Anda di halaman 1dari 53

LABORATORIUM OBAT ASLI INDONESIA

PROGRAM STUDI FARMASI


UNIVERSITAS PANCASAKTI MAKASSAR

BAHAN DISKUSI UMUM


PRAKTIKUM OBAT ASLI INDONESIA

Kelompok 3
Reski Amalia (515 18 011 541)
Adji Surachman Umar (515 18 011 536)
Wa Ode Rohaisa Arnas (515 18 011 560)
Ulfayani (515 18 011 539)
Yohanis Marcelinus Sabaleku (516 18 011 573)
Asma Zakiah (515 18 011 540)
Devitasari (515 18 011 567)
Dwi Aprianti Lestari (515 18 011 548)
Karmila Sari M (515 18 011 569)
Salbia (515 18 011 094)

Asisten :Andri Anugerah Pratama, S.Farm., M.Si., Apt

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PANCASAKTI
MAKASSAR
2020
BAHAN DISKUSI UMUM PRAKTIKUM OBAT ASLI INDONESIA KELAS
KONVERSI ANGKATAN 2018

1. Pengertian obat tradisional

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan

tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran

dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan

berdasarkan pengalaman. Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim

penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, obat bahan alam Indonesia.(Badan

Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat

dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pokok

Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia. Jakarta )

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun

2012 tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional, obat tradisional adalah bahan

atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian

(galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun

digunakan untuk pengobatan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat

(Peraturan Menteri Kesehatan No.6, 2012). Menurut World Health Organization

(WHO), pengobatan tradisional adalah jumlah total pengetahuan, keterampilan,

dan praktek-praktek yang berdasarkan pada teori-teori, keyakinan, dan

pengalaman masyarakat yang mempunyai adat budaya yang berbeda, baik

dijelaskan atau tidak, digunakan dalam pemeliharaan kesehatan serta pencegahan,


diagnosa, perbaikan atau pengobatan penyakit secara fisik dan juga mental

(WHO, 2004).

2. Bahan baku obat tradisional

Sesuai batasan obat asli Indonesia, obat tradisional maka bahan bakunya

adalah bahan alamiah (tumbuhan, hewan dan mineral).

Tanaman atau bahan baku yang dipergunakan dalam pengobatan

tradisional atau pengobatan alternatif dapat berupa :

a. Bahan mentah atau simplisia yang dapat berupa bahan segar, serbuk kering

atau diformulasi.

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan apapun juga. Simplisia dapat berupa bahan

segar atau serbik kering yang sesuai dengan standar farmakope. Simplisia

dapat berupa simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan atau

mineral.

1) Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian

tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat adalah ialah isi sel yang secara

spontan keluar dari tanaman atau yang dengan cara tertentu dikeluarkan

dari selnya.
2) Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan

atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat

kimia murni.

3) Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan

atau mineral yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana

dan belum berupa zat kimia murni.

Pengontrolan yang ketat terhadap bahan baku hasil kultivasi

(pemilihan bibit, pengontrolan lahan penanaman, saat panen, pengeringan

dan atau pengontrolan terhadap setiap tahap proses dari bahan baku

sampai dengan bentuksediaan jadi) dapat diharapkan terwujudnya suatu

homogenitas bahan obat / sediaan fitofarmaka.

Bentuk atau bagian bahan baku yang dipergunakan akan

mempengaruhi proses atau tahap-tahap pembuatan serbuk kering

(kehalusan) dari simplisia yang nantinya akan mempengaruhi proses

ekstraksi. Bentuk kayu dan akar umumnya keras, cara pengerjannya lain

dengan bentuk bunga, daun, rimpang, dan daun buah yang lunak.

Umumnya bahan tersebut dipotong tipis-tipis atau diserbuk kasar,

tergantung cara masing-masing industri.

Ukuran bahan baku atau kehalusan serbuk simplisia akan

mempengaruhi proses pembuatan ekstrak, karena semakin halus serbuk

akan memperluas permukaan dan semakin banyak bahan aktif tanaman

tertarik pada pelarut pengekstraksi. Serbuk dibuat dengan alat yang sesuai
dan derajat kehalusan tertentu karena alat yang dipergunakan dalam

pembuatan serbuk juga dapat mempengaruhi mutu ekstrak atau mutu

kandungan kimia aktif. Selama penggunaan peralatan pembuatan serbuk

akan ada gerakan dan interaksi dengan benda keras (logam) yang dapat

menimbulkan panas (kalori) yang dapat mempengaruhi kandungan

senyawa aktifnya, sebagai akibat proses hidrolisis akibat panas tersebut.

Ukuran partikel atau kehalusan serbuk harus disesuaikan dengan

bahannya, proses ekstraksi,cairan penyari, dan lain-lain. Ukuran bahan

baku (mesh) sudah tercantum dalam Farmakope.

Pada saat panen atau pada proses pemanenan dan pengumpulan

bahan baku obat perlu kiranya memperhatikan aturan-aturan atau

pedoman pemanenan bahan baku. Aturan yang ditetapkan dalam

pemanenan dan pengumpulan tanaman obat, bertujuan untuk

mendapatkan kadar zat aktif yang maksimal. Pemanenan dilakukan pada

dasarnya saat kadar zat aktif paling tinggi diproduksi paling banyak pada

tanaman. Metode pengambilan atau pengumpulan saat pemanenan

disesuaikan dengan sifat zat aktif tanaman karena ada yang bisa dipanen

dengan mesin dan ada yang harus menggunakan tangan. Sifat-sifat

kandungan senyawa aktif tanaman obat dipengaruhi oleh faktor luar

maupun dalam diri dari tanaman atau tumbuhan tersebut. Faktor luar

antara lain tempat tumbuh, iklim, ketinggian tanah, pupuk, pestisida, dll.
Faktor dalam meliputi genetik yang terdapat dalam tumbuhan tersebut.

Hal ini mengakibatkan variasi kandungan kimia yang cukup tinggi.

Adapun aturan-aturan atau garis-garis besar yang dipakai sebagi

pedoman dalam panen untuk bahan baku (simplisia) tanaman obat adalah:

a) Biji, saat buah belum pecah (misal Ricinus communis, kedawung).

Caranya : buah dikeringkan, diambil bijinya. Biji dikumpulkan dan

dicuci, selanjutnya dikeringkan lagi.

b) Buah, dipanen saat masak. Tingkat masak suatu buah dapat dengan

parameter yang berbeda-beda, misal: perubahan tingkat kekerasan

(misal Cucurbita moschata), perubahan warna (misal melinjo, asam,

dll), perubahan bentuk (misal pare, mentimun), perubahan kadar air

(misal belimbing wuluh, jeruk nipis).

c) Pucuk daun, dipanen pada saat perubahan pertumbuhan dari vegetatif

ke generatif terjadi penumpukan metabolit sekunder, yaitu pada saat

berbunga.

d) Daun tua, diambil pada saat daun sudah membuka sempurna dan di

bagian cabang yang menerima sinar matahari langsung sehingga

asimilasi sempurna.

e) Umbi, dipanen jika besarnya maksimal dan tumbuhnya di atas tanah

berhenti.

f) Rimpang, diambil pada musim kering dan saat bagian tanaman di

atas tanah mengering.


g) Kulit batang dipanen menjelang kemarau. Kandungan kimia juga

berbeda-beda jika dipanen pada saat yang berbeda.

Berbagai cara dapat ditempuh dalam mengembangbiakkan tanaman

sebagai sumber simplisia diantaranya adalah dengan cara :

a) Pembibitan tanaman dilakukan dengan benih yang berkualitas dan

terstandar.

b) Bagian tanaman yang bersifat tumbuh seperti batang, seperti

misalnya Rheum palmatum dan Qentiana lulea.

c) Pengembangan pembuahan silang dan mutasi, dengan tujuannya

untukmendapatkan bibit unggul dan berkualitas.

b. Ekstrak yang dapat berupa cairan segar, ekstrak atu rebusan, tingtur, galenik,

atau formula ekstrak kering seperti tablet, kapsul, dan sirup. keduanya seperti

obat-obat tradisional dan modern.Sediaan obat dalam bentuk ekstrak

(monoekstrak) mengandung campuran senyawa kimia yang kompleks.

Masing-masing komponen senyawa mempunyai efek farmakologis yang

berbeda-beda dengan efek yang ditimbulkan secara keseluruhan. Komponen

senyawa aktif yang terkandung dalam suatu sediaan ekstrak tanaman obat

dapat dibedakan atas :

a) Senyawa aktif utama,

b) Senyawa akti sampingan,

c) Senyawa ikutan (antara lain: selulosa, amilum, gula, lignin, protein,

lemak).
Keseluruhan senyawa tersebut di atas akan berperan sehingga

menimbulkan efek farmakologis secara keseluruhan baik secra sinergis

maupun antagonis. Golongan senyawa yang aktivitasnya dominan disebut

senyawa aktif utama (hanya pada beberapa sediaan saja dapat diterangkan;

terutama pada senyawa-senyawa aktif yang sudah benar-benar diketahui).

Pengaruh-pengaruh golongan senyawa lain dapat memperkuat atau

memperlemah efek akhirnya secara keseluruhan. Sediaan ekstrak dapat dibuat

pada simplisia yang mempunyai :

a) Senyawa aktif belum diketahui secara pasti.

b) Senyawa aktif sudah dikenal, tetapi dengan isolasi, harganya menjadi

lebih mahal.

c) Senyawa aktif sudah diketahui tetapi dalam bentuk murni tidak stabil.

d) Efektivitas tumbuhan hanya dalam bentuk segar saja, bila telah melalui

proses pengeringan menjadi tidak berefek.

e) Efek yang timbul merupakan hasil sinergisme.

f) Efek samping berkurang bila dibanding dengan bentuk murni.

g) Efek tidak spesifik, hanya efek psikosomatik.

h) Indeks terapetik dalam bentuk campuran relatif lebih lebar bila dibanding

dengan indeks terapi dalam bentuk murni.

Penggunaan ekstrak kering sebagai bahan obat, harus diperhatikan

kelarutannya. Secara sensorik diperlukan uraian tentang warna dan bau (bila

telah dipastikan bahwa sediaan tidak toksik, dapt dilakukan uji rasa). Pada
ekstrak kering diperlukan uraian tentang kecepatan kelarutan; untuk ini

derajad halus partikel memegang peranan penting (diuji dengan berbagai

macam ayakan dan diuji pula banyaknya partikel per satuan luas di bawah

mikroskop).

Sediaan ekstrak dapat dibuat dengan beberapa cara yaitu :

a) Destilasi uap dan pemisahan minyak atsiri

b) Destilasi fraksional minyak atsiri

c) Ekstraksi dengan metoda maserasi

d) Ekstraksi dengan metoda Perkolasi

e) Ekstraksi dengan metode Soxhlet.

f) Ekstraksi dengan metoda refluk

Ekstrak cair yang diperoleh selanjutnya dipekatkan dengan rotari

epavourator sehingga diperoleh ekstrak kental atau kering yang dengan

teknologi farmasi atau formulasi dapat dibuat bentuk-bentuk sediaan ekstrak

seperti misalnya tablet,capsul dan lain-lain.

3. Sumber-sumber bahan baku obat tradisional

Sumber bahan baku dapat berupa tumbuhan, hewan, maupun mineral.

Namun, kenyataannya simplisia nabati merupakan komponen utama dalam

produk obat tradisional.Simplisia nabati dapat berasal dari tanaman budi daya

maupun tumbuhan liar.

a. Tanaman budidaya
Tanaman obat yang sengaja dibudi daya untuk digunakan sebagai

sumber bahan baku simplisia. Untuk itu, bibit tanaman harus dipilih yang

baik, penampilan dan kandungan senyawa berkhasiat.Misalnya, rimpang

temulawak (Curcuma xanthorrhiza Rhizoma) dipilih yang memiliki rimpang

besar, kandungan kurkuminoid, dan minyak atsirinya tinggi.

Simplisia yang berasal dari tanaman budi daya selain berkualitas,

seragam atau homogen sehingga dari waktu ke waktu akan dihasilkan

simplisia yang bermutu mendekati ajeg atau konsisten. Dari simplisia tersebut

akan dihasilkan produk obat tradisionl yang “reproducible” atau ajeg

khasiatnya.

b. Tumbuhan liar

Agar bahan baku simplisia yang berasal dari tumbuhan liar ini mutunya

dapat dipertahankan, diperlukan pengawasan kualitas internal yang baik.

Apabila suatu bahan baku simplisia yang berasal dari tumbuhan liar ini

langka, padahal permintaan pasar tinggi, maka dijumpai pemalsuan.

Bahan baku simplisia yang berasal dari tumbuhan liar dilacak kemudian

dicatat asal-usulnya, diperiksa kadar bahan berkhasiatnya sehingga dapat

dipilih bahan baku simplisia serupa untuk produk pada masa mendatang.

Pengumpulan tumbuhan obat liar harus memperhatikan pelestariannya.Hal ini

dalam dunia botani disebut “mapping”, artinya membuat peta mengenai

habitat (tempat tumbuh) tumbuhan tertentu. (Soegihardjo, 2013)


4. Pengolahan Bahan Baku Obat Tradisional

a. Sortasi bahan baku terhadap setiap bahan baku atau simplisia yang masuk dan
akan dipakai untuk pembuatan obat tradisional (jamu), sebelumnya harus
dilakukan seleksi atau sortasi sehingga simplisia tersebut bersih dari bahan
lain yang tidak dikehendaki.
b. Pencucian dan pengeringan Sekitar 70% dari jenis bahan baku yang dipakai,
melalui tahap pencucian, dengan tujuan agar lebih terjamin kebersihannya
serta menekan adanya cemaran bahan. Untuk pencucian digunakan air yang
telah dicampur dengan larutan desinfektan tertentu. Setelah proses pencucian,
dilakukan proses pengeringan dan setelah itu bahan baku tersebut masuk ke
dalam gudang bahan bersih, untuk menunggu giliran diproses selanjutnya.
c. Penggorengan dan vaporisasi, untuk jenis bahan baku tertentu dilakukan
penggorengan dan sortasi ulang. Sementara bahan baku / simplisia lain yang
secara alami tidak mungkin melalui pencucian, proses pembersihan dilakukan
dengan cara vaporisasi menggunakan uap air bertekanan.
d. Penyimpanan bahan baku, selanjutnya bahan baku disimpan di dalam gudang
bahan baku bersih, dengan pemberian label (kode bahan baku, kode
leveransir, tanggal pemasokan dan catatan kadar bahan serta kode gudang).
e. Standarisasi, proses standarisasi bertujuan untuk menyiapkan bahan baku agar
dapat memenuhi persyaratan minimal seperti keseragaman jenis, komponen
aktif, serta ketepatan dan keamanan penggunaannya sebagai bahan baku obat
tradisional (Sardjiman, 1997).

5. Aspek yang Mempengaruhi Kandungan Senyawa Tanaman Obat


Secara alamiah, kualitas senyawa bioaktif dalam tumbuhan hidup ditentukan oleh
faktor internal, yaitu genetik dan umur tanaman, serta dipengaruhi oleh faktor
eksternal seperti klimatik, geografi, hama dan penyakit.
a. Faktor genetika
Yang dimaksud dengan faktor genetika di sini adalah dari mana tanaman
tersebut berasal. Berdasarkan bahan bakunya, simplisia diperoleh dari
tanaman liar atau dari tanaman yang dibudidayakan atau dikultur. Tanaman
liar diartikan sebagai tanaman yang tumbuh dengan sendirinya di hutan-hutan
atau ditempat lain di luar hutan atau tanaman yang sengaja ditanam, tetapi
bukan untuk tujuan memperoleh simplisia untuk obat (misalnya tanaman hias
dan tanaman pagar). Sedangkan tanaman kultur diartikan sebagai tanaman
budidaya, yang sengaja ditanam untuk tujuan mendapatkan simplisia.
Dibandingkan dengan tanaman budidaya, tanaman liar mempunyai beberapa
kelemahan dalam menghasilkan simplisia dengan mutu yang memenuhi
standar. Hal ini disebabkan karena :
1) Unsur tanaman pada waktu pengumpulan tanaman atau organ tanaman
sulit atau tidak dapat ditentukan oleh pengumpul sehingga dapat
mempengaruhi senyawa aktif yang dikehendaki.
2) Jenis (spesies) tanaman yang dikehendaki sering tidak tetap dari suatu
waktu pengumpulan ke waktu pengumpulan berikutnya. Perbedaan jenis
suatu tanaman akan menyebabkan perbedaan kandungan senyawa aktif.
3) Perbedaan tempat tumbuh jenis tanaman yang dikehendaki. Ketinggian,
cuaca, dan keadaan tanah yang berbeda dapat menyebabkan kandungan
senyawa aktif dalam tumbuhan yang sama akan berbeda.
Simplisia yang diperoleh dari tanaman budidaya, keseragaman umur, masa
panen, dan galur tanamannya dapat dipantau. Namun tanaman budidaya juga
ada kerugiannya yaitu pemeliharaan yang rutin menyebabkan tanaman
menjadi manja dan mudah terserang hama dan penyakit tanaman yang
lainnya. Serta penggunaan pestisida juga menyebabkan konsekuensi
tercemarnya simplisia dengan residu pestisida.
b. Persiapan lahan dan penanaman
Persiapan lahan disini dapat diartikan sebagai pengolahan tanah. Pada
dasarnya pengolahan tanah bertujuan untuk menyiapkan tempat atau media
tumbuh yang serasi bagi pertumbuhan tanaman. Tanah yang baik untuk
tanaman adalah tanah yang memiliki kesuburan fisik maupun kimiawi.
Kesuburan fisik sangat erat hubungannya dengan struktur tanah yang
menggambarkan susunan butiran tanah, udara, dan air sehingga dapat
menjamin aktivitas akar dalam mengambil zat-zat hara yang diperlukan
tanaman. Sedangkan kesuburan kimiawi erat hubungannya dengan
kemampuan tanah menyediakan kebutuhan nutrisi untuk tanaman. Di
samping itu, pengolahan tanah mencakup pula menghilangkan gulma yang
merupakan saingan tanaman, menimbun atau meratakan bahan organik, dan
menjaga saluran drainase untuk mencegah terjadinya kelebihan air.
Dalam penanaman tanaman dikenal dua cara, yaitu penanaman tanaman
secara langsung pada lahan (stek atau benih) dan disemaikan terlebih dahulu
baru kemudian diadakan pemindahan tanaman ke lahan yang telah disediakan.
Dalam penanaman juga harus diperhatiakan jarak atau kerapatan penanaman
antara tanaman yang satu dengan tanaman yang lainnya sehingga dapat
mempermudah dalam pemeliharaan, penyiangan yang intensif guna menekan
populasi gulma serta memperbaiki saluran drainase untuk mencegah
terjadinya genangan air yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.
c. Faktor geofisika
Adapun faktor-faktor geofisika yang mempengaruhi,yaitu :
1) Temperatur, perubahan temperatur secara berkala dan pergantian musim
berpengaruh terhadap senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh tumbuhan,
misalnya pada tanaman Matricaria chamomilla, kandungan minyak
atsirinya paling tinggi pada tanaman yang ditanam pada temperatur siang
250 C atau malam hari pada temperatur 150 C.
2) Cahaya, lama pencahayaan, intensitas dan radiasi dapat mempengaruhi
kualitas senyawa bioaktif yg dihasilkan oleh tumbuhan.
3) Curah hujan, ketersediaan air dalam tanah dapat mempengaruhi kualitas
senyawa bioaktif dalam tumbuhan hidup.
4) Ketinggian diatas permukaan laut, iklim, dan angin.
5) Keadaan tanah, seperti sifat fisik (tanah yang gembur dan keras), kimia,
kondisi mikrobiologi tanah, termasuk adanya cemaran
pestisida.Kandungan nutrisi tanah termasuk kandungan mineral Mn, Mo,
Mg dan B (misalnya dapat mempengaruhi biogenesis minyak atsiri).
d. Faktor biotik
Adapun faktor-faktor biotik yang mempengaruhi,yaitu :
1) Infeksi tanaman karena jamur, bakteri, dan virus. Berkurangnya kadar
vinvaleukoblastin dari tanaman Vinca rosea karena terinfeksi virus.
Berkurangnya kadar morfin dari tanaman Papaver somniverum karena
pertumbuhan jamur.
2) Keberadaan serangga (hama). Misalnya terdapat telur serangga di daun
atau batang tanaman yang dapat menyebabkan terganggunya proses
respirasi atau fotosintesis sehingga produksi metabolit sekundernya
berkurang.
3) Adanya hewan herbivora yang berkompetisi.
4) Banyaknya tanaman per area penanaman (planting density) atau kerapatan
penanaman.
5) Adanya kompetisi dengan tanaman lain.Misalnya benalu pada tanaman
anggrek (Dewa Ayu Swastini, 2007).
Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur tervalidasi

yang telah ditetapkan; dan memenuhi ketentuan CPOTB yang menjamin

senantiasa menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu serta

memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar (registrasi).

Untuk bahan mentah - baik yang dibudidayakan maupun yang hidup secara

liar, dan yang digunakan baik dalam bentuk bahan mentah maupun sudah melalui

tehnik pengolahan sederhana (misal perajangan atau penghalusan) tahap kritis


pertama dalam proses produksi, dalam hal ini di mana persyaratan teknisini

mulai diterapkan, hendaklah ditentukan dengan jelas.

Penjelasan tentang hal tersebut hendaklah dinyatakan dan

didokumentasikan. Petunjuk diberikan seperti berikut. Namun untuk proses

seperti ekstraksi,fermentasi dan pemurnian,penentuannya hendaklah ditetapkan

berdasarkan kasus-perkasus.

6. Pengertian Simplisia

Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai obat yang belum

mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang

telah dikeringkan (Dirjen POM, 1979).

Simplisia adalah bahan alam yang telah di keringkan yang digunakan untuk

pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali dinyatakan lain suhu

pengeringan tidak lebih dari 600ºC (Kemenkes.2012).

Simplisia atau herbal adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang
digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan. Kecuali
dinyatakan lain suhu pengeringan simplisia tidak lebih dari 60° (Dirjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2008).

Simplisia ialah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan
yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1977).
7. Pembagian Simplisia
Dalam dunia farmasi, bahan mentah untuk obat-obatan biasa disebut

dengan simplisia. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1983)

simplisia adalah bahan alami yang dipergunakan sebagai obat yang belum

mengalami pengolahan apapun dan berupa bahan yang telah dikeringkan.

Simplisia terdiri dari 3 macam yaitu :

a. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman

atau eksudat tanaman ( isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau

dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya ataupun zat-zat nabati lainnya

yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat

kimia murni).

b. Simplisia hewani adalah simplisia yang merupakan hewan utuh, sebagian

hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat

kimia murni.

c. Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan

atau mineral yang belum diolah dengan cara yang sederhana dan belum

berupa zat kimia murni (Parwata, 2017).

8. Tahapan Penyiapan Simplisia


Tahapan-tahapan penyiapan simplisia sebagai berikut :

a. Pengumpulan bahan baku, dipengaruhi oleh waktu pengumpulan juga teknik

pengumpulan.
b. Sortasi basah, dilakukan untuk memisahkan kotoran atau benda asing dari

simplisia.

c. Pencucian, dilakukan untuk membersihkan tanaman dari kotoran yang

melekat pada bahan simplisia.

d. Perajangan, beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses

perajangan. Proses ini bertujuan untuk mempermudah proses pengeringan ,

pengepakan, dan penggilingan.

e. Pengeringan, dilakukan untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak

dan dapat disimpan dalam waktu yang lama. Pengeringan dibagi menjadi dua

cara yaitu dengan cara penjemuran dibawah sinar matahari langsung dan

dengan cara pengeringan menggunakan alat pengering (oven) dengan suhu

antara 40-60°C.

f. Sortasi kering, dilakukan untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian

tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoran-pengotoran lain yang masih

tertinggal pada simplisia kering.

g. Penyimpanan dan pengepakan, dilakukan untuk mencegah terjadinya

penurunan mutu dari simplisia. (Khansa, dkk. 2015)

9. Syarat Baku Simplisia

Semua paparan yang tertera dalam persyaratan simplisia, kecuali tentang isi

dan penggunaan, merupakan syarat baku bagi simplisia yang bersangkutan. Suatu

simplisia tidak dapat dinyatakan bermutu Materia Medika Indonesia jika tidak

memenuhi syarat baku tersebut. Syarat baku yang tertera dalam Materia Medika
Indonesia berlaku untuk simplisia yang akan dipergunakan untuk keperluan

pengobatan, tetapi tidak berlaku bagi bahan yang dipergunakan untuk keperluan

lain yang dijual dengan nama yang sama (Ditjen POM, 1977).

a. Rajangan

Rajangan adalah sediaan obat tradisional berupa potongan simplisia,

campuran simplisia, atau campuran simplisia dengan sediaan galenik, yang

penggunaannya dilakukan dengan pendidihan atau penyeduhan dengan air

panas.

 Kadar air: Tidak lebih dari 10 % Penetapan dilakukan menurut cara yang

tertera pada Farmakope Indonesia atau Materia Medika Indonesia.

 Angka lempeng total: Tidak lebih dari 10 untuk rajangan yang

penggunaannya dengan cara pendidihan; tidak lebih dari 10 untuk

rajangan yang penggunaannya dengan cara penyeduhan. Penetapan

dilakukan menurut cara yang tertera pada Metode Analisis Direktorat

Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan

Republik Indonesia.

 Angka kapang dan khamir: Tidak lebih dari 10 Penetapan dilakukan

menurut cara yang tertera pada Metode Analisis Direktorat Jenderal

Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik

Indonesia.
 Mikroba pathogen: Negatif. Penetapan dilakukan menurut cara yang

tertera pada Metode Analisis Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan

Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

 Aflatoksin: Tidak lebih dari 30 bagian per juta (bpj) Penetapan di

lakukan menurut cara yang tertera pada Metode Analisis Direktorat

Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan

Republik Indonesia.

 Wadah dan penyimpanan: Dalam wadah tertutup baik; disimpan pada

suhu kamar, ditempat kering dan terlindung dari sinar matahari.

b. Serbuk

Serbuk adalah sediaan obat tradisional berupa butiran homogen dengan

deraiat halus yang cocok; bahan bakunya berupa simplisia sediaan galenik,

atau campurannya.

 Keseragaman bobot: Tidak lebih dari 2 bungkus serbuk, yang masing

masing bobot isinya menyimpang dari bobot isi rata-rata lebih besar dari

harga yang ditetapkan dalam kolom A dan tidak satu bungkuspun yang

bobot isinya menyimpang dari bobot isi rata-rata lebih besar dari harga

yang ditetapkan dalam kolom B, yang tertera pada daftar berikut:


Timbang isi tiap bungkus serbuk. Timbang seluruh isi 20 bungkus

serbuk, hitung bobot isi serbuk rata-rata.

 Kadar air: Tidak lebih dari 10 %. Penetapan dilakukan menurut cara yang

tertera pada Farmakope Indonesia atau Materia Medika Indonesia.

 Angka lempeng total: Tidak lebih dari 10 Penetapan dilakukan menurut

cara yang tertera pada Metode Analisis Direktorat Jenderal Pengawasan

Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

 Angka kapang dan khamir: Tidak lebih dari 10 Penetapan dilakukan

menurut cara yang tertera pada Metode Analisis Direktorat Jenderal

Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik

Indonesia

 Mikroba patogen. Negatif: Penetapan dilakukan menurut cara yang

tertera pada Metode Analisis Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan

Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

 Aflatoksin: Tidak lebih dari 30 bpj. Penetapan dilakukan menurut cara

yang tertera pada Metode Analisis Direktorat Jenderal Pengawasan Obat

dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

 Bahan tambahan: Pengawet. Serbuk dengan bahan baku simplisia

dilarang ditambahkan bahan pengawet. Serbuk dengan bahan baku

sediaan galenik dengan penyari air atau campuran etanol air bila

diperlukan dapat ditambahkan bahan pengawet. Jenis dan kadar


pengawet harus memenuhi persyaratan pengawet yang tertera pada

persyaratan Pil dalam lampiran keputusan ini Pemanis. Gula tebu (gula

pasir), gula aren, gula kelapa, gula bit dan pemanis alam lainnya yang

belum menjadi zat kimia murni. Pengisi. Sesuai dengan pengisi yang

diperlukan pada sediaan galenik.

 Wadah dan penyimpanan: Dalam wadah tertutup baik; disimpan pada

suhu kamar, ditempat kering dan terlindung dari sinar matahari.

10. Penetapan spesifikasi dan standarisasi mutu simplisia

Menurut Didik dan Sri Mulyani (2010), beberapa hal yang harus

diperhatikan sehubungan dengan pemeriksaan mutu simplisia adalah sebagai

berikut:

a. Simplisia harus memenuhi persyaratan umum edisi terakhir dari buku-buku


resmi yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI seperti Farmakope
indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia. Dan Materia Medika Indonesia. Jika
tidak tercantum maka harus memenuhi persyaratan seperti yang disebut pada
paparannya (monografinya).
b. Tersedia contoh sebagai simplisia pembanding yang setiap periode tertentu
harus diperbaharui.
c. Harus dilakukan pemeriksaan mutu fisis secara tepat yang meliputi:
1) Kurang kering atau mengandung air
2) Termakan serangga atau hewan lain
3) Ada tidaknya pertumbuhan kapang, dan
4) Perubahan warna atau perubahan bau
d. Dilakukan pemeriksaan lengkap yang terdiri dari:
1) Pemeriksaan organoleptik, meliputi pemeriksaan warna, bau, dan rasa dari
bahan
2) Pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik, meliputi pemeriksaan ciri-ciri
bentuk luar yang spesifik dari bahan (morfologi) maupun ciri-ciri spesifik
dari bentuk anatominya.
3) Pemeriksaan fisika dan kimiawi, meliputi tetapan fisika (indeks bias, titik
lebur dan kelarutan) serta reaksi-reaksi identifikasi kimiawi seperti reaksi
warna dan pengendapan
4) Uji biologi, penetapan angka kuman, pencemaran dan percobaan terhadap
binatang.

11. Pengertian Ekstrak


Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan cara ekstraksi tanaman obat
dengan ukuran partikel tertentu dan menggunakan medium pengekstraksi
(menstruum) yang tertentu pula. (Agoes, 2009)
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk
yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan. (Farmakope Indonesia ed.IV Hal : 7)
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari

simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya

matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk (Dirjen

POM, 1979).

12. Jenis-Jenis Ekstrak

Jenis-jenis ekstrak dapat dikelompokkan sebagai berikut :


a. Ekstrak cair adalah menggunakan pelarut air sebagai cairan pengekstraksi. Hasil
ekstraksi dalam bentuk ekstrak ini dapat digunakan langsung atau digunakan
setelah waktu tertentu.
b. Tinktura yaitu sediaan cair yang dibuat dengan cara maserasi atau perkolasi
simplisia. Sediaan ini merupakan ekstrak yang dibuat dari simplisia tanaman
obat dengan penyari berbagai konsentrasi etanol dengan bahan tambahan
seemikian rupa. Satu bagian simplisia disari dengan 2-10 bagian menstruum.
Selain itu, ke dalam tinkur ini dapat pula dimasukan larutan ekstrak kering
dalam etanol pada konsentrasi yang sesuai.
c. Ekstrak cair seperti halnya tinktura, ekstrak cair merupakan sediaan cair.
Perbedaannya adalah ekstrak lebih kental, sesuai dengan ketentuan farmakope.
Menurut farmakope Indonesia edisi III (1979), hasil akhir ekstrak cair dengan
penyari etanol harus didiamkan di tempat sejuk selama 1 bulan, kemudian
disaring sambil mencegah penguapan (untuk mengendapkan partikel yang tidak
larut).

d. Ekstrak encer dikenal sebagai ekstrak tenuis, dibuat seperti halnya ekstrak cair,
hanya terdapat perbedaan antara konsentrasi simplisia yang disari dengan
konsentrasi akhir ekstrak.

e. Ekstrak kental merupakan ekstrak yang kental. Pada suhu kamar, apabila
hangat, tidak terbentuk cair. Ekstrak diperoleh dari eksterak cair yang diuapkan
larutan penyarinya secara hati-hati. Ekstrak kental merupakan masa kental yang
mengandung bermacam konsentrasi sisa kelembapan dan kekuatan bahan
berkhasiat serta dapat disesuaikan (sesuai ketentuan) dengan penambahan
bahan aktif alam atau dengan penambahan sejumlah bahan inert, seperti
dekstrin, laktosa, dan sebagainya. Karena stabilitasnya rendah dan mudah
ditumbuhi mikroorganisme, pemakaian ekstrak kental secara luas telah
digantikan oleh ekstrak kering.
f. Ekstrak kering adalah ekstrak tanaman yang diperoleh secara pemekatan dan
penyaringan ekstrak cair di bawah kondisi lemah (suhu dan tekanan rendah).
Konsentrasi bahan aktif dalam sediaan akhir dapat disesuaikan dengan
penambahan bahan inert.
g. Ekstrak minyak merupakan ekstrak yang dibuat dengan cara mensuspensikan
simplisia (dengan perbandingan dan derajat halus tertentu) dalam minyak yang
telah dikeringkan dengan cara seperti meserasi.
h. Oleoresin merupakan sediaan yang dibuat dengan cara ekstraksi bahan oleoresin
dengan pelarut yang sama, seperti etanol-etil asetat (Agoes, 2014).
13. Standarisasi Ekstrak

Obat dari tanaman biasanya distandardisasi berdasarkan 10 hal berikut :

a. Pengujian makro dan mikroskopikuntuk identitas.

b. Kemungkinan kromatografi lapis tipis untuk pengujian identitas.

c. Pemeriksaan pengotor/zat asing organik dan anorganik.

d. Penentuan susut pengeringan dan kandungan air.

e. Penentuan kadar abu.

f. Penentuan serat kasar.

g. Penentuan kadar komponen terekstraksi.

h. Penentuan kadar bahan aktif (jika sudah diketahuai).

i. Penentuan cemaran mikroba dan tidak adanya bakteri pathogen.

j. Pemeriksaan residu pestisida (Agoes, 2009).

14. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mutu Ekstrak

Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak adalah:

a. Faktor Biologi
1) Identitas jenis (spesies) : jenis tumbuhan dari sudut keragaman hayati
dapat dikonfirmasi sampai informasi genetik sebagai faktor internal untuk
validasi jenis (spesies)
2) Lokasi tumbuhan asal : lokasi berarti faktor eksternal, yaitu lingkungan
(tanah dan atmosfer) dimana tumbuhan berinteraksi berupa energi (cuaca,
temperatur, cahaya)
3) Periode pemanenan hasil tumbuhan : faktor ini merupakan dimensi waktu
dari proses kehidupan tumbuhan terutama metabolisme sehingga
menentukan senyawa kandungan.
4) Penyimpanan bahan tumbuhan : merupakan faktor eksternal yang dapat diatur
karena berpengaruh pada stabilitas bahan serta adanya kontaminasi (biotik dan
abiotik)
5) Umur tumbuhan dan bagian yang digunakan.

b. Faktor Kimia

1) Faktor internal

a) Jenis senyawa aktif dalam bahan


b) Komposisi kualitatif senyawa aktif
c) Komposisi kuantitatif senyawa aktif
d) Kadar total rata-rata senyawa aktif
2) Faktor eksternal
a) Metode ekstraksi
b) Perbandingan ukuran alat ekstraksi (diameter dan tinggi alat)
c) Ukuran, kekerasan, dan kekeringan bahan
d) Kandungan logam berat
e) Kandungan pestisida
15. Bentuk-Bentuk Sediaan Obat Tradisional

Bentuk-bentuk sediaan obat tradisional antara lain :

a. Jamu
Jamu harus memenuhi criteria aman sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan; klaim kasiat dibuktikan berdasarkan data empiris dam memenuhi
persyaratan mutu yang berlaku .jenis klaim penggunaan harus diwakili dengan
kata-kata : “secara tradisional digunakan sesuai dengan yang disetujui pada
pendaftaran.
b. Obat Herbal Terstandar
Obat herbal tersandar harus memenuhi criteria aman sesuai dengan persyaratan
yang ditetapkan; klaim kasiat dibuktikan secara ilmiah / pra-klinik; telah
dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
c. Fitofarmaka
Fitofarmaka harus memenuhi criteria aman sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan; klaim kasiat dibuktikan dengan uji klinik; telah dilakukan
standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi .

16. Perbedaan Jamu, Obat Herbal terstandar, dan fitofarmaka serta contohnya

a. Jamu
Jamu harus memenuhi criteria aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan;
klaim kasiat dibuktikan berdasarkan data empiris dam memenuhi persyaratan
mutu yang berlaku. Jenis klaim penggunaan harus diwakili dengan kata-kata :
“secara tradisional digunakan sesuai dengan yang disetujui pada pendaftaran.
Contoh :Beras kencur, Jamu Kunyit asam, Jamu Cabe puyang, Jamu Kudu laos,
Jamu Temulawak.
b. Obat Herbal Terstandar
Obat herbal tersandar harus memenuhi criteria aman sesuai dengan persyaratan
yang ditetapkan; klaim kasiat dibuktikan secara ilmiah / pra-klinik; telah
dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk
jadi.Contoh :Kiranti pegal linu, Hi stimuno, Songgolangi, obat lelap/tidur.
c. Fitofarmaka
Fitofarmaka harus memenuhi criteria aman sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan; klaim kasiat dibuktikan dengan uji klinik; telah dilakukan
standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi .Contoh :
Nodiar (obat diare), Tensigar, Reumanel, x-Gra.

17. Registrasi Obat Tradisional

Registrasi obat tradisional terbagi menjadi 5 poin yaitu :

1. Registrasi Obat Tradisional Produksi Dalam Negeri


Registrasi obat tradisional produksi dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh
IOT, UKOT, atau UMOT yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Registrasi Obat Tradisional Kontrak
(1). Registrasi obat tradisional kontrak hanya dapat dilakukan oleh pemberi
kontrak dengan melampirkan dokumen kontrak.
(2). Pemberi kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa IOT,
UKOT, atau UMOT yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3). Pemberi dan penerima kontrak bertanggung jawab atas keamanan,
khasiat/manfaat, dan mutu obat tradisional yang diproduksi berdasarkan kontrak.
3. Registrasi Obat Tradisional Lisensi
Registrasi obat tradisional lisensi hanya dapat dilakukan oleh IOT atau UKOT
penerima lisensi yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
4. Registrasi Obat Tradisional Impor
(1) Registrasi obat tradisional impor hanya dapat dilakukan oleh IOT, UKOT,
atau importir obat tradisional yang mendapat penunjukan keagenan dan hak untuk
melakukan registrasi dari industri di negara asal.
(2) Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki fasilitas distribusi obat tradisional sesuai ketentuan yang berlaku; dan
b. memiliki penanggung jawab Apoteker.
(3) Penunjukan keagenan dan hak untuk melakukan registrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan untuk 1 (satu) nama produk kepada
1 (satu) IOT, UKOT, atau importir.
(4) Pemenuhan persyaratan CPOTB bagi industri di luar negeri dibuktikan dengan
sertifikat cara pembuatan yang baik untuk obat tradisional dan jika diperlukan
dilakukan pemeriksaan setempat oleh petugas yang berwenang.
(5) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilengkapi dengan data
inspeksi terakhir paling lama 2 (dua) tahun yang dikeluarkan oleh pejabat
berwenang setempat.
(6) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Badan.
5. Registrasi Obat Tradisional Khusus Ekspor
(1) Registrasi obat tradisional khusus ekspor dilakukan oleh IOT, UKOT, dan
UMOT yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Obat tradisional khusus ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bila ada
persetujuan tertulis dari negara tujuan (BPOM RI, 2012).
Peraturan perundang-undangan yang mengatur obat tradisional menurut
Departemen Kesehatan RI (1998), peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang obat tradisional antara lain:
a. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
659/Menkes/SK/X/1991 tanggal 30 Oktober 1991 tentang Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik (CPOTB).

18. Persyartan Pendaftaran

Pendaftar Obat Tradisional Dalam Negeri, Obat Herbal Terstandar dan


Fitofarmaka

Pasal 5

1) Pendaftar obat tradisional dalam negeri, obat herbal terstandar dan fitofarmaka
terdiri dari :
a. pendaftar obat tradisional tanpa lisensi, pendaftar obat herbal terstandar,
pendaftar fitofarmaka.
b. pendaftar obat tradisional lisensi; pendaftar obat tradisional kontrak, obat
herbal terstandar kontrak dan fitofarmaka kontrak.
2) Pendaftar obat tradisional tanpa lisensi, obat herbal terstandar dan fitofarmaka
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah industri obat tradisional
(IOT) atau industri kecil obat tradisional (IKOT) atau industri farmasi.
3) Pendaftar obat tradisional lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
adalah penerima lisensi yang merupakan industri obat tradisional (IOT) atau
industri farmasi.
4) Pendaftar obat tradisional kontrak, obat herbal terstandar kontrak dan fitofarmaka
kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah pemberi kontrak
yang merupakan industri obat tradisional (IOT) atau industri kecil obat tradisional
(IKOT) atau industri farmasi.
Pasal 6

1) Industri di bidang obat tradisional dan industri farmasi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) proses pembuatannya wajib menerapkan Cara
Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) atau Cara Pembuatan Obat yang
Baik (CPOB).
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Cara Pembuatan Obat Tradisional
yang Baik untuk industri kecil obat tradisional (IKOT) sebagaimana dimaksud
dalm pasal 5 ayat (2) diatur oleh Kepala Badan.
3)

Bagian Kedua

Pendaftar Obat Tradisional Impor

Pasal 7

1) Pendaftar obat tradisional impor adalah industri di bidang obat tradisional atau
industri farmasi atau badan usaha di bidang pemasaran obat tradisional yang
mendapat surat penunjukan langsung dari industri di bidang obat tradisional atau
pemilik nama dagang di negara asal.
2) Industri di bidang obat tradisional di negara asal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memenuhi persyaratan Cara Pembuatan yang Baik (GMP) yang
dibuktikan dengan surat keterangan sesuai data inspeksi terakhir paling lama 2
(dua) tahun yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.

Bagian Ketiga

Pendaftar Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan

Fitofarmaka yang Dilindungi Paten

Pasal 8

1) Pendaftar obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang dilindungi
paten di Indonesia adalah industri di bidang obat tradisional atau industri farmasi
selaku pemegang hak paten atau yang diberi kuasa oleh pemilik hak paten atau
mendapat pengalihan paten dari pemegang hak paten sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
2) Hak paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan dengan sertifikat
paten.
3) Pengalihan paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan dengan
adanya pengalihan hak paten sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Bagian Keempat

Tanggung Jawab Pendaftar

Pasal 9

Pendaftar bertanggung jawab atas :

a. kelengkapan dokumen yang diserahkan;


b. kebenaran semua informasi yang tercantum dalam dokumen pendaftaran;
c. kebenaran dan keabsahan dokumen yang dilampirkan untuk kelengkapan
pendaftaran; d. perubahan data dan informasi dari produk yang sedang dalam
proses pendaftaran.

19. Penandaan Obat Tradisional


1. Obat Tradisional

Obat Tradisional (jamu) adalah bahan atau ramuan


bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan,
bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran
dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah
digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Jamu bisa diartikan sebagai obat
tradisional yang disediakan secara tradisional, tersedia dalam bentuk seduhan, pil
maupun larutan. Pada umumnya, jamu dibuat berdasarkan resep turun temurun dan
tidak melalaui proses seperti fitofarmaka. Jamu harus memenuhi beberapa kriteria,
yaitu :
 Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan,
 Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris
 Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku

Jenis klaim penggunaan sesuai dengan jenis pembuktian tradisional dan tingkat
pembuktiannya yaitu tingkat pembuktian umum dan medium, dimana jenis klaim
penggunaan harus diawali dengan kata – kata :“ Secara tradisional digunakan
untuk …”, atau sesuai dengan yang disetujui pada pendaftaran.

Sebuah ramuan disebut jamu jika telah digunakan masyarakat melewati 3


generasi. Artinya bila umur satu generasi rata-rata 60 tahun, sebuah ramuan disebut
jamu jika bertahan minimal 180 tahun. Inilah yang membedakan dengan
fitofarmaka, dimana pembuktian khasiat tersebut baru sebatas pengalaman, selama
belum ada penelitian ilmiah. Jamu dapat dinaikkan kelasnya menjadi herbal
terstandar atau fitofarmaka dengan syarat bentuk sediaannya berupa ekstrak dengan
bahan dan proses pembuatan yang terstandarisasiContoh : Tolak Angin, Sliming Tea
(Depkes RI, 2004).

2. Obat Herbal Terstandar


Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan
keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya
telah di standarisasi.
Pengujian praklinik adalah serangakaian uji farmakologi (farmakodinamik,
farmakokinetik, farmasetika dan efek toksik) pada hewan, serta pembuktian ilmiah
mengenai standar kandungan bahan yang berkhasiat, standar pembuatan ekstrak
tanaman obat, standar pembuatan obat yang higienis dan uji toksisitas akut maupun
kronis seperti halnya fitofarmakaInilah beberapa kriteria OHT, yang dibaca sekilas
hampir mirip fitofarmaka yaitu:
 Aman
 Klaim khasiat secara ilmiah, melalui uji pra-klinik
 Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
 Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam
produk jadi Contoh : Diapet, Lelap, Kiranti (Depkes RI, 2004).
3. Fitomarfaka
Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan
dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan
produk jadinya telah di standarisasi.
Pengujian klinik dilakukan setelah melakukan uji praklinik pada hewan, pada
dasarnya uji klinik memastikan efektivitas, keamanan
dan gambaran efek samping yang sering timbul pada
manusia akibat pemberian suatu obat. Dari sini jelas
bahwa dari ke tiga golongan 3 obat tradisional
tersebut, fitofarmakamenempati level paling atas dari
segi kualitas dan keamanan. Fitofarmaka perlu proses
penelitian yang panjang serta uji klinis yang detail, sehingga fitofarmaka termasuk
dalam jenis golongan obat herbal yang telah memiliki kesetaraan dengan obat, karena
telah memiliki clinical evidence. Beberapa kriteria fitofarmaka, yaitu:
 Aman
 Klaim khasiat secara ilmiah, melalui uji
pra-klinik dan klinik
 Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
 Telah dilakukan standardisasi
bahanbakuyang digunakan dalam produk jadi Contoh :
Tensigrad, Stimuno, Nodiar (Depkes RI, 2005).
20. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang obat tradisional
:

Pemerintah Indonesia melalui Mentri Kesehatan dan instansi terkait

mengeluarkan Peraturan Perundang – undangan baik itu berupa UU,PP dan

Instruksi atau Keputusan Bersama diantaranya yaitu :

1) RENSTRA Kementrian Kesehatan RI dengan PP 17/1986 tentang

Kewenangan Pengaturan Obat Tradisional di Indonesia.

2) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : 246/Menkes/Per/V/1990, Izin

Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftran Obat Tradisional.

3) Undang – Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.

4) Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 760/MENKES/PER/IX/1992 tentang

Fitofarmaka.

5) Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 761/MENKES/PER/IX/1992 tentang

Pedoman Fitofarmaka.

6) GBHN 1993 tentang Pemeliharaan & Pengembangan Pengobatan

Tradisional sebagai budaya bangsa ( ETNOMEDISINE ).

7) Keputusan Menteri Kesehatan RI NO.661/Menkes/SK/VII/1994 Tentang

Persyaratan Obat Tradisional.

8) PP No.72/1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan .

9) Keputusan Menteri Kesehatan RI NO.56/Menkes/SK/I/2000 Tentang

Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional.


10) Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/PER/VI/2000 tentang

Pengertian Obat Tradisional.

11) Keputusan Menteri Kesehatan RI NO.381/2007 Tentang Kebijakan Obat

Tradisional Nasional (KONTRANAS).

12) Undang – Undang No.36/2009 Tentang Kesehatan Pengobatan Tradisional.

13) Peraturan Pemerintah RI No. 51/2009 tentang Sediaan Farmasi : obat

(modern/sintetik),bahan obat,obat tradisional dan kosmetik.

14) Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 003/2010 tentang Saintifikasi Jamu.

15) Peraturan Menteri Kesehatan RI No. /2013 tentang Rencana Induk

Pengembangan Bahan Baku obat tradisional .

21. Syarat wadah kemasan

Menurut marianne rosner klimehuk dan sandra akrasovec (2006) label


biasanya terbuat dai kertas dari kertas atau film plastic dengan atau tanpa tambahan
perekat, label dapat mencakup keseluruhan kemasan hanya setempat saja. Satu
bentuk kemasan fleksibel adalah film yang dapat disusut regangkan yang digunakan
sebagainlabel. Material tersebut ketika diaplikasikan pada kemasa dengan
pemanasan, meregang mengikuti bentuk kontur benda yang dilapisinya. Kontainer
plastic, botol kaca, kaleng dan struktur kaku lainnya dapat dilapisi dengan kemasan
fleksibel ini. Label dapat bervariasi mulai dari tanda pengenal produk yang sederhana
hingga grafik rumit yang merupakan bagian dari kemasan. Label menampilkan
beberapa fungsi. Pada ingkat paling akhir, label mengidentifikasi produk atau merk.
Label juga menjelaskan bebrapa hal menegenai produk, siapa yang membuatnya,
dimana dibuat, isinya bagaimana produk tersebut digunakan dan bagaimana
menggunakan dengan aman (Marianne, 2006).
Menurut fitri rahmawati, M. P. (2013) beberapa syarat kemasan, dalam
memilih bentuk dan bahan kemasan yang akan digunkan, agar memenuhi syarat
sshingga dapat berfungsi dengan baik, maka diperlukan beberapa pertimbangan
antara lain:

a) Tidak toksik
Bahan kemasan tidak menganggu kesehatan manusia secara langsung
maupun tidak langsung seperti kandungan Pb.
b) Harus cocok dengan bahan yang dikemas
Kemasan yang dipilih harus cocok dengan produk yang dikemas, kalau salah
milih bahan kemasan maka akan sangat merugikan. Misalnya produk yang
seharusnya dikemas dengan bahan kemas yang tidak transpaan sehingga bila
konsumen ingin mengetahui isinya akan merusak segel dan hal tersebut
sangat merugikan produsen.
c) Sanitasi dan syarat-syarat kesehatan terjamin
Disamping bahan kemas tidak toksik dan produk yang dikemas tidak
menunjukkan kerusakan karena seranga mikroba, juga bahan kemasan tidak
boleh digunakan bila dianggap tidak dapat menjamin sanitasi atau syaat-
syarat kesehata. Misalanya karung adalah kemasan yang paling banyak
digunakan, namun penggunaan karung untuk mengemas produk yang tanpa
mengalami pencucian atau pemasakan terlebih dahulu merupakan hal yang
tidak dibenarkan.
d) Dapat mencegah pemalsuan
Yaitu kemasan juga berfungsi sebagai pengaman dengan cara membuat
kemasan yang khusus sehingga sukar dipalsukan dan bila terjadi pemalsuan
dengan cara menggunakan kemasan yang telah digunakan akan udah dikenal.
e) Kemudahan membuk dan menutup
Pada umumnya konsumen akan memilih produk dengan kemasan yang
mudah dibuka seperti kemasan tetra pack dari pada kemasan botol yang lebih
sukar dan memerlukan alat khusus untuk membuka penutupya
f) Kemudahan dan keamanan dalam mengeluarkan isi
Kemudahan dan keamanan dalam mengelurkan isi perlu di pertimbangankan,
sehingga isi kemasan dapat diambil dengan dengan ,mudah dan aman, atau
dengan kata lain tidak banyak tercecer, terbuang atau tersisa didalamnya.
g) Kemudahan pembuangan keasan berkas
Pada umumnya kemasan bekas adalah sampah dan merupakan suatu masalah
yang memerlukan biaya cukup besar untuk penangannya, misalnya kemasan-
kemasan bekas dari bahan plastik. Bahan kemasan plastik tidak dapat hancur
oleh mikroba dan bila dibakar akan menyebabkan polusi udara terutama di
negara-negara maju.
Bahan kemasan yang terbuat dari logam, keramik dan bahan nabati tidak
begitu menjadi masalah. Bahn logam dan kertas sebagai besar dapat diproses
kembali. Bahan nabti seperti kayu yang dapat dipakai bahan bkar.
h) Ukuran, bentuk dan berat.
Ukuran kemasan berhubungan sangat erat dengan penanganan selanjutnya,
baik dalalm penyimpanan, transportasi maupun sebagai alat untuk menarik
perhatian konsumen. Biasanya kemasan disesuaikan dengan sarana yang ada
misalnya sebagaipengangkutnya adalah pesawat terbang, maka tinggi dan
lebarnya tidak boleh melebihi ukuran pintu peasawat terbang yang akan
mengangkutnya dan sebagainya.
Ada kalanya kemasan didesain sedemikian rupa sehingga bentuknya
sangat indah dan menarik, kadang-kadang dibuat untuk memberi kesan bhwa
isinya lebih banyak yang dari kemasan lainnya yang serupa misalnya botol
yang ramping dibandingkan dengan botol yang pendek. Bentuk kemasan
sangat mempengaruhi efisiensi pengguan ruang penyimpanan, cara
pnyimpanan, daya tarik konsumen dan cara pembuatan serta bahan kemasan
yang digunakan .banyak konsumen yang berbelanja karena tertarik oleh
kemasannya dengan bentuk yang aneh-aneh, misalnya be tuk oval/patung dan
sebagainya lebih disukai. Pada umunya produsen selalu berusaha untuk
mengurangi berat kemasan yang digunakan karena berkurangnya berat berarti
energi yang dibutuhkan untuk transportasi akan berkurang ppula sehingga
akan menurunkan harga jual dari produk yang bersangkutan. Hal ini akan
lebih menarik lagi konsumen, sehinggadapat diharapkan untuk memenangkan
persaingan.
i) Penampilan dan percetakan
Kemasan harus memiliki kemasan yang snagat menarik bila ditinjau dari
segala segi, baik dari segi bahan, estetika maupun dekorasi. Dalam hal ini
produsen harus tahu denga tepat ke lokasi mana produk akan dipasarkan.
Karena selera masyarakat berbeda-beda.
Masalah percetakan sangat erat hubungannya dengan dekorasi hadabn label
yang merupakan sarana komunikasi antara produsen dan konsumen,
leveransir maupun pengencer. Beberapa bhan ada yang perlu mwngalami
penetakan label dan tambhan dekorasi sehinga bahan kemasan harus memiliki
sfat mudah menerima penvetakan dan hasilnya dapat di pertshankan tidak
luntur atau hilang.
j) Biaya rendah
Salah satu cara untuk mmpertahankan produk tersebut terjangkau oleh daya
beli konsumen adalah menurunkan biaya pengemasan sampai batas dimana
kemasan masih dapat berfungsi dengan baik. Hal ini penting karena
konsumen akan melakukan pemilihan terhadap produk yang sama yang
ditawarkan dengan harga yang lebih rendah.
k) Syarat khusus
Selain syarat-syarat yang telah disampaikan masih ada syarat-syarat khusus
yang perlu diperhatikan misalnya iklim daerah pemasaran yaitu tropis,
subropis kelembabnya dan lain-lain (Rahmawati,2013).
22. Farmakologi Obat Tradisional

Berasal dari kata pharmacon (obat) dan logos (ilmu pengetahuan).


Farmakologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari obat dan cara kerjanya
pada sistem biologis. Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan obat
dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi, fisika, kegiatan fisiologi, resorpsi dan
nasibnya dalam organisme hidup. Cakupan Farmakologi meliputi farmakokinetik,
farmakokodinamik, farmasi, farmasetika, farmakologi klinik, farmakoterapi,
farmakognosi, dan tosikologi. Sekitar 80% obat diberikan melalui mulut; oleh karena
itu, farmasetik (disolusi) adalah fase pertama dari kerja obat. Dalam saluran
gastrointestinal, obat-obat perlu dilarutkan agar dapat diabsorbsi. Obat dalam bentuk
padat (tablet atau pil) harus didisintegrasi menjadi partikel-partikel kecil supaya dapat
larut ke dalam cairan, dan proses ini dikenal sebagai disolusi. Obat dalam bentuk cair
sudah dalam bentuk larutan. Tablet adalah sediaan padat, dibuat secara kempa-cetak
berbentuk rata atau cembung rangkap, umumnya bulat, mengandung satu jenis obat
atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan. Tablet merupakan bentuk sediaan yang
paling banyak digunakan, karena memiliki beberapa keuntungan antara lain: 1)
ketepatan dosis, 2) mudah cara pemakaiannya, 3) stabil dalam penyimpanan, 4)
mudah dalam transportasi dan 5) dari segi ekonomi relatif murah dibanding dengan
bentuk sediaan obat lainnya.

a. Absorpsi

Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari saluran gastrointestinal


ke dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif, absorpsi aktif, atau pinositosis.
Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus melalui kerja permukaan vili mukosa
yang luas. Jika sebagian dari vili ini berkurang, karena pengangkatan sebagian dari
usus halus, maka absorpsi juga berkurang. Obat-obat yang mempunyai dasar protein,
seperti insulin dan hormon pertumbuhan, dirusak di dalam usus halus oleh enzim-
enzim pencernaan. Absorpsi pasif umumnya terjadi melalui difusi (pergerakan dari
konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah).

Dengan proses difusi, obat tidak memerlukan energi untuk menembus


membran. Absorpsi aktif membutuhkan karier (pembawa) untuk bergerak melawan
perbedaan konsentrasi. Sebuah enzim atau protein dapat membawa obat-obat
menembus membran. Pinositosis berarti membawa obat menembus membran dengan
proses menelan. Membran gastrointestinal terutama terdiri dari lipid (lemak) dan
protein, sehingga obat-obat yang larut dalam lemak cepat menembus membran
gastrointestinal. Obat-obat yang larut dalam air membutuhkan karier, baik berupa
enzim maupun protein, untuk melalui membran. Partikel-partikel besar menembus
membran jika telah menjadi tidak bermuatan (nonionized, tidak bermuatan positif
atau negatif). Obat-obat asam lemah, seperti aspirin, menjadi kurang bermuatan di
dalam lambung, dan aspirin melewati lambung dengan mudah dan cepat. Asam
hidroklorida merusak beberapa obat, seperti penisilin G; oleh karena itu, untuk
penisilin oral diperlukan dalam dosis besar karena sebagian hilang akibat cairan
lambung.

INGAT: Obat-obat yang larut dalam lemak dan tidak bermuatan diabsorpsi lebih
cepat daripada obat-obat yang larut dalam air dan bermuatan.

Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, rasa nyeri, stres, kelaparan,
makanan, dan pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat vasokonstriktor, atau
penyakit dapat merintangi absorpsi. Rasa nyeri, stres, dan makanan yang padat,
pedas, dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan lambung, sehingga obat
lebih lama berada di dalam lambung. Latihan dapat mengurangi aliran darah dengan
mengalihkan darah lebih banyak mengalir ke otot, sehingga menurunkan sirkulasi ke
saluran gastrointestinal. Obat-obat yang diberikan secara intramuskular dapat
diabsorpsi lebih cepat di otot-otot yang memiliki lebih banyak pembuluh darah,
seperti deltoid, daripada otot-otot yang memiliki lebih sedikit pembuluh darah,
sehingga absorpsi lebih lambat pada jaringan yang demikian.Beberapa obat tidak
langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik setelah absorpsi tetapi melewati lumen
usus masuk ke dalam hati, melalui vena porta. Di dalam hati, kebanyakan obat
dimetabolisasi menjadi bentuk yang tidak aktif untuk diekskresikan, sehingga
mengurangi jumlah obat yang aktif. Proses ini, yaitu obat melewati hati terlebih
dahulu disebut sebagai efek first-pass, atau first-pass hepatik. Contoh-contoh obat-
obat dengan metabolisme first-pass adalah warfarin (Coumadin) dan morfin.
Lidokain dan nitrogliserin tidak diberikan secara oral, karena kedua obat ini
mengalami metabolisme first-pass yang luas, sehingga sebagian besar darI dosis yang
diberikan akan dihancurkan.

2. Distribusi

Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan tubuh dan
jaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah, afinitas (kekuatan
penggabungan) terhadap jaringan, dan efek pengikatan dengan protein. Ketika obat di
distribusi di dalam plasma, kebanyakan berikatan dengan protein (terutama albumin)
dalam derajat (persentase) yang berbeda-beda. Obat-Obat yang besar dari 80%
berikatan dengan protein dikenal sebagai obat-obat yang berikatan tinggi dengan
protein. Salah satu contoh obat yang berikatan tinggi dengan protein adalah diazepam
(Valium): yaitu 98% berikatan dengan protein. Aspirin 49% berikatan dengan protein
clan termasuk obat yang berikatan sedang dengan protein. Bagian obat yang berikatan
bersifat inaktif, dan bagian obat selebihnya yang tidak berikatan dapat bekerja bebas.
Hanya obat-obat yang bebas atau yang tidak berikatan dengan protein yang bersifat
aktif dan dapat menimbulkan respons farmakologik. Dengan menurunnya kadar obat
bebas dalam jaringan, maka lebih banyak obat yang berada dalam ikatan dibebaskan
dari ikatannya dengan protein untuk menjaga keseimbangan dari obat yang dalam
bentuk bebas. Jika ada dua obat yang berikatan tinggi dengan protein diberikan
bersama-sama maka terjadi persaingan untuk mendapatkan tempat pengikatan dengan
protein, sehingga lebih banyak obat bebas yang dilepaskan ke dalam sirkulasi.
Demikian pula, kadar protein yang rendah menurunkan jumlah tempat pengikatan
dengan protein, sehingga meningkatkan jumlah obat bebas dalam plasma. Dengan
demikian dalam hal ini dapat terjadi kelebihan dosis, karena dosis obat yang
diresepkan dibuat berdasarkan persentase di mana obat itu berikatan dengan protein.

3. Metabolisme atau Biotransformasi

Hati merupakan tempat utama untuk metabolisme. Kebanyakan obat di-


inaktifkanoleh enzim-enzim hati dan kemudian diubah atau ditransformasikan oleh
enzim-enzim hatimenjadi metabolit inaktif atau zat yang larut dalam air untuk
diekskresikan. Ada beberapa obat ditransformasikan menjadi metabolit aktif,
sehingga menyebabkan peningkatan respons farmakologik. Penyakit-penyakit hati,
seperti sirosis dan hepatitis, mempengaruhi metabolisms obat. Waktu paruh,
dilambangkan dengan t½, dari suatu obat adalah waktu yang dibutuhkan oleh separuh
konsentrasi obat untuk dieliminasi. Metabolisme dan eliminasi mempengaruhi waktu
paruh obat, contohnya, pada kelainan fungsi hati atau ginjal, waktu paruh obat
menjadi lebih panjang dan lebih sedikit obat dimetabolisasi dan dieliminasi. Jika
suatu obat diberikan terus menerus, maka dapat terjadi penumpukan obat.

Suatu obat akan melalui beberapa kali waktu paruh sebelum lebih dari 90%
obat itu dieliminasi. Jika seorang klien mendapat 650 mg (miligram) aspirin dan
waktu paruhnyaadalah 3 jam, maka dibutuhkan 3 jam untuk waktu paruh pertama
untuk mengeliminasi 325 mg, dan waktu paruh kedua (atau 6 jam) untuk
mengeliminasi 162 mg berikutnya, dan seterusnya, sampai pada waktu paruh keenam
(atau 18 jam) di mana tinggal 10 mg aspirin terdapat dalam tubuh. Waktu paruh
selama 4-8 jam dianggap singkat, dan 24 jam atau lebih dianggap panjang. Jika suatu
obat memiliki waktu paruh yang panjang (seperti digoksin, yaitu selama 36 jam),
maka diperlukan beberapa hari agar tubuh dapat mengeliminasi obat tersebut
seluruhnya. Waktu paruh obat juga dibicarakan dalam bagian mengenai
farmakodinamik, karena proses farmakodinamik berkaitan dengan kerja obat.

4. Ekskresi atau Eliminasi

Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi
empedu, feses, paru-paru, saliva, keringat, dan air susu ibu. Obat bebas, yang tidak
berikatan, yang larut dalam air, dan obat-obat yang tidak diubah, difiltrasi oleh ginjal.
Obat-obat yang berikatan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal. Sekali obat
dilepaskan ikatannya dengan protein, maka obat menjadi bebas dan akhirnya akan
diekskresikan melalui urin.

Faktor lain yang memengaruhi ekskresi obat adalah pH urin, yang bervariasi
dari 4,5 sampai 8. Urin yang bersifat asam akan meningkatkan eliminasi obat-obat
yang bersifat basa lemah. Aspirin, suatu asam lemah, dieksresi dengan cepat dalam
urin yang basa. Jika seseorang meminum aspirin dalam dosis berlebih, natrium
bikarbonat dapatdiberikan untuk mengubah pH urin menjadi basa. Juice cranberry
dalam jumlah yang banyak dapat menurunkan pH urin, sehingga terbentuk urin yang
bersifat asam.( Tan, 2007).

23. Evaluasi Mutu Sediaan Obat Asli Indonesia


(terlampir)
24. Masa depan obat tradisional,
Penggunaan obat tradisional atau obat herbal ditingkat global terus

meningkat, baik dinegara yang sedang berkembang seperti indonesia maupun

dinegara maju. Menurut data dari sekretariat convention on biological diversity,

pasar global obat herbal pada tahun 2000 mencapai US dolar 43 milyar.Badan

kesehatan dunia WHO mencatat pada tahun 2000 pasar obat herbal yang

tergolong besar adalah di Cina, Eropa Barat, Amerika Serikat, Jepang, dan
Kanada. Demikian pula kondisi pasar obat herbal atau lebih dikenal dengan obat

tradisional di Indonesia juga terus meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun

2001 sebesar Rp. 1,3 triliun dan tahun 2002 naik menjadi Rp. 1,5 triliun serta

terus meningkat pada tahun-tahun selanjutnya (Wasito, 2011).

Obat tradisional Indonesia telah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh

masyarakat dalam menjaga kesehatan dan mengobati penyakit yang

diderita.Nenek moyang bangsa Indonesia telah mewariskan banyak obat-obatan

yang telah teruji khasiatnya dan tetap lestari hingga saat ini dengan didukung

oleh pembuktian ilmiah melalui uji pra-klinik dan uji klinik.Penggunaan obat

tradisional di masyarakat memiliki kecenderungan untuk kembali ke alam

dengan memanfaatkan berbagai tanaman obat, karena obat sintetis dirasakan

terlalu mahal serta efek samping yang cukup besar sehingga konsumsi obat

tradisional di Indonesia cenderung semakin meningkat dari tahun ke tahun.Selain

itu juga peningkatan produksi tanaman obat-obatan dari tahun ketahun terus

mengalami peningkatan (Wasito, 2011).

Survei perilaku konsumen yang dilakukan di Indonesia menyatakan 61,3%

responden memiliki kebiasaan meminum obat tradisional yang merupakan tradisi

masyarakat yang berkembang di masyarakat secara turun temurun, hal ini

merupakan potensi yang cukup besar dalam pengembangan pasar dalam negeri

dari produk obat tradisional. Peningkatan konsumsi ini dapat dilihat dari semakin

meningkatnya pemakaian obat tradisional dan perkembangan industri obat

tradisional yang terus berkembang dari tahun ke tahun (Wasito, 2011).


Ribuan tanaman secara tradisional telah digunakan sebagai tanaman obat

dan masyarakat mulai menyadari bahwa terdapat beberapa kelebihan dari

tanaman obat seperti efek samping yang relatif lebih kecil dibandingkan obat

sintetik, harga yang lebih terjangkau serta ketersediaan bahan baku yang lebih

mudah ditemukan jika dibandingkan dengan obat sintetik. Penelitian yang telah

dilakukan terhadap tanaman obat juga sangat membantu dalam pemilihan bahan

baku bagi industri obat tradisional serta dalam pengembangan teknologi proses

pembuatannya yang lebih efisien dan terjamin kualitasnya (Wasito, 2011).

Penelitian merupakan kegiatan dalam upaya menghasilkan empirik, teori,

konsep, metelogi, model, atau informasi baru yang memperkaya ilmu

pengetahuan dan teknologi.Kegiatan penelitian memiliki peranan penting dalam

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penelitian tidak berdiri sendri

semata-mata untuk hal yang langsung digunakan, tetapi harus dipertimbangkan

jangkauannnya untuk masa yang akan datang (Wasito, 2011).

Penelitian yang berkaitan dengan upaya pengembangan obat tradisional

banyak dilakukan baik oleh lembaga pemerintahan maupun swasta serta lembaga

perguruan tinggi yang meliputi penelitian kandungan kimia tanaman yang

berkhasiat sebagai obat, penelitian analisis kimia kandungan bahan aktif

tanaman, penelitian farmakologi dan toksikologi, pembuatan ektrak tanaman

skala industri, standarisasi ekstrak bahan alam, formulasi ekstrak kebentuk

sediaan obat, penelitian toksisitas terhadap formulasi, dan penelitin analitis


produk formulasi. Hasil-hasil penelitian tersebut memberikan kontribusi yang

cukup besar dalam pengembangan obat tradisonal di Indonesia (Wasito, 2011).

25. Cara pembuatan obat tradisional yang baik (CPOTB)

Merupakan pedoman cara pembuatan obat tradisonal yang meliputi seluruh aspek
pembuatan obat tradisional mulai dari system manajemen mutu, personalia,
bangunan, peralatan, sanitasi dan higine, penyiapan bahan baku, pengolahan dan
pengemasan, pengawasan mutu, inspeksi diri, dokumentasi, hingga penanganan
terhadap hasil penanganan produk jadi obat tradisonal dalam peredarannya di
masyarakat (Wasito, 2011). Tujuan diterapkan CPOTB adalah :

1. Tujuan Umum
a. melindungi masyarakat terhadap hal-hal yang merugikan dari penggunaan
obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan mutu.
b. meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk obat tradisional indonesia
dalam era pasar bebas.
2. Tujuan Khusus
a. Dipahaminya penerapan CPOTB oleh para pelaku usaha industri di bidang
obat tradisional sehingga bermanfaat bagi perkembangan industri dibidang
obat tradisional.
b. diterapkannya CPOTB secara konsisten oleh industri di bidang obat
tradisonal.
Dengan adanya CPOTB maka mutu obat tradisional dapat dijaga, seragam,
sehingga diakui dunia internasional. Pedoman CPOTB mengacu kepada peraturan
kepala BPOM tentang CPOTB. CPOTB merupakan bagian dari upaya untuk
pemastian mutu.
ASPEK CPOTB
Aspek dasar CPOTB sesuai peraturan badan peraturan kepala badan pengawas
obat dan makanan RI no :HK.03.01.23.06.11.5629, tentang persyaratan tehniks cara
pembuatan tradisional yang baik adalah sebagai berikut:
a) semua proses pembuatan obat tradisional di jabarkan dengan jelas,di kaji secara
sistematis berdasarkan pengalaman dan terbukti mampu secara konsisten
tradisional yang memenuhi persyaratan mutu dan spesifikasi yang telah
ditetapkan
b) tahap proses yang kritis dalam proses pembuatan, pengawasan dan sarana
penunjang serta perubahannya yang signifikan di validasi.
c) tersedia semua sarana yang di perlukan untuk CPOTB termasuk
1) personil yang terkualifikasi dan terlatih
2) bangunan dan sarana dengan luas yang memadai
3) peralatan dan sarana penunjang yang sesuai.
4) bahan,wadah dan label yang benar
5) prosedur daniontruksi yang di setujui, dan
6) tempat penyimpanan dan trasportasi yang memadai
d) Prosedur dan intruksi ditulis dalam bentukintruksi dengan bahasa yang
jelas,tidak bermaknaganda,dapat diterapkan secara spesifik pada sarana yang
tersedia.
e) operator memperoleh pelatihan untuk menjalakan prosedur secara benarar
f) pencatatan di lakukan secara manual atau dengan alat pencatat selama
pembuatan yang menunjukkan bahwa semua langkah yang di persyratkan dalam
prosedur danintruksi yang di tetapkan benar benardi laksanakan
g) penyimpanan dan distribusi obat tradisional yang dapat memperkecil resiko
terhadap mutu obat tradisional
h) tersedia sistem penarikan kembali bets obat tradisional manapun dari peredaran.
i) keluhan terhadap produk yang beredar di kaji,penyebap cacat mutu diinvestigasi
serta di lakukan tindakan perbaikan yang tepat dan pencagahan pengulangan
kembali.
PENGAWASAN MUTU

Pengawasan mutu merupakan bagian dari proses CPOTB. Kegiatan ini dilakukan
untuk menjamin bahwa pensrujian yang diperlukan dan relevan tidak dilakukan dan
bahwa bahan yang belum diluluskan tidak digunakan serta produk yang belum
diluluskan tidak dijual atau dipasok sebelum mutunya dinilai dan dinyatakan
memenuhi syarat.

Persyaratan dasar dari pengawasan mutu adalah bahwa :

a. sarana dan prasarana yang memadai, personil yang terlatih dan prosedur yang
disetujui tersedia untuk pengambilan sampel, pemeriksaan dan pengujian bahan
awal, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan dan produk jadi, dan bila
perlu untuk pemantauan lingkungan sesuai dengan tujuan CPOTB.

b. pengambilan sampel bahan awal, bahan pengemas produk antara, produk ruahan,
dan produk jadi di lakukan oleh persenil dengan metode yang di setujui oleh
pengawasan mutu.

c. metode pengujian di siapkan dan di falidasi (bila perlu).

d. pencatatan di lakukan secara manual atau dengan alat pencatat selama pembuatan
yang menunjukan bahwa semua langakah yanga di persyaratakn dalam prosedur
pengambilan sampel, insteksi dan pengujian benar benar telah di laksanakan. Tiap
penyimpangan di catat secara lengkap dan di investigasi.

e. Produk jadi berisi bahan atau ramuan bahan yang dapat berupa bahan nabati, bahan
hewani, bahan mineral, sedian sarian ( Galenik ) atau campuran dari bahan bahan
tersebut deangan komposisi kualitatif dan kuantitatif sesuai dengan yang di setujui
pada saat pendaftaran, serta di kemas dalam wadah yang sesuai dan di beri label
yang benar.

f. Dibuat catatan hasil pemerikasaan dan analisis bahan awal, bahan pengemas produk
antara, produk ruahan dan produk jadi secara formal di nilai dan di bandingkan
terhadap spesifikasi. Sampel yang di pertinggal bahan awal dan produk jadi di
simpan dalam jumlah cukup untuk di lakukan pengujian bila perlu.Sampel produk
jadi di simpan dalam kemasan akhir kecuali untuk kemasan yang besar (Sutrisna,
2016).
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Goeswin. 2009. Teknologi Bahan Seri Farmasi Industri 2. ITB: Bandung.

Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2005. Pedoman Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Depkes RI. 1985. Cara Pembuatan Simplisia, Dirwas Obat Tradisional. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.

Depkes RI. 1990. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 246/MENKES/PER/V/1990


tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Dirjen POM.1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan Republik


Indonesia: Jakarta.

Depkes RI. 2007. Lampiran Keputusan Mentri Kesehatan Nomor : 381/Menkes/


SK/III/2007 mengenai Kebijakan Obat Tradisional Nasional Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2008. Farmakope Herbal Indonesia
Edisi I. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Ditjen POM. 1977. Materia Medika Indonesia Jilid I. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI.

Gunawan. 2010. Dasar Pembuatan Simplisia. Jakarta: UI Press.


Kiew, R. 2005. Begonias Of Peninsular Malaysia. Natural History Publications
(Borneo). Wismah Merdeka. Kota Kinabalu Sabah. Malaysia
Kar, Ashutosh. 2014. Farmakognosi & Farmakobioteknologi Volume 1. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kemenkes RI. Nomor: 661/Menkes/SK/VII/1994. Persyaratan Obat Tradisional:


Jakarta.

Kepala BPOM RI No: HK 0005411384. Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran


Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka : Jakarta.

Kepala BPOM RI No: HK 000541380. Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional


yang Baik : Jakarta.

Kumoro, Andri Cahyo. 2015. Teknologi Ekstrak Senyawa Alam Aktif dari Tanaman
Obat. Plantaxia : Jakarta.

Latief, Abdul. 2012. Obat Tradisional. Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

Parwata, I Made Oka Adi. 2016. Diktat Obat Tradisional. Bukit Jimbaran:
Universitas Udayana.

Sardjiman. 1997. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. Solo: PT Jamu Air Mancur.

Sukandar, E. Y. 2004. Industri Klinik Teknologi Kesehatan. Bandung: ITB.

Swastini, Dewa Ayu. 2007. Buku Ajar Mata Kuliah Farmakognosi. Bukit Jimbaran:
Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Udayana.

Wardoyo, N. 2005. Peran Farmakognosi dalam Menopang Konsistensi Kualitas


Bahan Baku Industri Jamu. Yogyakarta: Fakultas Farmasi UGM.
Wasito, Hendri. 2008. Meningkatkan Peran Perguruan Tinggi melalui
Pengembangan Obat Tradisional. Bandung: Universitas Islam Bandung.

WHO, 2000. General Guidelines for Methodologies on Research and Evaluation of


Traditional Medicine (Document WHO/EDM/TRM/2000.1), Geneva.

WHO, 2005. National Policy on Traditional Medicine and Regulation of Herbal


Medicines, Report of a WHO global survey, Geneva.
Heizer Jay, Render Barry. 2005. Operations Management. Salemba Empat: Jakarta.

Parwata, I Made Oka Adi. 2017. Bahan Ajar Obat Tradisional. Universitas Udayana:
Bali.

Permenkes RI. Nomor: 007 Tahun 2012. Registrasi Obat Tradisional: Jakarta.

Prasetyo dan Entang Inoriah. 2013. Pengelolaan Budidaya Tanaman Obat-obatan


(bahan simplisia). Fakultas Pertanian UNIB: Bengkulu.

Saifudin, Azis dkk. 2011. Standarisasi Bahan Obat Alam. Graha Ilmu: Yogyakarta.

Soegihardjo.2013. Farmakognosi. Pt.citra aji parama: Yogyakarta.

Sutrisna. 2016. Herbal Medicine suatu Tinjauan Farmakologis. Muhammadiyah


University Press: Surakarta.

Utami, Mei dkk. 2013. Keragaman dan Pemanfaatan Simplisia Nabati yang
Diperdagangkan di Purwokerto. Universitas Jendral Soedirman: Purwokerto.

Wasito, Hendri. 2011. Obat Tradisional Kekayaan Indonesia. Graha Ilmu : Jakarta.

Wasito, Hendri.”Meningkatkan Peran Perguruan Tinggi melalui Pengembangan


Obat Tradisional”. 24.2 (2008): 117-127. Print.

Anda mungkin juga menyukai