Anda di halaman 1dari 5

ANGIOEDEMA

A. DEFINISI
pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas vaskular
pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa dan submukosa. Istilah lainnya
seperti giant urticaria, Quincke edema, dan angioneurotic edema telah digunakan
sejak dulu untuk menggambarkan kondisi seperti ini.
Angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria. Faktanya, sebanyak
50% pasien dengan urtikaria juga mengalami angioedema.
Di sisi lain, angioedema cukup berbeda dengan urtikaria. Angioedema selalu
melibatkan lapisan dermis yang lebih dalam atau jaringan submukosa atau
subkutaneus, sementara urtikaria melibatkan lapisan dermis yang lebih superficial.

B. ETIOPATOGENESIS
Pembengkakan yang terjadi pada angioedema merupakan hasil dari
peningkatan permeabilitas vaskuler lokal pada jaringan submukosa dan
subkutaneus.
Angioedema dapat diklasifikasikan menjadi allergic angioedema,
pseudoallergic angioedema, non-allergic angioedema dan idiopathic angioedema.
(1)

a. Allergic angioedema
Berdasarkan studi yang dilakukan, angioedema paling sering disebabkan
oleh alergi. Sekitar 48 orang pasien dengan allergic angioedema, sebanyak 41.7%
kasus disebabkan oleh makanan, 39.6% oleh obat-obatan, 8.3% oleh binatang, dan
sekitar 10.4% dipengaruhi oleh aeroalergen. Makanan yang paling sering
mencetuskan angioedema adalah makanan laut (70%). Sedangkan obat-obatan
yang diduga menjadi penyebab angioedema adalah antibiotik (12 dari 19 kasus;
63.2%), paling sering amoxisilin (3 dari 12 kasus; 25%).
Allergic angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria. Angioedema
biasanya akan mucul dalam waktu 30 menit sampai 2 jam setelah terpajan alergen
(seperti makanan, obat-obatan, dan bahan latex). Brown melaporkan sebanyak

1
142 pasien dengan anafilaksis yang dirawat di IRD, didapatkan angioedema pada
sekitar 40% kasus.
Mast cell merupakan sel efektor utama terjadinya urtikaria dan angioedema,
meskipun sel-sel lainnya juga tidak diragukan kontribusinya. Alergen makanan
yang masuk akan mengakibatkan terjadinya cross-linking IgE yang melekat pada
permukaan mast cell atau basofil. Akibat keadaan tersebut, terjadi pelepasan
mediator, misalnya histamin, leukotrien, dan prostaglandin, yang selanjutnya akan
mengakibatkan gejala klinis.
Pelepasan mediator oleh mast cell, terutama histamin, mengakibatkan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular.
b. Pseudoallergic angioedema
Pseudoallergic angioedema tidak dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas IgE.
Akan tetapi gejala yang ditimbulkan sangat mirip dengan allergic angioedema.
Contohnya angioedema yang diinduksi oleh penggunaan NSAIDs seperti aspirin.
Angioedema akibat induksi NSAIDs didapatkan pada sekitar 20% kasus. Obat-
obatan yang bertanggung jawab terhadap angioedema adalah ibuprofen (57%),
aspirin (19%), diklofenat (9.5%), asam mefenamat (4.8%), naproxen (4.8%) dan
meloxicam (4.8%).
Angioedema terjadi akibat blokade jalur pembentukan prostaglandin oleh
penggunaan obat-obatan seperti aspirin dan NSAIDs lainnya. Sehingga terjadi
akumulasi leukotrien vasoaktif.
c. Non-allergic angioedema
Non-allergic angioedema merupakan angioedema yang tidak melibatkan IgE
atau histamin dan umumnya tidak berhubungan dengan terjadinya urtikaria,
termasuk diantaranya:
1. Angioedema Herediter (Hereditary Angioedema (HAE))
Angioedema herediter terdiri atas dua subtipe, yaitu:

Angioedema herediter tipe 1 (85%) adalah kelainan yang diturunkan
secara autosomal dominan akibat mutasi pada gen sehingga terjadi supresi C1-
inhibitor sebagai akibat sekresi abnormal ataupun degradasi intraseluler.(2)

2

Angioedema herediter tipe 2 (15%) adalah kelainan yang juga diturunkan
yang ditandai dengan mutasi yang menyebabkan pembentukan protein yang
abnormal. Kadar protein C1-inhibitor bisa normal atau meningkat.

Gambar 1. Angioedema herediter


2. Angioedema yang didapat (Acquired Angioedema (AAE))
Angioedema yang didapat (AAE) juga terdiri atas dua jenis. AAE-I berkaitan
dengan limpoma sel-B atau penyakit jaringan konektif yang berhubungan
dengan penggunaan C1-inhibitor. Sedangkan AAE-2 merupakan kelainan
autoimun, yaitu adanya produksi autoantibody IgG terhadap C1-inhibitor.
3. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor-induced angioedema
(AIIA)
Angiotensin Converting Enzyme (ACE) merupakan enzim utama yang
bertanggung jawab pada degradasi bradikinin. Pemberian ACE-inhibitor
dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki riwayat angioedema idiopatik,
HAE, dan defisiensi C1-inhibitor yang didapat.

DIAGNOSIS

3
Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis, diagnosis urtikaria
dan angioedema mudah ditegakkan, namun beberapa pemeriksaan diperlukan
untuk membuktikan penyebabnya, misalnya:
1. Pemeriksaaan darah, urin rutin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya
infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.
2. Pemeriksaan gigi, teling-hidung-tenggorok, serta usapan vagina perlu untuk
menyingkirkan adanya infeksi fokal.
3. Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil dan komplemen.
4. Tes kulit, meskipun terbatas penggunaannya dapat digunakan dalam
menentukan diagnosis. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test), serta
tes intradermal dapat dipergunakan untuk mencari allergen inhalan, makanan
dermatofit dan kandida.
Anamnesis yang komprehensif sangat esensial bagi pasien yang menderita
urtikaria, yang meliputi durasi serangan, frekuensi serangan, durasi munculnya
lesi, penyakit yang disertai, pengobatan sebelumnya, efek samping yang terjadi,
riwayat penyakit keluarga, pekerjaan, dan dampak penyakit terhadap aktivitas
pasien sehari-hari.

C. DIAGNOSIS BANDING
Berdasarkan gejala yang ditimbulkan, angioedema didiagnosis banding
dengan beberapa penyakit lainnya, seperti eritema multiforme, vaskulitis
urtikarial, dan dermatitis herpetiformis:

D. PENATALAKSANAAN
Pengobatan urtikaria atau angioedema, terdiri atas terapi medikamentosa dan
non-medikamentosa.
1. Non-medikamentosa
Eliminasi diet dicobakan pada pasien yang sensitif terhadap makanan.
2. Medikamentosa
Di samping terapi non-medikamentosa, pasien perlu mendapatkan intervensi
tambahan, termasuk pengobatan sistemik yaitu:
- First line therapies

4
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara
kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat histamin pada
reseptor-reseptornya.

- Second line therapies


Doxepin adalah suatu antide
pressant trisiklik dengan aktivitas antihistamin yang kuat, dimulai dengan dosis
10-30 mg, sangat berguna pada pasien yang sering merasa cemas di malam hari.
Pemberian kortikosteroid sistemik oral lebih efektif pada urtikaria berat dengan
pemberian prednisolon dosis tinggi yaitu 0.5-1.0 mg/kgBB/hari.

Anda mungkin juga menyukai