Anda di halaman 1dari 8

Rangkuman Literatur Perkembangan Studi Implementasi Kebijakan Publik

Pembahasan mengenai implementasi kebijakan publik menjadi salah satu pokok yang
paling banyak dipelajari. Begitu beragamnya perspektif mengenai sebuah kebijakan telah
mendorong berkembangnya studi kebijakan publik, yang didalamnya tentu terkait dengan studi
implementasi kebijakan publik. Pada dasarnya kebijakan publik ialah keputusan yang dibuat oleh
negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang
bersangkutan (Masriani). Dalam mencapai pemenuhan tujuan dari suatu kebijakan publik, maka
diperlukan suatu implementasi kebijakan atau dapat dikatakan sebagai pelaksanaan kebijakan
publik. Sehingga pelaksanaan kebijakan dapat dimaknai sebagai tindakan-tindakan
yangdilakukan, baik oleh individu maupun kelompok pemerintah, yang diorientasikan
padapencapaian tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. (Abdullah
ramdani)

Konsep Implementasi sendiri muncul ke permukaan beberapa decade lalu sejak Harold
Laswell (1956) mengembangkan gagasannya bahwa untuk memahami kebijakan publik dapat
digunakan suatu pendekatan dengan apa yang disebut sebagai policy process approach
(pendekatan proses dalam kebijakan) (purwanto). Implementasi kebijakan ini merupakan salah
satu tahapan dalam keseluruhan proses kebijakan yaitu tahap formulasi, tahap implementasi,dan
tahap evaluasi yang berlangsungdalam suatu sistem kebijakan yangkomplek dan dinamik serta
akan menentukan berhasil atau gagalnya suatu kebijakan (Sabdaningtyas). Alasan mengapa
implementasi kebijakan diperlukan mengacu pada pandangan para pakar bahwa setiap kebijakan
yang telah dibuat harus diimplementasikan. Oleh karena itu,implementasi kebijakan diperlukan
karena berbagai alasan atau perspektif (akib)

Masalah implementasi kebijakan publik telah menarik perhatian para ahli ilmu sosial,
khususnya ilmu politik dan administrasi publik baik. Hal ini membuat Implementasi kebijakan
publik mengalami perubahan serta perkembangan dari masa ke masa terkait dengan perubahan
yang juga terjadi secara dinamis dan tak terduga sehingga studi mengenai implementasi kebijakan
publik pun ikut berkembang. Studi mengenai implementasiini sendiribaru memperoleh perhatian
pada tahun 1970an. Sampai awal tahun 1970-an, implementasi dianggap sebagai hal yang tidak
problematis dalam pengertian kebijakan, karena diasumsikan bahwa setelah diambil suatu
kebijakan, maka selanjutnya perlu dilaksanakan begitu saja (tachjan). Pandangan ini mulai berubah
semenjak Jefrey Presman dan Aaron Wildavsky (1973) menerbitkan bukunya yang berjudul
Implementation. Kedua peneliti tersebut kemudian dianggap sebagai pioneer karena kedua orang
peneliti inilah yang secara eksplisit menggunakan konsep implementasi untuk menjelaskan
fenomena kegagalan suatu kebijakan dalam mencapai sasarannya (purwanto)

Semenjak kemunculan buku tersebut, studi implementasi terus berkembang. Dimulai dari
generasi pertama para peneliti yang lebih menonjolkan studi kasus untuk memahami mengapa
banyak kebijakan nasional gagal diimplementasikan oleh pemerintah daerah, studi implementasi
kemudian berkembang ke arah perumusan model-model implementasi untuk menjelaskan
fenomena kegagalan tersebut, dan dalam perkembangannya yang terakhir sebagaimana dilakukan
oleh para peneliti generasi ketiga, studi impementasi lebih banyak diarahkan untuk membawa studi
implememtasi menjadi lebih scientific dengan menggunakan pendekatan yang lebih kuantitatif
dalam pembuktian model-model yang mereka kembangkan atau yang telah dikembangkan oleh
peneliti generasi kedua (purwanto)

Pada generasi pertama (1970-an), generasi ini menggunakan studi kasus guna memahami
implementas kebijakan sebagai masalah-masalah yang terjadi antara kebijakan dan eksekusinya.
Pendekatan generasai pertama hanya terbatas pada studi kasus dengan metode deskriptif dengan
melakukan investigasi terhadap implementasi suatu kebijakan publik secara mendalam yang
dilaksanakan pada daerah atau lokasi tertentu. Pelaksanaan penelitian yang dilakukan melalui
beragam studi kasus di berbagai negara merupakan suatu usaha atau suatu studi untuk memahami
secara lebih mendalam dan sistematis mengenai faktor-faktor yang memfasilitasi atau
menghambat implementasi kebijakan-kebijakan publik (tachjan) .Para peneliti generasi pertama
ini sebagian besar menghasilkan studi kasus untuk menjelaskan apa yang mereka sebuh sebagai
missing link, yaitu kegagalan pemerintah dalam mentransformasikan good intentions menjadi
good policy (P. DeLeon) Maknanya, niat baik yang ditunjukkan pemerintah tidak akan
membuahkan hasil yang positif ketika pemerintah tidak mampu merancang dan
mengimplementasikan kebijakan tersebut dengan baik.

Adapun yang dituliskan oleh Gogin, dkk (1990) dalam (kadji) yang mengaskan bahwa pada
generasi pertama ini penelitian implementasi hanya difokuskan pada :

1. Bagaimana suatu aturan dijadikan (diwujudkan) sebagai hukum dan bagaimana suatu
hukum dijadikan suatu program
2. Upaya menunjukkan sifat kekomplekan dan dinamika implementasi
3. Menekankan pentingnya subsistem kebijakan dan sulitnya susbsistem tersebut
melakukan koordinasidan pengawasan.
4. Mengidentifikasi beberapa faktor yang menentukan hasi suatu program
5. Mendiagnosis beberapa penyakit (pathologies) yang sering mengganggu pelaksana
kebijakan

Melalui pendekatan studi kasus, Generasi pertama kemudian menghasilkan banyak sekali
kasus-kasus kegagalan implementasi. Cara mereka menjelaskan fenomena kegagalan tersebut
biasanya dengan metode deskriptif, yaitu menggambarkan kebijakan yang ditelitinya secara:
mendalam, detil, dan banyak ilustrasi sehingga hasil penelitian mereka sangat menarik untuk
dibaca (kasmad) Salah satu contohnya ialah penelitian terhadap program-program Great Society
yang dilaksanakan oleh pemerintah Johson (1963-1968) di Amerika Serikat, yang dari hasil
penelitian dikonfirmasi bahwa program tersebut tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan
dan masalahnya adalah dalam cara pelaksanaan program tersebut (tachjan). Studi implementasi
generasi pertama initerfokus untuk menunjukkan sifat kekompleksan dan dinamika dalam
mengimplementasikan sebuah kebijakan. Dari berbagai studi kasus tersebut, para peneliti
kemudian memunculkan rancangan-rancangan mereka sendiri mengenai bagaimana mengatasi
permasalahan implementasi suatu kebijakan. Namun rancangan tersebut belum mampu
menghasilkan hal yang bisa disebut sebagai teori umum implementasi (purwanto)

Pada generasi kedua, peneliti implementasi kemudian muncul dengan pendekatan yang
lebih kompleks. Menurut Gogin, dkk (1990) dalam (kadji), penelitian implementasi kebijakan
generasi kedua memusatkan perhatiannya pada : (1) Jenis dan Isi Kebijakan, (2) Organisasi
pelaksana dan sumber dayanya, (3) Pelaksana kebijakan (people) : motivasi, sikap, hubungan
antarpribadi, pola komunikasi, dan sebagainya. Para peniliti sudah menggunakan hipotesis untuk
membuat model-model tentang implementasi kebijakan dan membuktikan model tersebut dengan
data-data empiris di lapangan. Sebagian di antara studi ini telah menghasilkan analisis dan
preskripsi bahwa implementasi kebijakan harusmerupakan suatu proses ”top-down” dalam
kaitannya denganapa yang dilakukan oleh para implementor agar pelaksanaankebijakan mereka
dapat berlangsung secara lebih efektif. Akan tetapi, pendekatan ini ditentang oleh pihak yang
mendukungpendekatan ”bottom-up”, yang memulainya dari perspektifpihak-pihak yang
terpengaruh oleh dan yang terlibat di dalampelaksanaan suatu kebijakan (tachjan)

Berdasarkan pendapat tersebut, Secara umum pada generasi kedua menjadikannya terdapat
dua pandangan yang popular, pandangan pertama yaitu pendekatan top-down,Teori Rasional (top
down) ini lebih menekankan pada usaha untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang
membuat suatu kebijakan bisa berjalan sukses di lapangan (masriani). Teori dari tokoh yang
termasuk dalam pendekatan ini yaitu Grindle (1980), Daniel Mazmanian dan Paul sabatier (1986),
Van Meter dan Van Horn (1973) dan Ripley dan Franklin (1985)

Teori Grindle lebih dikenal dengan pendekatan top-down dikarenakan pelaksanaan


kebijakan publik menurut Merilee S. Grindle dalam (herbasuki) dipengaruhi oleh dua variable
besar, yakni: isi kebijakan (content of policy); dan lingkungan implementasi (context
ofimplementation). Content of policy atau isi kebijakan diantaranya mencakup: (1) kepentingan
yang dipengaruhi, (2) jenis manfaat yang diperoleh, (3) derajat perubahan yang diinginkan, (4)
kedudukan atau posisi pembuat kebijakan, (5) para pelaksana kebijakan, (6) sumberdaya yang
dikerahkan. Context of implementation yang dimaksud Grindle diantaranya mencakup (1)
kekuasaan atau kepentingan, (2) karakteristik lembaga penguasa dan (3) kepatuhan serta daya
tanggap pelaksana

Kontribusi selanjutnya dari perspektif top-down yaitu dari Paul Sabatier dan Daniel
Mazmanian. Mazmanian dan Sabatier dalam (gatu adie pradana) mengklasifikasikan proses
implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel. Pertama, variabel independen, yaitu mudah-
tidaknya masalah dikendalikan yang berkenan dengan indikator masalah teori dan teknis
pelaksana, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. Kedua, variabel
intervening, yaitu variable kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi
dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan. Ketiga, Ketiga, variabel dependen, yaitu
tahapan dalam proses implementasi dengan lima tahapan,

Titik awal untuk sabatier dan mazmanian adalah untuk menganalisis implementasi
keputusan kebijakan tingkat atas kemudian bertanya :

1. Sejauh mana tindakan pejabat pelaksana dan kelompok sasaran konsisten dengan
keputusan kebijakan itu?
2. Sejauh mana tujuan tercapai dari waktu ke waktu, yaitu sejauh manadampaknya
konsisten dengan tujuan?
3. Apa faktor utama yang mempengaruhi keluaran dan dampak kebijakan, baik yang
relevan dengan kebijakan resmi maupun yang signifikan secara politik
4. Bagaimana kebijakan diformulasikan ulang berdasarkan waktu pengalaman? Sabatier,
(1986) dalam (michael hill)

Teori selanjutnya yaitu Van Meter dan Van Horn (1975). Model yang mereka kembangkan
lebih popular disebut sebagai A Model of the Policy Implementation Process. Model ini
menjelaskan bahwa implementasi kebijakan, sebagai suatu tindakan yang dilakukan baik oleh
individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan
untuk tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan (Richard djiko). Proses
implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu pengejewantahan kebijakan
yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan tinggi
yang berlangsung dalam hubungan berbagai variable (D. Hernawan dan G. Pratidina) Dalam hal
ini Van Meter dan Van Horn dalam (abdul aziz) menekankan pada variabel-variabel yang
mempengaruhi keberhasilan dalam proses implementasi kebijakan yaitu:

1. Ukuran dasar dan tujuan kebijakan


2. Sumber-sumber kebijakan.
3. Komunikasi antar organisasi kegiatan-kegiatan pelaksanaan.
4. Karakteristik badan-badan pelaksana.
5. Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik.
6. Kecenderungan pelaksana.

Ukuran dasar dan tujuan kebijakan berguna dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan
kebijakan secara menyeluruh. Sumber-sumber kebijakan meliputi sumber daya manusia, sumber
daya dana maupun fasilitas. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
menyangkut kejelasan, ketepatan, konsistensi, dalam mengkomunikasikan ukuran dan tujuan
tersebut sehingga memudahkan pelaksana dalam pencapaian tujuan kebijakan. Karakteristik
badan-badan pelaksana menyangkut norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-
ulang dalam badan-badan eksekutif. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik, adalah tersedianya
sumber daya ekonomi untuk mendukung kelancaran implementasi kebijakan dan menyangkut
lingkungan sosial dan politik (dukungan elit) yang mempengaruhi yurisdiksi atau organisasi
dimana implementasi dilaksanakan. Kecenderungan pelaksana (implementor) menyangkut
persepsi-persepsi pelaksana untuk mendukung atau menentang kebijakan (abdul aziz)

Teori tokoh selanjutnya yang bersifat top-down ialah Ripley dan Franklin (1985), Teori
Ripley dan Franklin ingin menekankan tingkat kepatuhan para implementor kebijakan terhadap isi
kebijakan itu sendiri. Setelah ada kepatuhan terhadap kebijakan yang ada, pada tahap selanjutnya
melihat kelancaran pelaksanaan rutinitas fungsi, serta seberapa besar masalah yang dihadapi dalam
implementasi. Pada akhirnya setelah semua berjalan maka akan terwujud kinerja yang baik dan
tercapainya tujuan (dampak) yang diinginkan. Pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dapat dipakai
untuk mengukur apakah tugas pokok organisasi implementor tersebut telah berjalan dengan lancar
atau belum. Fungsi selanjutnya dapat untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada, sehingga
dapat menghambat lancarnya implementasi sebuah kebijakan. (masriani)

Berbeda dengan pendekatan top-down, pendekatan bottom-up yang dipelopori oleh


beberapa peneliti Generasi kedua seperti Elmore (1978,1979), Lipsky (1971), Berman (1978) dan
Hjern, Hanf, serta Porter (1978) yang didasarkan atas ketidakpuasan mereka, kemudian mereka
mengembangkan pendekatan baru yaitu bottom-up. Dalam perspektif bottom-up, kebijaksanaan
dinilai berbeda. Kebijaksanaan dipandang sebagai hal yang tidak terelakkan dalam rangka untuk
menyebarkan aturan umum, peraturan, dan norma dalam situasi tertentu, yang membantu untuk
meningkatkan efektivitas program kebijakan dan dukungan demokratis untuk program (Lars
Tummers and bakkers)

Para penganut pendekatan ini mencoba menekankan bagaimana pentingnya


memperhatikan dua aspek yang penting dalam implementasi suatu kebijakan, yaitu: birokrat pada
level bawah (street level bureaucraty) dan kelompok sasaran kebijakan (target group). Disamping
itu, menurut para bottom-uppers (sebutan para pendukung pendekatan bottom-up), implementasi
akan berhasil apabila kelompok sasaran (target group) dilibatkan sejak awal dalam proses
perumusan kebijakan sampai dengan implementasinya. Hal inilah yang kerap kali sering dilupakan
para penganut aliran top-down (kasmad)

Salah satu tokoh yang mencetuskan model bottom-up adalah Adam Smith (1973). Model
proses atau alur Smith (1973) merupakan salah satu model implementasi yang paling klasik.
Menurut Smith, dalam proses implementasi ada empat variabel yang perlu diperhatikan. Keempat
variabel tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan yang saling
mempengaruhi dan berinteraksi secara timbal balik, oleh karena itu jika salah satu variabel ada
yang tidak bersinergi maka akan menyebabkan ketidakseimbangan diantara beberapa variabel.
Variable-variabel tersebut antara lain Idealized Policy, Target Groups, Implementing
Organization, dan Environmental Factors (fitria rachmawaty utomo)

Dari penelitian yang telah dilakukan pada generasi kedua ini hasil yang diperoleh adalah:

1. Pengakuan bahwa implementasi kebijakan dapat berubah setiap saat, bagi semua
kebijakan, sekarang maupun yang akan datang.
2. Identifikasi berbagai faktor penentu keberhasilanimplementasi dan menjelaskannya.
3. Membahas berbagai masalah yang sulit dalam prosesimplementasi kebijakan. (kadji)

Pada generasi ketiga yang dikembangkan oleh Malocom L. Gogging (1990) merumuskan
bahwa perilaku aktor pelaksana implementasi kebijakan lebih menentukan keberhasilan
implementasi kebijakan (Kasmad, 2003). Dalam generasi ketiga ini, implementasi kebijakan
publik dicari suatu pengembangan baru yang akan membuat implementasi kebijakan publik lebih
scientific. Implementasi Generasi Ketiga menguji teori implementasi pada tataran basis dan studi
kasus yang lebih komparatif, desain penelitian statistical yang dapat meningkatkan jumlah
observasi. Pada generasi ini Studi Implmenetasi kebijakan lebih mengembangkan sebuah desain
ekplisit model teoritikal, definisi operasional dari konsep dan penetapan indikator yang tepat dari
implementasi variabel yang diduga (suparno). Penelitian yang dilakukan pada generasi ketiga ini
memusatkan perhatiannya pada :

1. Komunikasi antarlembaga pemerintahan dalam implementasi kebijakan


2. Penyusunan disain penelitian yang lebih komprehensif guna mengkaji implementasi
kebijakan
3. Mengkaji variabel-variable prediktor dalam penelitian implementasi kebijakan. (kadji)

Para peneliti generasi ketiga berusaha untuk membuat hipotesis untuk menjawab
pertanyaan terkait kompleksitas lemaga-lembaga pelaksana kebijakan, perbedaan perilaku antar
aktor-aktor pelaksana kebijakan yang menjalankan kebijakan yang sama di waktu yang sama pula.
Pada generasi ketiga ini juga lahir contingency theory oleh Matland (1995) dan Ingram (1990).
Namun sayangnya tidak seperti generasi sebelumnya, generasi ketiga cenderung mandet dan
kurang berkembang. (Saetren, 2014).

Namun demikian, pada praktiknya suatu implementasi kebijakan publik tidak selalu
sejalan dengan apa yang sudah direncanakan dalam tahap formulasi kebijakan publik atau antara
visi dengan realitas (ade Iskandar). Para peneliti memiliki pandangannya masing-masing terkait
dengan faktor yang mengakibatkan berhasil atau gagalnya suatu kebijakan. Terdapat beberapa
kesamaan dari pendapat ahli tersebut diantaranya (1) aspek yang terkait dengan kondisi
lingkungan, (2) aspek yang terkait dengan isu kebijakan, (3) aspek yang terkait dengan
karakteristik organisasi pelasana, (4) aspek yang terkait dengan karakteristik kelompok sasaran
(sabdaningtyas).

Pendapat lain yang dinyatakan oleh Grindle dalam (Tachjan) yang menyebutkan 3 (tiga)
hambatan besar yang tiap kali muncul dalam imlpementasi kebijakan, yakni : (1) ketiadaan
kerjasama vertical antara atasan dan bawahan; (2) hubungan kerja horisontal yang tidak
sinergis;(3) masalah penolakan terhadap perubahan yang datang dari publik maupun kalangan
birokrasi sendiri. Maka, untuk mengatasi hambatan dalam implementasi kebijakan publik,
pelaksana kebijakan publik perlu memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi sosial
yang berkembang (ade Iskandar)

Berbagai perkembangan penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli tersebut sedikit
banyak dapat membantu mengatasi masalah efektivitas dan efisiensi yang selalu menjadi tema
pokok ilmu administrasi publik. Pada saat berbagai permasalahan pokok yang selama ini menjadi
problem studi implementasi sudah teratasi, tentunya kemudian menjadi tanda tanya besar apakah
studi implementasi masih perlu untuk dilakukan (erwan agus purwanto)

Anda mungkin juga menyukai