BLOK 16
Oleh:
Tutorial B
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
SKENARIO 3
JATUH DARI KETINGGIAN
Seorang laki-laki berusia 27 tahun dibawa ke IRD Rumah sakit tipe B karena
tidak mampu berjalan. Penderita tidak mampu berjalan karena dirasakan nyeri yang sangat
bila berusaha duduk dan berdiri setelah jatuh dari atap rumah. Ketika jatuh posisi duduk
dengan lengan atas tangan kanan terbentur tangga bada bagian ketiaknya.
Pada pemeriksaan TD 1100/70mmHg, N 110x/menit, RR 22x/mnt. Didapatkan nyeri
tekan daerah lumbal atas, dan kedua tungkai sulit digerakkan karena merasa lemas dan terasa
baal pada sekujur tungkainya.
Penderita juga merasakan lunglai pada ektremitas atas bagian kanan dan mati rasa pada
lengan tersebut
Pada pemeriksaan X–Ray terdapat kelainan pada corpus vertebra lumbal 1, sedang
entremitas atas kanan tidak ditemukan kelainan pada X-Ray nya.
LEARNING OBJECTS
1. Anatomi Vertebrae
2. Fisiologi Spinal Cord
3. Patologi
- Trauma Vertebrae
a. Fraktur
b. Dislokasi
- Trauma Pelvis
- Trauma Medulla Spinalis
- Trauma Soft Tissue
a. Musculus
b. Tendon
c. Saraf
ANATOMI VERTEBRAE
Vertebra manusia terdiri dari 33 ruas tulang yang
dikelompokkan berdasarkan lokasinya, yaitu:
7 ruas vertebra cervical
12 ruas vertebra thoracal
5 ruas vertebra lumbal
5 ruas vertebra sacral
4 ruas vertebra coccygea
4. Sacrum, merupakan tulang tunggal yang mewakili 5 vertebra sacrales yang menyatu.
Sacrum berbentuk segitiga dengan apex mengarah ke inferior dan melekuk sehingga
mempunyai permukaan anterior yang cekung dan posterior yang cembung. Sacrum
mempunyai 2 facies besar berbentuk huruf L, masing-masing 1 pada tiap sisi lateralnya
untuk bersendi dengan tulang pelvis. Permukaan posteriornya mempunyai 4 pasang
foramina sacralis posterior dan permukaan anteriornya mempunyai 4 pasang foramina
sacralis anterior untuk lewatnya rami posterior dan anterior nervi spinales S1-S4.
5. Coccyx, merupakan tulang berbentuk segitiga kecil yang bersendi dengan ujung inferior
sacrum dan mewakili 3 atau 4 vertebra coccygea yang menyatu. Coccyx ditandai dengan
ukurannya yang kecil dan tidak adanya arcus vertebra serta canalis vertebralis.
Sumber: Drake, R. L., Vogl, A. W. & Mitchell, A. W. M., 2014. GRAY Dasar-Dasar
Anatomi. 1st ed. Singapore: Elsevier.
Lokasi dalam
Sistem Fungsi Asal Akhir Sumsum Tulang
Belakang
Interneuron
Rubrospinal Fungsi motorik Nukleus ruber Kolumna lateralis
kornu anterior
Modulasi dari
transmisi sensorik Formasio Kornu
Retikulospinal (khususnya retikular batang posterior dan Traktus proprius
nyeri)Refleks spinal otak anterior
(serabut)
Hipotalamus, Neuron
Otonom Modulasi dari fungsi
nukleus batang otonom pra- Traktus proprius
desenden otonom
otak ganglion
Interneuron
Teksospinal Refleks putar kepala Otak tengah Kolumna ventralis
kornu anterior
1. Sebagai penghubung impuls dari saraf perifer ke otak melalui traktus ascenden dan
descenden pada substansia alba
2. Sebagai pusat gerak refleks yang bekerja secara tidak sadar dan cepat pada substansia
grisea
Refleks adalah respons otomatis terhadap stimulus tertentu yang menjalar pada rute yang
disebut lengkung refleks. Sebagian besar proses tubuh involunter (misalnya, denyut jantung,
pernapasan, aktivitas pencernaan, dan pengaturan suhu) dan respons somatis (misalnya,
sentakan akibat suatu stimulus nyeri atau sentakan pada lutut) merupakan kerja refleks.
1. Lengkung Refleks
Unit dasar aktivitas refleks terpadu adalah lengkung refleks. Lengkung refleks ini
terdiri atas alat indra, neuron aferen, satu sinaps atau lebih yang umumnya terdapat di pusat
integrasi sentral, neuron eferen, dan efektor. Pada mamalia, hubungan (sninaps) antara neuron
somatik aferen dan eferen biasanya terdapat di otak atau medulla spinalis. Serat neuron aferen
masuk susunan saraf pusat melalui radiks dorsalis medulla spinalis atau melalui nervus
kranialis, sedangkan badan selnya akan terdapat di ganglion dorsalis atau di ganglion-
ganglion homolog nervi kranialis. Serat neuron eferen keluar melalui radiks ventralis atau
melalui nervus cranial yang sesuai. Kenyataan radiks dorsalis medulla spinalis bersifat
sensorik dan radiks ventralis bersifat motorik dikenal sebagai hukum Bell-Magendie.
1. Rangsangan Adekuat
Neuron motorik yang mempersarafi serabut ekstrafusal otot rangka merupakan bagian
eferen dari berbagai lengkung refleks. Seluruh pengaruh persarafan yang memengaruhi
kontraksi otot pada akhirnya akan tersalur melalui lengkung refleks ke otot tersebut, dank
arena itu dinamakan jalur bersama akhir (final common path). Sejumlah besar masukan
impuls bertemu di tempat tersebut. Memang, permukaan neuron motorik dan dendritnya rata-
rata menampung sekitar 10.000 simpul sinaps. Sedikitnya terdapat lima masukan dari segmen
spinal yang sama untuk neuron motorik spinal tertentu. Di samping yang umumnya
dipancarkan melalui interneuron, dari berbagai bagian medulla spinalis lain dan traktus
descendens yang panjang dan multipel dari otak. Seluruh jaras ini berkumpul dan menentukan
aktivitas jalur bersama akhir.
Istilah keadaan eksitasi sentral dan keadaan inhibisi sentral digunakan untuk
menggambarkan keadaan berkepanjangan yang memperlihatkan pengaruh eksitasi
mengalahkan pengaruh inhibisi atau sebaliknya. Bila keadaan eksitasi sentral kuat, impuls
eksitasi tidak saja menyebar ke berbagai daerah somatic medulla spinalis melainkan juga ke
daerah otonom. Pada orang yang mengalami paraplegia kronis, misalnya, rangsangan noksius
yang lemah dapat menimbulkan refleks kencing, defekasi, berkeringat, dan tekanan darah
yang fluktuatif.
Perlu ditekankan bahwa hubungan antara neuron aferen dan eferen biasanya terdapat
di susunan saraf pusat, dan aktivitas di lengkung reflex merupakan aktivitas yang
termodifikasi oleh berbagai rangsangan yang terkumpul (konvergen) di neuron eferen.
Kontraksi otot-otot abdomen di bawah kulit yang digores. Kulit abdomen atas T6-T7,
kulit abdomen tengah T8-T9, kulit abdomen bawah T10-T12.
5. Refleks tendon patella (knee jerk) L2,L3 dan L4
Trauma Vertebrae
- Fraktur
Trauma Tulang Belakang
Trauma tulang belakang dapat mengenai:
1. Jaringan lunak pada tulang belakang (ligamen, diskus, faset)
2. Tulang belakang
3. Sumsum tulang belakang
Sebanyak 80% trauma tulang belakang tidak disertai kelainan pada sumsum tulang belakang.
Mekanisme trauma
1. Fleksi
Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi pada vertebra.
Vertebra mengalami tekanan sehingga remuk dan memungkinkan terjadinya kerusakan
pada ligamen posterior. Apabila terjadi kerusakan pada ligamen pada ligamen
posterior, maka fraktur bersifat tidak stabil dan dapat terjadi subluksasi.
2. Fleksi dan rotasi
Trauma jenis ini merupakan suatu trauma fleksi yang bersama-sama dengan rotasi.
Terdapat strain dari ligamen dan kapsul, juga ditemukan fraktur faset. Pada keadaan
ini terjadi pergerakan ke depan/dislokasi vertebra di atasnya. Semua fraktur dislokasi
bersifat tidak stabil.
3. Kompresi vertikal (aksial)
Suatu trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra yang akan
menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan memcahkan permukaan serta
badan vertebra secara vertikal. Material diskus akan masuk dalam badan vertebra dan
menyebabkan vertebra menjadi rekah (pecah). Pada trauma ini elemen posterior masih
intak sehingga fraktur yang terjadi bersifat stabil.
4. Hiperekstensi atau retrofleksi
Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi dan ekstensi.
Keadaan ini sering ditemukan pada vertebra servikal dan jarang pada vertebra
torakolumbal. Ligamen anterior dan diskus dapat mengalami kerusakan atau terjadi
fraktur pada arkus neuralis. Fraktur ini biasanya bersifat stabil.
5. Fleksi lateral
Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan menyebabkan
fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel, foramen vertebra dan sendi faset.
Klasifikasi
1. Klasifikasi berdasarkan lokalisasi
a. Fraktur prosesus tranversus
b. Fraktur prosesus spinosus
c. Fraktur badan vertebra
d. Fraktur lamina
e. Fraktur pedikel
2. Klasifikasi berdasarkan stabilitas
a. Fraktur stabil
b. Fraktur tidak stabil
3. Klasifikasi berdasarkan keterlibatan sumsum tulang belakang
a. Fraktur tanpa mengenai sumsum tulang belakang
b. Fraktur mengenai sumsum tulang belakang
- Konkusi spinal
- Trauma spinal
- Trauma pada sumsum (total, parsial)
- Trauma kauda ekuina
4. Klasifikasi berdasarkan letak trauma
a. Trauma vertebra servikalis
- Fraktur vertebra C-1 (atlas)
- Fraktur odontoid C-2
- Fraktur dan dislokasi C3-C7
1. Trauma hiperekstensi
2. Kompresi fraktur yang bersifat baji
3. Fraktur rekah
4. Fraktur corpus vertebra kumunitif (tear drop fracture)
5. Subluksasi
6. Dislokasi dan fraktur dislokasi antara C-3 dan T-1
7. Dislokasi faset unilateral
b. Trauma vertebra torakal
- Fraktur prosessus transversus
- Fraktur kompresi yang bersifat baji dari corpus vertebra
- Fraktur rekah corpus vertebra
- Dislokasi dan fraktur dislokasi
c. Fraktur vertebra lumbal
- Fraktur prosessus transversus
- Fraktur kompresi yang bersifat baji dari corpus vertebra
- Fraktur rekah badan vertebra
- Dislokasi dan fraktur dislokasi
- Trauma jack-knife
Diagnosis
- Anamnesis yang baik mengenai jenis trauma (jatuh dari ketinggian, kecelakaan
lalu lintas, olahraga).
- Diperhatikan adanya tanda-tanda trauma dan aberasi kepala bagian depan yang
mungkin disebabkan karena trauma hiperekstensi
- Pemeriksaan tulang belakang mulai dari vertebra servikal sampai vertebra
lumbal dengan meraba bagian vertebra, ligamen serta jaringan lunak lainnya.
- Pemeriksaan neurologis lengkap
- Pemeriksaan terhadap trauma yang mungkin menyertai (trauma kepala, toraks,
abdomen, panggul)
Pemeriksaan radiologis
1. Pemeriksaan rontgen
Pada pemeriksaan rontgen, manipulasi penderita harus dilakukan secara hati-hati. Pada
fraktur G2 pemeriksaan posisi AP dilakukan secara khusus dengan membuka mulut.
Pemeriksaan posisi AP, lateral dan kadang-kadang oblik dilakukan untuk menilai:
- Diameter anteroposterior kanal spinal
- Kontur, bentuk dan kesejajaran vertebra
- Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal
- Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosus
- Ketinggian ruangan diskus intervertebralis
- Pembengkakan jaringan lunak
2. Pemeriksaan CT-Scan terutama untuk melihat fragmentasi, pergesaran fraktur dalam
kanal spinal
3. Pemeriksaan CT-scan dengan mielografi
4. Pemeriksaan MRI terutama untuk melihat jaringan lunak, yaitu diskus intervertebralis
dan ligamen flavum serta lesi dalam sumsum tulang belakang.
Prinsip pengelolaan
1. Pertolongan pertama
Diprioritaskan pada jalan napas serta ventilasi yang baik. Penderita yang dicurigai
mengalami trauma tulang belakang digerakkan secara hati-hati dengan cara menjaga
imobilitas gerakan pada tulang belakang.
2. Pengelolaan awal di rumah sakit
Ditujukan pada berat ringannya trauma serta keadaan trauma itu sendiri. Penderita
dengan kerusakan sumsum tulang belakang perlu dirawat untuk mencegah terjadinya
dekubitus serta komplikasi pada vesika urinaria. Dilakukan pemasangan kateter untuk
mengukur banyaknya urin serta untuk pemberian cairan yang adekuat.
3. Pengobatan definitif
- Mempertahankan fungsi neurologis
- Mencegah atau menghilangkan tekanan pada sumsum yang bersifat reversibel
- Stabilisasi tulang belakang
- Rehabilitasi penderita
Prinsip pengobatan
1. Penderita tanpa kelainan neurologis
Trauma tulang belakang yang bersifat stabil dapat diobati dengan memberikan
penopang pada tulang belakang dan mencegah trauma selanjutnya. Trauma tulang
belakang yang tidak stabil perlu dipertahankan agar tetap stabil sampai jaringan
sembuh dan tulang belakang menjadi stabil.
2. Penderita dengan kelainan neurologis
Pada kelainan neurologis yang parsial dan fraktur yang bersifat stabil dapat
ditindaklanjuti dengan cara konservatif, sedangkan apabila fraktur bersifat tidak stabil
maka dapat dipertimbangkan dekompresi dan stabilisasi dengan operasi.
Kelainan neurologis total dapat berupa:
- Gangguan neurologis bersifat sementara karena adanya syok spinal yang dapat
berkembang selma 48 jam. Apabila gangguan ini tidak hilang maka kelainan
ini bersifat permanen.
- Apabila trauma spinal tetap stabil (jarang sekali terjadi), dapat ditindalanjuti
secara konservatif dan selanjutnya dilakukan dengan rehabilitasi.
- Apabila terdapat gangguan neurologis total dan fraktur yang bersifat tidak
stabil, dapat dipilih pengobatan konservatif dengan tim rehabilitasi lengkap
atau dilakukan stabilisasi dengan operasi untuk memudahkan perawatan.
Fraktur dengan vertebra membentuk baji Kompresi vertebra
Tear-drop fracture
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan
bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat
paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya
sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau
langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat
bagi fragmen tulang.
1) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimun.
Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan
logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur.
2) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai
kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan)
dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis.
meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika).
Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk
memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas
semula diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan
mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan
luasnya gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat
aktivitas dan beban berat badan.
Lokalis
LOOK perubahan warna kulit; abrasi atau memar pada punggung.
FEEL Proc Spinosus dipalpasi untuk mengetahui keberadaan celah akibat
rusaknya ligament posterior menandakan cidera tak stabil. Biasanya ada nyeri tekan sekitar
daerah lesi
MOVE ditemukan kelemahan atau kelumpuhan pada seluruh ekstremitas bawah.
Diagnostik
Pada radiografi ditermukan garis fraktur, dislokasi, atau suatu brust fraktur.
MRI untuk mengetahui adanya kompresi korda
Tatalaksana
PERTAMA
Penilaian kesadaran, ABC, perdarahan, dan segera mengirim ke faskes yang lebih mumpuni.
Kemudian pemeriksaan neurologi meliputi fungsi motoric, sensorik dan reflex untuk
mengetahui adanya fraktur pada vertebra.
KEDUA
Prinsip terapi pada daerah toraks adalah mengatasi nyeri dan stabilitasi untuk mencegah
kerusakan lebih parah.
OPERATIF
1. Menurut Braces dan Orthotics ada 3 hal yang harus dilakukan, yaitu :
- Mempertahankan kesegarisan vertebra (alignment)
- Imobilisasi vertebra dalam masa penyembuhan
- Mengatasasi nyeri dengan pembatasan gerak
Definisi
Kondisi fraktur tulang belakang dan terjadi dislokasi pada ruas tulang belakang.
Mekanisme
Kompresi vertical (aksial) adalah suatu trauma vertical yang secara langsung mengenai
vertebra sehingga menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan memecahkan
permukaan dan badan vertebra secara vertical. Jadi, mengakibatkan material diskus akan
masuk dalam badan vertebra dan menyebabkan vertebra pecah (burst). Kondisi ini disebut
burst fracture.
Manifestasi klinis
1. Nyeri, nyeri tekan otot
2. Kelemahan dan kelumpuhan ekstrimitas
3. Inkontinensia urin dan defekasi
4. Hipertensi tepat di atas daerah trauma
5. Deformitas pada daerah trauma
6. Hilangnya sensibilitas
7. Paralisis (flaksid atau spastik atau keduanya)
Sumber
Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal Zairin Noor
Trauma Pelvis
Definisi
Adalah terputusnya hubungan tulang pelvis (pelvic ring), baik tulang pubis atau tulang ileum
yang disebabkan oleh trauma.
Patofisiologi
Trauma biasanya terjadi karena Direct Impact ataupun High Energy Impact seperti jatuh dari
ketinggian.
Trauma pada tulang pelvis menyebabkan :
- Kerusakan Tulang Pelvis - Kerusakan Organ dalam Rongga Pelvis
- Kerusakan Jaringan Lunak
Manifestasi Klinis
- Nyeri - Perdarahan/ syok
- Paralisis Ekstremitas Bawah - Gangguan Alat Kelamin
LOOK Pasien mengalami penurunan kesadaran, memar pada panggul
FEEL Pasien merasakan nyeri tekan panggul
MOVE Hambatan untuk posisi duduk dan kelemahan ekstremitas bawah
Penatalaksanaan
- Periksa Airway, Breathing, Circulation Pasien
- Konservatif :
a. Digunakan Pelvic Sling, untuk mempertahankan posisi pasien dan
immobilisasi daerah panggul. Dipasang pada pasien hingga pasien
mendapatkan tindakan operatif
- Operatif
a. ORIF Open Reduction and Internal Fixation
b. OREF Open Reduction and External Fixation
Komplikasi
a. Trombosis Vena Illiofemoral
b. Robekan Uretra dan Kandung Kemih
c. Trauma Rektum dan Vagina
d. Trauma Saraf
Sumber
Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal Zairin Noor
Grade Tipe Gangguan medula spinalis berdasarkan American spinal injury association
(ASIA)
A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5
Fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu sampai segmen
B Inkomplit
sakral S4-S5
Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi otot-otot motorik
C Inkomplit
utama masih punya kekuatan < 3
Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot motorik utama
D Inkomplit
punya kekuatan > 3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal
Kekuatan Otot
0 : tidak ada kontraksi otot
1 : kontraksi otot dapat dipalpasi tapi tanpa gerakan persendian
2 : tidak mampu melawan gaya gravitasi, hanya mampu bergeser
3 : mampu melawan gaya gravitasi tapi tidak mampu menahan/melawan tahanan
pemeriksa
4 : bisa bergeser melawan tahanan pemeriksa tapi kekuatannya berkurang
5 : dapat melawan tahanan pemeriksa dengan kekuatan maksimal
Pemeriksaan Penunjang
X-Ray Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau
dislokasi) jika dicurigai trauma medspin disertai trauma vertebrae
Dislokasi Cervical 5 dan 6
Terdapat bintik bintik kecil pada permukaan tulang, tapi tidak terlihat fraktur.
Jadi foto ini hanya memperlihatkan hiperfleksi soft tissue injury
MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal, edema dan kompresi
Terlihat Luka tusuk
Penatalaksanaan
Konservatif dan Simtomatis
1. Airway
2. Breathing
3. Circulation
4. Immobilisasi
a. ’cervical collar’
b. Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alas yang
keras
5. Stabilisasi Medis
a. Periksa vital signs
b. Pasang ’nasogastric tube’
c. Pasang kateter urin
d. Segera normalkan ’vital signs’. Pertahankan
6. Mempertahankan posisi normal vertebra (”Spinal Alignment”)
Operatif
Dekompresi dan stabilisasi Spinal
Rehabilitasi
Program yang direncanakan oleh Bagian Rehabilitasi Medik pada Trauma Medspin
ialah: breathing exercise, mobilisasi dengan neck collar, proper bed positioning, latihan
isometrik servikal (Calliet exercise), dan latihan penguatan otot aktif resisted keempat
ekstremitas.
SUMBER : P.S, Juanita Maja. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Cedera Servikal
Medula Spinalis. Manado : Jurnal Biomedik Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi Manado
Manifestasi klinis
Keluhan : nyeri pada lutut dan bertambah apabila sendi lutut digerakkan
Look : adanya pembengkatan lutut, kemerahan dan hematrosis
Fell : tendernesss dan kelembutan pada sendi lutut
Move : keterbatasan dalam menggerakkan sendi lutut
Pemeriksaan diagnostik
- USG untuk menilai distrupsi dari tendon
- MRI untuk menilai serat tendon, kondisi , perdarahan dan edema
Tatalaksana
- Konservatif
Imobilisasi lutut dari ekstensi selama 6 minggu, pembatasan penggunaan latihan lutut
minimal selama 3 bulan, bertujuan agar ada kesempatan tendon mengalami proses
perbaikan .
- Intervensi bedah
Bertujuan utuk memperbaiki tendon patela yang rusak
Trauma Saraf
Neuropati Perifer
Neuropati perifer mengacu pada penyakit yang memengaruhi sistem saraf tepi, yang terdiri
dari neuron motorik atau sensorik, akar saraf, pleksus, dan saraf tepi. Saraf motorik
mengendalikan gerakan semua otot di bawah kendali sadar. Input sensorik (misalnya panas,
dingin, dan sentuhan) dari reseptor kulit dikirimkan ke otak melalui saraf sensorik. Saraf
otonom ditemukan di organ-organ vital (misalnya jantung, paru-paru) dan membantu
mengatur fungsi tubuh seperti detak jantung dan pernapasan.
Klasifikasi klinis neuropati perifer didasarkan pada:
1. Bagian dari sistem saraf perifer yang terlibat: Saraf perifer (Mono- atau poli-neuropati
tergantung pada jumlah saraf yang terkena), pleksus (Plexopathy), akar saraf
(Radiculopathy) dan neuron sensorik (Neuronopati).
2. Jenis serabut saraf yang terlibat, misalnya polineuropati sensoris ketika hanya serat
sensoris yang terpengaruh.
3. Mekanisme yang mendasari kerusakan saraf, gangguan misalnya demielinasi versus
neuropati aksonal. Gangguan aksonal disebabkan oleh kerusakan pada serabut saraf,
misalnya polineuropati diabetik. Neuropat demielinasi timbul dari hinaan terhadap
selubung mielin, misalnya polineuropati demielinisasi inflamasi kronis (CIDP) dan
sindrom Guillain Barre (GBS).
Neuropati yang dimediasi kekebalan. Ini disebabkan oleh peradangan saraf dari reaksi
imun yang abnormal, misalnya sindrom Guillain Barre
Racun dan Obat-obatan, misalnya logam berat seperti timah dan obat-obatan seperti
Cisplatin
Investigasi darah
Untuk mendeteksi penyebab neuropati yang mendasari, misalnya diabetes, defisiensi
vitamin, dan vaskulitis, berbagai tes darah mungkin diperlukan. Pada beberapa jenis
neuropati herediter, sampel darah dapat dikirim untuk tes genetik.
Tusukan Lumbar
Prosedur dilakukan di samping tempat tidur untuk menarik sedikit cairan serebrospinal
dari punggung bawah dengan anestesi lokal. Cairan akan dikirim untuk berbagai tes.
Biopsi Kulit
Prosedur sederhana ini dilakukan di samping tempat tidur untuk memastikan neuropati
yang memengaruhi ujung saraf kecil di kulit. Biopsi kulit punch (berdiameter sekitar
3mm) dilakukan di bawah pengaruh bius lokal pada kaki dan paha.
Biopsi saraf
Terkadang dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya peradangan saraf, misalnya pada
neuropati vaskulitik.
Sumber : https://www.singhealth.com.sg/patient-care/conditions-treatments/peripheral-
neuropathy