Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Di dunia perminyakan, pekerjaan pencarian sumber daya minyak sangat
ditentukan oleh faktor kemampuan sumber daya manusia yang bekerja
dibidangnya dimana kemampuan serta kinerja pengenalan lapangan yang
memadai. Seorang teknisi perminyakan dituntut agar mampu menganalisis data
yang diperoleh dilapangan yang bertujuan untuk menentukan zona produktif.
Penemuan reservoir pertama kali ditentukan pada pengeboran eksplorasi dengan
menggunakan data seismik, gravity dan magnetic.
Penilaian formasi dilakukan setelah terdapat lubang pemboran yang
membuktikan terdapatnya hidrokarbon pada cekungan tersebut. Dengan
dilakukannya penilaian formasi maka dapat ditentukan zona mana yang prospek
untuk di produksi, sehingga keuntungan pun dapat diperoleh. Beberapa parameter
yang diperlukan untuk menentukan zona produktif, yaitu berupa karakteristik
batuan antara lain porositas, permeabilitas, saturasi air dan kemampuan
bergeraknya hidrokarbon, tipe hidrokarbon, litologi batuan, kemiringan dan
struktur formasi. Selain itu, data yang diperlukan untuk membuktikan ada atau
tidaknya potensi hidrokarbon pada suatu area yaitu data permukaan (peta geologi
dan measured stratigrafi / stratigrafi terukur) dan data di bawah permukaan
(seismic, logging, corring dan cutting).
Tahap evaluasi formasi biasanya dilakukan dalam suatu kegiatan
eksplorasi detil setelah pemboran, dalam kenyataannya lumpur bor mendesak
hidrokarbon masuk ke dalam formasi menjauhi lubang bor dan mencegah
hidrokarbon menyembur ke permukaan dengan serangkaian investigasi dari data-
data survei geologi dan survei geofisika yang dilakukan pada zona yang
diperkirakan produktif untuk mengidentifikasi dan mengumpulkan data secara
lebih detil dan akurat dari reservoirnya seperti: Porositas, Permeabilitas dan
Kejenuhan air dari batuan tersebut.

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 1


Pemeriksaan berkas batuan bor yang kembali ke permukaan dapat memberi
petunjuk tentang litologi secara umum dari formasi yang ditembus oleh bit dan
mungkin juga mampu memperkirakan banyaknya minyak dan gas di lapangan
formasi. Kurva log memberikan informasi yang cukup tentang sifat fisik batuan
dan fluida. Penilaian formasi adalah salah satu bagian yang sangat penting dalam
proses dan penyelesaian sumur.
Dari data permukaan seismik kemudian dilakukan untuk mendapatkan data
di bawah permukaan berupa litologi batuan. Jika litologi batuan mengindikasikan
adanya suatu reservoir, maka untuk membuktikan ada tidaknya hidrokarbon
dilakukan pemboran lubang sumur serta serangkaian pengukuran di dalam sumur
(logging) dan evaluasi data hasil rekaman untuk memastikan ada tidaknya
kandungan hidrokarbon di bawah tanah. Logging merupakan suatu kegiatan
perekaman lubang sumur yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik batuan,
kandungan fluida pada formasi yang telah ditembus. Hasil analisa data logging
dapat digunakan untuk mengetahui antara lain untuk menentukan zona prospek
hidrokarbon dan dapat digunakan untuk menghitungan cadangan hidrokarbon
yang ada di suatu lapangan.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang maksud dan tujuan penilain formasi.
2. Apa saja jenis – jenis log dan karakteristiknya.
3. Apa yang dimaksud dengan well logging dan cara mengaplikasikan data
well logging dalam mengidentifikasi reservoir, memperkirakan litologi
dan kandungan fluida, menghitung porositas, serta menghitung saturasi.

1.3. Maksud dan Tujuan


1. Mengetahui dan memahami maksud dan tujuan penilain formasi.
2. Mengetahui dan memahami jenis – jenis log beserta karakteristiknya.
3. Mengetahui dan memahami well logging dan cara mengaplikasikan data
well logging dalam mengidentifikasi reservoir, memperkirakan litologi
dan kandungan fluida, menghitung porositas, serta menghitung saturasi.

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 2


BAB II
DASAR TEORI

Minyak dan gas bumi merupakan sumber daya energi terpenting di dunia.
Industri minyak dan gas di Indonesia pun mengalami perkembangan yang sangat
maju dari tahun ke tahun untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri akan bahan
bakar yang semakin meningkat. Sektor minyak dan gas bumi merupakan
penghasil devisa terbesar yang merupakan tulang punggung pembangunan
nasional, oleh sebab itu perlu upaya-upaya konkrit untuk terus meningkatkan
devisa negara melalui sektor minyak dan gas bumi tersebut dengan
mengoptimalkan peningkatan produksi dan mengembangkan lapanganlapangan
baru. Mengingat pentingnya peran minyak dan gas bumi bagi kelangsungan hidup
manusia, maka perlu dilakukan estimasi cadangan hidrokarbon yang akurat pada
setiap reservoir yang ada seperti analisa properti reservoir (porositas,
permeabilitas, saturasi, resistivitas, penyebaran batuan reservoir, dan kandungan
hidrokarbon) dengan menggunakan data sumur yang bisa didapat dengan
pekerjaan logging.
Metode logging ini sangat berperan penting dalam perkembangan eksplorasi
hidrokarbon. Pekerjaan logging atau evaluasi formasi merupakan kegiatan
mempelajari karakteristik formasi pada suatu reservoir serta segala aspek yang
menyangkut perhitungan cadangan hidrokarbon. Ada beberapa parameter yang
mempengaruhi dalam perhitungan cadangan hidrokarbon yaitu porositas, saturasi
air, dan tebal lapisan. Untuk mengetahui parameter diatas diperlukan beberapa
jenis kegiatan, antara lain pengambilan contoh batuan (coring), interpretasi
dengan bantuan alat log (logging), analisa hasil uji sumur (well testing) dan lain -
lain.

2.1 Penilaian Formasi


Kegiatan pengumpulan data - data reservoir yang dilakukan sebelum
pemboran, saat pemboran dan sesudah pemboran berlangsung yang nantinya

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 3


digunakan dalam perencanaan pengembangan suatu lapangan minyak dan gas.
Berikut ini adalah Proses Penilaian Formasi :
 Pada tahap eksplorasi formasi untuk menilai lokasi dari lapangan yang
mengandung hidrokarbon. .
 Pada tahap deliniasi untuk menilai batas reservoir yang digunakan untuk
menentukan volume bulk batuan reservoir dan ketebalan formasi
produktif.
 Pada tahap pengembangan dipergunakan untuk melaksanakan program
perencanaan pengembangan lapangan.

2.1.1 Tujuan Dari Dilaksanakannya Penilaian Formasi


Penemuan reservoir pertama kali ditentukan dalam kegiatan eksplorasi
dengan satu set data-data geofisika, data seismic, data gravity atau magnetic
dan data-data survey geologi. Evaluasi formasi dikerjakan setelah terdapatnya
lubang pemboran yang membuktikan adanya hidrokarbon pada cekungan
tersebut (Wild Cat). Tujuan dari evaluasi formasi adalah untuk menentukan
cadangan hidrokarbon pada cekungan – cekungan yang berprospek
hidrokarbonnya. Parameter-parameter pengukuran yang dapat dilakukan :
 Porositas batuan reservoir adalah besarnya volume pori batuan relatif
terhadap volume total batuan atau perbandingan dari volume ruang
kosong / pori dengan volume bulk dari batuan dikalikan dengan
100%.
 Permeabilitas merupakan ukuran kemampuan media berpori untuk
mengalirkan fluida formasi yang merupakan pengukuran tingkatan
dimana fluida akan mengalir melalui batuan media berpori dibawah
gradien tekanan tertentu.
 Kejenuhan air dan kemampuan bergeraknya hidrokarbon, resevoir
mula-mula dan selang masa perubahan geologi, minyak dan gas
bumi yang terbentuk di tempat lain pindah ke formasi berpori. Akan
tetapi hidrokarbon pindahan ini tidak pernah menggantikan semua

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 4


air yang ada, air yang tersisa tidak akan mengalir ketika formasi
dibuka dan diproduksikan kembali.
 Jenis batuan dan hidrokarbon secara fisik maupun susunan kimianya.
 Kemiringan formasi dan strukturnya.
 Lingkungan sedimentasi.
 Waktu gelombang pada formasi.

2.1.2 Perbedaan Wireline Logging dengan Logging Wireline Drilling (LWD).


Wireline Logging adalah kegiatan untuk merekam kondisi dibawah
permukaan yang telah dibor melalui parameter - parameter fisis. Jadi ketika
lubang telah dibor alat ini bertugas merekam apa saja yang ada disubsurface
dan berusaha semaksimal mungkin untuk menggambarkan sama persis seperti
aslinya, Seperti jenis batunya, jenis fluidanya, kondisi porositasnya, dll.
Wireline Logging itu sendiri adalah pengukuran yang dilakukan setelah drill
string dicabut kemudian diturunkan alat elektronik dengan kabel kebawah
lubang bor. Simpelnya pengukuran dilakukan setelah pemboran. Sedangkan
Logging While Drilling (LWD) adalah perekaman yang dilakukan disaat
pemboran berlangsung dan merupakan bagian dari drill string. Pengukuran ini
disimpan pada memori dibawah yang akan diambil ketika alat - alat diangkat
kepermukaan. Pengukuran ini bisa dikirim langsung informasinya ke surface
menggunakan mudpulse dengan metode telemetry.
Kelebihan Wireline Logging :
1) Melakukan logging secara otomatis.
2) Kecepatan transmisi datanya lebih cepat dari LWD (± 3 Mb/s).
Kekurangan Wireline Logging :
1) Sulit digunakan pada High devicited well (Horizontal).
Kelebihan LWD :
1) Datanya real time.
2) Dapat digunakan pada High devicited well.
3) Menyediakan data awal apabila terjadi invasi drilling fluid.
Kekurangan LWD :

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 5


1) Ukuran memori perekam terbatas.
2) Kecepatan transmisi data lambat (tanpa kabel).
3) Daya tahan baterai tergantung pada alat yang digunakan pada drill
string.

2.2 Metode Penilaian Formasi


2.2.1 Mud logging
Mud logging merupakan proses mensiasikan dan memantau perpindahan
mud dan cutting pada sumur selama pemboran (Bateman,1985). Menurut
Darling (2005) terdapat dua tugas utama dari seorang mud logger yaitu :
1) Memantau parameter pengeboran dan memantau sirkulasi gas / cairan /
padatan dari sumur agar pengeboran dapat berjalan dengan aman dan
lancar.
2) Menyediakan informasi sebagai bahan evaluasi bagi para petroleum
engineering department.
  Mud - logging unit akan menghasilkan mud log yang akan dikirim ke
kantor pusat perusahaan minyak. Menurut Darling (2005), mud log tersebut
meliputi:
 Pembacaan gas yang diperoleh dari detektor gas atau kromatograf.
 Pengecekan terhadap ketidakhadiran gas beracun (H2S, SO2).
 Laporan analisis cutting yang telah dideskripsi secara lengkap.
 Rate of Penetration (ROP).
 Indikasi keberadaan hidrokarbon yang terdapat didalam sampel.
 Mud log merupakan alat yang berharga untuk petrofisis dan geolog
didalam mengambil keputusan dan melakukan evaluasi. Darling (2005)
menyatakan bahwa mud log digunakan untuk hal – hal berikut ini:
1) Identifikasi tipe formasi dan litologi yang dibor.
2) Identifikasi zona yang porous dan permeable.
3) Picking of coring, casing, atau batas kedalaman pengeboran akhir
4) Memastikan keberadaan hidrokarbon sampai pada tahap membedakan
jenis hidrokarbon tersebut apakah minyak atau gas.

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 6


Analisa Cutting adalah proses pengambilan dan penganalisa serbuk bor
(cutting) selama pelaksanaan pemboran berlangsung. Pekerjaan analisa cutting
dilakukan dalam kerangka pekerjaan mud logging yang terutama untuk
mengidentifikasi saturasi hidrokarbon dan mengestimasi karakteristik batuan
reservoir. Analisa cutting merupakan interpretasi serpihan batuan yang
tersirkulasi kepermukaan bersamaan dengan lumpur bor. Dari hasil analisa
cutting yang dilakukan dapat diketahui jenis lapisan dan interval kedalaman
sumur dimana terdapat akumulasi hidrokarbon. Jika diketahui bahwa formasi
tersebut mengandung akumulasi hidrokarbon yang prospektif, maka
pengeboran lanjutan dapat dilakukan pada berbagai titik yang dianggap
prospek. Tetapi jika dari analisa tidak ditemukan kandungan hidrokarbon,
maka titik pengeboran dipindah ke lokasi lain yang dianggap lebih prospek
berdasar survey geologi.

2.2.2 Coring
Analisa core kegiatan pengukuran sifat fisik batuan dilaboratorium.
Tujuannya adalah untuk mengetahui sifat fisik batuan yang ditembus selama
pemboran. Metode coring ialah
1) Bottom hole coring; pengambilan core yang dilakukan pada saat
pemboran berlangsung
2) Side wall coring; pengambilan core yang dilakukan setelah pemboran
selesai atau berhenti.
3) Core handling; semua proses yang dilakukan setelah core sampai di
permukaan.

2.3 Jenis - Jenis Logging


Berdasarkan kemampuan, kegunaan, dan prinsip kerja maka jenis logging
ini dibagi menjadi log listrik, log radioaktif, log sonic, dan log caliper.

1) Log Listrik
Log listrik merupakan suatu plot antara sifat - sifat listrik lapisan yang
ditembus lubang bor dengan kedalaman. Sifat - sifat ini diukur dengan berbagai
Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 7
variasi konfigurasi elektrode yang diturunkan ke dalam lubang bor. Untuk
batuan yang pori - porinya terisi mineral - mineral air asin atau clay maka akan
menghantarkan listrik dan mempunyai resistivity yang rendah dibandingkan
dengan pori - pori yang terisi minyak, gas maupun air tawar. Oleh karena itu
lumpur pemboran yang banyak mengandung garam akan bersifat konduktif dan
sebaliknya. Pada umumnya log listrik dapat dibedakan menjadi dua jenis:
 Spontaneous Potensial Log (SP Log)
Kurva spontaneous potensial (SP) merupakan hasil pencatatan alat
logging karena adanya perbedaan potensial antara elektroda yang bergerak
dalam lubang sumur dengan elektroda tetap di permukaan terhadap
kedalaman lubang sumur.
 Resistivity Log
Log Resistivitas (Resistivity Log) adalah log yang digunakan untuk
mengukur sifat batuan dan fluida pori  (minyak, gas, air)  disepanjang
lubang bor dengan mengukur sifat tahanan kelistrikannya. Besaran pada log
resistivitas batuan menggunakan satuan Ohm. Jika batuan mengandung
fluida seperti air formasi yang sifatnya salin, maka  kurva resistivitasnya
akan menunjukkan angka yang sangat rendah karena sifat air yang salin
cenderung bersifat konduktif (kebalikan dari resistif). Dan pada minyak atau
gas, kurva resistivitas akan menunjukkan angka yang sangat tinggi karena
minyak atau gas cenderung memiliki hambatan yang sangat tinggi.
2) Log Radioaktif
Log radioaktif dapat digunakan pada sumur yang dicasing (cased hole)
maupun yang tidak dicasing (open hole). Keuntungan dari log radioaktif ini
dibandingkan dengan log listrik adalah tidak banyak dipengaruhi oleh keadaan
lubang bor dan jenis lumpur. Dari tujuan pengukuran, Log Radioaktif dapat
dibedakan menjadi: alat pengukur lithologi seperti Gamma Ray Log, alat
pengukur porositas seperti Neutron Log dan Density Log. Hasil pengukuran alat
porositas dapat digunakan pula untuk mengidentifikasi lithologi dengan hasil
yang memadai.
 Gamma Ray Log     

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 8


Gamma Ray Log adalah suatu kurva yang menunjukkan besaran
kandungan radioaktif yang ada dalam formasi. Sehingga gamma ray log
berguna untuk mendeteksi dan mengevaluasi endapan-endapan mineral
radioaktif. Pengukuran dilakukan dengan jalan memasukkan alat detector ke
dalam lubang bor. Formasi yang mengandung unsur radioaktif akan
memancarkan radiasi radioaktif dimana intensitasnya akan diterima oleh
detector dan dicatat di permukaan. Shale ataupun non shale ditentukan dari
formasi tersebut ditentukan dari kecil besarnya dari log gamma ray. Jika
pembacaan log gamma ray rendah maka dia bisa dikatakn non shale. Non
shale sendiri terbagi atas batu pasir, batu gamping, batu bara dan lain-lain.
Dan jika pembacaan log density tinggi maka dia dapat dikatakan sebagai
lempung. Adapun Tujuan dan fungsi dari gamma ray log antara lain :
- Untuk membedakan lapisan shale dan non-shale pada sumur open hole.
- Untuk korelasi batuan.
- Untuk mendeteksi mineral - mineral radioaktif.
- Untuk menentukan kedalaman dilakukannya proses perforasi.
- Besarnya volume shale dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Dimana :
     GRlog = hasil pembacaan GR log pada lapisan yang bersangkutan.
     GRmax = hasil pembacaan GR log maksimal pada lapisan shale.
     GRmin = hasil pembacaan GR log maksimal pada lapisan non shale.

 Neutron Log
Neutron Log direncanakan untuk menentukan porositas total batuan
tanpa melihat atau memandang apakah pori-pori diisi oleh hidrokarbon
maupun air formasi. Neutron terdapat didalam inti elemen, kecuali

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 9


hidrokarbon. Neutron merupakan partikel netral yang mempunyai massa
sama dengan atom hidrogen. Fungsi dari neutron log antara lain :
- Untuk menentukan porositas (Ø) total.
- Untuk korelasi batuan
- Untuk mendeteksi adanya formasi gas setelah dikombinasikan
dengan porosity tool lainnya (Formation Density Log).
 Density Log
Tujuan utama dari density log adalah menentukan porositas dengan
mengukur density bulk batuan, disamping itu dapat juga digunakan untuk
mendeteksi adanya hidrokarbon atau air, digunakan besama-sama dengan
neutron log, juga menentukan densitas hidrokarbon (ρh) dan membantu
didalam evaluasi lapisan shaly.
Prinsip kerja density log adalah dengan jalan memancarkan sinar
gamma dari sumber radiasi sinar gamma yang diletakkan pada dinding
lubang bor. Pada saat sinar gamma menembus batuan, sinar tersebut akan
bertumbukkan dengan elektron pada batuan tersebut, yang mengakibatkan
sinar gamma akan kehilangan sebagian dari energinya dan yang sebagian
lagi akan dipantulkan kembali, yang kemudian akan ditangkap oleh detektor
yang diletakkan diatas sumber radiasi. Intensitas sinar gamma yang
dipantulkan tergantung dari densitas batuan formasi. Fungsi dari density log
antara lain :
- Untuk mengukur Ø batuan.
- Untuk mengidentifikasi mineral batuan.
- Untuk mengevaluasi shally sand dan lithologi yang kompak.
- Hubungan antara densitas batuan sebenarnya dengan porositas dan
lithologi batuan dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:

Dimana:
ρb = densitas batuan (dari hasil pembacaan log), gr/cc
ρf = densitas fluida rata-rata, gr/cc
Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 10
1 untuk fresh water, 1.1 untuk salt water
ρma = densitas matrik batuan (lihat pada tabel II-1), gr/cc
porositas dari density log , fraksi
3) Sonic Log
Log sonic adalah suatu log yang digunakan untuk mendapatkan harga
porositas batuan sebagaimana log density dan log neutron. Log ini
menggambarkan waktu kecepatan suara yang dikirim / dipancarkan kedalam
formasi dimana pantulan suara yang kembali diterima oleh receiver. Sehingga
waktu yang diperlukan gelombang suara untuk sampai receiver disebut “internal
transite time” atau Δt. Besar kecilnya Δt yang melalui suatu formasi tergantung
dari jenis batuan dan besarnya porositas batuan serta isi kandungan dalam
batuan. Suara dikirimkan dari trasmitter masuk kedalam formasi, kemudian
pencatatan dilakukan pada saat pantulan suara pertama kali sampai di receiver.
Fungsi dari log sonic antara lain ; Untuk mendapatkan nilai porositas batuan.
4) Caliper Log
Kegunaan caliper log adalah untuk mengukur diameter lubang bor sebagai
fungsi dari kedalaman lubang bor. Sehingga dapat untuk keperluan penempatan
packer, perhitungan kecepatan cutting dan membantu interpretasi dalam korelasi
batuan. Manfaat utama dari Caliper Log adalah untuk mengetahui diameter
lubang bor terhadap kedalaman yang nantinya berguna untuk perhitungan
volume lubang bor dalam kegiatan penyemenan. Fungsi dari log caliper antara
lain :
- Menentukan setting packer yang tepat pada DST.
- Estimasi ketebalan mud cake.
- Perhitungan kecepatan lumpur di annulus untuk pengangkatan cutting.
2.4 Pengukuran Water Saturation (Sw)
Saturasi atau kejenuhan air formasi adalah rasio dari volume pori yang terisi
oleh air dengan volume porositas total (Adi Harsono, 1997). Tujuan menentukan
saturasi air adalah untuk menentukan zona yang mengandung hidrokarbon, jika
air merupakan satu-satunya fluida yang terkandung dalam pori-pori batuan, maka
nilai Sw = 1, tetapi apabila pori-pori batuan mengandung fluida hidrokarbon maka

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 11


nilai Sw< 1. Archie menyusun persamaannya, yang kemudian kita kenal dengan
Archie formula :

Rumus ini dipakai sebagai dasar interpretasi data Log sampai sekarang.
Persamaan Archie tersebut biasanya digunakan pada cleansand formation.
Dimana :
Sw = Saturasi air formasi
F = Faktor formasi
Rw = Resistivitas air formasi
Rt  = Resistivitas formasi, dibaca dari kurva resistivitas
Rsh = Resistivitas pada shale
C  = Untuk batu pasir 0.4 dan untuk batu gamping 0.45
Penentuan jenis kandungan di dalam reservoir (gas, minyak dan air)
didapat dari hasil perhitungan kejenuhan air formasi (Sw) dalam hasil batasan
umum harga Sw untuk lapangan yang “belum dikenal” seperti di bawah ini :
Gas = Jika harga Sw adalah 0 -35%
Minyak = Jika harga Sw adalah 35 – 65%
Air = Jika harga Sw adalah >65%

BAB III
GEOLOGI REGIONAL

3.1. Geologi Regional Cekungan Jawa Barat Utara


Cekungan Jawa Barat Utara telah dikenal sebagai penghasil hidrokarbon
utama di wilayah operasi PT. Pertamina EP Region Jawa. Cekungan Jawa Barat
Utara terletak di barat laut Jawa dan meluas sampai lepas pantai utara Jawa.
Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 12
Cekungan Jawa Barat Utara secara umum dibatasi oleh Cekungan Bogor di
sebelah selatannya, di bagian barat laut dibatasi oleh Platform Seribu, di bagian
utara dibatasi oleh Cekungan Arjuna serta bagian timur laut dibatasi oleh Busur
Karimunjawa (Anonim op. cit. Narpodo, 1996).
Menurut Padmosukismo (op. cit. Narpodo, 1996), Cekungan Jawa Barat
Utara secara regional merupakan sistem busur belakang (back arc system) yang
terletak diantara lempeng mikro sunda dan tunjaman lempeng India - Australia.
Cekungan Jawa Barat Utara dipengaruhi oleh sistem block faulting yang berarah
Utara - Selatan. Sistem patahan yang berarah utara-selatan ini membagi Cekungan
Jawa Barat Utara menjadi graben atau beberapa sub - Cekungan dari barat ke
timur, yaitu sub - Cekungan Ciputat, sub - Cekungan Pasir Putih dan sub -
Cekungan Jatibarang. Masing-masing sub - Cekungan dipisahkan oleh tinggian
(blok naik dari sesar). Tinggian Rengasdengklok memisahkan sub - Cekungan
Ciputat dengan sub - Cekungan Pasir Putih, Tinggian Pamanukan dan Tinggian
Kadanghaur memisahkan sub - Cekungan Pasir Putih dengan sub - Cekungan
Jatibarang, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1, sedangkan Gambar 3.2
menunjukkan penampang tektonik Cekungan Jawa Barat Utara berarah Utara -
Selatan.
Konfigurasi sub - Cekungan dan tinggian - tinggian ini sangat
mempengaruhi penyebaran batuan sedimen Tersier, baik sebagai batuan induk
maupun sebagai batuan reservoir. Sistem patahan blok terbentuk selama
orogenesa Kapur Tengah hingga awal Paleosen dan diperkirakan mengontrol
struktur Tersier di Cekungan Jawa Barat Utara. Berdasarkan pembagian sub -
Cekungan, daerah penelitian masuk ke dalam sub - Cekungan Jatibarang.

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 13


Gambar 3.1. Geologi regional Cekungan Jawa Barat Utara
(Sumber: Martodjojo, op. cit. Nopyansyah, 2007)

Gambar 3.2. Penampang tektonik Cekungan Jawa Barat Utara (tanpa skala)
(Sumber: Hareira, 1991)

Keterangan :

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 14


1. : Basement 5. : Formasi Cibulakan
2. : Formasi Jatibarang 6. : Formasi Parigi
3. : Formasi Talang Akar 7. : Formasi Cisubuh
4. : Formasi Baturaja

3.2 Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara


Periode awal sedimentasi di Cekungan Jawa Barat Utara dimulai pada kala
Eosen Tengah - Oligosen Awal (fase transgresi). Pada periode ini dihasilkan
sedimentasi vulkanik darat - laut dangkal dari Formasi Jatibarang (Martodjojo,
2003) saat aktifitas vulkanisme meningkat. Hal ini berhubungan dengan interaksi
antar lempeng disebelah selatan pulau Jawa, akibatnya daerah - daerah yang
masih labil menjadi sering mengalami aktivitas tektonik. Material - material
vulkanik dari arah timur mulai diendapkan.
Periode selanjutnya merupakan fase transgresi yang berlangsung pada kala
Oligosen Akhir-Miosen Awal yang menghasilkan sedimen transgresif transisi
deltaik hingga laut dangkal yang setara dengan Formasi Talang Akar pada awal
permulaan periode (Martodjojo, 2003). Daerah cekungan terdiri dari dua
lingkungan yang berbeda yaitu di bagian barat paralik sedangkan di bagian timur
merupakan laut dangkal. Selanjutnya aktifitas vulkanik semakin berkurang
sehingga daerah - daerah menjadi agak stabil, tetapi anak Cekungan Ciputat masih
aktif. Kemudian air laut menggenangi daratan yang berlangsung pada kala Miosen
Awal mulai dari bagian barat laut terus ke arah tenggara menggenangi beberapa
tinggian kecuali tinggian Tangerang. Tinggian - tinggian ini merupakan sedimen
klastik yang dihasilkan setara dengan Formasi Talang Akar. Pada akhir Miosen
Awal, daerah cekungan relatif stabil dan daerah Pamanukan sebelah barat
merupakan platform yang dangkal (Martodjojo, 2003), dimana karbonat
berkembang baik sehingga membentuk setara dengan Formasi Baturaja sedangkan
bagian timur merupakan dasar yang lebih dalam.

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 15


Kala Miosen Tengah merupakan fase regresi. Pada Cekungan Jawa Barat
Utara diendapkan sedimen - sedimen laut dangkal dari Formasi Cibulakan Atas.
Sumber sedimen yang utama dari Formasi Cibulakan Atas diperkirakan berasal
dari arah utara - barat laut (Martodjojo, 2003). Akhir Miosen Tengah kembali
menjadi kawasan yang stabil, batugamping berkembang dengan baik.
Perkembangan yang baik ini dikarenakan aktivitas tektonik yang sangat lemah
dan lingkungan pengendapan berupa laut dangkal. Kala Miosen Akhir - Pliosen
(fase regresi) merupakan fase pembentukan Formasi Parigi dan Cisubuh. Kondisi
daerah cekungan mengalami sedikit perubahan dimana kondisi laut semakin
berkurang masuk ke dalam lingkungan paralik.
Kala Pleistosen - Aluvium ditandai untuk pengangkatan sumbu utama Jawa.
Pengangkatan ini juga diikuti oleh aktivitas vulkanisme yang meningkat dan juga
diikuti pembentukan struktur utama Pulau Jawa (Martodjojo,2003). Pengangkatan
sumbu utama Jawa tersebut berakhir secara tiba-tiba sehingga mempengaruhi
kondisi laut. Butiran-butiran kasar diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi
Cisubuh, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.3 dan Gambar 3.4.

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 16


Gambar 3.3. Perubahan muka air laut global Cekungan Jawa Barat Utara
(Sumber: Martodjojo, op. cit. Nopyansyah, 2007)

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 17


Gambar 3.4. Lingkungan Pengendapan pada Cekungan Jawa Barat Utara
(Sumber: Anonim, op. cit. Nopyansyah, 2007

3.3 Tektonik dan Struktur Geologi Cekungan Jawa Barat Utara


Pada permulaan Paleogen (Eosen-Oligosen), Cekungan Jawa Barat
mengalami proses tektonik regangan dengan pola sesar berarah utara - selatan
yang berupa sesar - sesar normal. Pola sesar tersebut dinamakan sebagai pola
Sesar Sunda (Sunda Fault). Pola sesar ini sangat sesuai dengan sistem sesar naik
yang berada di belakang busur volkanik di Sirkum Pasifik yang disebut sebagai
Thrust Fold Belt System.

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 18


Perkembangan pola sesar naik dibuktikan berdasarkan pada penyebaran
umur endapan turbidit yang makin muda ke arah utara, sehingga diambil
kesimpulan bahwa Cekungan Jawa Barat yang semula diduga sebagai cekungan
yang berkedudukan tetap, ternyata terus berpindah dari selatan ke arah utara dan
akibatnya terjadi perkembangan pola sesar naik yang sesuai dengan pola sesar
yang sering terjadi pada back arc basin. Perpindahan Cekungan Jawa Barat ini
juga dikombinasikan dengan timbulnya deretan jalur magmatis baru pada umur
Pliosen - Pleistosen yang ditempati oleh jalur gunung api aktif di sepanjang Pulau
Jawa sampai sekarang. Cekungan Jawa Barat Utara sangat dipengaruhi dengan
adanya sesar bongkah berarah kurang lebih utara - selatan yang sangat berperan
sebagai pembentuk arah cekungan dan pola sedimentasi.
Penurunan daerah cekungan terus berlangsung dengan lautan yang menutupi
seluruh daerah lereng cekungan di sebelah selatan melalui jalur - jalur yang
terletak diantara bongkah - bongkah tektonik yang posisinya tinggi dan
memisahkan bagian - bagian cekungan yang lebih kecil. Denudasi dan gerak
penurunan berlangsung terus. Genang laut Miosen menutupi seluruh Cekungan
Sunda dan mengendapkan sedimen - sedimen klastik yang halus dari Formasi
Cibulakan. Dengan terisinya bagian - bagian cekungan, maka terbentuk suatu
permukaan endapan yang datar dengan pengangkatan - pengangkatan lemah pada
kawasan pinggir, menurunnya permukaan laut yang menghasilkan susut laut
secara regional, pengendapan sedimen klastik yang berbutir lebih kasar dan batu
gamping dari Formasi Parigi.
Susut laut ini diakhiri oleh suatu genang laut utama pada bagian akhir kala
Miosen Tengah, yaitu pada saat diendapkannya batu lempung asal laut dan batu
pasir dari Formasi Cisubuh. Selama genang laut yang kedua ini telah terjadi
hubungan antar daerah Cekungan Sunda dan daerah Cekungan Sumatra Selatan.
Susut laut yang terakhir berlangsung selama kala pleistosen sehingga
menyebabakan kondisi marin yang dijumpai saat ini. Sebagai hasil dari
pergerakan secara sinambung di zaman Tersier melalui sistem sesar yang berarah
utara - selatan di daerah Cekungan Sunda dan Jawa Barat, maka tingkat
pertumbuhan struktur serta kepadatannya adalah sangat tinggi. Struktur - struktur

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 19


umumnya berukuran besar dan luas. Gerak yang terbesar melalui sesar selama
jaman Tersier berlangsung di kala Oligosen hingga Miosen Awal, dimana telah
terjadi pergeseran vertikal dalam skala besar, sekurang - kurangnya 120 meter
sepanjang batas timur dari Cekungan Sunda. Gambar 3.5 berikut ini akan
menunjukkan struktur utama pada Cekungan Jawa Barat Utara.

Gambar 3.5 Struktur utama Cekungan Jawa Barat Utara


(Sumber: Reminton dan Pranyoto, 1985)
Cekungan Jawa Barat Utara telah terbukti sebagai cekungan minyak bumi
yang potensial. Kegiatan eksplorasi secara aktif telah dilakukan di Cekungan Jawa
Barat Utara dimana telah terjadi penemuan - penemuan terutama pada struktur -
struktur antiklin. Lapisan-lapisan utama yang berproduksi adalah batu pasir dari
Formasi Talang Akar dan Formasi Cibulakan. Selain itu batu gamping dari
Formasi Baturaja dan Formasi Parigi juga memproduksi minyak dan gas bumi.
Suatu hal yang menarik adalah pada kawasan daratan juga telah diproduksi
minyak bumi dari batuan tuffa volkanik dan breksi dari Formasi Jatibarang.
Secara tektonik, sejarah cekungan Jawa Barat Utara tidak terlepas dari
tektonik global Indonesia bagian Barat dimana tatanan tektoniknya berupa system

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 20


active margin, antara lempeng Hindia dengan lempeng Asia. Sistem ini dicirikan
dengan adanya zona subduksi (penunjaman) dan busur magmatik. Fase - fase
tektonik yang terjadi dalam sejarah geologi Cekungan ini adalah :
a. Fase Tektonik Pertama
Pada zaman akhir Kapur awal tersier, Cekungan Jawa Barat Utara dapat
diklasifikasikan sebagai fore arc basin dengan dijumpainya orientasi
struktural mulai dari Cileutuh, sub - Cekungan Bogor, Jatibarang, Cekungan
Muriah dan Cekungan Florence barat yang mengidentifikasikan kontrol
Meratus Trend. Pada awal tersier, peristiwa tumbukan antara lempeng
Hindia dengan lempeng Eurasia mengaktifkan sesar mendatar menganan
utama Kraton Sunda. Sesar - sesar ini mengawali pembentukan cekungan -
cekungan Tersier di Indonesia bagian Barat dan membentuk Cekungan Jawa
Barat Utara sebagai pull apart basin, seperti yang ditunjukkan pada Gambar
3.6. berikut ini.

Gambar 3.6 Penampang Tektonik Kapur-Miosen


(Sumber: Martodjojo, 2003)

Pada Cekungan Jawa Barat Utara, periode Paleogen dikenal sebagai


Paleogen Extensional Rifting. Tektonik ektensi ini membentuk sesar - sesar
bongkah (half graben system) dan merupakan fase pertama rifting (Rifting

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 21


I ; fill phase). Sedimen yang diendapkan pada rifting I ini disebut sebagai
sedimen synrift I. Cekungan awal rifting terbentuk selama fragmentasi,
rotasi dan pergerakan dari Kraton Sunda. Dua trend sesar normal yang
diakibatkan oleh perkembangan rifting - I (early fill) berarah N 60o W - N
40o W dikenal sebagai pola Sesar Sunda.
Pada masa ini terbentuk endapan lakustrin dan volkanik dari Formasi
Jatibarang yang menutup rendahan - rendahan yang ada. Proses sedimentasi
ini terus berlangsung dengan dijumpainya endapan transisi Formasi Talang
Akar. Sistem ini kemudian diakhiri dengan diendapkannya lingkungan
karbonat Formasi Baturaja.
b. Fase Tektonik kedua
Fase tektonik kedua terjadi pada permulaan Neogen (Oligosen -
Miosen) dan dikenal sebagai Neogen Compressional Wrenching. Ditandai
dengan pembentukan sesar - sesar geser akibat gaya kompresif dari
tumbukan Lempeng Hindia - Australia. Sebagian besar pergeseran sesar
merupakan reaktifasi dari sesar normal yang terbentuk pada periode
Paleogen, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.7. Peristiwa ini
mengakibatkan terbentuknya jalur penunjaman baru di selatan Jawa. Jalur
volkanik periode Miosen Awal yang sekarang ini, terletak di lepas pantai
selatan Jawa. Deretan gunung api ini menghasilkan endapan gunungapi
bawah laut yang sekarang dikenal sebagai “old andesite” yang tersebar di
sepanjang selatan Pulau Jawa. Pola tektonik ini disebut Pola Tektonik Jawa
yang merubah pola tektonik tua yang terjadi sebelumnya, menjadi berarah
barat-timur dan menghasilkan suatu sistem sesar naik, dimulai dari Selatan
(Ciletuh) bergerak ke Utara. Pola sesar ini sesuai dengan sistem sesar naik
belakang busur.

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 22


Gambar 3.7 Penampang Tektonik Geologi Miosen Awal - Akhir Miosen Tengah
(Sumber: Martodjojo, 2003)
c. Fase Tektonik Akhir
Fase tektonik akhir yang terjadi adalah pada Pliosen - Pleistosen,
dimana terjadi proses kompresi kembali dan terbentuk perangkap -
perangkap struktur berupa sesar - sesar naik di jalur Selatan Cekungan Jawa
Barat Utara. Sesar - sesar naik yang terbentuk adalah sesar naik Pasir jadi
dan sesar naik Subang, sedangkan pada jalur utara Cekungan Jawa Barat
Utara terbentuk sesar turun berupa sesar turun Pamanukan. Akibat adanya
perangkap struktur tersebut terjadi kembali proses migrasi hidrokarbon.
Fase Tektonik Akhir ini di ilustrasikan pada Gambar 3.8.

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 23


Gambar 3.8 Penampang Tektonik Geologi Miosen Akhir - Resen
(Sumber: Martodjojo, 2003)

3.3 Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara


Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara mempunyai kisaran umur dari kala
Eosen Tengah sampai Kuarter. Deposit tertua adalah pada Eosen Tengah, yaitu
pada Formasi Jatibarang yang terendapkan secara tidak selaras di atas Batuan
Dasar. Urutan startigrafi regional dari yang paling tua sampai yang muda adalah
Batuan Dasar, Formasi Jatibarang, Formasi Cibulakan Bawah (Talang Akar,
Baturaja), Formasi Cibulakan Atas (Massive, Main, Pre-Parigi), Formasi Parigi
dan Formasi Cisubuh, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3.9.

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 24


Gambar 3.9. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara
(Sumber: Arpandi dan Padmosukismo, 1975)

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 25


1) Batuan Dasar
Batuan dasar adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang berumur
Kapur Tengah sampai Kapur Atas dan batuan metamorf yang berumur Pra -
Tersier (Sinclair dkk., 1995). Lingkungan pengendapannya merupakan
suatu permukaan dengan sisa vegetasi tropis yang lapuk (Koesoemadinata,
1980).
2) Formasi Jatibarang
Formasi Jatibarang tersusun oleh endapan early synrift, terutama
dijumpai pada bagian tengah dan timur dari Cekungan Jawa Barat Utara.
Pada bagian barat cekungan ini (daerah Tambun - Rengasdengklok),
kenampakan Formasi Jatibarang tidak banyak (sangat tipis) dijumpai. Pada
bagian bawah Formasi ini, tersusun oleh tuff bersisipan lava (aliran),
sedangkan bagian atas tersusun oleh batupasir. Formasi ini diendapkan pada
fasies continental - fluvial. Minyak dan gas di beberapa tempat pada rekahan
- rekahan tuff. Umur Formasi ini adalah dari kala Eosen Akhir sampai
Oligosen Awal. Formasi ini terletak secara tidak selaras di atas Batuan
Dasar.
3) Formasi Talang Akar
Pada synrift berikutnya diendapkan Formasi Talang Akar. Pada
awalnya Formasi ini memiliki fasies fluvio - deltaic sampai fasies marin.
Litologi Formasi ini diawali oleh perselingan sedimen batu pasir dengan
serpih non - marin dan diakhiri oleh perselingan antara batu gamping, serpih
dan batu pasir dalam fasies marin. Ketebalan Formasi ini sangat bervariasi
dari beberapa meter di Tinggian Rengasdengklok sampai 254 m di Tinggian
Tambun - Tangerang, hingga diperkirakan lebih dari 1500 m pada pusat
dalaman Ciputat.
Pada akhir sedimentasi, Formasi Talang Akar ditandai dengan
berakhirnya sedimen synrift. Formasi ini diperkirakan berkembang cukup
baik di daerah Sukamandi dan sekitarnya. Formasi ini diendapkan pada kala
Oligosen sampai dengan Miosen Awal. Pada Formasi ini juga dijumpai
lapisan batubara yang kemungkinan terbentuk pada lingkungan delta.

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 26


Batubara dan serpih tersebut merupakan batuan induk untuk hidrokarbon.
4) Formasi Baturaja
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar.
Litologi penyusun Formasi Baturaja terdiri dari baik yang berupa paparan
maupun yang berkembang sebagai reef build up (menandai fase post rift)
yang secara regional menutupi seluruh sedimen klastik pada Formasi Talang
Akar di Cekungan Jawa Barat Utara. Pada bagian bawah tersusun oleh batu
gamping masif yang semakin ke atas semakin berpori. Perkembangan batu
gamping terumbu umumnya dijumpai pada daerah tinggian. Namun,
sekarang di ketahui sebagai daerah dalaman. Selain itu juga ditemukan
dolomit, interkalasi serpih glaukonit, napal, chert, batubara. Formasi ini
terbentuk pada kala Miosen Awal sampai Miosen Tengah (terutama dari
asosiasi foraminifera). Lingkungan pembentukan formasi ini adalah pada
kondisi laut dangkal, air cukup jernih, sinar matahari cukup (terutama dari
melimpahnya foraminifera Spiroclypens Sp). Ketebalan Formasi ini berkisar
pada (50-300) m.
5) Formasi Cibulakan
Formasi ini terdiri dari perselingan antara serpih dengan batu pasir dan
batu gamping. Batu gamping pada satuan ini umumnya merupakan batu
gamping klastik serta batu gamping terumbu yang berkembang secara
setempat - setempat. Batu gamping terumbu ini dikenal sebagai Mid Main
Carbonate (MMC). Formasi ini dibagi menjadi 2 (dua) anggota, yaitu
anggota Cibulakan Atas dan anggota Cibulakan Bawah. Pembagian anggota
ini berdasarkan perbedaan lingkungan pengendapan, dimana anggota
Cibulakan Bawah merupakan endapan transisi (paralik), sedangkan anggota
Cibulakan Atas merupakan endapan neritik. Anggota Cibulakan Bawah
dibedakan menjadi dua bagian sesuai dengan korelasi Cekungan Sumatera
Selatan, yaitu ; Formasi Talang Akar dan Formasi Baturaja. Secara
keseluruhan Formasi Cibulakan ini berumur Miosen Awal sampai Miosen
Tengah. Formasi Cibulakan Atas terbagi menjadi tiga anggota, yaitu :
 Massive

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 27


Anggota ini terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi
Baturaja. Litologi anggota ini adalah perselingan batu lempung dengan
batupasir yang mempunyai ukuran butir dari halus - sedang. Pada
Massive ini dijumpai kandungan hidrokarbon, terutama pada bagian
atas. Selain itu terdapat fosil foraminifera planktonik seperti
Globigerina trilobus serta foraminifera bentonik seperti Amphistegina
(Arpandi dan Padmosukismo, 1975).
 Main
Anggota Main terendapkan secara selaras di atas anggota Massive.
Litologi penyusunnya adalah batu lempung berselingan dengan batu
pasir yang mempunyai ukuran butir halus - sedang (bersifat
glaukonitan). Pada awal pembentukannya, berkembang batu gamping
dan juga blangket - blangket pasir, dimana pada bagian ini dibedakan
dengan anggota Main itu sendiri yang disebut dengan Mid Main
Carbonat.
 Pre Parigi
Anggota Pre-Parigi terendapkan secara selaras di atas anggota
Main. Litologinya adalah perselingan batu gamping, dolomit, batu pasir
dan batu lanau. Anggota ini terbentuk pada kala Miosen Tengah -
Miosen Akhir dan diendapkan pada lingkungan Neritik Tengah -
Neritik Dalam (Arpandi dan Padmosukismo, 1975), dengan
dijumpainya fauna - fauna laut dangkal dan juga kandungan batu pasir
glaukonitan.
6) Formasi Parigi
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Cibulakan Atas.
Litologi penyusunnya sebagian besar adalah batu gamping abu - abu terang,
berfosil, berpori dengan sedikit dolomit. Adapun litologi penyusun yang lain
adalah serpih karbonatan, napal yang dijumpai pada bagian bawah. Selain
itu, kandungan koral dan alga cukup banyak dijumpai selain juga bioherm
dan biostrom. Pengendapan batugamping ini melampar ke seluruh
Cekungan Jawa Barat Utara.

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 28


Lingkungan pengendapan Formasi ini adalah laut dangkal - neritik
tengah (Arpandi dan Padmosukismo, 1975). Formasi Parigi berkembang
sebagai batu gamping terumbu, namun di beberapa tempat ketebalannya
menipis dan berselingan dengan napal. Batas bawah Formasi Parigi ditandai
dengan perubahan berangsur dari batuan fasies campuran klastika karbonat
dari Formasi Cibulakan Atas menjadi batuan karbonat Formasi Parigi.
Kontak antara Formasi Parigi dengan Formasi Cisubuh yang berada di
atasnya sangat tegas yang merupakan kontak antara batu gamping bioklastik
dengan napal yang berfungsi sebagai lapisan penutup. Formasi ini
diendapkan pada kala Miosen Akhir - Pliosen.
7) Formasi Cisubuh
Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Parigi. Litologi
penyusunnya adalah batu lempung berselingan dengan batu pasir dan serpih
gampingan. Umur Formasi ini adalah kala Miosen Akhir sampai Pliosen -
Pleistosen. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal yang
semakin ke atas menjadi lingkungan litoral - paralik.

3.4 Petroleum System Cekungan Jawa Barat Utara


Hampir seluruh Formasi Cekungan Jawa Barat Utara dapat menghasikan
hidrokarbon yang mempunyai sifat berbeda, baik dari lingkungan pengedapan
maupun porositas batuannya. Model Petroleum system pada Cekungan Jawa Barat
Utara ditunjukkan pada Gambar 3.10.

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 29


Gambar 3.10. Petroleum system Cekungan Jawa Barat Utara
(Sumber: Budiyani dkk., 1991).

a. Bantuan Induk (Source Rock)


Pada Cekungan Jawa Barat Utara terdapat tiga tipe utama batuan induk,
yaitu lacustrine shale (oil prone), fluvio deltaic coals, fluvio deltaic shales (oil
dan gas prone) dan marin claystone (bacterial gas). Studi geokimia dari minyak
mentah yang ditemukan di Pulau Jawa dan lapangan lepas pantai Arjuna
menunjukan bahwa fluvio deltaic dan shale dari Formasi Talang Akar bagian
atas berperan dalam pembentukan batuan induk yang utama. Beberapa peran
serta dari lacustrine shales juga ada, terutama pada sub - Cekungan Jatibarang.
Kematangan batuan induk di Cekungan Jawa Barat Utara ditentukan oleh
analisis batas kedalaman minyak dan kematangan batuan induk pada puncak
Gunung Jatibarang atau dasar / puncak dari Formasi Talang Akar atau bagian
bawah dari Formasi Baturaja (Reminton dan Pranyoto, 1985).
1) Lacustrine Shale
Terbentuk pada suatu periode syn rift dan berkembang dalam 2 macam
fasies yang kaya material organik. Fasies pertama adalah fasies yang
berkembang selama initial - rift fill. Fasies ini berkembang pada Formasi
Banuwati dan ekuivalen Formasi Jatibarang sebagai lacustrine clastic dan
Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 30
vulkanik klastik. Fasies kedua adalah fasies yang terbentuk selama akhir syn
rift dan berkembang pada bagian bawah ekuivalen dengan Formasi Talang
Akar. Pada Formasi ini, batuan induk dicirikan oleh klastik non - marin
berukuran kasar dan interbedded antara batu pasir dengan lacustrine shale.
2) Fluvio Deltaic Coal dan Shale
Batuan induk ini dihasilkan olen ekuivalen. Formasi Talang Akar yang
dideposisikan selama post rift sag. Fasies ini dicirikan oleh coal bearing
sedimen yang terbentuk pada sistem fluvial pada Oligosen Akhir. Batuan
induk tipe ini menghasilkan minyak dan gas.
3) Marin Lacustrine
Batuan induk ini dihasilkan oleh Formasi Parigi dan Formasi Cisubuh
pada cekungan laut. Batuan induk ini dicirikan oleh proses methanogenic
bacteria yang menyebabkan degradasi material organik pada lingkungan
laut.
b. Reservoir
Semua Formasi dari Jatibarang sampai Parigi merupakan interval dengan
sifat fisik reservoir yang baik sehingga banyak lapangan mempunyai daerah
dengan cadangan yang berlipat. Cadangan terbesar adalah yang mengandung
batu pasir pada Main atau Massive dan Formasi Talang Akar. Selain itu, minyak
telah diproduksi dari rekahan volcano klastik dari Formasi Jatibarang. Pada
daerah dimana batugamping Baturaja mempunyai porositas yang baik,
akumulasi endapan yang agak besar mungkin dapat dihasilkan. Timbunan
pasokan sedimen dan laju sedimentasi yang tinggi pada daerah shelf,
diidentifikasi dari clinoforms yang menandakan adanya progradasi. Pemasukan
sedimen ini disebabkan oleh perpaduan ketidakstabilan tektonik yang
merupakan akibat dari subsiden yang terus - menerus pada daerah foreland dari
Lempeng Sunda (Hamilton, 1979). Pertambahan yang cepat dalam sedimen
klastik dan laju subsiden pada Miosen Awal diinterprestasikan sebagai sebab
dari perhentian deposisi batu gamping Baturaja. Anggota Main dan Massive
menjadi dasar dari sequence transgressive marin yang sangat lambat, kecuali
yang berdekatan dengan akhir dari deposisi anggota Main. Ketebalan seluruh
Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 31
sedimen bertambah dari 400 feet pada daerah yang berdekatan dengan
paleoshoreline menjadi lebih dari 5000 feet pada sub - Cekungan Ardjuna.
c. Tipe Jebakan (Trap)
Tipe Jebakan di semua sistem petroleum Cekungan Jawa Barat Utara sangat
mirip. Hal ini disebabkan evolusi tektonik dari semua cekungan sedimen
sepanjang batas selatan dari Kraton Sunda, tipe struktur geologi dan mekanisme
jebakan yang hampir sama. Bentuk utama struktur geologi adalah dome
anticlinal yang lebar dan jebakan dari blok sesar yang miring. Pada beberapa
daerah dengan reservoir reef build up, perangkap stratigrafi juga berperan.
Perangkap stratigrafi yang berkembang umumnya dikarenakan terbatasnya
penyebaran batugamping dan perbedaan fasies. Himpunan batuan dasar pada
daerah lepas pantai Cekungan Jawa Barat Utara berkomposisi batuan metamorf
dan batuan beku. Berdasarkan umur batuan dasar, metamorfisme regional
berakhir selama zaman Kapur Akhir selama deformasi, uplift, erosi dan
pendinginan yang terus - menerus sampai dengan Paleosen (Sinclair dkk., 1995).
d. Jalur Migrasi (Proper Timing of Migration)
Migrasi hidrokarbon terbagi menjadi tiga, yaitu migrasi primer, sekunder
dan tersier. Migrasi Primer adalah perpindahan minyak bumi dari batuan induk
dan masuk ke dalam reservoir melalui lapisan penyalur (Koesoemadinata,
1980). Migrasi sekunder dianggap sebagai pergerakan fluida dalam batuan
penyalur menuju trap. Migrasi tersier adalah pergerakan minyak dan gas bumi
setelah pembentukan akumulasi yang nyata. Jalur untuk perpindahan
hidrokarbon mungkin terjadi dari jalur kedua yang lateral atau vertikal dari
cekungan awal. Migrasi lateral mengambil tempat didalam unit - unit lapisan
dengan permeabilitas horizontal yang baik, sedangkan migrasi vertikal terjadi
ketika migrasi yang utama dan langsung berupa tegak menuju lateral. Jalur
migrasi lateral berciri tetap dari unit - unit permeabel. Pada Cekungan Jawa
Barat Utara, saluran utama untuk migrasi lateral lebih banyak berupa celah batu
pasir yang mempunyai arah utara - selatan dari Formasi Talang Akar dan mirip
dengan orientasi sistem batu pasir dalam anggota Main maupun Massive
(Formasi Cibulakan Atas). Sesar menjadi saluran utama untuk migrasi vertikal
Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 32
dengan transportasi yang cepat dari cairan yang bersamaan waktu dengan
periode tektonik aktif dan pergerakan sesar.
e. Lapisan Tudung (Seal)
Lapisan penutup atau lapisan penudung merupakan lapisan impermiabel
yang dapat menghambat atau menutup jalannya hidrokarbon. Lapisan ini juga
biasa disetarakan dengan lapisan overbuden. Lapisan yang sangat baik adalah
batu lempung. Pada Cekungan Jawa Barat Utara, hampir setiap Formasi
memiliki lapisan penutup yang efektif. Namun, Formasi yang bertindak sebagai
lapisan penutup utama adalah Formasi Cisubuh karena Formasi ini memiliki
litologi yang impermiabel yang cocok sebagai penghalang bagi hidrokarbon
untuk bermigrasi lebih lanjut.

BAB IV
HASIL PEMBAHASAN

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 33


Pada praktikum penilaian formasi dilakukan sebanyak enam kali pertemuan
dan setiap pertemuan diberikan tugas untuk mengetahui pemahaman materi setiap
praktikum serta melatih praktikan untuk menganalisa data log yang diberikan.

4.1 Excercise I
Kelompok satu, kami mendapatkan Formasi Jatibarang pada kedalaman 3100
– 3540 feet. Formasi Jatibarang terdapat di Cekungan Jawa Barat yaitu secara
regional merupakan sistem busur belakang (back are system) yang terletak
diantara lempeng mikro sunda dan tunjanan lempeng India Australia. Satu hal
yang menarik adalah pada kawasan daratan telah diproduksi minyak bumi dari
batuan tuffa volkanik dan breksi dari formasi Jatibarang. Formasi ini diendapkan
pada fasies continental fluvial.
Formasi Jatibarang tersusun dari tuffa dan breksi andesit diselingi oleh
andesit porfir. Umumnya mengisi daerah – daerah rendahan dengan ketebalan
lebih dari 1200 m dan kemudian menipis kearah Barat ditinggian Rengasdengklok
berdasarkan analisa radiomentri K – Ar, formasi ini berumur Eosen akhir
Oligosen awal dan terletak tidak selaras diatas batuan batuan dasar. Aktifitas
volkanik kala itu menghasilkan endapan volkanik Formasi Jatibarang yang
mengisi daerah “Paleotopografi Low” seperti graben sesar bongkah terutama
disebelah Timur.
Periode awal sedimentasi di Cekungan Jawa Barat Utara dimulai pada kala
Eosen tengan sampai Oligosen awal (fase transgresi). Pada periode ini dihasilkan
sedimentasi volkanik darat – laut dangkal dari formasi Jatibarang (Martodjojo,
2003) saat aktifitas vulkanisme meningkat. Hal ini berhubungan dengan interaksi
antar lempeng disebelah Selatan pulau Jawa, akibatnya daerah – daerah yang
masih stabil menjadi sering mengalami aktifitas tektonik. Material – material
vulkanik dari arah Timur mulai diendapkan.
Selanjutnya kami akan menjelaskan tentang Mud Log dari formasi yang
kelompok kami dapat yaitu Formasi Jatibarang. Berikut intrepretasi yang saya
dapat jelaskan :
1) Kedalaman 3100 – 3200 ft

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 34


 Presentase batuan yang terdapat di formasi kedalam ini ialah Tuff 85
% dan Conglomerate 15 %
 Rate Of Penetration (ROP) 1 – 49
Skala ROP mengalami perubahan defleksi yang begitu signifikan
dikarenakan adanya batuan sisipan pada formasi seperti pada
kedalaman 3170 – 3190 deflekai dengan jarak yang tidak jauh
karena jarak antar perlapisan batuan tidak tebal maka peribahan ROP
sangat cepat dalam jarak kedalam yang tidak jauh.
 WOB
Terjadi defleksi karena lapisan pada formasi tersebut keras tetapi
dikedalam 3170 – 3190 terjadi penurunan drastis sebab pada lapisan
tersebut terdapat oil show yang mempunyai kualitas trace dan poor
tetapi tidak memiliki oil karena ada pada lapisan metamorf dan
presentase gas.
 Lithologi
Terdapat lapisan batuan metamorf dimana batuan tersebut berasal
atau dikeluarkan selama letusan gunung berapi yaitu material
vulkanik dan lapisan tersebut terdapat sisipan batuan konglomerat
yang diketahui bahwa lingkungan pengendapan ada dipantai.
 Oil Show
Trace :
C1= 600.000; C2 = 680.000; C3= 610.000; C4= 500.000; C5= 520.000
Perkiraan nilai yang didapat pada gas chromatograf seperti diatas.
Dan diketahui perhitungan yang didapat :
Wh = 0,79; Bh = 0,78; Ch = 1,67

Dimana :
Wh = 0,5 – 17 merupakan gas potensial.
Bh = Bh < Wh dindikasi merupakan minyak, gas atau condensate.
Ch = Ch > 0,5 gas / oil atau condensate.

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 35


Disimpulkan bahwa Oil Show 2 dan 3, diperkirakan memiliki
presentase yang sama dengan dengan Oil Show yang pertama. Tetapi
Oil Show ke 4 yang kualitasnya adalah Poor diperkirakan memiliki
potensial oil tetapi tidak banyak karena itu tidak dilakukan coring.
2) Kedalaman 3200 – 3300 ft
 Presentase batuan :
Shale 50 %, Conglomerate 10 %, Limestone 5 %, Tuff 35 %
 Rate Of Penetration (ROP) 6 - 50
Mengalami defleksi yang sangat signifikan dikarenakan terdapat
beberapa batuan atau lapisan lainnya seperti; Conglomerate,
Limestone, dan Shale kemudian mempengaruhi ROP. Lalu
penurunan yang signifikan terlihat saat kedalama 3250 ft dan
kembali normal konstant karena hanya terdapat satu lapisan batuan
yaitu Shale.
 WOB
Pada kedala 3250 ft sempat terjadinya penurunan dikarenakan
terdapat beberapa lapisan batuan lainnya yang menyebabkan tenaga
atau beban dari bit berkurang.
 RPM
Pada kedalam 3250 ft terlihat naik karena sensor signal dekat suatu
formasi yang memerlukan tenaga listrik yang tinggi untuk memutar
suatu bit dan kembali konstant.
 Litologi
Terdiri dari batuan Tuff yaitu terbentuk oleh intrusi batuan lebur /
magma terjadi kontak antara magma dan batuan bersuhu tinggi.
Selain itu, Conglomerate yang menjadi sisipan pada formasi ini
diendapkan pada pantai yang memiliki gelombang yang kuat. Lalu
limestone yang juga sebagai sisipan biasanya terendapkan pada laut
dangkal karena terbentuk dari sedimentasi hewan dan tumbuhan
karang. Kemudian, shale yang berada dikedalaman 3250 – 3300
yang diketahui memiliki lingkungan pengendapan dilaut dalam.

Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 36


Laporan Resmi Praktikum | Penilaian Formasi 37

Anda mungkin juga menyukai