Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Angioedema adalah suatu pembengkakan edematous yang difuse pada

jaringan lunak umumnya melibatkan jaringan penghubung subcutaneus dan

submukosa tetapi dapat juga mempengaruhi saluran pencernaan atau saluran

pernapasan, adakalanya dengan hasil fatal. Penyakit ini juga dikenal sebagai

Quincke's disease, awalnya klinisi menghubungkannya ada perubahan

penggantian permiabilitas vaskuler. Dulu istilah yang digunakan adalah

Angioneurotic edema sebab pasien sering mengeluh suatu sensasi choking dan

dinamakan sakit saraf. (Neville, 2002).

Angioedema idiopatik lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan

pria. Angioedema tipe lainnya tidak menunjukkan adanya hubungan yang kuat

antara insidensi angioedema dengan jenis kelamin. Pada angioedema herediter

(HAE), estrogen berpengaruh terhadap frekuensi serangan dan derajat keparahan

dan gejala yang ditimbulkan. Berdasarkan literatur, estrogen dianggap mampu

memperburuk angioedema tipe tertentu.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi Angioedema

Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya

permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa dan

submukosa. Hal ini pertama kali ditemukan pada tahun 1586. Istilah lainnya

adalah giant urticaria, Quincke edema, dan angioneurotic edema yang telah

digunakan sejak dulu untuk menggambarkan kondisi seperti ini.

Angioedema adalah urtika yang mengenai lapisan kulit yang lebih dalam

daripada dermis, dapat di submukosa, atau di subkutis, juga dapat mengenai

saluran napas, saluran cerna dan organ kardiovakular. Kulit dapat terlihat normal

tapi menimbulkan keluhan sakit dan rasa terbakar dibandingkan rasa gatal.

Serangan berulang urtikaria dan/atau angioedema yang lamanya kurang dari 6

minggu dianggap akut, sedangkan serangan yang menetap melebihi 6 minggu

dianggap kronik.

2.2. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, angioedema (tidak termasuk angioedema herediter

[HAE] dan angioedema yang didapat [AAE]) terjadi pada 10-20% populasi pada

beberapa waktu dalam kehidupan. Mayoritas angioedema kronik adalah idiopatik.

Diperkirakan prevalensi HAE sebanyak 1 per 10.000-150.000 orang. AAE lebih

2
jarang ditemukan. Sampai tahun 2006, hanya sekitar 136 kasus yang dilaporkan

dalam literatur. Sedangkan menurut laporan, insidensi AIIA bervariasi dari 0.1% -

6%.

Ras Afrika-Amerika lebih rentan menderita angioedema yang diinduksi oleh

penggunaan ACE-inhibitor. Sementara, angioedema tipe lainnya tidak memiliki

hubungan yang jelas antara ras dengan jumlah dan derajat keparahan penyakit.

Angioedema idiopatik lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan

pria. Angioedema tipe lainnya tidak menunjukkan adanya hubungan yang kuat

antara insidensi angioedema dengan jenis kelamin. Pada HAE, estrogen

berpengaruh terhadap frekuensi serangan dan derajat keparahan gejala yang

ditimbulkan. Berdasarkan literatur, estrogen dianggap mampu memperburuk

angioedema tipe tertentu.

Angioedema dapat terjadi pada segala tingkatan usia. Orang-orang dengan

predisposisi untuk terjadinya angioedema mengalami peningkatan frekuensi

serangan setelah dewasa dan insidensi puncaknya terjadi pada dekade ketiga.

Reaksi alergi terhadap makanan paling sering pada anak-anak. Pasien dengan

HAE, onset gejala sering kali terjadi di usia pubertas. Usia rata-rata pada pasien

dengan angioedema karena induksi oleh ACE-inhibitor adalah 60 tahun.

Angioedema idiopatik paling sering terjadi pada usia 30-50 tahun dibandingkan

grup usia lainnya.

3
2.3.Etiopatogenesis

Pembengkakan yang terjadi pada angioedema merupakan hasil dari

peningkatan permeabilitas vaskuler lokal pada jaringan submukosa dan

subkutaneus.

Angioedema dapat diklasifikasikan menjadi allergic angioedema,

pseudoallergic angioedema, non-allergic angioedema dan idiopathic

angioedema.

a. Allergic angioedema

Berdasarkan studi yang dilakukan, angioedema paling sering

disebabkan oleh alergi. Sekitar 48 orang pasien dengan allergic

angioedema, sebanyak 41.7% kasus disebabkan oleh makanan, 39.6% oleh

obat-obatan, 8.3% oleh binatang, dan sekitar 10.4% dipengaruhi oleh

aeroalergen. Makanan yang paling sering mencetuskan angioedema adalah

makanan laut (70%). Sedangkan obat-obatan yang diduga menjadi

penyebab angioedema adalah antibiotik (12 dari 19 kasus; 63.2%), paling

sering amoxisilin (3 dari 12 kasus; 25%).(8)

Allergic angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria.

Angioedema biasanya akan mucul dalam waktu 30 menit sampai 2 jam

setelah terpajan alergen (seperti makanan, obat-obatan, dan bahan latex).

Brown melaporkan sebanyak 142 pasien dengan anafilaksis yang dirawat di

IRD, didapatkan angioedema pada sekitar 40% kasus.

4
Mast cell merupakan sel efektor utama terjadinya urtikaria dan angioedema,

meskipun sel-sel lainnya juga tidak diragukan kontribusinya.

Alergen makanan yang masuk akan mengakibatkan terjadinya cross-

linking IgE yang melekat pada permukaan mast cell atau basofil. Akibat

keadaan tersebut, terjadi pelepasan mediator, misalnya histamin, leukotrien,

dan prostaglandin, yang selanjutnya akan mengakibatkan gejala klinis.

Pelepasan mediator oleh mast cell, terutama histamin, mengakibatkan

vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular.

b. Pseudoallergic angioedema

Pseudoallergic angioedema tidak dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas

IgE. Akan tetapi gejala yang ditimbulkan sangat mirip dengan allergic

angioedema. Contohnya angioedema yang diinduksi oleh penggunaan

NSAIDs seperti aspirin.

Angioedema akibat induksi NSAID didapatkan pada sekitar 20% kasus.

Obat-obatan yang bertanggung jawab terhadap angioedema adalah

ibuprofen (57%), aspirin (19%), diklofenat (9.5%), asam mefenamat (4.8%),

naproxen (4.8%) dan meloxicam (4.8%).(7)

Angioedema terjadi akibat blokade jalur pembentukan prostaglandin

oleh penggunaan obat-obatan seperti aspirin dan NSAIDs lainnya. Sehingga

terjadi akumulasi leukotrien vasoaktif.

5
c. Non-allergic angioedema

Non-allergic angioedema merupakan angioedema yang tidak melibatkan

IgE atau histamin dan umumnya tidak berhubungan dengan terjadinya

urtikaria, termasuk diantaranya

1. Angioedema Herediter (Hereditary Angioedema (HAE))

Angioedema herediter terdiri atas dua subtipe, yaitu:

a. Angioedema herediter tipe 1 (85%) adalah kelainan yang

diturunkan secara autosomal dominan akibat mutasi pada gen

sehingga terjadi supresi C1-inhibitor sebagai akibat sekresi

abnormal ataupun degradasi intraseluler.

b. Angioedema herediter tipe 2 (15%) adalah kelainan yang juga

diturunkan yang ditandai dengan mutasi yang menyebabkan

pembentukan protein yang abnormal. Kadar protein C1-inhibitor

bisa normal atau meningkat.

Kurangnya C1-inhibitor merangsang aktivasi jalur

pembentukan kinin. Kinin merupakan peptida dengan berat

molekul yang rendah, berpartisipasi dalam proses inflamasi

dengan mengaktivasi sel endotel. Akibatnya terjadi vasodilatasi,

peningkatan permeabilitas vaskular, dan mobilisasi asam

arakhidonat. Reaksi radang seperti kemerahan, rasa panas,

edema, dan nyeri merupakan hasil dari pembentukan kinin.

6
Gambar 1. Angioedema herediter. Kiri: Edema berat yang terjadi di daerah

wajah. Kanan: Angioedema menghilang dalam beberapa jam, tampak wajah

kembali normal.

c. Angioedema yang didapat (Acquired Angioedema (AAE)

Angioedema yang didapat (AAE) juga terdiri atas dua jenis. AAE-I

berkaitan dengan limpoma sel-B atau penyakit jaringan konektif yang

berhubungan dengan penggunaan C1-inhibitor. Sedangkan AAE-2

merupakan kelainan autoimun, yaitu adanya produksi autoantibody IgG

terhadap C1-inhibitor.

d. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor-induced angioedema

(AIIA)

Frekuensi terjadinya angioedema setelah pemberian terapi ACE-

inhibitor sekitar 0.1% sampai 0.7%. AIIA biasanya melibatkan kepala

7
dan leher, termasuk mulut, lidah, faring, dan laring. Angiotensin

Converting Enzyme (ACE) merupakan enzim utama yang bertanggung

jawab pada degradasi bradikinin. Pemberian ACE-inhibitor

dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki riwayat angioedema

idiopatik, HAE, dan defisiensi C1-inhibitor yang didapat. Kebanyakan

AIIA muncul pada minggu pertama setelah pengobatan dimulai, hanya

sekitar 30% kasus AIIA muncul setelah beberapa bulan bahkan beberapa

tahun setelah dimulainya terapi.(1)

e. Idiopathic angioedema

Istilah idiopatik merujuk pada suatu penyakit atau kondisi tanpa

diketahui penyebabnya. Berdasarkan respon terhadap terapi, beberapa

kasus mungkin saja dimediasi oleh aktivasi mast cell. Hal yang menjadi

pemicu paling sering adalah panas, dingin, stress emosional, dan latihan.

Aktivasi dan degranulasi mast cell dianggap menjadi penyebabnya.

Diagnosis angioedema idiopatik ditegakkan apabila terdapat

angioedema, tidak ditemukan adanya urtikaria dan tidak ada penyebab

eksogen yang ditemukan.

2.4 . Gambaran Klinis

Karakteristik angioedema adalah serangan cepat onsetnya sedang.

jaringan bengkak, dapat solitari atau multiple dan umumnya melibatkan wajah,

bibir (gambar 1), lidah, paring dan laring. Jika mengenai kulit dan mukosa

8
membran dapat menyebabkan pelebaran sampai beberapa centimeter (gambar

2). Sebagai tambahan selain wajah, dapat juga melibatkan kulit meliputi tangan,

lengan, kaki, alat kelamin, dan bokong. Biasanya tidak sakit, umumnya

menimbulkan rasa gatal dan dapat terlihat erithema. Pelebaran khas terjadi

diatas 24 sampai 72 jam. (Regezi , 1999; Neville, 2002)

Gambar 1. Angioedema pada bibir (Regezi , 1999; Neville, 2002)

Gambar 2. Angioedema mengenai kulit dan mukosa membran dapat


menyebabkan pelebaran sampai beberapa centimeter

9
Terlibatannya sistem pernapasan dan pencernaan terjadi sebagian besar mengikuti

pola herediter. Pola ini, gejalanya mulai berpengaruh pada pasien dekade kedua

dan kemudian rekuren mempunyai frekwensi yang tinggi. Kebanyakan serangan

terjadi tanpa alasan yang jelas. Gejala pada pernapasan menyerupai pada keadaan

darurat pembedahan meliputi sakit berlanjut, muntah, dan diare berair tapi jarang.

Keterlibatan pernapasan terpusat pada saluran pernapasan bagian atas (faring dan

laring) dan dapat mengancam hidup penderita jika jalan nafas terkena.

2.4. Diagnosis

Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis, diagnosis urtikaria dan

angioedema mudah ditegakkan, namun beberapa pemeriksaan diperlukan untuk

membuktikan penyebabnya, misalnya

1. Pemeriksaaan darah, urin rutin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya

infeksi yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.

2. Pemeriksaan gigi, teling-hidung-tenggorok, serta usapan vagina perlu untuk

menyingkirkan adanya infeksi fokal.

3. Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil dan komplemen.

4. Tes kulit, meskipun terbatas penggunaannya dapat digunakan dalam

menentukan diagnosis. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test),

serta tes intradermal dapat dipergunakan untuk mencari allergen inhalan,

makanan dermatofit dan kandida.

10
5. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang

dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.

6. Pemeriksaan histopatologik, walaupun tidak selalu diperlukan, dapat

membantu diagnosis. Biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran kapiler di

papilla dermis, geligi epidermis mendatar, dan serat kolagen membengkak.

Pada tingkat permulaan tidak tampak infiltrasi selular dan pada tingkat

lanjut terdapat infiltrasi leukosit, terutama di sekitar pembuluh darah.

7. Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.

8. Suntikan mecholyl intradermal dapat dilakukan pada diagnosis urtikaria

kolinergik.

9. Tes dengan es (ice cube test).

10. Tes dengan air hangat.(3)

Anamnesis yang komprehensif sangat esensial bagi pasien yang

menderita urtikaria, yang meliputi durasi serangan, frekuensi serangan,

durasi munculnya lesi, penyakit yang disertai, pengobatan sebelumnya, efek

samping yang terjadi, riwayat penyakit keluarga, pekerjaan, dan dampak

penyakit terhadap aktivitas pasien sehari-hari. Pemeriksaan fisik yang

lengkap untuk mencari morfologi dan durasi (dengan memberikan tanda

disekeliling lesi), luka, dan tanda-tanda penyakit sistemik harus

diperhatikan, walaupun biasanya normal. Biasanya pasien diambil

gambarnya saat dilakukan pemeriksaan karena biasanya lesi menghilang

atau berkurang pada kunjungan berikutnya.


11
Gambar 2. Algoritme dalam mendiagnosis angioedema.

Keterlibatan perioral dan periorbital adalah khas pada alergi angioedema. alergi

angioedema dan jenis lain yang berhubungan dengan ACE- inhibitor sering

mempunyai gejala pada intraoral, dapat berpengaruh pada bibir, lidah, uvula,

dasar mulut atau daerah pipi dan wajah. (Neville, 2002).

12
2.6. DIAGNOSIS BANDING

Berdasarkan gejala yang ditimbulkan, angioedema didiagnosis banding dengan

beberapa penyakit lainnya, seperti eritema multiforme, vaskulitis urtikarial, dan

dermatitis herpetiformis:

1. Eritema multiforme

Eritema multiforme adalah kelainan pada kulit yang dimediasi oleh

sistem imun, dengan karakteristik target lesion pada tangan dan kaki.

Penyebab yang pasti belum diketahui, namun faktor-faktor penyebab selain

alergi terhadap obat sistemik ialah peradangan oleh bakteri dan virus

tertentu, rangsangan fisik, misalnya sinar matahari, hawa dingin, faktor

endokrin seperti kehamilan dan haid, dan penyakit keganasan. Gejala khas

ialah bentuk iris (target lesion) yang terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian

tengah berupa vesikel atau eritema yang keungu-unguan, dikelilingi oleh

lingkaran konsentris yang pucat dan kemudian lingkaran yang merah.

Eritema multiforme paling sering terjadi pada usia dewasa muda

dibandingkan anak-anak. Herpes Simplex Virus (HSV) diduga menjadi

faktor pencetus utama timbulnya penyakit ini. Eritema multiforme biasanya

terjadi pada kulit yang sering terkena paparan sinar matahari. Mungkin pula

ditemukan adanya fenomena Koebner.(13)

Eritema multiforme juga berupa urtika pada mulanya, namun jika lesi

menetap lebih dari 48 jam, maka diagnosis angioedema dapat disingkirkan.

13
Gambar 3. Eritema multiforme. Tampak adanya target lesion pada

punggung tangan.

2. Vaskulitis urtikarial

Vaskulitis urtikarial adalah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat

berupa palpable purpura yang mengenai kapiler, berbentuk purpura

multiple, bila dipalpasi terasa papul-papul, lesi juga dapat berupa plaque,

urtika, angioedema, pustul, vesikel, ulkus, nekrosis, dan livido retikularis.

Kadang terdapat edema subkutan di bawah lesi. Tempat predileksinya di

daerah ekstensor tungkai bawah. Lama lesi antara 1-4 minggu. Pada waktu

timbul, dapat disertai demam, malaise, arthralgia, dan mialgia. Vakulitis

urtikarial berbeda dengan urtikaria yang cepat hilang. Pada penyakit ini

lama urtika lebih dari 24 jam. Rasanya seperti terbakar atau nyeri.

14
Gambar 4. Vaskulitis dengan purpura dan nekrosis kulit.

3. Dermatitis Herpetiformis

Dermatitis herpetiformis adalah penyakit kronik dan berlangsung

seumur hidup, dapat terjadi pada usia anak-anak maupun dewasa, tetapi

biasanya dimulai pada usia dekade dua sampai empat.(15)

Ruam bersifat polimorfik berupa eritema, papulo-vesikel, vesikel/bula,

tersusun berkelompok dan simetrik serta disertai rasa sangat gatal. Mulainya

penyakit biasanya perlahan-lahan, perjalanannya kronik dan residif.(15)

Tempat predileksinya ialah dipunggung, daerah sakrum, bokong, daerah

ekstensor di lengan atas, sekitar siku, dan lutut. Kelainan yang utama ialah

vesikel, oleh karena itu disebut herpetiformis yang berarti seperti herpes

zoster. Dinding vesikel atau bula tegang.

15
Dermatitis herpetiformis juga diawali dengan papul atau plak urtikaria,

akan tetapi munculnya bula akan menyingkirkan diagnosis tersebut.(6)

Gambar 5. Pola distribusi dermatitis herpetiformis(4)

Gambar 6. Dermatitis herpetiformis pada siku

16
2.7. Penatalaksanaan

Pengobatan urtikaria atau angioedema, terdiri atas terapi medikamentosa dan

non-medikamentosa.

1. Non-medikamentosa

Pasien sebaiknya diberi penjelasan dan informasi tentang faktor pencetus,

pengobatan dan prognosis penyakit.(11) Pengobatan yang paling ideal tentu

saja adalah mengobati penyebab atau bila mungkin menghindari penyebab

yang dicurigai. Bila tidak mungkin, paling tidak mencoba mengurangi

penyebab tersebut, minimal tidak menggunakan atau tidak melakukan

kontak dengan penyebabnya. Pengobatan lokal di kulit dapat diberikan

secara simptomatik, misalnya anti pruritus (calamine atau menthol 1%).

Pasien juga diminta untuk menghindari penggunaan obat-obatan seperti

aspirin, NSAIDs, kodein dan morfin. Selain itu, mengindari faktor pencetus

seperti stress, konsumsi alkohol, dan pajanan terhadap panas secara

berlebihan juga penting untuk dilakukan. Eliminasi diet dicobakan pada

pasien yang sensitif terhadap makanan

2. Medikamentosa

Di samping terapi non-medikamentosa, pasien perlu mendapatkan intervensi

tambahan, termasuk pengobatan sistemik yaitu:

- First line therapies

17
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara

kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat histamin

pada reseptor-reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat,

antihistamin dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu antagonis reseptor

H1 (antihistamin 1, AH1) dan reseptor H2 (AH2).

Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan angioedema

bergantung pada efek antagonis terhadap histamin pada reseptor H1, namun

efektivitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek samping farmakologik,

yaitu sedasi. Dalam perkembangannya terdapat antihistamin yang baru yang

berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi, golongan ini disebut

sebagai antihistamin non-klasik.

Pada umumnya, antihistamin H1 cepat diabsorbsi, dan mencapai puncak

dalam 2 jam. Biasanya antihistamin golongan AH1 yang klasik

menyebabkan kontraksi otot polos, vasokonstriksi, penurunan permeabilitas

kapiler, penekanan sekresi dan penekanan pruritus. Selain efek ini terdapat

pula efek yang tidak berhubungan dengan antagonis reseptor H1, yaitu efek

antikolinergik atau menghambat reseptor alfa-adrenergik.

Antihistamin H1 klasik, contohnya hydroxyzine, diphenhydramine, dan

cyproheptadine. Hydroxyzine ternyata lebih efektif daripada antihistamin

lain untuk mencegah urtikaria, dermografisme, dan urtikaria kolinergik.

Obat ini merupakan antihistamin short-acting, dosis 10-25 mg setiap 6 jam.

Hydroxyzine juga dapat dikombinasi dengan antihistamin long-acting

18
seperti chlorpheniramine maleate. Chlorpheniramine atau diphenhydramine

seringkali diberikan pada wanita hamil karena lebih aman, tetapi pemberian

cetirizine, loratidine, dan mizolastine sebaiknya dihindari.

Antihistamin H1 yang non-klasik contohnya terfenadine, astemizole,

loratadine, dan mequitazine. Golongan ini diabsorpsi lebih cepat dan

mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat

dan mencapai efek maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadine),

sedangkan astemizole dalam waktu 96 jam setelah pemberian oral.

Efektivitasnya berlangsung lebih lama berbanding AH1 klasik, bahkan

astemizole masih efektif hingga 21 hari setelah pemberian dosis tunggal

secara oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai antihistamin yang

long-acting.(3) Loratadine (dosis dewasa 10 mg/hari) merupakan derivat

azatadine. Cetirizine (dosis dewasa 10 mg/hari) hanya dimetabolisme di hati

dalam jumlah sedikit, dan lebih banyak diekskresikan dalam bentuk urin.

Cetirizine lebih bersifat sedatif dibandingkan plasebo pada beberapa studi

dan paling baik digunakan di malam hari.

Keunggulan lain AH1 non-klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi

karena tidak dapat menembus sawar darah otak. Di samping itu golongan ini

tidak memberi efek antikolinergik, tidak menimbulkan potensiasi dengan

alkohol, dan tidak terdapat penekanan pada SSP serta relatif non-toksik.

Obat antihistamin mampu menembus plasenta. Namun tidak ada sumber

yang dapat dipercaya yang mengatakan bahwa antihistamin bersifat

19
teratogenik, tetapi sebaiknya penggunaannya dihindari pada wanita hamil,

khususnya pada trimester pertama.

- Second line therapies

Doxepin adalah suatu antidepressant trisiklik dengan aktivitas

antihistamin yang kuat, dimulai dengan dosis 10-30 mg, sangat berguna

pada pasien yang sering merasa cemas di malam hari.(5)

Pemberian kortikosteroid sistemik oral lebih efektif pada urtikaria berat

dengan pemberian prednisolon dosis tinggi yaitu 0.5-1.0 mg/kgBB/hari.(5)

Untuk kasus darurat pada angioedema non-herediter yang menyebabkan

angioedema orofaring-laring, diberikan epinefrin. Epinefrin bekerja secara

cepat dengan menstimulasi -adrenoreceptor sehingga terjadi

vasokonstriksi dan stabilisasi mast cell.(5) Angioedema pada orofaring

sangat membahayakan dan harus ditangani secepatnya dengan memberikan

epinefrin (adrenalin) 0.5-1.0 mg secara intramuskular. Pemberian dapat

diulang setiap 10-15 menit, tergantung pada tekanan darah dan nadi yang

harus dipantau sampai terjadi perbaikan klinis.(17) Efek samping epinefrin

adalah takikardi, kecemasan, dan sakit kepala. Oleh karena itu,

penggunaannya harus berhati-hati pada pasien dengan hipertensi, penyakit

serebrovaskular, penyakit jantung iskemik dan diabetes mellitus.(11)

- Third line therapies

20
Pasien urtikaria berat yang tidak berespon dengan pemberian

antihistamin menunjukkan adanya penyebab autoimun, sehingga perlu

diberikan imunoterapi. Cyclosporine dan plasmapheresis berhasil digunakan

untuk mengobati urtikaria. Cyclosporine (35 mg/kgBB/hari) sebaiknya

menjadi pilihan pertama. Jika respon pasien terhadap cyclosporine kurang,

bisa diberikan immunoglobulin intravena atau plasmapheresis.(11,17)

Respon angioedema herediter terhadap pengobatan konvensional untuk

urtikaria sangat kurang.(5) Pada angioedema herediter, pemberian

kortikosteroid, antihistamin, dan norepinefrin tidak memiliki efek. Pada

serangan yang bersifat akut, diberikan plasma C1-esterase inhibitor. Jika

tidak tersedia, dapat diberikan infus dengan fresh frozen plasma 500-2000

ml. Untuk tindakan profilaksis, bisa diberikan Androgen (Danzol 200-600

mg/hari), diatur berdasarkan gambaran klinis dan inhibitor levels. C4 tidak

perlu distabilisasikan.(18)

2.8.Komplikasi

Normalnya, urtikaria tidak menimbulkan komplikasi meskipun rasa

gatal yang ditimbulkan akan mempengaruhi aktivitas sehari-hari bahkan

menyebabkan depresi. Pada reaksi anafilaktif akut, edema pada laring

merupakan komplikasi paling serius, bisa menyebabkan asfiksia, dan edema

pada trakeobronkial bisa menyebabkan asma.(4,6)

21
2.9.Prognosis

Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat

diatasi, urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.

22
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Reaksi alergi dari penggunaan obat dapat berakibat fatal terhadap kondisi

pasien, jenis obat yang diberikan, keterampilan para praktisi terhadap

penanganan awal, tindakan propilaksis pada pasien dapat memberikan harapan

penyembuhan dan hidup lebih baik.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Li HH. Angioedema. [online]. 2012. [cited 2013, Feb 4]. Available from:

http://www.medscape.com/article/135208 .

2. Kaplan AP. Urticaria and angioedema. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz

SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology

in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2009. p.

330-42.

3. Aisah S. Urtikaria. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. p. 169-75.

4. Buxton PK. Urticaria. ABC of Dermatology. 4th ed. London: BMJ

Books; 2003. p. 38-9.

5. Grattan CEH, Black AK. Urticaria and mastocytosis. In: Burns T,

Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook's Textbook of

Dermatology. 7th ed. Oxford: Blackwell Science; 2004. p. 47.12-47.27.

6. Hunter JAA, Savin JA, Dahl MV. Reactive erythemas and vasculitis.

Clinical Dermatology. 3rd ed. Oxford: Blackwell Science; 2002. p. 94-9.

7. Guyton AC, Hall JE. Urtikaria. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed.

Jakarta: EGC; 2008. p. 471.

24
8. Kulthanan K, Jiamton S, Boochangkool K, Jongjarearnprasert K. Clinical

and etiological aspects. [online]. 2007. [cited 2013, Feb 4]. Available

from: http://ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12639808 .

9. Soebaryo RW, Effendi EH, Noegrohowati T. Kelainan kulit akibat alergi

makanan. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit

Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. p. 159.

10. Gawkrodger DJ. Urticaria and angioedema. Dermatology: An Illustrated

Colour Text. 3rd ed. London: Churchill Livingstone; 2003. p. 72-8.

11. Grattan CE, Black AK. Urticaria and angioedema. In: Bolognia JL,

Jorizzo JL, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. New York: Mosby

Elsevier; 2008.

12. Hamzah M. Eritema multiforme. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,

editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. p.

162.

13. Mallory SB, Bree A, Chern P. Hypersensitivity disorders/unclassified

disorders. Illustrated Manual of Pediatric Dermatology: Diagnosis and

Management. 1st ed. London: Taylor & Francis; 2005. p. 179-80.

14. Djuanda A. Vaskulitis kutis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors.

Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2005. p. 337-8.

15. Brehmer E, Andersson. Acute allergic urticaria/angioedema.

Dermatopathology: A Resident's Guide. Berlin: Springer; 2006. p. 195-7.

25
16. Wiryadi BE. Dermatosis vesikobulosa kronik. In: Djuanda A, Hamzah M,

Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: FKUI;

2005. p. 211.

17. Greaves MW. Drug therapy of urticaria. Drug Therapy in Dermatology.

London. p. 323-9.

26

Anda mungkin juga menyukai