A. PERANG SURABAYA
pada tanggal 10 November 1945 memang menjadi sejarah penting dalam perjalanan
Republik Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Hari bersejarah tersebut hingga kini
menjadi hari pahlawan yang selalu diperingati pada tanggal 10 November.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada malam hari
tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-
Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel
Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi
marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak
mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera
Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang
dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih
diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya
Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke Hotel Yamato dikawal Sidik
dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya
dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam
perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda. Perundingan
berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang
perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara
Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan
Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk
menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam
hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil
menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang
bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah
pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil
tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa
di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta
bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
e. Kematian Brigadir Jenderal Mallaby
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani
pada tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja
terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-
bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir
Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar
pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan
sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman
menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal
Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui
identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang
menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris
marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor
Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk
meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada
tentara AFNEI dan administrasi NICA.
f. Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party).
Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan
bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa
peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan
India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan
senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan
dari Tom Driberg:
"... Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-
alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata.
Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi
(gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak
kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin
setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik
tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan
tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian
pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi
perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah,
setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby)
sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh
oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan
terhadap dirinya (Mallaby).
Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik... karena informasi saya dapat
secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat
kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan ..."
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat
yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh
pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan TKR
(Tentara Keamanan Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak
organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan
pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda
yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan. Pasukan sekutu
mendapatkan perlawanan dari pasukan dan milisi Indonesia.
Selain Bung Tomo terdapat pula tokoh-tokoh berpengaruh lain dalam menggerakkan
rakyat Surabaya pada masa itu, beberapa datang dari latar belakang agama seperti KH. Hasyim
Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri
mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu
patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai/ulama)
sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung alot, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke
minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak
terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran ini mencapai waktu sekitar tiga minggu.
Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil
mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 - 2000
tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah
menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk melakukan perlawanan. Banyaknya
pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian
dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.
B. Pertempuran ambarawa
pertempuran Ambarawa merupakan salah satu peristiwa pertempuran penting, dalam
rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pertempuran yang melibatkan pasukan
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Pemuda Indonesia melawan pasukan Inggris ini,
berlangsung mulai tanggal 20 November dan berakhir pada tanggal 15 Desember 1945. Pasukan
Inggris mencoba untuk menduduki daerah Jawa Tengah dengan memanfaatkan tawanan yang
mereka persenjatai.
Tanggal 20 Oktober 1945, Brigadir Bethell membawa pasukannya (Brigade Artileri dari Divisi
India ke 23) mendarat di Semarang. Pemerintah Indonesia mengizinkan mereka untuk mengurus
interniran yang ditahan di penjara Magelang dan Semarang. Ternyata mereka diboncengi orang-
orang NICA, yang kemudian mempersenjatai para bekas tawanan.
Setelah Sekutu tiba di Magelang tanggal 26 Oktober 1945, tentara Sekutu mencoba mengambil
alih kekuasaan atas kota tersebut. Usaha Sekutu untuk menguasai Magelang menyebabkan
pecahnya insiden antara tentara Inggris dibantu bekas tahanan, melawan tentara Republik
Indonesia (TKR).
Dalam petempuran itu, tentara Inggris tidak kuat menghadapi gempuran rakyat Indonesia, dan
sama seperti di Surabaya tanggal 30 Oktober 1945 sebelumnya, mereka meminta bantuan
Presiden Soekarno untuk menyelamatkan tentara Sekutu beserta para interniran ke luar
Magelang menuju kota Semarang.
Tanggal 1 November 1945, Presiden Soekarno dan Menteri Penerangan Mr. Amir Syarifuddin
Hararap, yang dua hari sebelumnya baru kembali dari Surabaya untuk melerai insiden di sana,
datang dengan pesawat ke Semarang, dan kemudian melanutkan perjalanan ke Yogyakarta
mengendarai mobil. Sesampainya di Yogyakarta, diadakan perundingan dengan pimpinan militer
Indonesia. Tanggal 2 November 1945, kesepakatan dapat dicapai kedua belah pihak, yang isinya
antara lain:
Dengan tercapainya kesepakatan tersebut, Sekutu dapat mengulur waktu untuk memperkuat
kembali posisi mereka dan mendatangkan bantuan. Benar saja, dipicu oleh berita agresi militer
Inggris di Surabaya mulai tanggal 10 November 1945, di Jawa Tengah juga mulai timbul insiden
tembak-menembak, yang mengakibatkan tewasnya tiga perwira Inggris. Brigadir Bethell
menyalahkan pihak Indonesia atas insiden itu, dan tanggal 18 November dia memerintahkan
untuk menangkap dan menahan Gubernur Wongsonegoro.
Pertempuran pecah di dalam kota pada tanggal 22 November 1945. Pasukan sekutu
melakukan pemboman terhadap kampung-kampung di sekitar Ambarawa. Pasukan TKR
bersama pasukan-pasukan pemuda yang berasal dari Boyolali, Salatiga, Kartusura bertahan di
kuburan Belanda, sehingga membentuk garis pertempuran sepanjang rel kereta api dan
membelah kota Ambarawa.
Dari arah Magelang pasukan TKR dari Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam
Adrongi pada tanggal 21 November 1945, melakukan serangan fajar dengan tujuan menyerang
pasukan Sekutu yang berkedudukan di desa Pingit. Pasukan Imam Adrongi akahirnya berhasil
menduduki Pingit, kemudian merebut desa-desa sekitarnya.
Pasukan Imam Adrongi terus meneruskan gerakan pengejaran terhadap tentara Sekutu.
Pasukan Imam Adrongi mendapat bantuan 3 batalyon yang berasal dari Yogyakarta, yaitu
batalyon 10 Divisi III di bawah pimpinan Mayor Soeharto, batalyon 8 di bawah pimpinan Mayor
Sardjono, dan Batalyon Sugeng. Tambahan pasukan di pasukan TKR ini mengakibatkan
kedudukan Sekutu semakin terkepung.
Walaupun telah terkepung, Sekutu masih mencoba keluar dari pengepungan tersebut.
Pasukan Sekutu melakukan gerakan melambung dan mengancam kedudukan pasukan
Indonesia dari belakang dengan menggunakan tank-tanknya. Untuk mencegah jatuhnya lebih
banyak korban, pasukan Indonesia diperintahkan oleh masing-masing komandannya untuk
mundur ke Bedono.
Gerakan pasukan Sekutu akhirnya berhasil ditahan, setelah bantuan dari resimen kedua
di bawah pimpinan M. Sarbini dan Batalyon Posisi Istimewa di bawah pimpinan Onie
Sastroatmodjo serta batalyon dari Yogyakarta datang. Gerakan Sekutu berhasil ditahan di desa
Jambu.
Setelah berhasil menahan laju Sekutu, pasukan TKR kemmudian mendakan rapat
kordinasi di desa Jambu, dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar. Dari rapat tersebut berhasil
membentuk suatu komando, yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran.
Markas komando tersebut bertempat di Magelang. Sejak saat itu medan pertempuran
Ambarawa dibagi menjadi 4 sektor, yaitu sektor Utara, Selatan, Timur, dan Barat.
Total jumlah pasukan Indonesia yang bertempur di Ambarawa berjmlah 19 batalyon TKR,
dan beberapa batalyon badan-badan perjuangan yang bertempur secara bergantian. Pada
tanggal 26 November pimpinan pasukan yang berasal dari Purwokerto, Kolonel Isdiman gugur.
Sejak gugurnya kolonel Isdiman, kolonel Sudirman, panglima divisi pasukan di Purwokerto,
mengambil alih posisi pimpinan pasukan.
Memasuki tanggal 12 Desember 1945, pasukan TKR bergerak menuju sasaran masing-
masing. Dalamwaktu setengah jam pasukan TKR mengepung kedudukan musuh dalam kota.
Diperkirakan pertahanan musuh yang terkuat di benteng Willem, yang terletak di tengah kota
Ambarawa.
Ketika penyerangan itu dilakukan, kota Ambarawa dikepung oleh pasukan TKR selama 4
hari 4 malam. Sekutu yang merasa kedudukannya terdesak, berusaha keras untuk menyerang
balik. Mereka menggunakan artileri berat angkatan darat, menggunakan serangan udara dengan
skuadron Thunderbolt, dan bahkan menggunakan tembakan meriam dari kapal penjelajah H. M.
S Sussex.
Ternyata gempuran yang dilakukan sekutu tidak mampu mematahkan perlawanan rakyat
Indonesia. Tanggal 15 Desember, Sekutu berhasil mengevakuasi rombongan interniran terakhir
ke Semarang, Brigadir Bathell juga memutuskan untuk menarik seluruh pasukannya dari
Ambarawa dan daerah pegunungan, untuk memperkuat pertahanan mereka di kota Semarang.
Dengan demikia, selain kota Semarang dikatakan wewenang pemerintahan di seluruh Jawa
Tengah berada di tangan rakyat Indonesia.
Menanggapi berita tersebut Achmad Tahir mantan perwira pasukan sukarela bentukan
Jepang (Gyugun) membentuk Barisan Pemuda Indonesia dan merebut pusat pemerintahan dari
pendudukan Jepang. Achmad Tahir juga merebut persenjataan yang tersisa. kemudian
membentuk Tentara Keamanan Rakyat pada tanggal 10 Oktober 1945 yang terbentuk dari
pemuda bekas Giyugun dan Heiho dibawah pimpinan Achmad Tahir sendiri. Selain pembentukan
TKR terbentuk juga beberapa badan-badan pemuda lain yang sejak tanggal 15 Oktober 1945
menjadi Pemuda Republik Indonesia Sumatera Timur disingkat Pesindo.
Setelah pembentukan itu, pada tanggal 9 Oktober 1945 tentara sekutu dan NICA yang
dikomandoi oleh Jenderal T.E.D Kelly mendarat di Sumatera Utara untuk menjalankan Civil Affair
Agreement yang ditanda tangani oleh Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda. Dalam persetujuan
ini dikatakan bahwa panglima tentara inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama
pemerintahan Belanda.
Dalam pelaksanaannya akan diselenggarakan oleh tentara Inggris dan NICA dan nantinya
akan dikembalikan kepada Belanda. Inggris dan Belanda berencana untuk memasuki kota
strategis di Indonesia pasca merdeka. Salah satunya dengan memasuki Sumatera melalui Medan.
Bekas tawanan perang tersebut ditempatkan dibeberapa hotel di Medan termasuk di Hotel
Jalan Bali (Sekarang jalan Veteran). Namun tawanan tersebut dipersenjatai oleh sekutu dan
dijadikan tentara het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger atau KNIL. Pertempuran
medan area dipicu oleh bentrokan pemuda dengan tentara NICA pada tanggal 13 Oktober 1945.
Tentara merebut lencena merah putih milik seorang penggalas pisang di depan asrama Pension
Wilhelmina dan menginjak-injaknya.
Ratusan pemuda ditempat itu menyerang tentara NICA didekatnya dengan berbagai
senjata seperti parang, pisau, bambu runcing serta beberapa senjata api. Dalam peristiwa
tersebut meninggal 1 opsir bernama Letnan Goenberg dan 7 serdadu NICA meninggal dan
beberapa warganegara Swiss terluka dan beberapa meninggal dengan luka parah. 96 tentara
NICA luka parah termasuk 1 warga sipil dan 3 wanita. Dari pihak Indonesia meninggal 1 orang.
b. Persiapan Pertempuran
Peristiwa Jalan Bali itu segera tersiar ke seluruh pelosok kota Medan, bahkan ke seluruh
daerah Sumatera Utara dan menjadi sinyal bagi kebanyakan pemuda, bahwa perjuangan
menegakkan proklamasi telah dimulai Akibatnya dengan cepat bergelora semangat anti Belanda
di seluruh Sumatera. Diantara pemuda itu adalah Bedjo, salah seorang pemimpin laskar rakyat di
Pulo Brayan. Bedjo bersama pasukan selikurnya pada tanggal 16 Oktober 1945, tengah hari
setelah sehari sebelumnya terjadi peristiwa Siantar Hotel, menyerang gudang senjata Jepang di
Pulo Brayan untuk memperkuat persenjataan.
Setelah melakukan serangan terhadap gudang perbekalan tentara Jepang, Bedjo dan
pasukannya kemudian menyerang Markas Tentara Belanda di Glugur Hong dan Halvetia, Pulo
Brayan. Dalam pertempuran yang berlangsung malam hari, pasukan Bedjo yang menyerang
Helvetia berhasil menewaskan 5 orang serdadu KNIL. Serangan yang dilakukan oleh para
pemuda di Jalan Bali dan Bedjo itu telah menyentakkan pihak Sekutu (Inggris). Mereka mulai
sadar bahwa para pemuda-pemuda Republik telah memiliki persenjataan dan semangat
kemerdekaan yang pantas diperhitungkan.
c. Ultimatum Pertama
Oleh sebab itu pada tanggal 18 Oktober 1945 Kolonel T.E.D Kelly mengeluarkan ultimatum
bahwa bangsa Indonesia dilarang keras membawa senjata, termasuk senjata tajam, seperti
pedang, tombak, keris, rencong dan sebagainya. Senjata-senjata itu harus diserahkan kepada
tentara sekutu. Kepada para komandan pasukan jepang diperintahkan untuk tidak menyerahkan
senjatanya kepada TKR dan Laskar rakyat, dan harus menyerahkan semua daftar senjata api
yang dimilikinya kepada Sekutu. Pada tanggal 23 Oktober 1945 tentara sekutu melakukan
pemeriksaan ke beberapa rumah yang dicurigai memiliki senjata dan berhasil merampas
beberapa senjata dan granat tangan serta bom beserta senjata tradisional lainnya.
Pada tanggal 1 Desember 1945 tentara sekutu membuat papan disetiap sudut
bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area atau Perbatasan Tetap Area Medan. Sehingga
perang ini nantinya disebut Pertempuran Medan Area. Akibat tindakan ini pada tanggal 2
Desember 1945 dua orang serdadu Inggris tewas saat sedang mencuci truknya di Sungai dekat
Kampung Sungai Sengkol oleh pemuda TKR.
Tanggal 4 Desember 1945 juga tewas 1 serdadu Inggris dibunuh pemuda TKR di daerah
Saentis. Akibat serangan ini pada tanggal 6 Desember 1945 pasukan Inggris menyerang bioskop
orange di daerah Medan dan mengakibatkan pemuda untuk mengepung gedung bioskop tersebut
dan terjadi pertempuran kecil dengan tewasnya seorang perwira Inggris. Namun tidak berselang
beberapa jam, tentara Inggris menyerang markas pesindo di Jalan Istana dan mengobrak-abrik
serta mengusir penghuninya.
d. Ultimatum Kedua
Selama tiga hari yaitu tanggal 7 sampai 9 desember 1945 markas tentara sekutu/NICA
diserang oleh pemuda TKR. Akibat serangan itu Tentara Sekutu/NICA pada tanggal 10 desember
1945 menyerang markas pemuda TKR di Deli Tua. Setelah serangan bolak balik tersebut pada
Tanggal 13 Desember 1945 Jenderal T.E.D Kelly mengeluarkan ultimatum kedua. Bangsa
Indonesia dilarang untuk membawa senjata di dalam daerah Medan atau 8.5 km sekitar Medan.
Bagi yang membantah akan di tembak mati.
Setelah keluarnya ultimatum kedua. Tntara Sekutu dengan aktif melakukan razia dan
sering mendapatkan serangan balik dari pemuda Indonesia. Saling serang ini mengakibatkan
kondisi Medan menjadi tidak kondusif. Pertempuran setelah ultimatum kedua berlanjut sampai
April 1946 dan mengakibatkan kerusakan parah. Hal ini mamicu basis perjuangan dan pusat
pemerintahan semenstar di pindahkan ke Pematang Siantar.
Akbiat pemindahan ini tentara sekutu gencar melakukan serangan ke daerah yang
ditinggal oleh TKR. Serangan ini mengakibatkan penduduk lokal tidak jarang ikut menjadi korban.
Akibatnya penduduk memilih mengungsi ke luar kota seperti ke Tanjung Morowa sampai ke
Medan Selatan di Kota Matsum.
Karena serangan yang tidak terkordinir maka pada bulan Agustus 1946 seluruh pemuda
dibawah Napindo dari PNI, Pesindo, Barisan Merah dari PKI, Hisbullah dari Masyumi, dan
Pemuda Parkindo membentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area (K.R.L.R.M.A.).
Kapten Nip Karim dan Marzuki Lubis dipilih sebagai Komandan dan Kepala Staf Umum.
Di tempat lain demi mengamankan sumber vital di Sumatera, Belanda yang menginginkan
menguasai kembali Indonesia bergerak. Pada awal bulan oktober satu batalion pasukan bersen-
jata dari negeri Belanda mendarat di Medan. Beberapa hari kemudian diikuti dengan satu batalion
KNIL dari Jawa Barat.
Pada tanggal 19 Agustus 1946. Para pemuda di Kabanjahe membentuk Barisan Pemuda
Indonesia atau BPI. Pembentukan ini didasari oleh keinginan pemuda Kabanjahe untuk
membebaskan medan. BPI kemudian dipimpin oleh Matang Sitepu dan berganti nama menjadi
Komando Resimen Laskar Rakyat daerah Tanah Karo.
Sebagai ketua umum, Matang sitempu dibantu oleh Tama Ginting, Payung Bangun,
Selamat Ginting, Rakutta Sembiring, RM Pandia, N.V Mas Persada Koran Karo0karo dan
Keterangan Sebayang. Beberapa waktu kemudian bekas pasukan pembantu jepang Gyugun atau
Heiho ikut bergabung ke komando ini. Yang menyatakan kesiapanya adalah Djamin Ginting,
Nelan Sembiring dan Bom Ginting
1. Pertama, yang akan direbut adalah Medan Timur yang meliputi Kampung Sukarame di
daerah Sungai Kerah. Penyerbuan didaerah ini dikomandoi oleh Bahar dan resimen
lascar rakyat. Batalion ini akan menduduki Pasar Tiga di Kampung Sukarame.
2. Daerah kedua adalah medan Barat yang meiputi Padang Bulan, Petisah, dan Jalan
Pringgan. Penugasannya dilakukan oleh batalion B yang terdiri dari resimen lascar
rakyat dan pasukan Ilyas Malik yang akan bergerak menduduki Jalan pringgan, Kuburan
Cina dan Jalan.
3. Serangan ketiga akan dilakukan di Medan Selatan yang serangannya terpusat di kota
Matsum. Serangan di daerah kota Matsum dilakukan oleh Batalion 2. Batalion 2
bergerak menduduki Jalan Mahkamah dan jalan Utama Medan. Rencana serangan
pada tanggal 27 Oktober 1946 tepat pada pukul 8 Malam dengan rute sepanjang Jalan
Medan-Belawan.
h. Akhir Pertempuran
Pada tanggal 15 Februari 1947 tepat jam 12 malam. Komite Teknik Gencatan Senjata akan
melakukan perundingan untuk mengakhiri pertempuran Medan Area. Baru pada tanggal 10 maret
1947 ditentukanlah batasan untuk melingkari kota Medan dan Belawan untuk menentukan daerah
yang dimiliki oleh Pihak sekutu dan NICA dan daerah kependudukan TKR.
Batasan ini mencapai 8.5 km. Setelah terdapat kesepakatan, pada tangga; 14 Maret 1947
dimulailah pemasangan patok batasan tersebut. Namun masih sering terjadi pertikaian antara
pihak Indonesia dan pihak Belanda mengenai patokan batas daerah. Empat bulan kemudian
pertempuran ini dinyatakan berakhir. Belanda pun melakukan serangan Agresi Militer belanda I
sesudah pertempuran ini berakhir.
Masa ini sarat dengan gelora revolusi yang menggema di seluruh negeri. Salah satu kisah
perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang terjadi pada Masa Revolusi Fisik adalah
Peristiwa Bandung Lautan Api.
Pada 15 September 1945 pasukan sekutu yang dipimpin oleh perwira Inggris Laksamana
Muda W.R. Patterson datang ke Indonesia. Bersama mereka datang pula pasukan Belanda yang
tergabung dalam NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Tujuan NICA yang membonceng sekutu ini dicurigai oleh pemerintah Indonesia untuk
merebut kembali kemerdekaan Indonesia dan mengembalikan kejayaan Hindia Belanda dengan
memanfaatkan kekuatan sekutu. Mereka melakukan pendaratan di Jakarta, Yogyakarta, Medan,
Surabaya, dan Bandung.
Tekad Pemuda Indonesia untuk mempertahankan Indonesia sudah bulat, meski dengan
jalan berperang. Di lain sisi pemerintah yakin bahwa pertentangan dengan Belanda hanya dapat
diselesaikan dengan senjata. Namun tidak serta merta mengabaikan upaya-upaya penyelesaian
dengan jalan damai.
Dilansir dari buku Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia (1986)
dikeluarkan Maklumat Pemerintah RI sebagai respon dari kedatangan sekutu dan NICA.
Maklumat itu setiapnya berisi dua poin, yaitu:
Indonesia sanggup untuk bekerja sama dengan bangsa asing di dunia yang menghargai
kemerdekaan Indonesia.
Indonesia sanggup untuk menyelesaikan segala hal yang berhubungan dengan
pendudukan sekutu dengan cara damai.
Ambisi NICA yang tetap ingin merebut kekuasaan membuat kedudukan sekutu dan
Belanda semakin berlarut-larut dan mengganggu kondisi kemananan di Indonesia.
Hal inilah yang kemudian menyulut terjadinya pertempuran-pertempuran untuk
mempertahankan kedaulatan. salah satunya peristiwa Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946.
Serangan demi serangan dilancarkan TKR dan barisan laskar pemuda terhadap wilayah-
wilayah yang diduduki sekutu di Bandung Utara. Salah satunya serangan itu terjadi di Hotel
Homann dan Hotel Preanger pada 21 November 1945 yang menjadi maskar komando sekutu.
Pada 27 November 1945 Brigjen Mac. Donald memberikan ultimatum pertama untuk
mengendalikan situasi dan melucuti senjata-senjata yang ada di tangan rakyat. Melalui Guberner
Jawa Barat Sutarjo Kartohadikusumo, Mac. Donald menyampaikan ultimatum kepada seluruh
rakyat kota Bandung.
Ultimatum itu berisi agar semua senjata-senjata serdadu Jepang dilucuti, dan semua
senjata hasil rampasan yang masih berada di tangan rakyat untuk diserahkan kepada sekutu.
Seluruh rakyat, tanpa terkecuali para tentara, pejuang dan barisan laksar pemuda untuk
meninggalkan Bandung Utara paling lambat tanggal 29 November 1945 (Nilai-Nilai Kejuangan
Bandung Lautan Api, 2005).
Sebagian besar masyarakat dan para pejuang di Bandung Utara tidak menghiraukan
ultimatum itu, sehingga semakin menimbulkan kemarahan Inggris.
Pasukan Mac.Donald akhirnya melancarkan kepada para pejuang, sedangkan orang-orang
Indo-Belanda yang tergabung dalam NICA melakukan provokasi untuk menyerang rumah-rumah
penduduk.
Akibat serangan itu, masyarakat Bandung Utara berangsur mengundurkan diri bersama
pejuang. Sekutu dan NICA telah menguasai Bandung Utara dan Bandung Selatan masih menjadi
wilayah Republik Indonesia.
Sejak saat itu wilayah Bandung menjadi dua, yakni Bandung Utara dan Bandung Selatan.
Dalam usaha merebut kemerdekaan Indonesia, pihak Belanda banyak menerapkan politik
pecah belah devide et impera. Politik inilah yang juga diterapkan Belanda saat melawan
kerajaan-kerajaan di Indonesia pada masa penjajahan.
Politik pecah belah ini juga digunakan Belanda untuk memecah kedudukan para pejuang
menjadi kelompok-kelompok kecil di wilayah Bandung. Tujuannya untuk memecah kekuatan para
pejuang dan dengan mudah menguasai kedudukannya.
Pertempuran demi pertempuran yang terjadi semakin brutal dan meluas seperti di daerah
Pungkur, Pasundan, dan Tegalega. Pada 2 dan 6 Desember 1945 terjadi pertempuran di
Lengkong. Sekutu melancarkan serangan udara dengan pesawat B-25 dan P-51 Mustang untuk
mengebom daerah Lengkong. Pada 24 Januari TKR mengubah namanya menjadi Tentara
Republik Indonesia (TRI).
Ambisi sekutu dan NICA untuk menguasai seluruh wilayah Bandung semakin tidak
terbendung. Pada 17 Maret 1946 Panglima tertinggi AFNEI (Allied Forces Netherlands East
Indies) di Jakarta, Letnan Jenderal Montagu Stophord memberikan ultimatum kedua untuk
Bandung.
Ultimatum tersebut disampaikan kepada Perdana Menteri Sultan Sjahrir yang berada di
Jakara. Isinya berupa perintah untuk segera memerintahkan TRI dan seluruh aliansi laskar
pemuda untuk meninggalkan Bandung Selatan hingga radius 11 km dari pusat kota.
Ultimatum tersebut tidak hanya disampaikan kepada pemerintah tetapi juga kepada
masyarakat luas dengan menyebarkan poster-poster propaganda melalui pesawat udara di atas
Bandung Selatan. Sekutu memberikan batas ultimatum tersebut paling lambat sampai tanggal 24
Maret 1946 tengah malam.
Kabar ultimatum tersebar dengan cepat, situasi kota bandung pun semakin genting. Para
pejuang pun berusaha memecah kebuntuan dengan mencari solusi.
Pertemuan para petuang di Dalem Kaum dan Gedung Sate sementara menghasilkan opsi
untuk menenuhi ultimatum sekutu. Melihat perlu kebijakan dari Jakarta untuk menentukan
keputusan,
Kolonel Divisi III A.H Nasution pun berangkat ke Jakarta untuk bertemu Sutan Sjahrir.
Pertemuan itu juga dihadiri Mayjen Didikartasasmita dan Sjafirudin Prawiranegara. Hasil
pertemuan itu tidak berbeda jauh dari keputusan para pejuang di Bandung. Ada beberapa poin
dalam keputusan itu.
Pertama, agar TRI lebih baik memenuhi ultimatum sekutu untuk ke luar kota Bandung.
Kedua, pemerintahan sipil dibiarkan tetap berada di Kota Bandung, tujuannya untuk
menghindari NICA mengambil alih pemerintahan sipil di Bandung.
Ketiga, Perdana Menteri Sutan Sjahrir menyarankan agar jangan diadakan pembakaran
dan sebagainya, untuk menghindari kerugian di tangan rakyat.
Ketika A.H Nasution kembali mengadakan rapat bersama para pejuang, sebuah perintah
dari Jenderal Besar Sudirman diterima.
Perintah langsung yang diterima dari Markas Besar (Mabes) TRI di Yogyakarta itu dengan
tegas berisi perintah untuk bertahan. Di tengah dua perintah yang membingungkan dan situasi
pelik yang semakin dengan batas ultimatum, musyawarah pun lewat Majelis Persatuan
Perjuangan Priangan (MP3) yang dilakukan di markas Divisi III TRI.
Selain dihadiri seluruh unsur laskar pemuda dan pejuang, musyawarah itu juga dihadiri
oleh para Komandan Divisi III yaitu Kolonel Divisi III Kolonel A.H Nasution, Komandan Resimen
VIII Letkol Omon Abdurrahman, Komandan Batalyon I Mayor Abdurrahman, Komandan Batalyon
II Mayor Sumarsono, Komandan Batalyon III Mayor Ahmad Wiranatakusumah, ketua MP3 Letkol
Soetoko dan Komandan Polisi Tentara Rukmana.
Setelah melewati musyawarah yang emosional, lahir sebuah solusi jalan tengah
berdasarkan instruksi Pemerintah RI dan Markas Besar di Yogyakarta.
Langkah yang akan diambil adalah seluruh unsur TRI, para pejuang, pemerintah sipil dan
rakyat akan meninggalkan Kota Bandung dengan menjalankan politik bumihangus di daerah
Bandung Selatan dan menjalankan strategi perang gerilya di pegunungan.
Tanggal 24 Maret 1946 pukul 14.00 Kolonel A.H Nasituon mengumumkan hasil rapat di
markas Divisi III melalui RRI (Radio Republik Indonesia). Pengumuman itu secara singkat berisi
imbauan untuk penduduk dan pegawai pemerintah untuk keluar dari Bandung bersama-sama
TRI dan para pejuang.
Pukul 15.00 perintah untuk menjalankan politik bumi hangus dilakukan TRI dan barisan
laskar pejuang. Koordinasi yang terukur antara unsur militer dan rakyat dengan cepat terjadi.
Sementara TRI dan para pejuang menyiapkan rencana peledakan dan pembakaran, para
lurah, Azacho (ketua RT), dan Kumicho (ketua RW) mengatur penduduk untuk mengungsi.
TRI dan para pejuang meledakan gedung-gedung yang dianggap vital dan dapat dijadikan
markas oleh sekutu. Waktu peledakan pertama rencananya dilakukan pada tengah malam
setelah rakyat berangsur-angsur meninggalkan Kota Bandung untuk menghindari jatuhnya
korban sipil.
Sebelum tengah malam proses evakuasi penduduk mengungsi ke luar Kota Bandung
selesai lebih cepat. Semangat para pejuang yang telah menggebu-gebu membuat rencana
pembumihangusan yang awalnya dilakukan pada pukul 24.00 dilakukan lebih cepat pada pukul
20.00.
Efek ledakan pertama di Gedung Indische Restaurant (sekarang Gedung BRI) membuat
efek kejut dan menyebabkan kepanikan di antara para pejuang lainnya. Banyak yang mengira
ledakan itu adalah serangan udara sekutu. Akibatnya proses pembumihangusan gedung-gedung
vital banyak pula yang mengalami kegagalan.
Untuk mengatasinya, banyak rakyat yang juga dengan rela ikut membakar tempat
tinggalnya, demi tidak memberikan kota dalam keadaan utuh kepada sukutu dan NICA.
Api berkobar membumbung tinggi membakar kota dan seluruh listrik padam. Tengah
malam itu jadilah Kota Bandung sejadi-jadinya merah menyala seperti lautan api.
Secara berangsur-angsur dalam jumlah sekitar 200.000 orang penduduk Kota Bandung
melakukan long march menuju selatan Bandung. Perjalanan itu diwarnai dengan suasana
kepanikan, kepasrahan, dan semangat untuk mempertahankan republik membaur jadi satu.
Pada 27 Maret 1946 terjadi serangan tentara Inggris yang menyerang kedudukan TRI.
Serangan itu dilakukan dengan menembakan meriam gunung dari Dayeuhkolot ke arah selatan.
Dalam masa-masa survival itu, semangat untuk merebut kembali Kota Bandung selalu
menggema di setiap langkah perjuangan Pejuang Priangan. Untuk semakin membakar semangat
dalam masa-masa penantian merebut Kota Bandung, para pejuang mulai menyanyikan lagu
Halo-Halo Bandung di tengah-tengah perjuangan bergerilya.
Pada 7 Oktober 1946 diadakan perundingan antara utusan Indonesia yang diketuai oleh
Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan utusan Belanda yang diketuai oleh Prof. Schermenhorn serta
pihak Inggris. Pada 14-15 Oktober 1946 sebuah perundingan dilakukan di Jakarta.
Perundingan itu menghasilkan perjanjian genjatan senjata antara para pejuang dan pihak
sekutu serta NICA di sejumlah daerah, termasuk Kota Bandung. Perjanjian itu juga dikenal
sebagai Perjanjian Linggarjati antara Indonesia dan Belanda.
Hingga masa-masa mundurnya sekutu dan NICA dari tanah Bandung, lagu Halo-Halo
Bandung mengiringi derap langkah para pejuang yang kembali ke Kota Bandung dari masa-masa
gerilya.
Lagu ciptakan Ismail Marzuki ini lambat laun mulai dikenal masyarakat sebagai lagu yang
menjadi simbol heroik perjuangan dalam peristiwa Bandung Lautan Api.
Pasca Linggarjati sejumlah kapal banyak mendarat di pelabuhan lepas pantai Baling. Ini
juga barangkali yang menyebabkan meletusnya Puputan Jagarana yang dipimpin oleh Kerajaan
Buleleng. Keadaan ini membuat suhu perpolitikan dalam negeri sedikit tidak stabil, goyah
Sebagian pihak menilai perjanjian Linggarjati merugikan RI. Rakyat bali kecewa karena berhak
menjadi bagian dari kesatuan RI. I Gusti Ngurah Rai yang saat itu menjabat sebagai Komandan
Resiman Nusa Tenggara ‘digoda’ oleh Belanda. Sejumlah tawaran menggiurkan disodorkan
untuk meluluhkan hati Sang Kolonel agar membentuk Negara Indonesia Timur. Gusti Ngurah Rai
yang saat itu berusia 29 tahun lebih memilih Indonesia sebagai Tanah Airnya. Alur Puputan
Margarana bermula dari perintah I Gusti Ngurah Rai kepada pasukan Ciung Wanara untuk
melucuti persenjata polisi Nica yang menduduki Kota Tabanan. Perintah yang keluar sekitar
pertengahan November 1946, baru berhasil mulus dilaksakan tiga hari kemudian. Puluhan
senjata lengkap dengan alterinya berhasil direbut oleh pasukan Ciung Wanara. Pasca pelucutan
senjata Nica, semua pasukan khusus Gusti Ngurah Rai kembali dengan penuh bangga ke Desa
Adeng-Marga. Perebutan sejumlah senjata api pada malam 18 November 1946 telah membakar
kemarahan Belanda. Belanda mengumpulkan sejumlah informasi guna mendeteksi peristiwa
misterius malam itu. Tidak lama, Belanda pun menyusun strategi penyerangan. Tampaknya tidak
mau kecolongan kedua kalinya, pagi-pagi buta dua hari pasca peristiwa itu (20 November 1946)
Belanda mulai mengisolasi Desa Adeng, Marga. Batalion Ciung Wanara pagi itu memang tengah
mengadakan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Selain penjagaan, patroli
juga untuk melihat sejuah mana aktivitas Belanda. Tidak berselang lama setelah matahari
menyinsing (sekitar pukul 09.00-10.00 WIT), pasukan Ciung Wanara baru sadar kalau perjalanan
mereka sudah diawasi dan dikepung oleh serdadu Belanda. Melihat kondisi yang cukup
mengkhawatirkan ketika itu, pasukan Ciung Wanara memilih untuk bertahanan di sekitar
perkebunan di daerah perbukitan Gunung Agung.
Benar saja, tiba-tiba rentetan serangan bruntun mengarah ke pasukan Ciung Wanara. I
Gusti Ngurah Rai saat itu memang sudah gerah dengan tindak-tanduk Belanda mengobarkan api
perlawanan. Aksi tembak-menembak pun tak terelakkan. Pagi yang tenang seketika berubah
menjadi pertempuran yang menggemparkan sekaligus mendebarkan. Ciung Wanara saat ini
memang cukup terkejut, sebab tidak mengira akan terjadi pertempuran hebat semacam itu.
Letupan senjata terdengar di segala sisi daerah marga. Pasukan Indische Civil
Administration (NICA) bentukan Belanda, yang merasa sangatmerasa terhina dengan peristiwa
malam itu sangat ambisius dan brutal mengemur Desa Marga dari berbagai arah. Serangan
hebat pagi itu tak kunjung membuat Ciung Wanara dan Gusti Ngurah Rai Menyerah. Serangan
balik dan terarah membuah Belanda kewalahan. Sederetan pasukan lapis pertama Belanda pun
tewas dengan tragis. Strategi perang yang digunakan Gusti Ngurah Rai saat itu tidak begitu jelas.
Namun, kobaran semangat juang begitu terasa. Pantang menyerah, biarlah gugur di medan
perang, menjadi prinsip mendarah daging di tubuh pasukan Gusti Ngurah Rai. Seketika itu,
kebun jagung dan palawija berubah menjadi genosida manusia. Ada yang menyebutkan, saat
itulah Gusti Ngurah Rai menerapkan puputan, atau prinsip perang habis-habisan hingga nyawa
melayang. Demi pemberangusan Desa Marga, Belanda terpaksa meminta semua militer di
daerah Bali untuk datang membantu. Belanda juga mengerahkan sejumlah jet tempur untuk
membom-bardir kota Marga. Kawasan marga yang permai berganti kepulan asap, dan bau darah
terbakar akibat serangan udara Belanda. Perang sengit di Desa Marga berakhir dengan
gugurnya I Gusti Ngurah Rai dan semua pasukannya. Puputan Margarana menyebabkan sekitar
96 gugur sebagai pahlawan bangsa, sementara di pihak Belanda, lebih kurang sekitar 400 orang
tewas. Mengenang perperangan hebat di desa Marga maka didirikan sebuah Tuguh Pahlawan
Taman Pujaan Bangsa. Tanggal 20 November 1946 juga dijadikan hari perang Puputan
Margarana. Perang ini tercatat sebagai salah satu perang hebat di Pulau Dewata dan Indonesia.
Pasukan pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan persenjataannya,
tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda. Mereka masih berfokus dengan
pertahanannya dan menunggu komando dari I Gusti Ngoerah Rai untuk membalas serangan.
Begitu tembakan tanda menyerang diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung
dan membalas sergapan tentara Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda. Dengan
senjata rampasan, akhirnya Ciung Wanara berhasil memukul mundur serdadu Belanda.
Namun ternyata pertempuran belum usai. Kali ini serdadu Belanda yang sudah terpancing
emosi berubah menjadi semakin brutal. Kali ini, bukan hanya letupan senjata yang terdengar,
namun NICA menggempur pasukan muda I Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat
udara. Hamparan sawah dan ladang jagung yang subur itu kini menjadi ladang pembantaian
penuh asap dan darah. Perang sampai habis atau puputan inilah yang kemudian mengakhiri
hidup I Gusti Ngurah Rai. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan
Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah sejarah penting tonggak
perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial Belanda demi Nusa dan Bangsa.