Anda di halaman 1dari 23

Angioedema

DEFINISI

• Hal ini pertama kali diungkapkan pada tahun 1586


• Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya
permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa dan
submukosa
• Istilah lainnya seperti giant urticaria, Quincke edema, dan angioneurotic edema telah
digunakan sejak dulu untuk menggambarkan kondisi seperti ini
• Angioedema seringkali dihubungkan dengan urtikaria.
• Faktanya, sebanyak 50% pasien dengan urtikaria juga mengalami
angioedema. Pada banyak kasus, angioedema sangat mirip dengan
urtikaria berdasarkan etiologi dan strategi penatalaksanaannya
• Di sisi lain, angioedema cukup berbeda dengan urtikaria.
Angioedema selalu melibatkan lapisan dermis yang lebih dalam atau
jaringan submukosa atau subkutaneus, sementara urtikaria
melibatkan lapisan dermis yang lebih superficial
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
• Pembengkakan yang terjadi pada angioedema merupakan hasil dari
peningkatan permeabilitas vaskuler lokal pada jaringan submukosa
dan subkutaneus
• Angioedema dapat diklasifikasikan menjadi allergic angioedema,
pseudoallergic angioedema, non-allergic angioedema dan idiopathic
angioedema
Allergic angioedema

• Berdasarkan studi yang dilakukan, angioedema paling sering disebabkan


oleh alergi
• Sekitar 48 orang pasien dengan allergic angioedema, sebanyak 41.7% kasus
disebabkan oleh makanan, 39.6% oleh obat-obatan, 8.3% oleh binatang, dan
sekitar 10.4% dipengaruhi oleh aeroalergen
• Makanan yang paling sering mencetuskan angioedema adalah makanan laut
(70%). Sedangkan obat-obatan yang diduga menjadi penyebab angioedema
adalah antibiotik (12 dari 19 kasus; 63.2%), paling sering amoxisilin (3 dari 12
kasus; 25%)
• Angioedema biasanya akan mucul dalam waktu 30 menit sampai 2 jam
setelah terpajan alergen (seperti makanan, obat-obatan, dan bahan latex).
• Mast cell merupakan sel efektor utama terjadinya urtikaria dan angioedema,
meskipun sel-sel lainnya juga tidak diragukan kontribusinya
• Alergen makanan yang masuk akan mengakibatkan terjadinya cross-linking
IgE yang melekat pada permukaan mast cell atau basofil. Akibat keadaan
tersebut, terjadi pelepasan mediator, misalnya histamin, leukotrien, dan
prostaglandin, yang selanjutnya akan mengakibatkan gejala klinis
• Pelepasan mediator oleh mast cell, terutama histamin, mengakibatkan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular
Pseudoallergic angioedema

• Pseudoallergic angioedema tidak dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas IgE. Akan


tetapi gejala yang ditimbulkan sangat mirip dengan allergic angioedema. Contohnya
angioedema yang diinduksi oleh penggunaan NSAIDs seperti aspirin
• Angioedema akibat induksi NSAIDs didapatkan pada sekitar 20% kasus. Obat-
obatan yang bertanggung jawab terhadap angioedema adalah ibuprofen (57%),
aspirin (19%), diklofenat (9.5%), asam mefenamat (4.8%), naproxen (4.8%) dan
meloxicam (4.8%)
• Angioedema terjadi akibat blokade jalur pembentukan prostaglandin oleh
penggunaan obat-obatan seperti aspirin dan NSAIDs lainnya. Sehingga terjadi
akumulasi leukotrien vasoaktif
Non-allergic angioedema

• Non-allergic angioedema merupakan angioedema yang tidak


melibatkan IgE atau histamin dan umumnya tidak berhubungan
dengan terjadinya urtikaria
• 1. Angioedema Herediter (Hereditary Angioedema (HAE))
• 2. Angioedema yang didapat (Acquired Angioedema (AAE))
• 3. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor-induced
angioedema (AIIA)
Idiopathic angioedema

• Istilah idiopatik merujuk pada suatu penyakit atau kondisi tanpa


diketahui penyebabnya. Berdasarkan respon terhadap terapi, beberapa
kasus mungkin saja dimediasi oleh aktivasi mast cell. Hal yang
menjadi pemicu paling sering adalah panas, dingin, stress emosional,
dan latihan. Aktivasi dan degranulasi mast cell dianggap menjadi
penyebabnya
• Diagnosis angioedema idiopatik ditegakkan apabila terdapat
angioedema, tidak ditemukan adanya urtikaria dan tidak ada
penyebab eksogen yang ditemukan
DIAGNOSIS

• Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis, diagnosis


angioedema mudah ditegakkan
• Namun beberapa pemeriksaan diperlukan untuk membuktikan
penyebabnya
• Pemeriksaaan darah, urin rutin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang
tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.
• Pemeriksaan gigi, teling-hidung-tenggorok, serta usapan vagina perlu untuk menyingkirkan
adanya infeksi fokal.
• Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil dan komplemen.
• Tes kulit, meskipun terbatas penggunaannya dapat digunakan dalam menentukan diagnosis.
Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test), serta tes intradermal dapat dipergunakan untuk
mencari allergen inhalan, makanan dermatofit dan kandida.
• Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai untuk
beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.
• Pemeriksaan histopatologik, walaupun tidak selalu diperlukan, dapat membantu
diagnosis. Biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran kapiler di papilla dermis,
geligi epidermis mendatar, dan serat kolagen membengkak. Pada tingkat permulaan
tidak tampak infiltrasi selular dan pada tingkat lanjut terdapat infiltrasi leukosit,
terutama di sekitar pembuluh darah.
• Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.
• Suntikan mecholyl intradermal dapat dilakukan pada diagnosis urtikaria kolinergik.
• Tes dengan es (ice cube test).
• Tes dengan air hangat
• Anamnesis yang komprehensif sangat esensial bagi pasien yang menderita
urtikaria, yang meliputi durasi serangan, frekuensi serangan, durasi
munculnya lesi, penyakit yang disertai, pengobatan sebelumnya, efek
samping yang terjadi, riwayat penyakit keluarga, pekerjaan, dan dampak
penyakit terhadap aktivitas pasien sehari-hari. Pemeriksaan fisis yang
lengkap untuk mencari morfologi dan durasi (dengan memberikan tanda
disekeliling lesi), luka, dan tanda-tanda penyakit sistemik harus
diperhatikan, walaupun biasanya normal. Biasanya pasien diambil
gambarnya saat dilakukan pemeriksaan karena biasanya lesi menghilang
atau berkurang pada kunjungan berikutnya
DIAGNOSIS BANDING

Berdasarkan gejala yang ditimbulkan, angioedema didiagnosis banding


dengan beberapa penyakit lainnya, seperti eritema multiforme, vaskulitis
urtikarial, dan dermatitis herpetiformis
PENATALAKSANAAN

• Non-medikamentosa
• Medikamentosa
Non-medikamentosa

• Pasien sebaiknya diberi penjelasan dan informasi tentang faktor pencetus,


pengobatan dan prognosis penyakit.(11) Pengobatan yang paling ideal tentu saja
adalah mengobati penyebab atau bila mungkin menghindari penyebab yang
dicurigai. Bila tidak mungkin, paling tidak mencoba mengurangi penyebab tersebut,
minimal tidak menggunakan atau tidak melakukan kontak dengan penyebabnya.
• Pengobatan lokal di kulit dapat diberikan secara simptomatik, misalnya anti pruritus
(calamine atau menthol 1%). Pasien juga diminta untuk menghindari penggunaan
obat-obatan seperti aspirin, NSAIDs, kodein dan morfin. Selain itu, mengindari
faktor pencetus seperti stress, konsumsi alkohol, dan pajanan terhadap panas secara
berlebihan juga penting untuk dilakukan.
• Eliminasi diet dicobakan pada pasien yang sensitif terhadap makanan
Medikamentosa

• First line therapies


• Second line therapies
• Third line therapies
First line therapies

• Pengobatan dengan antihistamin sangat bermanfaat. Cara kerja


antihistamin telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat histamin
pada reseptor-reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat,
antihistamin dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu antagonis
reseptor H1 (antihistamin 1, AH1) dan reseptor H2 (AH2).
Second line therapies

• Doxepin adalah suatu antidepressant trisiklik dengan aktivitas antihistamin yang kuat,
dimulai dengan dosis 10-30 mg, sangat berguna pada pasien yang sering merasa cemas di
malam hari
• Pemberian kortikosteroid sistemik oral lebih efektif pada urtikaria berat dengan
pemberian prednisolon dosis tinggi yaitu 0.5-1.0 mg/kgBB/hari
• Untuk kasus darurat pada angioedema non-herediter yang menyebabkan angioedema
orofaring-laring, diberikan epinefrin. Epinefrin bekerja secara cepat dengan
menstimulasi β-adrenoreceptor sehingga terjadi vasokonstriksi dan stabilisasi mast cell
• Angioedema pada orofaring sangat membahayakan dan harus ditangani secepatnya
dengan memberikan epinefrin (adrenalin) 0.5-1.0 mg secara intramuskular. Pemberian
dapat diulang setiap 10-15 menit, tergantung pada tekanan darah dan nadi yang harus
dipantau sampai terjadi perbaikan klinis
Third line therapies

• Pasien dengan komdisi berat yang tidak berespon dengan pemberian


antihistamin menunjukkan adanya penyebab autoimun, sehingga
perlu diberikan imunoterapi
• Cyclosporine dan plasmapheresis berhasil digunakan untuk
mengobati urtikaria. Cyclosporine (3–5 mg/kgBB/hari) sebaiknya
menjadi pilihan pertama. Jika respon pasien terhadap cyclosporine
kurang, bisa diberikan immunoglobulin intravena atau plasmapheresis
KOMPLIKASI

• Normalnya, tidak menimbulkan komplikasi meskipun rasa gatal yang


ditimbulkan akan mempengaruhi aktivitas sehari-hari bahkan menyebabkan
depresi.
• Pada reaksi anafilaktif akut, edema pada laring merupakan komplikasi paling
serius, bisa menyebabkan asfiksia, dan edema pada trakeobronkial bisa
menyebabkan asma
PROGNOSIS

• Pada kondisi akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat
diatasi, kondisi kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari

Anda mungkin juga menyukai