sehingga tim ini dianggap telah memiliki pengalaman untuk menangani kasus HAM Abepura. Bahkan
Herman Heller Hutapea menjadi ketua majelis salah satu perkara pelanggaran HAM berat Tanjungpriok.

Sayang, Kemas mengaku belum mengetahui siapa yang akan duduk pertama sebagai terdakwa dalam
sidang pertama pengadilan HAM berat di PN Makassar itu. Yang pasti berkas perkara atas nama kedua
tersangka dipisah (split). Sebagaimana diketahui kasus Abepura menunjuk kepada dua orang tersangka,
yaitu mantan Dansat Brimob Polda Papua Brigjen Pol Johny Wainal Usman dan (kini) Kepala Dinas
Penerangan Polda Papua AKBP Daud Sihombing.
Kuat dugaan, kasus yang akan disidang pertama adalah atas nama terdakwa John Wainal Usman. Untuk
menangani perkara ini, kejaksaan sudah menyiapkan dua orang jaksa dan seorang oditur militer (Aris
Sudjarwadi, Kepala Oditur Militer III-16 Makassar). Tim jaksa akan dipimpin oleh Maelan Syarif dari
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.

Aktivis dan pemantau HAM beberapa kali mengkritisi kinerja Kejaksaan Agung dalam kasus Abepura.
Elsam, misalnya, pernah meminta agar kasus bentrokan 7 Desember 2000 itu segera dilimpahkan ke
pengadilan. Maklum, Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM membatasi waktu
penyampaian perkara ke pengadilan.

Pasal 24 tegas menyebutkan bahwa 'penuntutan wajib dilaksanakan paling lambat 70 (tujuh puluh) hari
terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima'. Penyerahan tersangka sendiri sudah dilaksanakan
pada 4 Februari 2004 lalu. Celakanya, setahun sebelumnya Jaksa Agung MA Rachman pernah
mengatakan bahwa berkas penyidikan kasus Abepura sudah rampung. Atas dasar itu pula Elsam menilai
bahwa penuntutan kasus Abepura sudah melampaui ketentuan yang disebut Undang-Undang.

Kasus Abepura merupakan peristiwa yang terjadi pada 7 Desember 2000. Saat itu, terjadi penyerangan
yang dilakukan oleh massa yang tidak dikenal terhadap Mapolsek Abepura yang mengakibatkan satu
orang polisi meninggal dunia dan tiga lainnya luka-luka. Akibat penyerangan itu, Kapolres Jayapura AKBP
Daud Sihombing dibantu Kasatgas Brimob Polda Papua Kombes Pol Johny Wainal Usman memerintahkan
pengejaran dan penahanan terhadap sejumlah orang yang diduga terlibat.

Terhadap kasus Abepura ini, pada Februari 2001 Komnas HAM telah membentuk KPP. Dalam laporannya,
KPP HAM Abepura menyatakan bahwa dalam pengejaran dan penahanan yang dilakukan polisi, diduga
telah terjadi kejahatan kemanusiaan. Pasalnya, dalam penyisiran dan kekerasan yang dilakukan polisi itu
dua mahasiswa Papua meninggal dunia dan puluhan warga luka-luka. KPP HAM yang dibentuk Komnas
HAM sendiri menunjuk 25 nama yang diduga terlibat, namun hanya dua orang tersebut yang kemudian
ditetapkan sebagai tersangka.

Anda mungkin juga menyukai