Anda di halaman 1dari 4

2.

1 Gejala klinis
Keluhan subjektif pasien dengan urtikaria biasanya berupa rasa gatal,
sensasi terbakar atau tertusuk. Lesi urtika dapat berupa eritema dan edema
setempat yang berbatas tegas dengan berbagai bentuk dan ukuran. Lesi dapat
terjadi di bagian tubuh mana saja dan dapat hilang dalam 2–3 jam tanpa
meninggalkan bekas. Pemulihan spontan ini terkadang bisa berlangsung hingga 1
hari. 1
Urtikaria dapat disertai angioedema terutama di area kelopak mata dan
mukosa bibir, yang muncul secara tiba-tiba. Angioedema lebih sering dirasakan
sebagai sensasi nyeri dibandingkan gatal. Bila angioedema terjadi di mukosa
saluran napas dapat terjadi sesak napas, suara serak dan rinitis. Angioedema di
saluran cerna bermanifestasi sebagai rasa mual, muntah, kolik abdomen dan diare.
Lesi dapat menghilang secara spontan dalam waktu sekitar 72 jam.2,3
Urtikaria akibat tekanan mekanis dapat dijumpai pada bagian tubuh yang
tertekan pakaian, misalnya di sekitar pinggang dan bentuknya sesuai dengan
tekanan yang menjadi penyebab. Pada pasien sepeerti ini maka dapat dilakukan
uji dermografisme, yaitu dilakukan goresan dengan benda tumpul pada kulit. Jika
sekitar 10-20 menit setelah dilakukan uji dermografisme muncul eritema dan
edema yang terasa gatal, maka disebut urtikaria dermografi.2,3

2.2 Diagnosis dan diagnosis banding


Diagnosis urtikaria meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Tujuan diagnosis adalah menentukan tipe dan subtipe
urtikaria serta mengidentifikasi etiologi. Sangat penting untuk mendapatkan
anamnesis rinci dari pasien urtikaria untuk mencapai etiologi. Pasien harus
ditanyai mengenai waktu onset, perkembangan, lokalisasi lesi, keluhan sistemik,
asupan makanan, stres, dan penggunaan obat secara teratur atau sesekali. 2,4
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mencari penyebab
urtikaria adalah sebagai berikut:3
1. Pemeriksaan darah, urin dan feses rutin untuk menilai infeksi yang
tersembunyi
2. Pemeriksaan kadar IgE dan eosinophil untuk melihat ada tidaknya faktor
atopi
3. Uji tusuk kulit (skin prick test) terhadap berbagai makanan dan inhalan
4. Uji serum autolog dilakukan pada pasien urtikaria kronis untuk
membuktikan adanya urtikaria autoimun
5. Uji dermografisme dan uji dengan es batu (ice cube test)
6. Pemeriksaan histopatologi kulit perlu dilakukan jika dicurigai sebagai
gejala vaskulitis atau mastositosis
Beberapa penyakit dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis banding
karena memiliki gejala urtika atau mirip urtika, seperti vaskulitis, mastositosis,
pemfigoid bulosa, pitiriasis rosea tipe papular, lupus eritematosus kutan,
anafilaktoid purpura (Henoch-Schonlein purpura), dan morbus Hansen.3
2.3 Tatalaksana
Penatalakasanaan terpenting untuk urtikaria adalah identifikasi dan
eliminasi faktor penyebab atau pencetus. Pemicu yang diketahui dapat berupa
obat-obatan, makanan, bahan tambahan makanan, infeksi (bakteri, virus, jamur),
infestasi parasit dan gangguan dermatologis. Jika didapatkan perbaikan setelah
eliminasi faktor diduga penyebab, faktor ini baru bisa disimpulkan sebagai
penyebab jika terjadi kekambuhan setelah tes provokasi. Pasien juga dijelaskan
tentang menghindari suhu lingkungan yang sangat panas, konsumsi alkohol,
kelelahan dan tekanan pada kulit yang dapat memperberat gejala urtikaria.3,5
Tujuan utama terapi simptomatis adalah untuk menghilangkan keluhan
eritema dan angioedema. Panduan terapi menurut AADV (Asian Academy of
Dermatology and Venereology) dapat dilihat pada gambar 1 berikut:

Gambar 1 Algoritma Pengobatan pada Urtikaria Kronis5

Pengobatan lini pertama pada urtikaria adalah antihistamin H1 non-sedatif


atau generasi kedua (azelastine, bilastine, cetirizine, desloratadine, ebastine,
fexofenadine, levocetirizine, loratadine, mizolastine, dan rupatadine) yang harus
diminum secara teratur, bukan hanya saat lesi muncul agar mendapatkan hasil
yang konsisten. Antihistamin harus diberikan dengan memperhatikan usia,
kehamilan, status kesehatan, dan respons individu. Apabila keluhan menetap
selama 2 minggu, maka dapat diberikan terapi lini kedua, yaitu dosis antihistamin-
H1 non-sedatif ditingkatkan sampai 4 kali lipat dosis awal yang diberikan . Bila
gejala menetap setelah 1-4 minggu, dianjurkan penggunaan terapi lini ketiga yaitu
mengganti dengan antihistamin H1 sedatif (diphenhydramine, chlorpheniramine,
hydroxyzine, cyclizine, dimenhydrinate, doxepin, doxamine, meclizine,
promethazine) atau antihistamin H1 non-sedatif golongan lain ditambah dengan
antagonis leukotrien, misalnya zafirlukast atau montelukast.3,5,6
Jika muncul eksaserbasi dalam penggunaan terapi lini ketiga, maka dapat
diberikan kortikosteroid sistemik (prednisolone 10-30 mg) selama 3-7 hari. Bila
gejala menetap setelah 1-4 minggu, dianjurkan pemberian lini keempat yaitu
penambahan antihistamin H2 dan imunoterapi (siklosporin A, omalizumab,
immunoglobulin intravena (IVIG), plasmaferesis, takrolimus oral, metotreksat,
hikrosiklorokuin dan dapson). Jika muncul eksaserbasi lesi dapat diatas dengan
pemberian kostikosteroid sistemik (prednisolone 10-30 mg) selama 3-7 hari.3,5
Selain pemberian terapi sistemik, tatalaksana urtikaria juga dianjurkan
pemberian terapi secara topikal untuk mengurangi gejala gatal, seperti permberian
bedak kocok atau losio yang mengandung mentol 0,5-1% atau kalamin. Urtikaria
yang luas atau disertai angioedema perlu dirawat inap dan selain diberikan
antihistamin, juga diberikan kortikosteroid sistemik (metilprednison 40-200 mg)
untuk waktu yang singkat. Jika terdapat gejala syok anafilaksis, makan dilakukan
protokol anafilaksis dengan pemberian epinefrin 1:1000 sebanyak 0,3 ml secara
intramuskular setiap 10-20 menit sesuai kebutuhan.1,3 `
DAFTAR PUSTAKA

1. Aslan Kayiran M, Akdeniz N. Diagnosis and treatment of urticaria in primary


care. North Clin Istanb. 2019;6(1):93-99.
2. Kaplan AP. Clinical practice. Chronic urticaria and angioedema. N Engl J Med.
2002;(346):175–9.
3. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016. p. 311-314.
4. Magerl M, Pisarevskaja D, Scheufele R, Zuberbier T, Maurer M. Effects of a
pseudoallergen diet on chronic spontaneous urticaria: A prospective trial. Allergy.
2010;65(1):78-83.
5. Asian Academy of Dermatology and Venerology. AADV asian consensus
guideline for management of chronic urticaria: Special Proceedings from the 19th
RCD [Internet]. 2010 Oct [cited 2021 Feb 22]. Available from:
http://asianderm.org/download/AADV_booklet01.pdf
6. Siannoto M. Tinjauan pustaka: diagnosis dan tatalaksana urtikaria. CDK-250.
2017;44(3):190-194.

Anda mungkin juga menyukai