Anda di halaman 1dari 11

Implikasi Penerapan UU No.

15 Tahun
2016 Terhadap Dunia Pelayaran Di
Indonesia

Ramadhian Ekaputra

04211641000025

DEPARTEMEN TEKNIK SISTEM PERKAPALAN


FAKULTAS TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul “Implikasi
Penerapan UU No. 15 Tahun 2016 Terhadap Dunia Pelayaran di Indonesia” tepat pada
waktunya.

Makalah ini dapat disusun dengan baik berkat bantuan dari pihak-pihak yang telah
memberikan bimbingan dan dukungan sebagai bahan masukan untuk saya. Oleh karena itu
pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada:
1) Bapak Beny Cahyono, S.T., M.T., Ph.D. selaku Kepala Departemen Teknik Sistem
Perkapalan FTK – ITS.
2) Bapak Ir. Alam Bahermansyah, M.Sc. selaku dosen mata kulaih ILO Convention.
3) Bapak Ir. Dwi Priyanta, MSE. Selaku dosen wali penulis.
4) Orang tua dan rekan-rekan yang selalu memberi dukungan kepada penulis sleama
pengerjaan makalah.
5) Dan kepada pihak-pihak yang telah membantu proses penulisan makalah ini yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis mengakui bahwa masih banyak sekali kekurangan dalam penulisan makalah
ini. Oleh karena itu penulis sangat menghargai sebuah saran dan kritik yang bersifat
membangun dari para pembaca. Demikian makalah ini disusun sedemikian rupa sehingga
bisa menjadi manfaat bagi pembaca. Akhir kata dari penulis mengucapkan terima kasih dan
mohon maaf atas segala kekurangan.

Surabaya, 18 Februari 2020

Penulis

ii
BAB I

PENDAHULUAN

International Labour Organization (ILO) menyadari bahwa pelaut adalah pekerja yang
memiliki karakter dan sifat pekerjaan yang berbeda dengan industri sektor lain. ILO juga
menyadari bahwa sesuai dengan survey yang dilakukan berbagai organisasi, transportasi
barang dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu negara ke negara yang lain 90%
dilakukan dengan menggunakan transportasi laut. Bahwa saat ini lebih dari 1,2 triliun pelaut
bekerja untuk mengantarkan barang-barang tersebut melalui kapal-kapal dimana mereka
bekerja. Oleh karena itu tidak hentinya para anggota ILO membahas bagaimana meningkatkan
kesejahteraan pelaut melalui ketentuan-ketentuan yang dapat diterima secara mendunia.
Pelaut merupakan salah satu pekerjaan yang memiliki tanggung jawab besar dan beresiko
tinggi seperti kecelakaan kapal dan tenggelam. Untuk mencegah resiko, diperlukan kualifikasi
pekerjasebagai pelaut yang lebih ketat dan pemberian perlindungan hokum bagi pelaut yang
diatur secara komprehensif. Ketentuan perundang-undangan nasional dinilai belum seimbang
dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, perlindungna pelaut Indonesia masih
rendah dan belum sesuai standar internasional. Hal ini dibuktikan dengan berbagai
permasalahan yang telah dialami pelaut antara lain, penipuan job fiktif, upah tidak dibayar,
dokumen palsu hgingga perbudakan. Dengan demikian, pemerintah Indonesia meratifikasi
Maritime Labour Convention, 2006 (Farah, 2018).

1
BAB II

PEMBAHASAN

1) International Labour Organization

Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO adalah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa


(PBB) yang terus berupaya mendorong terciptanya peluang bagi perempuan dan laki-laki
untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif secara bebas, adil, aman dan
bermartabat. Tujuan utama ILO adalah mempromosikan hak-hak di tempat kerja,
mendorong terciptanya peluang kerja yang layak, meningkatkan perlindungan sosial serta
memperkuat dialog untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang terkait dengan dunia
kerja.
ILO adalah satu-satunya badan “tripartit” PBB yang mengundang perwakilan
pemerintah, pengusaha dan pekerja untuk bersama-sama menyusun kebijakan-kebijakan
dan program-program.
ILO adalah badan global yang bertanggungjawab untuk menyusun dan mengawasi
standar-standar ketenagakerjaan internasional. Bekerjasama dengan 181 negara
anggotanya, ILO berupaya memastikan bahwa standar-standar ketenagakerjaan ini
dihormati baik secara prinsip maupun praktiknya (ILO, 2008).

2) Maritime Labour Convention 2006

MLC 2006 ini adalah instrument hukum yang dibuat oleh Organisasi Pekerja
Internasional (International Labour Organization – ILO) yang di adopsi pada bulan
Februari 2006 di Jenewa, Swiss. Sesuai dengan kebiasaan internasional, sebuah konvensi
multilateral tidak dapat diberlakukan seketika, menunggu sampai sejumlah anggota
meratifikasi konvensi tersebut.
Sesuai dengan salah satu artikel pada MLC 2006, konvensi ini baru bisa diberlakukan
(come into force) satu tahun setelah 30 negara anggota atau sejumlah negara yang
mewakili 33% gross tonnage armada internasional telah meratifikasinya.
Pada tanggal 20 Agustus 2012 persyaratan tersebut telah terpenuhi setelah Rusia dan
Philippines meratifikasi konvensi tersebut. Sehingga MLC 2006 dapat diberlakukan
mulai tanggal 20 Agustus 2013. Negara yang telah meratifikasi tersebut yaitu: Croatia,

2
Bulgaria , Canada, Saint Vincent and the Grenadines, Switzerland, Benin, Singapore,
Denmark, Antigua and Barbuda, Latvia, Luxembourg, Kiribati, Netherlands, Australia,
St Kitts and Nevis, Tuvalu, Togo, Poland, Palau, Sweden, Cyprus, Russian Federation,
Philippines.

Menyusul kemudian negara-negaar eropa:


1. Finlandia (9 Januari 2013)
2. Malta (22 Januari 2013)
3. Yunani (8 Februari 2013)
4. Prancis (28 Februari 2013)

Pada konferensi diplomatik saat di adopsinya MLC 2006, mantan Sekjen IMO H.E.
E.E. Metropoulos (yang saat itu masih menjadi Sekjen IMO), sempat memberikan
tanggapan terhadap MLC 2006 ini sebagai pilar yang ke 4 di sektor maritim, melengkapi
3 pilar utama instrumen hukum IMO yang telah ada sebelumnya yaitu: SOLAS 1974,
MARPOL 1973/78 dan STCW 1978. E.E. Metropoulos dalam sambutannya
menyampaikan bahwa upaya meningkatkan keselamatan maritim, keamanan maritim
dan pencegahan pencemaran lingkungan maritim, IMO telah membuat instrumen yang
cukup ketat (stringent) melalui 3 instrumen yaitu SOLAS, MARPOL dan STCW
tersebut. Namun mengingat IMO tidak memiliki kapasitas untuk membuat instrumen
hukum yang komprehensive tntang perlindungan terhadap para pelaut, maka sudah tepat
apabila ILO membuat MLC 2006 ini sebagai instrumen hukum internasional.
Diterimanya MLC 2006 tersebut juga menjadi inspirator disahkannya tema Hari Maritim
Sedunia (World Maritime Day) pada sidang Dewan IMO tahun 2009 bahwa pada tahun
2010 dicanangkan sebagai Tahun untuk Pelaut (Year of Seafarers).
Pernyataan mantan Sekjen IMO tersebut mendapat penghargaan yang tinggi di
kalangan negara anggota ILO, sebagaimana pernah diungkap kembali oleh delegasi ILO
yang mengikuti sidang MSC IMO tahun 2010 Miss Cleopatra Doumbia-Henry,
Directur International Labour Standards Department International Labour Office (Capt.
Hadi Supriyono, 2013).

Maritim Labour Convention 2006 atau MLC 2006 merupakan konvensi yang diajukan
pada pertemuan yang dilakukan oleh Organisasi Pekerja Internasional di Jenewa pada
tahun 2006. Konvensi ini mengatur hak-hak yang harus diberikan kepada seluruh pelaut

3
di seluruh dunia. MLC 2006 baru dapat diterapkan pada tahun 2013 setelah memenuhi
syarat jumlah negara yang harus meratifikasinya (admin, 2017).

Secara garis besar MLC 2006 terdiri dari 5 tema yang disebut dengan “title”, yaitu
1. Minimum requirement for seafarer to work on vessel
- Title ini berisi persyaratan minimum bagi seseorang agar dapat bekerja di
kapal, meliputi:
- Usia minimal. Seseorang dapat pekerja sebagai pelaut bila telah berusia 16
tahun. Untuk pekerjaan di waktu malam dan atau area berbahaya, pelaut harus
berusia minimal 18 tahun.
- Kondisi kesehatan. setiap pelaut harus memiliki sertifikat kesehatan yang
diakui oleh negara tempatnya berada.
- Sebelum melaut, pelatihan kerja dan keselamatan diri harus diberikan kepada
pelaut.
- Penempatan maupun rekrutmen pelaut harus meliputi sejumlah prosedur,
dilengkapi dengan prosedur keluhan, serta pemberian kompensasi pada
rekrutmen yang gagal.
2. Condition of employment
- Kontrak kerja harus legal, jelas, serta mengikat.
- Pembayaran gaji dilakukan sekurang-kurangnya satu bulan sekali. Bila
dibutuhkan, gaji harus dikirimkan pada keluarga secara berkala.
- Waktu istirahat disesuaikan dengan peraturan yang berlaku di negara
bersangkutan. Waktu kerja paling lama 14 jam sehari atau 77 jam seminggu.
Waktu istirahat minimal 10 jam satu hari atau 77 jam seminggu.
- Pelaut mempunyai hak cuti di daratan dan cuti tahunan.
- Pelaut tidak mengeluarkan biaya ketika dipulangkan ke negara asalnya.
- Pelaut mempunyai hak pesangon jika kapal kandas atau hilang.
- Profesi pelaut harus memiliki jenjang karir jelas.
3. Accomodation, recreational facilities, food and catering
- Makanan dan katering. Kuantitas dan kualitas makanan mengikuti negara
sesuai bendera kapal. Selain itu, koki harus mendapatkan pelatihan yang
tepat.

4
- Tempat untuk tinggal serta bekerja wajib memperhatikan kenyamanan dan
kesehatan para pelaut. Diatur juga hal-hal mengenai asrama, ruang hiburan,
maupun ruang tidur.
4. Health protection, medical care, welfare, social protection
- Perlindungan pelaut dari dampak keuangan akibat cedera, sakit, atau
kematian yang berkaitan dengan pekerjaannya. Gaji pelaut tetap harus
diberikan paling sedikit 16 minggu sejak ia mulai sakit.
- Akses pelayanan kesehatan gratis selama di kapal harus diberikan kepada
pelaut dengan kualitas yang sama dengan pelayanan kesehatan di darat.
- Pelaut harus bekerja dan beristirahat di lingkungan yang higienis dan aman.
Tingkat keamanan berupa identifikasi bahaya serta pengendalian risiko
harus diukur agar kecelakaan kerja dapat dicegah.
- Port states harus memberikan fasilitas rekreasi, informasi, dan budaya yang
memadai. Fasilitas ini terbuka bagi semua pekerja laut apapun kelamin, ras,
agama, dan pandangan politiknya.
- Setiap pelaut harus mendapatkan perlindungan sosial.
5. Compliance and enforcement
- Flag states memiliki tanggung jawab untuk memastikan agar aturan
diterapkan pada kapal yang menggunakan benderanya. Kapal wajib
dilengkapi dengan “Certificate of Maritime Compliance”. Selain itu, kapal
juga harus mempunya prosedur keluhan bagi setiap kru kapal serta
melakukan investigasi atas keluhan tersebut.
- Port states wajib melalukan pemeriksaan tergantung pada ada atau
tidaknya “Certificate of Compliance”. Bila kapal telah mempunyai sertifikat
dan berasal dari negara yang telah meratifikasi MLC 2006, pemeriksaan
dilaksanakan untuk mengetahui apakah ada indikasi pelanggaran terhadap
standar. Sementara bila kapal belum mempunyai sertifikat, pemeriksaan
dilakukan secara menyeluruh serta memastikan kapal sesuai ketentuan MLC
2006.
- Agen Pelaut juga harus diperiksa untuk memastikan mereka telah
menerapkan MLC 2006 maupun peraturan-peraturan lain yang berkaitan
dengan keamanan sosial.

3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016

Pemerintah dan DPR sepakat untuk meratifikasi Konvensi Ketenagakerjaan Maritime


2006 (Maritime Labour Convention). Konvensi itu telah diratifikasi melalui UU No. 15
Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime Labour Convention 2006. Ratifikasi itu
untuk memberi perlindungan kepada pelaut dan awak kapal. Misalnya, perlindungan
hukum mengenai upah, syarat kerja, waktu kerja dan istirahat, perawatan medik,
jaminan kesehatan dan sosial. Selain melindungi pekerja ratifikasi Konvensi itu

5
berfungsi meningkatkan kemampuan industri pelayaran sehingga mampu bersaing di
ranah internasional, serta meningkatkan koordinasi bidang maritim antar pemangku
kepentingan seperti kementerian dan lembaga pemerintah (ADY, 2016).
Selain melindungi pekerja ratifikasi Konvensi itu berfungsi meningkatkan
kemampuan industri pelayaran sehingga mampu bersaing di ranah internasional, serta
meningkatkan koordinasi bidang maritim antar pemangku kepentingan seperti
kementerian dan lembaga pemerintah.
UU No. 15 Tahun 2016 adalah wujud pemerintah meratifikasi Maritime Labour
Convention 2006 (Konvensi Ketenagakerjaan Maritim 2006). MLC 2006 ini adalah
instrument hukum yang dibuat oleh Organisasi Pekerja Internasional (International
Labour Organization – ILO). MLC 2006 disahkan di Geneva, Swiss 2006 oleh ILO.
MLC 2006 bertujuan untuk : satu, memastikan hak-hak para pelaut sedunia dilindungi,
dua, memberikan standar pedoman bagi setiap negara pemilik kapal untuk
menyediakan lingkungan kerja yang nyaman.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016 tentang Pengesahan Maritime
Labour Convention, 2006 (Konvensi Ketenagakerjaan Maritim 2006). Pelaut memiliki
hak-hak dasar anatara lain upah, syarat kerja termasuk waktu kerja dan waktu istirahat,
perawatan medik, jaminan kesehatan, perekrutan dan penempatan, pelatihan dan
pengawasan. Upaya untuk memenuhi hak tersebut diperlukan pengaturan perlindungan
pelaut. Dengan demikian, pemerintah Indonesia maritifikasi MLC 2006 melalui
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016. Konvensi ini berlaku untuk semua kapal
umum dan perseorangan, yang digunakan dalam kegiatan komersial selain dari kapal-
kapal yang digunakan dalam penangkapan ikan atau melakukan kegiatan serupa dan
kapal-kapal yang dibangun secara tradisional seperti kapal layer dan pinisi. Konvensi
ini tidak berlaku pada kapal perang atau angkatan laut (Farah, 2018).

6
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

MLC 2006 memiliki 5 tema (kalusul) sebagai persyaratan-persyaratan untuk


melindungi hak pelaut:
1) Persyaratan Minimal Usia Pelaut yang Bekerja di Kapal.
2) Kondisi Kerja.
3) Akomodasi, Fasilitas Rekreasi, Makanan dan Catering.
4) Perlindungan dan Perawatan Kesehatan, Kesejagteraan, dan Perlindungan
Keamanan Sosial.
5) Penerapan dan Pelaksanaan
Pada klausul pertama ada pengaturan: usia minimal pelaut, kondisi kesehatan,
pelatihan, dan rekrutmen/penempatan. Persyaratan ini berimplikasi pada sosial budaya
masyarakat pesisir bahwa ada batasan minimal usia untuk menjadi pelaut. Wajib belajar
12 tahun merupakan alasan mengapa usia minimal pelaut (pekerja malam) adalah 18
tahun. Angakatan lulus SMA rata-rata berumur 18 tahun sehingga memiliki ilmu
pengetahuan dasar. Untuk non pekerja malam 16 tahun dimana ini merupakan umur
lulus angkatan SMP. Kemudian kondisi kesehatan, persyaratan ini diperluakan agar
calon tenaga pelaut memiliki jejak kesehatan yang jelas untuk mengurangi resiko yang
akan ucnul ketika menjdai pelaut. Pelatihan, pelaut harus mendapatkan pelatihan yang
berkaitan dengan pekerjaannya sebelum melaut dan juga mendapatkan training
keselamatan diri (Personal Safety Training). Hal ini berakibat pada diperlukannnya
waktu bagi calon pelaut untuk sekolah kepelautan dasar dan disertai sertifikat lulus.
Adanya pelatihan keselamatan diri dan sertifikatnya membuat waktu persiapan menjadi
lebih lama dan sekolah kepelautan dituntut memiliki kualifikasi untuk
menyelenggarakan training yang layak. Rekrutmen atau penempatan pelaut harus
dilakukan dengan menjalankan prosedur penempatan dan pendaftaran yang baik,
adanya prosedur keluhan dan harus ada kompensasi bila proses rekrutmen gagal.

7
Keuntungan yang didapat dengan diberlakukan MLC 2006 adalah:
- Tempat kerja yang aman (safe and secure) sesuai dengan standar keselamatan
yang layak,
- Syarat perjanjian kerja yang wajar (fair terms of employment),
- Kerja dan kondisi kerja di kapal yang layak, dan
- Perlindungan kerja, perawatan kesehatan, kesejahteraan dan bentuk lainnya
terhadap perlindungan social (Health protection, medical care, welfare
measures and other forms of social protection).
Indsutri maritim secara umum akan terpengaruh dengan penerapan UU No. 15 Tahun
2016, terutama industry pembuatan kapal dan perusahaan pelayaran (operator kapal).
Hal ini disebabkan karena apabila dicermati pasal demi pasal pada MLC 2006,
persyaratan untuk konstruksi kapal, yaitu tentang ukuran akomodasi awak kapal serta
pengawakan, khususnya tuntutan kesejahteraan bagi awak kapal, cukup menjadi beban
yang berat bagi perusahaan pelayaran.
Dunia pelayaran terdampak besar oleh penerapan UU Nomor 15 Tahun 2016. Industry
pelayan harus menyediakan alat keleamatan berlayar bagi setiap awak kapal dan
memberikan pelatihan tambahan sesuai standar internasional. Lalu masalah
kesejahteraan pelaut, perusahaan pelayaran harus memberikan tunjangan lebih dan
memastikan hak-hak pelaut terpenuhi. Industri pelayaran nasional kurang dilirk oleh
pelaut disbanding internasional karena malsalah kesejahteraan. Perushaan pelayaran
nasional dianggap kurang memperhatikan kesejahteraan dan kesehatan awak kapalnya.

8
DAFTAR PUSTAKA

Farah, N. (2018). PERLINDUNGAN PELAUT INDONESIA DI LUAR NEGERI MELALUI RATIFIKASI


MARITIME LABOUR CONVENTION, 2006. Surabaya: Universitas Airlangga.
ILO. (2008, September 1). Diambil kembali dari ILO:
https://www.ilo.org/global/publications/WCMS_098256/lang--en/index.htm
Capt. Hadi Supriyono, M. M. (2013, Mei 12). Capt. Hadi Supriyono, MM, M.Mar. Diambil
kembali dari Capt. Hadi Supriyono, MM, M.Mar:
https://www.hadisupriyonommm.com/2013/05/sekilas-maritime-labour-
convention-2006.html
admin. (2017, Februari 4). SAMUEL BONAPARTE. Diambil kembali dari SAMUEL BONAPARTE:
https://samuelbonaparte.com/blog/2017/02/04/lima-klausul-di-dalam-mlc-2006/
ADY. (2016, November 9). HUKUM ONLINE .COM. Diambil kembali dari HUKUM ONLINE
.COM: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt582336387b4a5/indonesia-
ratifikasi-konvensi-ketenagakerjaan-maritim--apa-pentingnya/

Anda mungkin juga menyukai