Anda di halaman 1dari 2

Normative Theory dalam IR

Pada dasarnya normative theory merupakan teori yang sudah lama ada dalam lingkup
disiplin Hubungan Internasional. Namun demikian, studi-studi yang bersifat normative dalam
prakteknya tidak mendapat tempat inti dalam konstelasi hubungan internasional yang
diakibatkan oleh dominasi teori-teori positivisme yang dicirikan oleh empirisme dan
rasionalisme sebagai tolak ukurnya. Dalam perkembangannya, normative theory ternyata tidak
bisa diabaikan lagi dan dipandang sebagai teori kelas dua karena saat ini teori-teori yang
memiliki genre empiris-rasional-positivis tidak sepenuhnya dapat memberi jawaban yang
memuaskan atas fenomena Hubungan internasional yang ada karenanya tidaklah berlebihan jika
banyak bermunculan teori-teori alternatif sebagai check and balance atas teori-teori yang ada
sebelumnya salah satunya adalah normative theory. Lebih lanjut, Steve Smith mengasumsikan
studi hubungan internasonal sekarang ini sedang memperhatikan kembali teori normative. Dalam
telusur penulis isi teori normative sejatinya berkisar pada isu-isu bagaimana entitas yang ada
dapat memperoleh kehidupan internasional yang lebih baik sepeti isu kesetaraan laki-laki dan
perempuan, HAM, Kedaulatan dan sebagainya. Dalam beberapa klausulnya, teori normative
rupanya cenderung merujuk kepada pemikiran-pemikiran filsafat politik dari Immanuel Kant,
Rousseau, Herdeger, Hegel. ide-ide pemikiran mereka sedikit banyak telah menjadi dasar dan
pemikiran sentral normative theory. Adapun tujuan merujuk kepada ide-ide para pemikir tersebut
yaitu untuk mengharmoniskan kembali filsafat dengan Hubungan Internasional yang masing-
masing cenderung berjalan terpisah selama empat dekade kebelakang.
Pemikiran tentang etik fenomena hubungan internasonal merupakan salah satu agenda
utama normative teory dalam studi hubungan internasional. Studi dari Chris Brown misalnya,
memusatkan perhatiannya pada isu ini. Studi yang dilakukan Brown setidaknya menunjukkan
bagaimana perdebatan etik dalam studi hubungan internasional merupakan refleksi dari
perdebatan antara communitarianism dan cosmopolitanism. Dalam hal ini, Brown
menyimpulkan bahwa Studi Hubungan Internasional selama ini telah mengambil pendekatan
yang salah, karenanya tidak mampu memberikan penilaian yang tepat mengenai bagaimana
teori-teori yang ada sebenarnya berkaitan, Brown menggunakan dua konsepsi teori normatif ini
sebagai pijakan. Sejalan dengan Chris Brown di atas Steve Smith memandang sekarang disiplin
hubungan internasional mulai hirau dengan hal-hal yang bersifat normative, ia telah berhasil
menjadi pijakan teoritis yang sejajar dengan teori-teor besar HI yang lain. Topik-topik yang
menjadi kajiannya cukup beragam, mulai dari intervensi, hak-hak asasi manusia, keadilan
Internasional (international society), moral internasional dan etika dalam politik luar negeri.
Perkembangan ini jelas menunjukkan kembalinya suasana yang “seimbang” dalam studi
hubungan internasional yang selama beberapa waktu terlalu menekankan aspek “empiris” dari
kajian-kajiannya.

Ada beberapa tokoh dalam normative theory, salah satunya ialah Chris Brown yang
merupakan salah satu tokoh teori normatif kontemporer yang menjelaskan pertentangan utama
tentang politik dunia dalam dua pandangan moral yang berlawanan antara "kosmopolitanisme"
dan "komunitarianisme". Jika ditelusuri secara sederhana kosmopolitan adalah doktrin normatif
yang memfokuskan pada individu manusia dan komunitas manusia secara keseluruhan sebagai
unit politik dunia yang yang mengemban hak dan kewajiban dasar, sedangkan komunitarian
adalah doktrin normatif yang memfokuskan pada komunitas politik (biasanya negara) sebagai
unit normatif penting bagi politik dunia di mana hak, kewajiban, dan kepentingannya memiliki
prioritas atas semua ketegori dan agen normatif lainnya (Shaumil, 2008: 226). Lebih dari itu,
menurut Brown dalam buku yang di tulis Jackson dan Sorensen, "sebagian besar dari teori
normatif kontemporer berkenaan dengan penilaian doktrin moral yang berlawanan. Salah satu
tugas teori normatif adalah menentukan yang mana dari dua doktrin penting ini yang memiliki
prioritas lebih" (Jackson dan Sorensen, 2009: 312). Terlepas dari itu, secara umum perdebatan
antar keduanya berkisar pada pertanyaan seperti: apakah terdapat basis bagi hak dan kewajiban
antara negara-negara dalam politik dunia atau apakah hak dan kewajiban ini tidak lebih baik
dibebankan pada individu-individu, baik individu-individu perseorangan atau seluruh individu
sebagai unit humanitas. Selain itu juga muncul pertanyaan nomatif berikutnya seperti; dapatkah
kedaulatan suatu negara dapat dilanggar dengan alasan-alasan normatif, seperti penegakan HAM
di Myanmar. Terkait dengan ini, Mervyn Frost (1996) mempertanyakan hal mendasar seperti
moralitas individu dan moralitas komunitas politik. Menurut Frost (Sorensen 2009: 312) jika kita
menganggap negara lebih penting daripada institusi lain maka keadaan tertentu yang akan
dihadapi individu adalah kewajiban warganegaranya dalam mengorbankan hidupnya untuk
menjaga negaranya.

Anda mungkin juga menyukai