Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

FPDA DALAM SECURITY COMPLEX ASIA

(STUDI KASUS SECURITY COMPLEX MALAYSIA DAN CHINA DALAM


KONFLIK PEREBUTAN PULAU SPARATLY DAN PARACEL DI LAUT CHINA
SELATAN)

1.1. Latar Belakang

Sebagaimana menjadi mafhum bersama di antara sekian banyak fenomena keamanan


yang ada, fenomena tentang security complex regional sejatinya menjadi salah satu fenomena
yang cukup menarik untuk dikaji dan ditelaah bersama, bukan karena fenomena yang
tercakup dalam security complex itu sendiri namun karena keberadaan security complex yang
penuh akan dinamika dan teka-teki di mana hal tersebut pastinya membuat banyak pihak
terangsang untuk mengikuti dan menelusurinya. Lebih dari itu, satu hal yang paling krusial
untuk diperhatikan tekait dengan security complex regional adalah persoalan security
merupakan suatu hal yang relatif relational. Dikatakan demikian karena situasi dan kondisi
keamanan suatu kawasan disadari atau tidak akan banyak ditentukan oleh dua hal yaitu amity
dan anmity. Dua hal inilah yang kemudian mengilhami penulis tertarik untuk mengangkat
security complex yang terjadi di Asia.

Dalam analisa kami dalam satu dekade terakhir security complex sedikit banyak telah
terjadi di Asia yaitu ketika meletus konflik di lautan China Selatan yang melibatkan
sedikitnya 6 negara Asia, di mana motif konflik dipicu oleh perebutan kepulauan Spratly dan
Paracel. Kepulauan Spratly dan Paracel secara ekplisit merupakan salah satu titik konflik di
kawasan Asia. Wilayah yang saat ini diklaim oleh kurang lebih 6 negara ini belum
menemukan titik terang tentang siapa yang berhak untuk memiliki yuridiksi di sana. China,
Taiwan, Vietnam, Philipina, Malaysia, Brunei mengklaim bahwa gugusan kepulauan karang
yang berada di Laut China Selatan adalah teritorinya.

Ketegangan di antara negara-negara yang memperebutkan kepulauan ini terjadi karena


China sebagai salah satu negara yang mengklaim kepemilikan sering kali melakukan
manuver-manuver militernya di kawasan ini, baik yang dilakukan oleh angkatan udara
maupun angkatan lautnya. Adapun di antara enam negara yang terlibat dalam konflik China
selatan Malaysia adalah salah satu negara yang paling terlibat langsung dan paling intens
dalam konflik tersebut mengingat kedekatan geografis Malaysia dengan kedua pulau tersebut,
karena itu keanggotaan Malaysia dalam aliansi Five Power Defence Arrangement (FPDA)
bersama negara-negara besar seperti Australia, Selandia Baru, Singapura, Malaysia dan
Inggris dalam perkembangannya disadari atau tidak telah berpengaruh terhadap semakin
alotnya security complex yang terjadi di kawasan Asia pada umumnya dan kawasan ASEAN
pada khususnya. Inilah yang melarbelakangi penulis tertarik mengangkat pemasalahan ini
untuk diangkat dalam tugas mata kuliah studi keamanan.

1.2. Rumusan Masalah

1. Mengapa security complex terjadi di Asia?


2. Bagaimanakah peran FPDA dalam security complex yang terjadi di Asia?

1.3. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui dan menganalisa mengapa security complex di Asia terjadi


2. Untuk mengetahui dan menganalisa peran FPDA dalam security complex yang terjadi
di Asia
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

Untuk menganalisa FPDA dalam security complex Asia (STUDI KASUS SECURITY
COMPLEX MALAYSIA DAN CHINA DALAM KONFLIK PEREBUTAN PULAU
SPARATLY DAN PARACEL DI LAUT CHINA SELATAN) penulis menggunakan
tinjauan teoritis sebagaimana berikut:

2.1. Aliansi Dalam Prespektif Realis


Sehubungan dengan fenomena ini realis memandang bahwa kerjasama yang
dilakukan dengan aliansi dimungkinkan bagi negara yang tidak memiliki atau kurang
mempunyai power sebagai cara bagi suatu negara untuk meningkatkan kapabilitas
powernya. Tujuan dari kerjasama ini selain untuk melindungi diri dari serangan lawan
tetapi dapat dijadikan sebagai upaya untuk membuat balance of power terhadap musuh
yang lebih kuat. “The suggest of Melian dialogue alliance also useful mechanism to deny
allies to rival and potential adversaries ” (Buzan, 1991). Aliansi juga menjadi sebuah
mekanisme yang dilakukan untuk menangkal serangan maupun mendapatkan bantuan
ketika sebuah negara diserang oleh musuhnya. Lebih lanjut, Sebuah aliansi sejatinya
memiliki sebuah negara besar sebagai penjamin kemanan dan pertahann atau negara yang
memiliki kekuatan besar yang melebihi negara-negara yang ada dalam aliansi tersebut.
Hal ini dalam prakteknya akan turut mencerminkan kredibilitas dari aliansi serta negara
yang terkuat akan menjadi pemimpin dari negara-negara anggotanya.
Dalam kenyataannya negara besar tersebut tentu saja akan menjadi pemasok senjata
dan teknologi maupun pelindung bagi anggotanya baik secara politis maupun secara
militer. Aliansi dibentuk dalam kerangka geografis untuk menjaga atau melindungi
anggota aliansi serta kepentingan nasional negara besar di sebuah kawasan atau regional
tertentu. Mengacu pada tinjauan aliansi ini maka bergabungnya Malaysia dalam aliansi
Five Power Defence Arrangement yang terdiri dari negara-negara besar sekaliber Inggris,
Australia, Selandia Baru dan Singapura secara otomatis pastinya akan menjadikan
Malaysia semakin kuat dan semakin confident dalam menghadapi segala kemungkinan
yang bakalan terjadi termasuk dalam konflik di laut China Selatan karena jika
kemungkinan terburuk konflik di Laut China selatan berujung pada perang Malaysia jelas
tidak sendirian, ia tentu akan disokong oleh negara-negara aliansinya karena jika suatu
negara anggota aliansi diserang atau terlibat konflik dengan negara lain maka secara
otomatis negara aliansi lain akan turut terlibat karena inilah prinsip aliansi itu sendiri.
2.2. Regional Security Complexes Theory sebagai Landasan Teoritis
Dalam memahami dan menganalisa isu keamanan suatu kawasan regional penulis
menggunakan pendekatan yang digunakan oleh Barry Buzzan, secara ekplisit Buzan
menyatakan bahwa keamanan pada dasarnya merupakan fenomena yang relasional. Oleh
karena itu, keamanan suatu negara dan suatu kawasan tidak dapat dipahami tanpa
memahami pola saling ketergantungan keamanan diantara negara-negara dikawasan
tersebut. Dalam memahami keamanan regional ini maka Buzan menawarkan suatu
konsep yang disebutnya sebagai phenomena security complex. Yang dimaksud dengan
security complex oleh Buzan didefinisikan sebagai “a group of states whose primary
security concern link together sufficiently closely that their national security cannot
realistically be considered apart from one another” (Buzan, 2003).
Dengan demikian, konsep security complex ini mencakup aspek persaingan dan juga
kerjasama diantara negara-negara yang terkait. Karakter Security Complex yang
mencakup “interdependence of rivalry as well as that of shared interest” yang berarti
bahwa saling ketergantungan antara rivalitas yang terjadi sama seperti dalam pembagian
kepentingan. Ini yang selanjutnya oleh Buzan di istilahkan dengan pola amity dan enmity
di antara negara-negara.Yang dimaksud dengan amity adalah hubungan antar negara yang
terjalin berdasarkan mulai dari rasa persahabatan sampai pada ekspektasi (expectation)
akan mendapatkan dukungan (support) atau perlindungan satu sama lain. Sedangkan yang
dimaksud dengan enmity oleh Buzan digambarkan sebagai suatu hubungan antar negara
yang terjalin atas dasar kecurigaan (suspicion) dan rasa takut (fear) satu sama lain. Masih
tetap dipertahankannya FPDA oleh negara-negara anggotanya (baca: Malaysia) salah
satunya adalah karena perkembangan militer China terkait konflik perebutan pulau
Sparatly dan Paracel di kawasan Laut China Selatan di mana hal ini dalam
perkembangannya rupanya sedikit banyak berimplikasi terhadap terjadinya security
complex di Asia.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Tinjaun tentang FPDA

Sejarah berdirinya Five Power Defence Arrangement dimulai pada tanggal 15 dan 16
April 1971 ketika Perdana Menteri Australia, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, dan
Inggris bertemu dan mengeluarkan pengumuman resmi tentang sebuah susunan politik
baru yang disebut FPDA. Hal ini adalah kejadian bersejarah dalam relasi Inggris dengan
bekas koloninya, singapura dan Malaysia. Jika dirunut ke belakang terjadinya penurunan
relatif Inggris sebagai kekuatan ekonomi militer pada akhir 60an secara otomatis
memunculkan kebutuhan urgen baru pemerintah Inggris yaitu menaksir ulang
prioritasnya. Hasilnya, pemerintah Inggris mengumumkan pada Januari 1968 bahwa
Inggris akan menarik pasukan tentaranya keluar dari Singapura dan Malaysia pada tahun
1971. Konsekuensinya, muncul keperluan untuk meninjau persetujuan pertahanan Anglo-
Amerika 1957 dan keputusan dibuat untuk menggantikan lepasnya kerangka politik
konsultatif. Sebagai gantinya, Inggris akan memberikan jaminan-jaminan kongkret untuk
Malaysia dan Singapura dalam hal jika terjadi sebuah serangan atau ancaman terhadap
keduanya yaitu berupa diikutsertakannya kedua koloni tersebut dalam aliansi FPDA.
Terkait dengan ini PM Asutralia, Selandia Baru, Inggris akan mengonsultasikan secara
bersama untuk tujuan pemutusan apakah ukuran-ukuran akan diambil secara bersama-
sama atau terpisah dalam hubungannya dengan serangan atau ancaman yang dihadapi
oleh Malaysia dan Singapura.

FPDA secara historis didirikan pada tahun 1971 yaitu untuk memperlengkapi
pertahanan udara semenanjung Malaysia dan Singapura yang diikuti penarikan kekuatan
militer Inggris. Sepanjang dekade pertama dari eksistensinya, FPDA mengendalikan
sedikit latihan-latihan pertahanan udara. Semenjak kemudian, program latihan reguler
meningkat dalam ukuran, skop, dan kompleksitasnya. Semenjak akhir 1980 FPDA
terlihat sebagai sebuah kebangkitan antusiasme negara-negara anggota terhadap latihan-
latihan multilateral. Tidak hanya memiliki ukuran latihan yang meningkat tapi skop dan
kompleksitas latihan telah meluas. Tahun 1997 terlihat sebagai inaugurasi EX FLYING
FISH, sebuah kombinasi dari EX STARFISH dan MAJOR ADEX yang melibatkan 35
perahu, 140 aircraft dan 2 kapal selam. Elemen paling tampak dari FPDA adalah markas
besar sistem defence area yang terintegrasi. Markas besar yang dikomandoi oleh marshal
royal angkatan udara Australia, terdiri dari 40 orang, yang ditarik dari lima negara aggota
FPDA. Peran inisialnya benar-benar mengakar dalam pertahanan udara dari perbatasan
udara Malaysia dan Singapura. Hal tersebut, sekarang secara reguler menggunakan
kekuatan FPDA dalam dua hal yaitu kekuatan udara dan operasi naval yang bergerak atas
integrasi lengkap elemen-elemen tentara yang diarahkan sebagaimana diarahkan oleh
para PM 5 negara anggota FPDA pada tahun 2000. (lihat di www.globalsecurity org.)

3.2. FPDA dalam Security Complex Asia/Studi Kasus Konflik Laut China Selatan
(sebuah telaah tentang security complexes Malaysia-China).
Dilihat dari sisi amity, hubungan antar Malaysia-China sejauh ini banyak dipengaruhi
oleh hubungan bilateral keduanya utamanya dalam sektor perdagangan. Dalam sektor ini,
China Malaysia terlihat cukup harmonis karena keduanya saling menggantungkan satu
sama lain, China membutuhkan pangsa pasar untuk memasarkan produk dalam negerinya
begitupun juga Malaysia. Namun dilihat dari sisi anmity hubungan keduanya tidaklah
demikian dalam beberapa dekade terakhir China sejatinya telah menjelma sebagai salah
satu kekuatan militer terbesar di kawasan Asia. Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai
pengembangan senjata yang dilakukan oleh China, baik pada angkatan darat, laut dan
udara. Merujuk kepada data yang dirilis oleh Global Future Institute secara ekplisit
menyebutkan bahwa Tentara Aktif China berjumlah 2.255.000 (dua juta dua ratus lima
puluh lima ribu) orang. Tentara cadangan, 800.000 (delapan ratus ribu) orang. Para
militer aktif 3.969.000 (tiga juta sembilan ratus enampuluh sembilan ribu) orang. Dalam
Angkatan Darat, China memiliki senjata bebasis darat sejumlah 31.300, tank sejumlah
8200, kendaraan pengangkut pasukan sebesar 5000, meriam sejumlah 14.000, senjata
pendorong 1.700, sistem peluncur roket 2.400, mortir sejumlah 16.000, senjata kendali
anti tank 6500, dan senjata anti-pesawat 7.700. Di aspek laut, China pun cukup berjaya.
China memiliki kapal perang yang berjumlah 760 unit, kapal pengangkut 1822 unit,
pelabuhan utama 8, pengangkut pesawat 1 unit, kapal penghancur 21 unit, kapal selam 68
unit, fregat 42 unit, kapal patroli pantai 368 unit, kapal penyapu ranjau sekitar 39 unit,
dan kapal amphibi sekitar 121 unit. Dalam bidang Angkatan Udara, China mempunyai
jumlah pesawat 1900 unit. Helikopter 491 unit, lapangan udara 67 unit.
Dalam perkembangannya, China dengan kualitas ekonomi dan kualitas militer yang
sangat besar akan terus berkembang dan pelan tapi pasti akan muncul sebagai sebuah
superpower baru dikawasan Asia. Hal ini membawa perubahan pada peta kekuatan
negara-negara Asia pada umumunya tidak terkecuali pada kawasan Asia Tenggara pada
khususnya. Secara riil, China telah mengukuhkan dirinya sebagai “negara maritim” pada
tahun 1978 dan telah membentuk angkatan lautnya setara dengan yang disebut dengan
“Blue Waters” yang setara dengan kekuatan dari Angkatan Laut AS dan Angkatan Laut
Inggris (Buzan, 2003). Dengan angkatan lautnya China berambisi untuk mengukuhkan
eksistensinya di kawasan Asia Tenggara dan Samudera Hindia. Pembangunan dermaga
yang dilakukan China di kawasan pantai timur akan memudahkan bagi kapal komersil
maupun kapal perang China untuk dapat beroperasi di kawasan ini. Walaupun hal ini
tentu saja dibantah oleh pemerintah China namun dari gelagat dan perilaku yang
ditunjukan, China setidaknya telah berusaha untuk menjadi hegemon dikawasan Asia
Tenggara, China ingin mengulangi kebesarannya pada masa lalu dimana secara historis
negara ini pernah menjadi hegemon dikawasan ini. China memiliki kepentingan yang
cukup besar dikawasan ini salah satu yang saat ini menjadi perhatian adalah sengketa
yang terjadi di Laut China Selatan terhdapa kepulauan Spratly dan Paracel. Dan terkait
dengan ini, China secara pasti akan berhadapan dengan 5 negara yang sama-sama
mengklaim kepemilikan dua pulau tersebut di mana salah satu negara yang akan intens
dihadapi China adalah Malaysia. Kedekatan geografis Malaysia dengan kedua pulau yang
disengketakan serta semakin confidennya Malaysia karena didukung oleh aliansi FPDA
adalah sekelumit fakta betapa menariknya fenomena ini.
Kepulauan Spratly dan Paracel merupakan salah satu titik konflik di kawasan Asia.
Wilayah yang saat ini diklaim oleh kurang lebih 6 negara ini belum menemukan titik
terang siapa yang berhak untuk memiliki yuridiksi di sana. China, Taiwan, Vietnam,
Philipina, Malaysia, Brunei mengklaim bahwa gugusan kepulauan karang yang berada di
Laut China Selatan adalah teritorinya. Ketegangan di antara negara-negara yang
memperebutkan kepulauan ini terjadi karena China sebagai salah satu negara yang
mengklaim kepemilikan sering kali melakukan manuver-manuver militernya dikawasan
ini, baik yang dilakukan oleh angkatan udara maupun angkatan lautnya. Seiring dengan
kemampuan militer China yang semakin hari semakin berkembang banyak negara
ASEAN yang kemudian mengembangkan sistem persenjataan, tetapi kemampuan yang
dimiliki masih sangat kecil dan terbatas. Negara yang memiliki kemampuan dalam
mengembangkan senjata tersebut dalam tingkatan memadai adalah Singapura yang
walaupun tidak terlibat dalam konflik diwilayah Laut China Selatan tetapi merasa dirinya
harus bersiap menghadapi segala kemungkinan serangan. Malaysia pun sebagai negara
yang secara langsung berkonflik di wilayah ini senantiasa bersiaga dengan ancaman yang
berasal dari China. Selain dengan peningkatan persenjataan angkatan laut dan udaranya,
Malaysia pun masih tergabung dalam kerjasama pertahanan negara-negara
Commonwealth yang dikenal dengan Five Power Defence Agreement atau FPDA.
Pada kenyataanya upaya modernisasi yang dilakukan Malaysia terhadap angkatan
bersenjatanya ternyata belum dapat menandingi kemampuan China apabila harus
berkonfrontasi secara langsung di Laut China Selatan. Oleh karena itu keanggotaan
Malaysia di FPDA dirasakan menjadi sebuah langkah tepat dalam menggalang kekuatan
dan solidaritas antar sesama bekas jajahan Inggris yang didalamnya terdapat negara besar
seperti Inggris, Australia serta Selandia Baru dan bahkan kekuatan baru di Asia Tenggara
yaitu Singapura. Walaupun gabungan kekuatan lima negara ini secara teknis belum dapat
menandingi China tetapi secara politis dan militer dapat menjadi semacam deterrence
bagi Malaysia untuk berhadapan dengan China. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
dengan mengadakan latihan militer bersama dikawasan Laut China Selatan pada bulan
Oktober 2009 dengan melibatkan tiga kekuatan angkatan bersenjata lima negara tersebut.
Kegiatan ini bisa dimaksudkan sebagai show of force dari negara-negara FPDA serta
pengenalan medan bagi anggota negara aliansi lain apabila harus berkonflik di kawasan
ini. FPDA akan menjadi semacam balancer bagi hegemoni kekuatan militer China di
kawasan Asia Tenggara. Karena selain Singapura tidak ada negara di kawasan ini yang
memiliki cukup kekuatan dalam menandingi China. ASEAN memang memiliki kerangka
ASEAN Regional Forum (ARF) maupun ASEAN Security Community (ASC) namun hal
ini tidak efektif mengingat kedua bentuk kerjasama tersebut tidak secara implisit maupun
eksplisit menyinggung kerjasama militer apabila ada serangan dari luar. Kedua kerangka
tersebut hanya digunakan dalam upaya meredam konflik antar negara ASEAN maupun
dengan negara diluar ASEAN dalam bentuk dialog. Bentuk tersebut tidak akan efektif
mengingat masing-masing negara tetap pada keyakinan mereka atas kepemilikan wilayah
tersebut. ASEAN tidak dapat mencampuri kebijakan luar negeri yang diambil negara
anggotanya.
Selain dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara ketegangan yang terjadi di
Laut China Selatan ini telah membawa salah satu superpower dunia yatu Amerika Serikat
dalam konflik ini. AS terbawa dalam konflik ini bukan dalam rangka mengklaim wilayah
seperti yang dilakukan oleh 5 negara lainnya tetapi karena penghadangan yang dilakukan
terhadap kapal pengintai milik Amerika Serikat yang dilakukan oleh 5 kapal perang
China di Laut China Selatan sekitar selatan Pulau Hainan pada Minggu 8 Maret 2009
(Kompas, 9 Maret 2009). Insiden ini membuat hubungan antara kedua negara menjadi
tegang di mana China beranggapan bahwa kehadiran kapal pengintai milik AS adalah
untuk melakukan tindakan mata-mata dikawasan ini. Selang beberapa hari setelah
kejadian tersebut terjadi konflik yang kembali melibatkan AS, kali ini kapal penelitian
USNS Impeccable yang dihadang dan diganggu aktivitasnya oleh lima kapal penangkap
ikan China. Kapal peneliti Amerika Serikat (AS) yang tengah berada di perairan RRC
dekat Pulau Hainan, USS Impeaccable, pada 10 Maret 2009 lalu dipergoki oleh lima
kapal tangkap China, dua di antaranya kapal traw.
Kejadian ini tentu saja membuat AS merasa terganggu, sebagai sebuah negara besar
AS tidak mau mundur begitu saja. AS kemudian mengirimkan kapal-kapal perusak untuk
mengawal aktivitas USNS Impeccable. AS menganggap bahwa aktivitas penelitian yang
dilakukan oleh kapalnya masih berada dalam zona perairan internasional. China
mengklaim apa yang dilakukan oleh AS telah memasuki wilayah perairan territorial
China yang diklaim berdasarkan kepemilikan terhadap kepulauan Spratly dan Paracel
tersebut. Kehadiran armada AS dikawasan ini tentu saja akan menambah tegang suasana
di perairan ini. AS yang jelas-jelas mendukung eksistensi dari Taiwan sebagai negara
membuat China merasa terancam dan mensiagakan armadanya yang berada di Hainan.
Selain Taiwan AS pun dekat dengan Inggris sebagai sekutu utama yang menjadi negara
pendukung utama FPDA. Kehadiran dan provokasi AS di atas tampaknya untuk
mencegah manuver-manuver yang dilakukan oleh China terhadap para sekutunya di
kawasan Asia Tenggara maupun Asia Timur yang tengah memperebutkan wilayah
perairan ini selain misi pengawalan kapal penelitian tersebut. Konflik yang terjadi
dikawasan ini tengah menjadi isu internasional ketika kekuatan-kekuatan diluar kawasan
masuk kedalamnya. Dalam hal ini, AS tentu saja akan memberikan dukungan yang lebih
terhadap sekutunya yang berada dalam aliansi FPDA.
Kekuatan-kekuatan asing yang hadir dikawasan Laut China Selatan antara lain AS
sebagai superpower dan negara-negara yang tergabung dalam FPDA seperti Inggris,
Australia, Selandia Baru maupun Singapura untuk mendukung Malaysia rupanya
membawa efek tersendiri bagi upaya penyelesaian permasalahan ini. Hadirnya kekuatan
asing ini akan menjadi penyeimbang ketika China menjadi hegemon pada kawasan ini.
Kehadiran negara-negara besar pada konflik ini membawa China maupun negara-negara
lain pada sebuah pilihan rasional ketika akan memutuskan berkonflik dalam artian
ekstrim alias konfrontasi militer. China akan berfikir mengenai kerugian serta efek
terhadap ekonomi apabila harus berkonflik terbuka dengan salah satu negara besar yang
menjadi pendukung salah satu negara yang berkonflik dengannya. Kondisi ini merupakan
sebuah pilihan yang cukup logis bagi China mengingat kepentingan-kepentingan lain
yang masih harus dipenuhi seperti ekonomi dan peningkatan kemampuan militernya.
Ekonomi dan militer akan digunakan China untuk menyelesaikan persengketaan yang
dihadapi dilaut China Selatan ini. Kepulauan Spratly dan Paracel yang disengkatakan di
laut China Selatan saat ini mestinya berstatus quo karena belum jelas siapa pemiliknya
serta adanya tumpang tindih garis klaim dari masing-masing negara.
Walaupun seringkali terjadi gesekan-gesekan antar negara-negara yang mengklaim
wilayah ini namun untungnya hal tersebut sampai sekarang ini tidak sampai terbawa pada
konflik terbuka. Terlepas dari itu, harus diakui bahwa keberadaan wilayah yang menjadi
persengketaan akan senantiasa memicu berbagai ketegangan di antara negara-negara yang
berkepentingan maupun yang berada di belakang negara yang berkepentingan. Inilah
gambaran security complex yang terjadi di kawasan ASEAN yang melibatkan Malaysia,
FPDA, China dan Amerika Serikat.
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan paparan di atas, berikut adalah kesimpulan penulis:

1. Security complex terjadi di Asia karena dipicu oleh perebutan pulau Separatly dan
Paracel yang notabene masih berstatus quo di mana kedua pulau tersebut
disengketakan oleh 6 negara Asia, yaitu China, Taiwan, Vietnam, Brunei, Filipina dan
Malaysia. Dalam hal ini security complex semakin akut karena China kerapkali
melakukan manuver-manuver militer di perbatasan laut China Selatan dekat kedua
pulau yang masih tidak jelas yurisdiksinya tersebut. Aksi dan manuver China di atas
dalam perkembangannya sedikit banyak telah memancing negara-negara lain yang
terlibat dalam konflik perebutan kedua pulau untuk melakukan langkah-langkah
antisipatif. Namun di antara negara-negara yang terlibat konflik perebutan pulau
separatly dan paracel dengan China Malaysia tergolong sebagai negara yang intens
terlibat. Kedekatan geografis Malaysia dengan kedua pulau di atas dan sokongan
FPDA terhadap Malaysia adalah rasionalisasi mengapa dalam beberapa momentum
terakhir konflik perebutan pulau Separatly dan Paracel didominais oleh dua negara,
China versus Malaysia.
2. Peran FPDA dalam security complex yang terjadi di Asia, adalah FPDA menjadi
balancer bagi hegemoni China di Asia di mana adanya kekuatan FPDA dan sekutunya
(baca: Amerika Serikat) yang berjaga-jaga di perairan pulau Separatly dan Palace
dekat laut China Selatan secara tidak langsung sedikit banyak telah berimplikasi pada
semakin meredanya sikap arogan China dalam kasus perebutan kedua pulau tersebut.
Adanya latihan perang bersama Malaysia dengan negara-negara anggota FPDA
adalah bentuk andil FPDA dalam membantu Malaysia terkait dengan konflik
Malaysia dengan China. Latihan perang bersama tersebut sejatinya merupkan show
force Malaysia dan FPDA terhadap China.
DAFTAR PUSTAKA

Barry Buzan dan Ole Waever, 2003. Regions and Power: The Structure of International
Security. Oxford: Cambridge University Press.

Barry Buzan, 1991. People, States, and Fear. London : Harvester Wheatsheaf.

Ken Booth, 2007. Theory of World Security. New York: Cambridge University Press

www.global.security.org.

www.global future institue.com

Kompas, 9 Maret 2009

Kompas, 11 Maret 2009.


TUGAS MAKALAH STUDI KEAMANAN DAN PERDAMAIAN

FPDA DALAM SECURITY COMPLEX ASIA

(STUDI KASUS SECURITY COMPLEX MALAYSIA DAN CHINA DALAM


KONFLIK PEREBUTAN PULAU SPARATLY DAN PARACEL DI LAUT CHINA
SELATAN)

Disusun oleh :
Moh. Zahirul Alim (0811243084)

HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
2010

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat serta hidayah-
Nya kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah mata kuliah Studi Keamanan yang
berjudul “FPDA DALAM SECURITY COMPLEX ASIA (STUDI KASUS SECURITY
COMPLEX MALAYSIA DAN CHINA DALAM KONFLIK PEREBUTAN PULAU
SPARATLY DAN PARACEL DI LAUT CHINA SELATAN)“. Tujuan dari dibuatnya
makalah ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa bagaimana FPDA dalam security
complex asia khususnya dalam kasus security complex Malaysia dan China terkait konflik
perebutan pulau Sparatly dan Paracel di laut China Selatan.

Kami juga mengucapkan terima kasih banyak kepada pihak-pihak yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Masih banyak kekurangan yang terdapat
dalam makalah ini, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca
sekalian agar dapat membuat kami lebih baik ke depannya.

Malang, 12 Desember 2010

Anda mungkin juga menyukai