Anda di halaman 1dari 36

RESUME SKENARIO 3

BLOK 16

Oleh:
Tutorial B

Dini Cynthia Dewi 162010101002


Ihdhar Nur Shidqi 162010101105
Wahyu Indah Lestari 162010101010
Endiningtyas C. 162010101011
Almas Fahrana 162010101025
Danang Tejamukti 162010101030
Karisma Adya P. 162010101033
Sus Faradila Yusmi 162010101034
Fadila Farah Diba 162010101043
Auraria Ramadhani 162010101073
Yuna Annisa Salsabila 162010101095
Alfian Zulkifli R. 162010101099
M. Elvinsyah Zidane 162010101104
Berlin Istiqoma 162010101121
Endang Pratiwi 162010101123

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
SKENARIO 3
JATUH DARI KETINGGIAN
Seorang laki-laki berusia 27 tahun dibawa ke IRD Rumah sakit tipe B karena
tidak mampu berjalan. Penderita tidak mampu berjalan karena dirasakan nyeri yang sangat
bila berusaha duduk dan berdiri setelah jatuh dari atap rumah. Ketika jatuh posisi duduk
dengan lengan atas tangan kanan terbentur tangga bada bagian ketiaknya.
Pada pemeriksaan TD 1100/70mmHg, N 110x/menit, RR 22x/mnt. Didapatkan nyeri
tekan daerah lumbal atas, dan kedua tungkai sulit digerakkan karena merasa lemas dan terasa
baal pada sekujur tungkainya.
Penderita juga merasakan lunglai pada ektremitas atas bagian kanan dan mati rasa pada
lengan tersebut
Pada pemeriksaan X–Ray terdapat kelainan pada corpus vertebra lumbal 1, sedang
entremitas atas kanan tidak ditemukan kelainan pada X-Ray nya.
LEARNING OBJECTS
1. Anatomi Vertebrae
2. Fisiologi Spinal Cord
3. Patologi
- Trauma Vertebrae
a. Fraktur
b. Dislokasi
- Trauma Pelvis
- Trauma Medulla Spinalis
- Trauma Soft Tissue
a. Musculus
b. Tendon
c. Saraf

 ANATOMI VERTEBRAE
Vertebra manusia terdiri dari 33 ruas tulang yang
dikelompokkan berdasarkan lokasinya, yaitu:
 7 ruas vertebra cervical
 12 ruas vertebra thoracal
 5 ruas vertebra lumbal
 5 ruas vertebra sacral
 4 ruas vertebra coccygea

Karakteristik umum vertebra, terdiri dari:


 1 buah korpus vertebra: merupakan bagian penopang berat badan dan dihubungkan
dengan corpus vertebra yang berdekatan dengan diskus intervertebralis dan beberapa
ligament. Ukurannya makin besar ke arah inferior seiring bertambahnya berat yang
ditopang
 1 buah arcus vertebra: membentuk
bagian lateral dan posterior foramen
vertebrale. Foramen vertebra bergabung
menjadi canalis vertebralis yang
berfungsi untuk melindungi medulla
spinalis. Pada arcus vertebra terdapat 2
buah pediculus yang berfungsi
melekatkan arcus vertebra ke corpus
vertebra serta 2 lamina yang
membentang dari tiap pediculus untuk bertemu di tengah membentuk atap arcus
vertebra.
 Processus spinosus: menonjol ke arah posterior dan inferior dari petemuan kedua
lamina dan merupakan tempat perlekatan muskulus dan ligamentum
 Processus transversus: membentang kearah posterolateral dari pertemuan pediculus
dan lamina di tiap sisi dan merupakan tempat persendian dengan costae pada daerah
thoracica
 Terdapat penonjolan dari daerah dimana pediculus berhubungan dengan lamina yaitu
processus articularis superior dan inferior yang masing-masing bersendi dengan
processus articularis inferior dan superior vertebra yang berdekatan
 Diantara corpus vertebra dan pangkal processus articularis, masing-masing pediculus
melekuk pada permukaan superior dan inferior, disebut incisura vertebralis superior
dan inferior yang berperan membentuk foramen intervertebrale

1. Vertebra cervicales, ditandai dengan:


 Ukurannya kecil
 Terdapat foramen pada setiap processus
transversusnya
 Corpus vertebra pendek dan berbentuk persegi empat jika dilihat dari atas
 Processus spinosus pendek dan bercabang 2 (bifida)
 Foramen vertebrale berbentuk segitiga

Vertebra cervicales 1 dan 2 (atlas dan axis) dikhususkan untuk mengakomodasi


pergerakan kepala. Vertebra C1 (atlas) bersendi dengan kepala. Gambaran utama yang
membedakan adalah tidak adanya corpus
vertebra pada atlas karena pada masa
perkembangannya, corpus vertebra C1 melebur
ke dalam corpus C2 untuk menjadi dens C2.
Jika dilihat dari atas, atlas berbentuk cincin dan
tersusun atas 2 massa lateralis yang saling
terhubung oleh arcus anterior dan posterior.
Diatas setiap massa lateralis bersendi dengan condyles occipitalis cranium dan
dibawahnya dengan processus articularis superior vertebra C2 (axis). Sendi atlanto-
occipitalis memungkinkan kepala mengangguk ke atas dan bawah pada columna
vertebralis. Processus transversus atlas besar dan menonjol jauh ke lateral daripada
processus transversus cervicales lain. Processus transversus ini bertindak sebagai tuas
untuk gerakan musculus, khususnya musculus yang menggerakkan kepala pada sendi
atlanto-axialis.

Dens bertindak sebagai poros/sumbu yang


memungkinkan atlas beserta kepala yang
melekat padanya berputar pada axis dari sisi ke
sisi. Permukaan dens menonjol dari corpus
vertebra C2 ke arah superior/ dens
dipertahankan oleh ligamentum transversum atlantis yang kuat di posteriornya dan
membentang sepanjang facies ovalis yang menjadi perlekatannya pada permukaan medial
dari massa lateralis atlas. Dua permukaan superolateral dens mempunyai impresio
circularis yang berperan sebagai tempat perlekatan bagi ligamentum alaria yang kuat,
masing-masing satu pada tiap sisinya, yang menghubungkan dens dengan permukaan
medial dari condyles occipitalis. Ligamentum alaria ini menjaga rotasi yang berlebihan
dari kepala dan atlas, relative terhadap poros tubuh.

2. Vertebra thoracica, ditandai dengan:


 Adanya fovea costalis superior dan inferior pada tiap sisi corpus vertebra untuk
bersendi dengan caput costae padanya dan caput costae di bawahnya. Ukuran fovea
costalis superior lebih besar daripada fovea costalis inferior
 Setiap processus transversus juga mempunyai facies/fovea costalis processus
transversus untuk bersendi dengan tuberculum costae padanya
 Corpus vertebra berbentuk seperti jantung bila dilihat dari atas
 Foramen vertebrale bulat

3. Vertebra lumbal, mempunyai karakteristik:


 Ukurannya besar
 Tidak mempunyai facies costalis
 Biasanya processus transversus Panjang dan tipis,
kecuali pada L5 yang sangat besar dan berbentuk
seperti kerucut sebagai tempat perlekatan bagi
ligamentum iliolumbal untuk menghubungkan
processus transversus dan tulang pelvis
 Corpus vertebra berbentuk silindris dengan foramen
vertebra berbentuk segitiga dan lebih besar dari vertebra thoracica

4. Sacrum, merupakan tulang tunggal yang mewakili 5 vertebra sacrales yang menyatu.
Sacrum berbentuk segitiga dengan apex mengarah ke inferior dan melekuk sehingga
mempunyai permukaan anterior yang cekung dan posterior yang cembung. Sacrum
mempunyai 2 facies besar berbentuk huruf L, masing-masing 1 pada tiap sisi lateralnya
untuk bersendi dengan tulang pelvis. Permukaan posteriornya mempunyai 4 pasang
foramina sacralis posterior dan permukaan anteriornya mempunyai 4 pasang foramina
sacralis anterior untuk lewatnya rami posterior dan anterior nervi spinales S1-S4.
5. Coccyx, merupakan tulang berbentuk segitiga kecil yang bersendi dengan ujung inferior
sacrum dan mewakili 3 atau 4 vertebra coccygea yang menyatu. Coccyx ditandai dengan
ukurannya yang kecil dan tidak adanya arcus vertebra serta canalis vertebralis.

Sumber: Drake, R. L., Vogl, A. W. & Mitchell, A. W. M., 2014. GRAY Dasar-Dasar
Anatomi. 1st ed. Singapore: Elsevier.

 FISIOLOGI SPINAL CORD


Jaras Descenden Sumsum Tulang Belakang
Sistem serabut desenden pada sumsum tulang belakang

Lokasi dalam
Sistem Fungsi Asal Akhir Sumsum Tulang
Belakang

Awal dari fungsi Sel kornu Kolumna


Piramidal
motorikModulasi Korteks anterior, lateralisKolumna
kortikospinal
dari fungsi sensorik interneuron ventralis

Vestibulospinal Refleks postural Nukleus Neuron Kolumna ventralis


vestibularis motorik kornu
anterior (untuk
lateral
eksterior)

Interneuron
Rubrospinal Fungsi motorik Nukleus ruber Kolumna lateralis
kornu anterior

Modulasi dari
transmisi sensorik Formasio Kornu
Retikulospinal (khususnya retikular batang posterior dan Traktus proprius
nyeri)Refleks spinal otak anterior
(serabut)

Hipotalamus, Neuron
Otonom Modulasi dari fungsi
nukleus batang otonom pra- Traktus proprius
desenden otonom
otak ganglion

Interneuron
Teksospinal Refleks putar kepala Otak tengah Kolumna ventralis
kornu anterior

Fasikulus Koordinasi dari


Nukleus Zat kelabu
longitudinalis gerak kepala dan Traktus proprius
vestibularis servikal
medialis mata

Jaras Ascenden Sumsum Tulang Belakang

Sistem serabut asenden pada sumsum tulang belakang


Sistem Fungsi Asal Akhir Lokasi dalam
Sumsum Tulang
Belakang
Sistem Raba halus, Kulit, Nukleus Kolumna dorsalis
kolumna propriosepsi, sendi, kolumna
dorsalis diskriminasi 2 titik tendo dorsalis,
batang otak
Traktus Nyeri tajam, suhu, Kulit Komu Kolumna
spinotalamikus raba kasar dorsalis ventrolateraris
kemudian ke
talamus
kontralateral
Traktus Mekanisme Tendo Paleokorteks Kolumna lateraris
spinoserebelaris gerakan dan posisi dalam, sereblum
dorsalis sendi
Traktus Mekanisme Tendo Paleokorteks Kolumna lateraris
spinoserebelaris gerakan dan posisi dalam, sereblum
ventralis sendi
Traktus Nyeri yang dalam Struktur Formasio Tersebar dalam traktus
spinoretikularis dan kronik somatik retikularis proprius
dalam dari batang
otak

Jaras Sensoris Sumsum Tulang Belakang


Jaras ini berfungsi untuk mengirim sinyal dari perifer ke SSP. Terdapat dua jalur yaitu
sistem kolumna dorsalis dan sistem antero lateral.

sistem kolumna dorsalis sistem antero lateral


Sensasi raba yang membutuhkan ketepatan Raba dan tekanan kasar. Hanya bisa
lokalisasi rangsangan yang tinggi melokalisasi
Sentuhan geli dan gatal
Getaran nyeri
Pergerakan pada kulit termal
Posisi tubuh seksual
Tekanan yang berhubungan dengan
penentuan intensitas tekanan

Fisiologi Spinal Cord

Medulla spinalis memiliki 2 fungsi primer, yaitu:

1. Sebagai penghubung impuls dari saraf perifer ke otak melalui traktus ascenden dan
descenden pada substansia alba
2. Sebagai pusat gerak refleks yang bekerja secara tidak sadar dan cepat pada substansia
grisea

Refleks adalah respons otomatis terhadap stimulus tertentu yang menjalar pada rute yang
disebut lengkung refleks. Sebagian besar proses tubuh involunter (misalnya, denyut jantung,
pernapasan, aktivitas pencernaan, dan pengaturan suhu) dan respons somatis (misalnya,
sentakan akibat suatu stimulus nyeri atau sentakan pada lutut) merupakan kerja refleks.

1. Lengkung Refleks

Unit dasar aktivitas refleks terpadu adalah lengkung refleks. Lengkung refleks ini
terdiri atas alat indra, neuron aferen, satu sinaps atau lebih yang umumnya terdapat di pusat
integrasi sentral, neuron eferen, dan efektor. Pada mamalia, hubungan (sninaps) antara neuron
somatik aferen dan eferen biasanya terdapat di otak atau medulla spinalis. Serat neuron aferen
masuk susunan saraf pusat melalui radiks dorsalis medulla spinalis atau melalui nervus
kranialis, sedangkan badan selnya akan terdapat di ganglion dorsalis atau di ganglion-
ganglion homolog nervi kranialis. Serat neuron eferen keluar melalui radiks ventralis atau
melalui nervus cranial yang sesuai. Kenyataan radiks dorsalis medulla spinalis bersifat
sensorik dan radiks ventralis bersifat motorik dikenal sebagai hukum Bell-Magendie.

 Semua lengkung (jalur refleks) terdiri dari komponen yang sama.

1. Reseptor adalah ujung distal dendrit, yang menerima stimulus.


2. Jalur aferen melintas sepanjang sebuah neuron sensorik sampai ke otak atau medulla
spinalis.
3. Bagian pusat adalah sisi sinaps, yang berlangsung dalam substansi abu-abu SSP.
Impuls dapat ditransmisi, diulang rutenya atau dihambat pada bagian ini.
4. Jalur eferen melintas disepanjang akson neuron motorik sampai ke efektor, yang akan
merespons impuls eferen sehingga menghasilkan aksi yang khas.
5. Efektor dapat berupa otot rangka, otot jantung, atau otot polos, atau kelenjar yang
merespon.

2. Sifat Umum Refleks

1. Rangsangan Adekuat

Rangsangan yang memicu terjadinya refleks umumnya sangat tepat (presisi).


Rangsangan ini dinamakan rangsangan adekuat untuk refleks tersebut. Suatu contoh yang
jelas adalah refleks menggaruk pada anjing. Refleks spinal ini timbul akibat rangsangan yang
adekuat melalui rangsangan raba linier multiple, yang misalnya karena terdapat serangga yang
merayap di kulit. Respons yang timbul adalah garukan hebat pada daerah yang terangsang
(sementara itu, ketepatan gerakan kaki yang menggaruk ke tempat yang teriritasi itu
merupakan contoh sinyal local yang baik). Bila rangsangan raba multiple itu terpisah jauh
atau tidak dalam satu garis, rangsangan yang adekuat tidak akan timbul dan tidak terjadi
garukan. Lalat merayap, tetapi juga dapat melompat dari satu tempat ke tempat lain.
Lompatan ini memisahkan rangsangan raba tersebut sehingga tidak terbentuk rangsangan
adekuat untuk refleks menggaruk. [1]

2. Jalur Bersama Akhir

Neuron motorik yang mempersarafi serabut ekstrafusal otot rangka merupakan bagian
eferen dari berbagai lengkung refleks. Seluruh pengaruh persarafan yang memengaruhi
kontraksi otot pada akhirnya akan tersalur melalui lengkung refleks ke otot tersebut, dank
arena itu dinamakan jalur bersama akhir (final common path). Sejumlah besar masukan
impuls bertemu di tempat tersebut. Memang, permukaan neuron motorik dan dendritnya rata-
rata menampung sekitar 10.000 simpul sinaps. Sedikitnya terdapat lima masukan dari segmen
spinal yang sama untuk neuron motorik spinal tertentu. Di samping yang umumnya
dipancarkan melalui interneuron, dari berbagai bagian medulla spinalis lain dan traktus
descendens yang panjang dan multipel dari otak. Seluruh jaras ini berkumpul dan menentukan
aktivitas jalur bersama akhir.

3. Berbagai Keadaan Eksitasi dan Inhibisi Sentral

Istilah keadaan eksitasi sentral dan keadaan inhibisi sentral digunakan untuk
menggambarkan keadaan berkepanjangan yang memperlihatkan pengaruh eksitasi
mengalahkan pengaruh inhibisi atau sebaliknya. Bila keadaan eksitasi sentral kuat, impuls
eksitasi tidak saja menyebar ke berbagai daerah somatic medulla spinalis melainkan juga ke
daerah otonom. Pada orang yang mengalami paraplegia kronis, misalnya, rangsangan noksius
yang lemah dapat menimbulkan refleks kencing, defekasi, berkeringat, dan tekanan darah
yang fluktuatif.

3. Proses Terjadinya Gerak Refleks

Aktivitas di lengkung refleks dimulai di reseptor sensorik, berupa potensial reseptor


yang besarnya sebanding dengan kuat rangsang. Potensial reseptor membangkitkan potensial
aksi yang bersifat gagal atau tuntas disaraf aferen. Jumlah potensial aksi sebanding dengan
besarnya potensial generator. Di sistem saraf pusat terjadi respons bertahap berupa potensial
pascasinaps eksitatorik dan potensial pasca sianaps inhibitorik yang kemudian bangkit di saraf
tertaut-taut sinaps. Respon yang kemudian bangkit di saraf eferen adalah respon yang bersifat
gagal atau tuntas. Bila potensial aksi ini mencapai efektor, akan terbangkit lagi respons
bertahap. Di efektor yang berupa otot polos, responnya akan bergabung untuk kemudian
mencetuskan potensial aksi di otot polos. Tetapi bila efektornya berupa otot rangka, respons
bertahap tersebut selalu cukup besar untuk mencetuskan potensial aksi yang mampu
menimbulkan kontraksi otot.

Perlu ditekankan bahwa hubungan antara neuron aferen dan eferen biasanya terdapat
di susunan saraf pusat, dan aktivitas di lengkung reflex merupakan aktivitas yang
termodifikasi oleh berbagai rangsangan yang terkumpul (konvergen) di neuron eferen.

 Gambar Lengkung refleks


Macam-macam Refleks

1. Refleks tendon biceps brachii C5-6

Fleksi sendi siku ketika mengetuk tendon biceps


2. Refleks tendon triceps C6-7 dan C8

Ekstensi sendi siku ketika mengetuk tendon triceps


3. Refleks tendon brachioradialis C5-6 dan 7

Supinasi articulatio radioulnaris ketika mengetuk insersio tendon brachioradialis.


4. Refleks abdominalis superficialis

Kontraksi otot-otot abdomen di bawah kulit yang digores. Kulit abdomen atas T6-T7,
kulit abdomen tengah T8-T9, kulit abdomen bawah T10-T12.
5. Refleks tendon patella (knee jerk) L2,L3 dan L4

Ekstensi sendi lutut ketika mengetuk tendon patella.


6. Refleks tendon Achilles (ankle jerk) S1 dan S2

Plantarfleksi sendi tumit ketika mengetuk tendon achilles tendo calcaneus

Regenerasi Saraf Perifer


a. Beberapa hari setelah terpotong, akson yang mengalami regenerasi dimulai dari distal
lesi ( degenerasi waller). Selubung mielin hancur dan akson menghilang. Karena tidak
dipelihara lagi oleh perykarion. Lalu di sel yang terkena , inti sel bergeser ke pinggir
dan substansi Nissl sebagian menghilang ( trigilosis). Sementara sel schwan
mengalami proliferasi sehingga terlihat Bungner Bands.
b. Beberapa hari kemudian, akson yang terpotong akan bertunas lagi dari arah proksimal.
Dan menjalar 1 mm/ hari ke daerah inervasinya. Dari akson di dekatnya yang tidak
terkena lesi, dapat tumbuh akson kolateral yang menuju ke daerah lesi. Progres
pertunasan akson dapat diperiksa dengan tanda Hoffman-tinnel, yaitu diketuk pada
daerah yang sarafnya sedang berregenerasi dan akan dirasakan kesemutan.
c. Setelah beberapa bulan, regenerasi selesai. Akson mencapai sel-sel otot rangka yang
dipersyarafinya. Akson dan akson kolateral yang tidak berhasil mencapai ke otot
rangka yang terputus akan musnah.
Karena sel schwan berproliferasi di distal lesi, pada jarak tertentu, di akson akan
ditemukan lebih banyak selubung myelin daripada sebelumnya. Sehingga nodus
ranvier menjadi lebih banyak yang mengakibatkan hantaran lebih lambat. Namun
posisi inti sel dan tekstur substansi Nissl kembali ke normal.
d. Bila akson tidak bisa mencapai otot yang putus persyarafannya tadi, maka akan
terbentuk neuron cicatrix

Sumber : Text Book Physiology Sheerwod


PATOLOGI

 Trauma Vertebrae
- Fraktur
Trauma Tulang Belakang
Trauma tulang belakang dapat mengenai:
1. Jaringan lunak pada tulang belakang (ligamen, diskus, faset)
2. Tulang belakang
3. Sumsum tulang belakang

Sebanyak 80% trauma tulang belakang tidak disertai kelainan pada sumsum tulang belakang.

Mekanisme trauma
1. Fleksi
Trauma terjadi akibat fleksi dan disertai dengan sedikit kompresi pada vertebra.
Vertebra mengalami tekanan sehingga remuk dan memungkinkan terjadinya kerusakan
pada ligamen posterior. Apabila terjadi kerusakan pada ligamen pada ligamen
posterior, maka fraktur bersifat tidak stabil dan dapat terjadi subluksasi.
2. Fleksi dan rotasi
Trauma jenis ini merupakan suatu trauma fleksi yang bersama-sama dengan rotasi.
Terdapat strain dari ligamen dan kapsul, juga ditemukan fraktur faset. Pada keadaan
ini terjadi pergerakan ke depan/dislokasi vertebra di atasnya. Semua fraktur dislokasi
bersifat tidak stabil.
3. Kompresi vertikal (aksial)
Suatu trauma vertikal yang secara langsung mengenai vertebra yang akan
menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan memcahkan permukaan serta
badan vertebra secara vertikal. Material diskus akan masuk dalam badan vertebra dan
menyebabkan vertebra menjadi rekah (pecah). Pada trauma ini elemen posterior masih
intak sehingga fraktur yang terjadi bersifat stabil.
4. Hiperekstensi atau retrofleksi
Biasanya terjadi hiperekstensi sehingga terjadi kombinasi distraksi dan ekstensi.
Keadaan ini sering ditemukan pada vertebra servikal dan jarang pada vertebra
torakolumbal. Ligamen anterior dan diskus dapat mengalami kerusakan atau terjadi
fraktur pada arkus neuralis. Fraktur ini biasanya bersifat stabil.
5. Fleksi lateral
Kompresi atau trauma distraksi yang menimbulkan fleksi lateral akan menyebabkan
fraktur pada komponen lateral, yaitu pedikel, foramen vertebra dan sendi faset.
Klasifikasi
1. Klasifikasi berdasarkan lokalisasi
a. Fraktur prosesus tranversus
b. Fraktur prosesus spinosus
c. Fraktur badan vertebra
d. Fraktur lamina
e. Fraktur pedikel
2. Klasifikasi berdasarkan stabilitas
a. Fraktur stabil
b. Fraktur tidak stabil
3. Klasifikasi berdasarkan keterlibatan sumsum tulang belakang
a. Fraktur tanpa mengenai sumsum tulang belakang
b. Fraktur mengenai sumsum tulang belakang
- Konkusi spinal
- Trauma spinal
- Trauma pada sumsum (total, parsial)
- Trauma kauda ekuina
4. Klasifikasi berdasarkan letak trauma
a. Trauma vertebra servikalis
- Fraktur vertebra C-1 (atlas)
- Fraktur odontoid C-2
- Fraktur dan dislokasi C3-C7
1. Trauma hiperekstensi
2. Kompresi fraktur yang bersifat baji
3. Fraktur rekah
4. Fraktur corpus vertebra kumunitif (tear drop fracture)
5. Subluksasi
6. Dislokasi dan fraktur dislokasi antara C-3 dan T-1
7. Dislokasi faset unilateral
b. Trauma vertebra torakal
- Fraktur prosessus transversus
- Fraktur kompresi yang bersifat baji dari corpus vertebra
- Fraktur rekah corpus vertebra
- Dislokasi dan fraktur dislokasi
c. Fraktur vertebra lumbal
- Fraktur prosessus transversus
- Fraktur kompresi yang bersifat baji dari corpus vertebra
- Fraktur rekah badan vertebra
- Dislokasi dan fraktur dislokasi
- Trauma jack-knife

Diagnosis
- Anamnesis yang baik mengenai jenis trauma (jatuh dari ketinggian, kecelakaan
lalu lintas, olahraga).
- Diperhatikan adanya tanda-tanda trauma dan aberasi kepala bagian depan yang
mungkin disebabkan karena trauma hiperekstensi
- Pemeriksaan tulang belakang mulai dari vertebra servikal sampai vertebra
lumbal dengan meraba bagian vertebra, ligamen serta jaringan lunak lainnya.
- Pemeriksaan neurologis lengkap
- Pemeriksaan terhadap trauma yang mungkin menyertai (trauma kepala, toraks,
abdomen, panggul)

Pemeriksaan radiologis
1. Pemeriksaan rontgen
Pada pemeriksaan rontgen, manipulasi penderita harus dilakukan secara hati-hati. Pada
fraktur G2 pemeriksaan posisi AP dilakukan secara khusus dengan membuka mulut.
Pemeriksaan posisi AP, lateral dan kadang-kadang oblik dilakukan untuk menilai:
- Diameter anteroposterior kanal spinal
- Kontur, bentuk dan kesejajaran vertebra
- Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal
- Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosus
- Ketinggian ruangan diskus intervertebralis
- Pembengkakan jaringan lunak
2. Pemeriksaan CT-Scan terutama untuk melihat fragmentasi, pergesaran fraktur dalam
kanal spinal
3. Pemeriksaan CT-scan dengan mielografi
4. Pemeriksaan MRI terutama untuk melihat jaringan lunak, yaitu diskus intervertebralis
dan ligamen flavum serta lesi dalam sumsum tulang belakang.

Prinsip pengelolaan
1. Pertolongan pertama
Diprioritaskan pada jalan napas serta ventilasi yang baik. Penderita yang dicurigai
mengalami trauma tulang belakang digerakkan secara hati-hati dengan cara menjaga
imobilitas gerakan pada tulang belakang.
2. Pengelolaan awal di rumah sakit
Ditujukan pada berat ringannya trauma serta keadaan trauma itu sendiri. Penderita
dengan kerusakan sumsum tulang belakang perlu dirawat untuk mencegah terjadinya
dekubitus serta komplikasi pada vesika urinaria. Dilakukan pemasangan kateter untuk
mengukur banyaknya urin serta untuk pemberian cairan yang adekuat.
3. Pengobatan definitif
- Mempertahankan fungsi neurologis
- Mencegah atau menghilangkan tekanan pada sumsum yang bersifat reversibel
- Stabilisasi tulang belakang
- Rehabilitasi penderita

Prinsip pengobatan
1. Penderita tanpa kelainan neurologis
Trauma tulang belakang yang bersifat stabil dapat diobati dengan memberikan
penopang pada tulang belakang dan mencegah trauma selanjutnya. Trauma tulang
belakang yang tidak stabil perlu dipertahankan agar tetap stabil sampai jaringan
sembuh dan tulang belakang menjadi stabil.
2. Penderita dengan kelainan neurologis
Pada kelainan neurologis yang parsial dan fraktur yang bersifat stabil dapat
ditindaklanjuti dengan cara konservatif, sedangkan apabila fraktur bersifat tidak stabil
maka dapat dipertimbangkan dekompresi dan stabilisasi dengan operasi.
Kelainan neurologis total dapat berupa:
- Gangguan neurologis bersifat sementara karena adanya syok spinal yang dapat
berkembang selma 48 jam. Apabila gangguan ini tidak hilang maka kelainan
ini bersifat permanen.
- Apabila trauma spinal tetap stabil (jarang sekali terjadi), dapat ditindalanjuti
secara konservatif dan selanjutnya dilakukan dengan rehabilitasi.
- Apabila terdapat gangguan neurologis total dan fraktur yang bersifat tidak
stabil, dapat dipilih pengobatan konservatif dengan tim rehabilitasi lengkap
atau dilakukan stabilisasi dengan operasi untuk memudahkan perawatan.
Fraktur dengan vertebra membentuk baji Kompresi vertebra

Tear-drop fracture

Fraktur odontoid tipe 1, 2, dan 3

PENATALAKSANAAN FRAKTUR KOMPRESI


TULANG BELAKANG
Traksi.
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi
disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi
fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan
kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan
imobilisasi.

Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan
bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat
paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya
sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau
langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat
bagi fragmen tulang.
1) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimun.
Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan
logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur.

2) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai
kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan)
dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis.
meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika).
Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk
memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas
semula diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan
mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan
luasnya gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat
aktivitas dan beban berat badan.

Proses Penyembuhan Tulang


Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh
untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung
patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium
penyembuhan tulang, yaitu:
1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah
membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler
baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama
sekali.
2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal
dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang
mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah
osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah
tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung
selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan
keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini
dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-
sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago,
membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang )
menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah
fraktur menyatu.
4) Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar.
Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan
pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa
diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu
beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau
tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang
terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih
tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya
dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
- Dislokasi
DISLOKASI VERTEBRA TORAKS
Definisi
Suatu kondisi lepasnya struktur vertebra akibat ligament dan kapsul sendi teregang sampai
batas kekuatannya kemudian mengalami robekan.
Mekanisme
Mekanisme yang dapat menyebabkan, meliputi :
1. Fleksi
 Terjadi fleksi dan disertai kompresi pada vertebra. Vertebra akan mengalami
keremukan karena tekanan tinggi sehingga terjadinya kerusakan ligament
posterior.
 Jika ligament posterior rusak  sifat fraktur tidak stabil
 Jika ligament posterior tidak rusak  sifat fraktur stabil
2. Fleksi dengan kompresi dan distraksi posterior
 Kombinasi fleksi dengan kompresi anterior dan distraksi posterior dapat
menggangu kompleks vertebra pertengahan di samping kompleks posterior,
sehingga mengakibatkan perpindahan fragmen tulang dan bahan diskus
bergeser ke dalam kanalis spinalis.
 Berbeda dengan kompresi murni, keadaan ini termasuk cidera tak stabil dengan
prognosis buruk (progresif tinggi)
 Fleksi lateral yang terlalu banyak dapat menyebabkan kompresi pada setengah
korpus vertebra dan distraksi pada unsur lateral dan posterior pada sisi
sebaliknya. Jika permukaan dan pedikulus remuk, lesi berisfat tidak stabil.
3. Fleksi dengan rotasi
 Jenis paling berbahaya. Ligament dan kapsul sendi teregang sampai batasnya
kemampuannya, kemudian dapat robek.
 Permukaan sendi dapat mengalami fraktur atau bagian atas dari satu vertebra
dapat terpotong.
 Terjadi pergeseran atau dislokasi ke depan pada vertebra di atas dengan atau
tanpa diikuti kerusakan tulang. Cidera bersifat tak stabil dan prognosis buruk
karena risiko munculnya kerusakan neurologis tinggi.
4. Translasi horizontal.
 Kolumna vertebralis teriris dan segmen bagian atas atau bawah dapat bergeser
ke anteroposterior atau ke lateral. Cidera bersifat tak stabil dan prognosis
buruk karena risiko munculnya kerusakan neurologis tinggi.
Bisa juga karena akibat kekuatan minimal saja pada tulang osteoporosis atau kondisi
patologik lainnya.
Patofisiologi
Trauma langsung atau tidak langsung pada vertebra torakal akan memberikan kerusakan
structural dari vertebra. Dalam kondisi fraktur kompresi dan fraktur-dislokaso biasanya stabil.
Akan tetapi, kanalis spinalis pada segemen torakalis relatif menyempit sehingga kerusakan
korda atau akar saraf sering ditemukan dengan adanya manifestasi defisit neurologis.
Terdapat 3 jenis lesi, yaitu:
1. Gegar korda (neuropraksia)
MK  paralisis motoric (flasid) berupa kehilangan sensorik dan paralisis visceral di
bawah tingkat lesi korda
2. Transeksi korda
MK  paralisis motoric, kehilangan sensorik, dan paralisis visceral di bawah tingkat
lesi korda.
Paralisi motoric (flasid) awalnya, keadaan ini disebut syok korda.
3. Transeksi akar
MK  paralisis motoric, kehilangan sensorik, dan paralisis visceral terjadi pada
distribusi akar yang rusak.
Manifestasi Klinis
1. Nyeri, nyeri tekan otot
2. Kelemahan dan kelumpuhan ekstrimitas
3. Inkontinensia urin dan defekasi
4. Hipertensi tepat di atas daerah trauma
5. Deformitas pada daerah trauma
6. Hilangnya sensibilitas
7. Paralisis (flaksid atau spastik atau keduanya)

Keadaan ini disebut gejala awal syok spinal


Diagnose
Pemfis
1. Reflex patologis +
2. Gangguan system perkemihan dan pencernaan
3. Paralisis motoric dan paralisis organ dalam tergantung ketinggian trauma

Lokalis
LOOK  perubahan warna kulit; abrasi atau memar pada punggung.
FEEL  Proc Spinosus dipalpasi untuk mengetahui keberadaan celah akibat
rusaknya ligament posterior menandakan cidera tak stabil. Biasanya ada nyeri tekan sekitar
daerah lesi
MOVE  ditemukan kelemahan atau kelumpuhan pada seluruh ekstremitas bawah.
Diagnostik
Pada radiografi ditermukan garis fraktur, dislokasi, atau suatu brust fraktur.
MRI untuk mengetahui adanya kompresi korda
Tatalaksana
PERTAMA
Penilaian kesadaran, ABC, perdarahan, dan segera mengirim ke faskes yang lebih mumpuni.
Kemudian pemeriksaan neurologi meliputi fungsi motoric, sensorik dan reflex untuk
mengetahui adanya fraktur pada vertebra.
KEDUA
Prinsip terapi pada daerah toraks adalah mengatasi nyeri dan stabilitasi untuk mencegah
kerusakan lebih parah.
OPERATIF
1. Menurut Braces dan Orthotics ada 3 hal yang harus dilakukan, yaitu :
- Mempertahankan kesegarisan vertebra (alignment)
- Imobilisasi vertebra dalam masa penyembuhan
- Mengatasasi nyeri dengan pembatasan gerak

Cidera stabil membutuhkan stabilitasi misal


- cervival-thoracic brace (MINERVA)  untuk punggung bagian atas
- thoracolumbal-sacral orthosis (TLSO)  untuk punggung bagian bawah

dalam kurun waktu 8-12 minggu brace akan terputus.


Cidera yang tidak stabil misal pada leher, memerlukan traksim halo ring, dan vest
brace untuk mengembalikan kesegarisan.
2. Pemasangan alat dan proses penyatuan (fusi), teknik pembedahan ini dilakukan pada
cidera tidak stabil.
- Fusi adalah proses penggabungan dua vertebra dengan adanya bone graft dibantu
dengan alat seperti plat, rods, hooks, dan pedicle screws.
- Hasil dari bone graft adalah penyatuan vertebra di bagian atas dan bawah dari
bagian yang disambung.
3. Vertebroplasty dan Kyphoplasty
Suatu tindakan invasi minimal. Prinsipnya diterapkan pada cidera kompresi yang
disebabkan osteoporosis dan tumor vertebra.
- Pada vertebroplasty bone cement diinjeksikan menuju korpus vertebra
- Pada kyphoplasty sebuah balon dimasukkan dan dikembangkan untuk melebarkan
vertebra yang terkompresi sebelum celah itu diisi oleh bone cement.
4. Pengelolaan penderita dengan paralisis
- Gangguan perkemihan  pertahankan cairan adekuat, kateterisasi, evakuasi
kandung kemih dalam 2 minggu
- Gangguan pencernaan  pemberian laksansia setiap 2 hari
- Monitoring cairan masuk dan cairan keluar
- Nutrisi dan diet tinggi protein secara intravena
- Cegah decubitus
- Fisioterapi untuk mencegah kontraktur.
DISLOKASI VERTEBRA LUMBAL

Definisi
Kondisi fraktur tulang belakang dan terjadi dislokasi pada ruas tulang belakang.
Mekanisme
Kompresi vertical (aksial) adalah suatu trauma vertical yang secara langsung mengenai
vertebra sehingga menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan memecahkan
permukaan dan badan vertebra secara vertical. Jadi, mengakibatkan material diskus akan
masuk dalam badan vertebra dan menyebabkan vertebra pecah (burst). Kondisi ini disebut
burst fracture.
Manifestasi klinis
1. Nyeri, nyeri tekan otot
2. Kelemahan dan kelumpuhan ekstrimitas
3. Inkontinensia urin dan defekasi
4. Hipertensi tepat di atas daerah trauma
5. Deformitas pada daerah trauma
6. Hilangnya sensibilitas
7. Paralisis (flaksid atau spastik atau keduanya)

Keadaan ini disebut gejala awal syok spinal


Diagnose
Pemfis
1. Reflex
Dalam  Ditemukan lemhanya reflex Achilles dan patella karena lemahnya
otot hamstring
Patologis  akut akan menghilang, berangsur-angsur kembali
Bulbocavernosus  syok spinal (+)
2. Gangguan system perkemihan dan pencernaan
Pada keadaaan spinal syok bisa mengalam ileus paralitik dengan klinisnya yaitu
hilangnya bowel sound, kembung, dan defekasi (-).
3. Paralisis motoric
Disesuaikan dengan gejala gangguan motoric terhadap distribusi segmental dari saraf
yang terkena dan lokasi trauma.
Lokalis
LOOK  perubahan warna kulit; abrasi atau memar pada punggung.
FEEL  Proc Spinosus dipalpasi untuk mengetahui keberadaan celah akibat
rusaknya ligament posterior menandakan cidera tak stabil. Biasanya ada nyeri tekan sekitar
daerah lesi
MOVE  ditemukan kelemahan atau kelumpuhan pada seluruh ekstremitas bawah.
Rontgen
Pemeriksaan posisi AP, lateral, dan oblique. Yang dievaluasi adalah:
1. Diameter anteroposterior kanal spinal
2. Kontur, bentuk, dan kesejajaran vertebra
3. Pergerakan fragmen tulang dalam kanal spinal
4. Keadaan simetris dari pedikel dan proc spinosus
5. Ketinggian ruangan diskus invertebralis

CT-Scan dan MRI untuk mengetahui tingkat penyumbatan kanalis spinalis.


Tatalaksana
PERTAMA
Penilaian kesadaran, ABC, perdarahan, dan segera mengirim ke faskes yang lebih mumpuni.
Kemudian pemeriksaan neurologi meliputi fungsi motoric, sensorik dan reflex untuk
mengetahui adanya fraktur pada vertebra.
KEDUA
Prinsip terapi adalah mengatasi nyeri dan stabilitasi untuk mencegah kerusakan lebih parah.
OPERATIF
a. Menurut Braces dan Orthotics thoracolumbal-sacral orthosis (TLSO)  untuk
punggung bagian bawah.
b. Pemasangan alat dan proses penyatuan (fusi), teknik pembedahan ini dilakukan pada
cidera tidak stabil.
c. Pengelolaan penderita dengan paralisis
- Gangguan perkemihan  pertahankan cairan adekuat, kateterisasi, evakuasi
kandung kemih dalam 2 minggu
- Gangguan pencernaan  pemberian laksansia setiap 2 hari
- Monitoring cairan masuk dan cairan keluar
- Nutrisi dan diet tinggi protein secara intravena
- Cegah decubitus dan Fisioterapi untuk mencegah kontraktur.

Sumber
Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal Zairin Noor

Trauma Pelvis
Definisi
Adalah terputusnya hubungan tulang pelvis (pelvic ring), baik tulang pubis atau tulang ileum
yang disebabkan oleh trauma.
Patofisiologi
Trauma biasanya terjadi karena Direct Impact ataupun High Energy Impact seperti jatuh dari
ketinggian.
Trauma pada tulang pelvis menyebabkan :
- Kerusakan Tulang Pelvis - Kerusakan Organ dalam Rongga Pelvis
- Kerusakan Jaringan Lunak
Manifestasi Klinis
- Nyeri - Perdarahan/ syok
- Paralisis Ekstremitas Bawah - Gangguan Alat Kelamin
LOOK  Pasien mengalami penurunan kesadaran, memar pada panggul
FEEL  Pasien merasakan nyeri tekan panggul
MOVE  Hambatan untuk posisi duduk dan kelemahan ekstremitas bawah

Penatalaksanaan
- Periksa Airway, Breathing, Circulation Pasien
- Konservatif :
a. Digunakan Pelvic Sling, untuk mempertahankan posisi pasien dan
immobilisasi daerah panggul. Dipasang pada pasien hingga pasien
mendapatkan tindakan operatif
- Operatif
a. ORIF Open Reduction and Internal Fixation
b. OREF  Open Reduction and External Fixation
Komplikasi
a. Trombosis Vena Illiofemoral
b. Robekan Uretra dan Kandung Kemih
c. Trauma Rektum dan Vagina
d. Trauma Saraf

Sumber
Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal Zairin Noor

 Trauma Medulla Spinalis


Definisi
Cedera pada tulang belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang
menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat
menyebabkan kecacatan menetap atau kematian.
Etiologi
 Sebagian besar disebabkan oleh trauma tumpul
 Penyebab tersering adalah keclakaan bermotor

Grade Tipe Gangguan medula spinalis berdasarkan American spinal injury association
(ASIA)
A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5
Fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu sampai segmen
B Inkomplit
sakral S4-S5
Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi otot-otot motorik
C Inkomplit
utama masih punya kekuatan < 3
Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot motorik utama
D Inkomplit
punya kekuatan > 3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal
Kekuatan Otot
0 : tidak ada kontraksi otot
1 : kontraksi otot dapat dipalpasi tapi tanpa gerakan persendian
2 : tidak mampu melawan gaya gravitasi, hanya mampu bergeser
3 : mampu melawan gaya gravitasi tapi tidak mampu menahan/melawan tahanan
pemeriksa
4 : bisa bergeser melawan tahanan pemeriksa tapi kekuatannya berkurang
5 : dapat melawan tahanan pemeriksa dengan kekuatan maksimal
Pemeriksaan Penunjang
 X-Ray Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau
dislokasi) jika dicurigai trauma medspin disertai trauma vertebrae
Dislokasi Cervical 5 dan 6

 CT Scan: untuk menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural

Terdapat bintik bintik kecil pada permukaan tulang, tapi tidak terlihat fraktur.
Jadi foto ini hanya memperlihatkan hiperfleksi soft tissue injury
 MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal, edema dan kompresi
Terlihat Luka tusuk

Penatalaksanaan
 Konservatif dan Simtomatis
1. Airway
2. Breathing
3. Circulation
4. Immobilisasi
a. ’cervical collar’
b. Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alas yang
keras
5. Stabilisasi Medis
a. Periksa vital signs
b. Pasang ’nasogastric tube’
c. Pasang kateter urin
d. Segera normalkan ’vital signs’. Pertahankan
6. Mempertahankan posisi normal vertebra (”Spinal Alignment”)
 Operatif
Dekompresi dan stabilisasi Spinal
 Rehabilitasi
Program yang direncanakan oleh Bagian Rehabilitasi Medik pada Trauma Medspin
ialah: breathing exercise, mobilisasi dengan neck collar, proper bed positioning, latihan
isometrik servikal (Calliet exercise), dan latihan penguatan otot aktif resisted keempat
ekstremitas.
SUMBER : P.S, Juanita Maja. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Cedera Servikal
Medula Spinalis. Manado : Jurnal Biomedik Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi Manado

 Trauma Soft Tissue


TRAUMA TENDON
 Tendon Achilles adalah tendon yang paling sering mengalami trauma
Etiologi
 Selain aktivitas fisik yang berlebih, aktivitas sedang dapat menyebabkan trauma
tendon dengan faktor intrinsik yaitu berat badan, nutrisi, dan usia
Tatalaksana
Rekonstruksi bedah dinilai paling tepat untuk mengembalikan fungsi tendon sebaik
mungkin, tetapi tatalaksana non-bedah lebih dianjurkan untuk pasien dengan kondisi kulit
yang buruk, riwayat merokok, komplikasi jaringan lunak akibat dari operasi sebelumnya, dan
diabetes mellitus menahun.
Banyak teknik bedah untuk tatalaksana ruptur achiles neglected. Tujuan utama dari
setiap tindakan bedah adalah untuk mengembalikan fungsi dan kekuatan dari otot kompleks
gastrocnemeussoleus dengan menyusun ulang hubungan length-tension yang optimal.
Repair end-to-end menjadi ideal jika celah antara ujung-ujung tendon memungkinkan
aposisi langsung setelah reseksi dari jaringan parut. Tindakan ini akan mengembalikan
kekuatan isokinetik achilles yang maksimal karena dengan cara inilah panjang tendon saat
sebelum cedera dapat dicapai.
Secara umum telah dipahami bahwa, gap sebesar 1-2 cm masih memungkinkan untuk
dilakukan repair end-to-end. Namun, perbaikan primer merupakan penatalaksanaan yang
jarang dilakukan untuk ruptur yang kronis karena adanya kemungkinan terjadi pemendekan
dan kontraktur dari unit tendon-otot gastrocnemius-soleus.
SUMBER : Firmansyah,D. Rahmadian,R. Hermansyah. 2018. Repair Ruptur Tendon
Achilles Neglected dengan Teknik Lindholm Modifikasi. Padang: Jurnal FK UNAND

Rupture tendon patela


Rupture tendon patela adalah kondisi terputusnya tendon pada patela.
Etiologi :
1. Trauma bias bersifat langsung atau suatu mekanisme suatu kontraksi esentrik dari otot
kuadrisep seperti pada atlet pelari
2. Irirtasi tendon akibat berdiri lama
3. Degenaratif jaringan tendon
4. Penyakit sistemik seperti SIE dan imflamasi sendi kronis

Manifestasi klinis
Keluhan : nyeri pada lutut dan bertambah apabila sendi lutut digerakkan
Look : adanya pembengkatan lutut, kemerahan dan hematrosis
Fell : tendernesss dan kelembutan pada sendi lutut
Move : keterbatasan dalam menggerakkan sendi lutut
Pemeriksaan diagnostik
- USG untuk menilai distrupsi dari tendon
- MRI untuk menilai serat tendon, kondisi , perdarahan dan edema

Tatalaksana
- Konservatif
Imobilisasi lutut dari ekstensi selama 6 minggu, pembatasan penggunaan latihan lutut
minimal selama 3 bulan, bertujuan agar ada kesempatan tendon mengalami proses
perbaikan .
- Intervensi bedah
Bertujuan utuk memperbaiki tendon patela yang rusak

Trauma Saraf
Neuropati Perifer
Neuropati perifer mengacu pada penyakit yang memengaruhi sistem saraf tepi, yang terdiri
dari neuron motorik atau sensorik, akar saraf, pleksus, dan saraf tepi. Saraf motorik
mengendalikan gerakan semua otot di bawah kendali sadar. Input sensorik (misalnya panas,
dingin, dan sentuhan) dari reseptor kulit dikirimkan ke otak melalui saraf sensorik. Saraf
otonom ditemukan di organ-organ vital (misalnya jantung, paru-paru) dan membantu
mengatur fungsi tubuh seperti detak jantung dan pernapasan.
Klasifikasi klinis neuropati perifer didasarkan pada:
1. Bagian dari sistem saraf perifer yang terlibat: Saraf perifer (Mono- atau poli-neuropati
tergantung pada jumlah saraf yang terkena), pleksus (Plexopathy), akar saraf
(Radiculopathy) dan neuron sensorik (Neuronopati).

2. Jenis serabut saraf yang terlibat, misalnya polineuropati sensoris ketika hanya serat
sensoris yang terpengaruh.
3. Mekanisme yang mendasari kerusakan saraf, gangguan misalnya demielinasi versus
neuropati aksonal. Gangguan aksonal disebabkan oleh kerusakan pada serabut saraf,
misalnya polineuropati diabetik. Neuropat demielinasi timbul dari hinaan terhadap
selubung mielin, misalnya polineuropati demielinisasi inflamasi kronis (CIDP) dan
sindrom Guillain Barre (GBS).

Neuropati Perifer - Gejala


Presentasi klinis akan tergantung pada jenis serabut saraf yang terpengaruh.
Kerusakan saraf motorik menyebabkan kelemahan, kram menyakitkan dan otot berkedut.
Kerusakan saraf sensorik menyebabkan penurunan apresiasi jarum, sentuhan ringan atau
sensasi getaran pada tangan dan kaki. Ini juga dapat menyebabkan kegoyahan saat
berjalan. Reseptor rasa sakit dapat menjadi terlalu peka sehingga menyebabkan nyeri terbakar
spontan, ketidaknyamanan terhadap sentuhan ringan (Allodynia) dan hipersensitivitas
terhadap nyeri (Hyperalgesia).
Keterlibatan saraf otonom menghasilkan berbagai gejala, misalnya keringat abnormal, pusing
postural, denyut jantung tidak teratur, inkontinensia urin dan disfungsi ereksi pada pria.
Neuropati Perifer - Penyebab dan Faktor Risiko
Ada banyak penyebab neuropati perifer, diturunkan dan didapat. Neuropati yang diturunkan
disebabkan oleh cacat bawaan pada kode genetik dan secara kolektif dikenal sebagai penyakit
Charcot-Marie-Tooth (CMT).
Penyebab neuropati perifer yang didapat meliputi yang berikut:
Cedera fisik pada saraf. Ini bisa dari trauma seperti patah tulang atau dari kompresi akut
seperti “Saturday Night” palsy. Saraf perifer juga rentan terhadap kompresi kronis di situs
anatomi tertentu. Ini dikenal sebagai neuropati jebakan. Contoh umum adalah Carpal Tunnel
Syndrome (CTS). Dalam kondisi ini, saraf median akan tertekan saat melewati lorong sempit
di pergelangan tangan (terowongan karpal).
 Neuropati Metabolik, misalnya diabetes mellitus dan gagal ginjal.

 Neuropati Nutrisi, misalnya defisiensi vitamin B12 dan penyalahgunaan alkohol


kronis.

 Gangguan autoimun, misalnya artritis reumatoid.

 Infeksi, misalnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan kusta

 Neuropati yang dimediasi kekebalan. Ini disebabkan oleh peradangan saraf dari reaksi
imun yang abnormal, misalnya sindrom Guillain Barre
 Racun dan Obat-obatan, misalnya logam berat seperti timah dan obat-obatan seperti
Cisplatin

Neuropati Perifer - Diagnosis


Elektromiografi (EMG)
 Penting untuk melokalisasikan dan mengkarakterisasi sifat dan keparahan neuropati
perifer. Bagian pertama EMG adalah menstimulasi saraf perifer dan merekam sinyal
listriknya. Bagian kedua melibatkan memasukkan jarum yang sangat halus ke otot
tungkai atau punggung dan merekam aktivitas motorik.

Investigasi darah
 Untuk mendeteksi penyebab neuropati yang mendasari, misalnya diabetes, defisiensi
vitamin, dan vaskulitis, berbagai tes darah mungkin diperlukan. Pada beberapa jenis
neuropati herediter, sampel darah dapat dikirim untuk tes genetik.

Tusukan Lumbar
 Prosedur dilakukan di samping tempat tidur untuk menarik sedikit cairan serebrospinal
dari punggung bawah dengan anestesi lokal. Cairan akan dikirim untuk berbagai tes.

Biopsi Kulit
 Prosedur sederhana ini dilakukan di samping tempat tidur untuk memastikan neuropati
yang memengaruhi ujung saraf kecil di kulit. Biopsi kulit punch (berdiameter sekitar
3mm) dilakukan di bawah pengaruh bius lokal pada kaki dan paha.

Uji Fungsi Otonomi


 Ini adalah tes non-invasif yang mengevaluasi sistem saraf otonom.

Biopsi saraf
 Terkadang dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya peradangan saraf, misalnya pada
neuropati vaskulitik.

Neuropati Perifer - Tatalaksana


Pengobatan akan tergantung pada penyebab dan tipe neuropati yang mendasarinya. Misalnya,
dalam neuropati diabetes, pengobatan akan diarahkan untuk mencapai kontrol gula darah
yang baik untuk mencegah kerusakan saraf lebih lanjut. Pengurangan gejala untuk nyeri
neuropatik biasanya dapat dicapai dengan obat-obatan, seperti amitriptyline dan gabapentin.
Neuropati yang dimediasi kekebalan diobati dengan globulin imun intravena (IVIG) atau
steroid. IVIG adalah kumpulan donor plasma yang mengandung antibodi normal yang untuk
sementara dapat menangkal antibodi abnormal dalam tubuh. Steroid akan membantu menekan
respons imun abnormal yang menyerang saraf.
Dekompresi bedah mungkin bermanfaat bagi mereka yang memiliki neuropati jebakan,
seperti CTS.

Sumber : https://www.singhealth.com.sg/patient-care/conditions-treatments/peripheral-
neuropathy

Anda mungkin juga menyukai