MALFORMASI ANOREKTAL
Disusun oleh:
Oscar Tri Joko Putra
Pembimbing:
Dr. Hery Poerwosusanta, Sp. B, Sp.BA (K). FICS
1. Definisi …………………………………………………… 3
3. Epidemiologi ……………………………………………… 9
4. Etiologi ……………………………………………………. 9
5. Klasifikasi ………………………………………………… 11
6. Patofisiologi ………………………………………………. 21
7. Diagnosis …………………………………………………. 23
8. Penatalaksanaan ………………………………………….. 31
9. Komplikasi ……………………………………………….. 40
1
DAFTAR GAMBAR
2
DAFTAR TABEL
3
DAFTAR SKEMA
perempuan ........................................................................................ 39
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
6
Gambar 1. Atresia Ani
2. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Kanalis analis merupakan bagian yang paling sempit, tetapi normal dari
ampula rekti. Menurut definisi ini, maka sambungan anorektal terletak pada
permukaan atas dasar pelvis yang dikelilingi oleh muskulus sfingter ani eksternus.
Dua pertiga bagian atas kanal ini merupakan derivat hindgut, sedangkan satu
pertiga bawah berkembang dari anal pit. Kanalis analis berasal dari proktoderm
yang merupakan invaginasi ektoderm, sedangkan rektum berasal dari entoderm.
Rektum dilapisi oleh mukosa glanduler usus, sedangkan kanalis analis oleh
anoderm yang merupakan lanjutan epitel berlapis gepeng kulit luar [3].
Daerah batas rektum dan kanalis analis ditandai dengan perubahan jenis
epitel. Perubahan jenis epitel yang terjadi adalah dari kolumner ke stratified
squamous cell. Perubahan jenis epitel ini terletak pada linea dentata atau biasa
disebut garis anorektum, garis mukokutan, atau linea pektinata. Di daerah ini
terdapat kripta anus dan muara kelenjar anus antara kolumna rektum. Infeksi yang
terjadi di daerah ini dapat menimbulkan abses sehingga anorektum dapat
membentuk fistel. Kanalis analis dan kulit luar di sekitarnya kaya akan persarafan
sensoris somatik dan peka terhadap rangsangan nyeri, sedangkan mukosa rektum
mempunyai persarafan autonom dan tidak peka terhadap nyeri. [3,4]
7
Cincin sfingter anus melingkari kanalis analis dan terdiri dari sfingter
interna dan sfingter eksterna. Sisi posterior dan lateral cincin ini terbentuk dari fusi
sfingter interna, otot longitudinal, bagian tengah dari otot levator (puborektalis),
dan komponen muskulus sfingter eksternus. Muskulus sfingter internus terdiri atas
serabut otot polos, sedangkan muskulus sfingter eksternus terdiri atas serabut otot
lurik. [3,4]
Pada bayi normal, terdapat susunan otot serat lintang yang berfungsi
membentuk bangunan seperti cerobong yang melekat pada os. Pubis, bagian bawah
sakrum, dan bagian tengah pelvis. Ke arah medial otot-otot ini membentuk
diafragma yang melingkari rektum, menyusun ke bawah sampai kulit perineum.
Bagian atas bangunan cerobong ini dikenal sebagai muskulus levator dan bagian
terbawah adalah muskulus sfingter eksternus. Pembagian secara lebih rinci dari
struktur cerobong ini adalah muskulus ischiococcygeus, illeococcygeus,
pubococcygeus, puborectalis, deep external, sfingter eksternus dan superficial
external sphinter. Muskulus sfingter eksternus merupakan serabut otot parasagital
yang saling bertemu di depan dan belakang anus. Bagian di antara muskulus levator
dan sfingter eksternus disebut muscle complex atau vertical fiber. [4]
8
Vaskularisasi anorektal
Kanalis analis dan rektum mendapatkan vaskularisasi dari arteri
hemoroidalis superior, arteri hemoroidalis media, dan arteri hemoroidalis inferior.
Arteri hemoroidalis superior merupakan akhir dari arteri mesenterika inferior dan
melalui dinding posterior dari rektum dan mensuplai dinding posterior, juga ke
kanan dan ke kiri dinding pada bagian tengah rektum, kemudian turun ke linea
dentata. Arteri hemoroidalis media merupakan cabang dari arteri illiaca interna.
Arteri hemoroidalis inferior merupakan cabang dari arteri pudenda interna, ia
berjalan di medial dan vertikal untuk mensuplai kanalis analis di bagian distal dari
linea dentata. [3]
Darah vena di atas garis anorektum mengalir melalui sistem porta,
sedangkan yang berasal dari anus dialirkan ke sistem kava melalui cabang vena
illiaca. Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis internus dan
berjalan kearah kranial ke dalam vena mesenterika inferior dan seterusnya melalui
vena lienalis ke vena porta. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke dalam
vena pudenda interna dan ke dalam vena iliaca interna dan sistem kava. [3]
9
Gambar 3. Anatomi Anus dan Rektum
10
Persarafan
Sistem Limfatik
Sistem limfe dari rektum mengalirkan isinya melalui pembuluh limfe sepanjang
pembuluh hemoroidalis superior ke arah kelenjar limfe paraaorta melalui kelenjar
limfe illiaca interna, sedangkan limfe yang berasal dari kanalis analis mengalir ke
arah kelenjar inguinal.
3. EPIDEMIOLOGI
11
Embriologi pembentukan anus
Etiologi secara pasti dari atresia ani belum diketahui, namun ada sumber
mengatakan bahwa kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan,
fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Menurut penelitian
beberapa ahli, diduga faktor genetik berpengaruh terhadap terjadinya atresia ani,
namun masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab
atresia ani. Orang tua yang mempunyai gen carrier penyakit ini mempunyai
peluang sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya saat kehamilan. 30% anak
yang mempunyai sindrom genetik, kelainan kromosom, atau kelainan kongenital
lain juga berisiko untuk menderita atresia ani, contohnya adalah penderita Down
Syndrome.
Sebanyak 60% pasien dengan atresia ani dapat disertai dengan beberapa
kelainan kongenital saat lahir yang disebut dengan Sindroma VACTERL
(Vertebrae, Anal, Cardial, Tracheoesophageal, Renal, Limb). Kelainan yang ada,
yaitu:
1. Kelainan pada sistem kardiovaskular
- Atrial Septal Defect
- Patent Ductus Arteriosus
- Tetralogy of Fallot
- Ventricular Septal Defect
2. Kelainan sistem pencernaan
- Obstruksi duodenal
- Kelainan tracheoesophageal
13
Kelainan yang sering terjadi adalah atresia esofagus. [1]
3. Kelainan sistem perkemihan
Kelainan ini merupakan kelainan yang paling sering terjadi, dan terdapat pada
50% pasien dengan atresia ani. Refluk vesikoureter dan hidronefrosis
merupakan kondisi yang paling sering terjadi, namun juga dapat terjadi renal
agenesis, horseshoe, dan dysplastic. Semakin tinggi letak anomali yang ada,
maka semakin besar frekuensi terjadinya abnormalitas urologi. [1,8]
4. Kelainan tulang belakang
- Hemivertebrae
- Skoliosis
- Syringomyelia
- Spinal lipoma
- Myelomeningocele
Tidak adanya dua atau lebih vertebrae berhubungan dengan prognosis yang
buruk terhadap kontinensia dari usus dan vesica urinaria. [8]
5. KLASIFIKASI
14
Secara tradisional, klasifikasi atresia ani dibagi menjadi dua berdasarkan
letak terminasi rektum terhadap dasar pelvis, yaitu:
1. Anomali letak rendah
Rektum menembus muskulus levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung
rektum paling jauh 1 cm. Anomali ini dapat berupa stenosis anus yang hanya
membutuhkan dilatasi membran atau merupakan membran anus tipis yang
mudah dibuka segera setelah anak lahir. Baik pada laki-laki maupun
perempuan, anomali letak rendah berhubungan dengan perineal fistula. Pada
laki-laki, fistula berhubungan dengan midline raphe dari skrotum atau penis
(Gambar 5). Pada perempuan, fistula dapat berakhir pada vestibulum vagina
(fistula rektovestibular), karena rektum lebih ke depan mendekati vestibulum
(Gambar 6). Terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik
dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran
genitourinarius. [1,9]
15
Gambar 6. Fistula vestibular, pada fistula dimasukkan sebuah kateter
Tipe Atresia Ani berdasarkan letak menurut Stephens dan Smith (1984)
yaitu :
1. High / tinggi (Supra levator).
2. Intermediate / sedang (sebagian translevator).
3. Low / rendah (fully translevator).
16
Tabel 1. Klasifikasi atresia ani
Klasifikasi Perempuan Laki-laki
Letak tinggi Agenesis anorektal Agenesis anorektal dengan
dengan atau tanpa fistula atau tanpa fistula uretra
rektovaginal, atresia rekti. rektoprostatik, atresia
rekti.
Intermediat Agenesis anorektal Agenesis anorektal dengan
dengan atau tanpa fistula atau tanpa fistula uretra
rektovaginal, agenesis rektobulbar, agenesis anus
anus
Letak rendah Fistula anovestibular atau Fistula anokutaneus
fistula anokutaneus (anteriorly displaced
(anteriorly displaced anus), stenosis anus
anus), stenosis anus
Cloaca
Melbourne
Melbourne membagi atresia ani berdasarkan garis pubococcygeus dan garis
yang melewati ischii:
1. Letak tinggi, rektum berakhir diatas muskulus levator ani (muskulus
pubococcygeus).
2. Letak intermediet, akhiran rektum terletak di muskulus levator ani tetapi tidak
menembusnya. Lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang
normal.
3. Letak rendah, akhiran rektum berakhir di bawah muskulus levator ani. [4]
Wingspread – 1984
Berdasarkan klasifikasi Wingspread, atresia ani dikelompokkan menurut
jenis kelamin.
1. Laki – laki, dibagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan I dan golongan II.
Pada laki – laki golongan I dibagi menjadi 4 kelainan yaitu kelainan fistula
urin, atresia rektum, perineum datar, dan fistula tidak ada. Jika ada fistula urin,
17
tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat
fistula ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis menentukan letak
fistula adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin
jernih, berarti fistula terletak uretra karena fistula tertutup kateter. Bila dengan
kateter urin mengandung mekonium maka fistula ke vesika urinaria. Bila
evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Jika
fistula tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu
segera dilakukan kolostomi. [3]
Golongan II pada laki – laki dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistula perineum,
membran anal, stenosis anus, dan fistula tidak ada. Fistula perineum sama
dengan pada wanita; lubangnya terdapat pada anterior dari letak anus normal.
Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput.
Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definitif secepat
mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan perempuan, tindakan definitif harus
dilakukan. Bila tidak ada fistula dan udara < 1 cm dari kulit pada invertogram,
perlu juga segera dilakukan pertolongan bedah. [3]
18
Sedangkan golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan, yaitu kelainan
fistula perineum, stenosis anus, dan fistula tidak ada. Lubang fistula perineum
biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda
timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus
terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak
lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitif. Bila tidak ada
fistula dan pada invertogram udara < 1 cm dari kulit, dapat segera dilakukan
pembedahan definitif. Dalam hal ini evakuasi tidak ada, sehingga perlu
dari dilakukan
abnormalitas kolostomi. [3]embriologi
perkembangan dari 4000-5000 kelahiran baru. Frekuensi pada
anus, rektum dan traktus urogenital, dimana anak laki-laki lebih tinggi dibanding
septum tidak membagi membran kloaka secara perempuan.2,3,7
sempurna.
Terdapat beberapa faktor prognostik Klasifikasi
yang mempengaruhi terjadinya morbiditas
pada malformasi anorektal, seperti Klasifikasi internasional yang paling
abnormalitas pada sakrum, gangguan umum untuk malformasi anorektal adalah
persarafan pelvis, sistem otot perineal yang klasifikasi Wingspread pada tahun 1984 (tabel
tidak sempurna, dan gangguan motilitas 1). Namun malformasi anorektal memunyai
kolon.2,3 dampak yang luas dan klasifikasi Wingspread
dianggap tidak memunyai nilai prognosis dan
Epidemiologi terapis, sehingga Pena pada tahun 1995
membuat klasifikasi yang lebih sederhana
Malformasi anorektal terjadi pada 1 (tabel 2).4
Alberto Pena
Alberto Pena membagi klasifikasi atresia ani berdasarkan lokasi dari
permulaan fistula (Tabel 3). [1]
19
Tabel 3. Klasifikasi Atresia Ani Menurut Alberto Pena
Males Females
Perineal fistula Perineal fistula
Rectourethral fistula Vestibular fistula
Bulbar (the lowest
portion of the posterior
urethra)
Prostatic the upper
portion of the posterior
urethra
Rectovesical fistula (bladder Persistent cloaca
neck) < 3cm common channel
> 3cm common channel
Imperforate anus without fistula Imperforate anus without fistula
Rectal atresia Rectal atresia
Complex defects Complex defects
Laki-laki
1. Fistula perineal
Fistula perineal adalah kelainan yang paling sederhana yang dapat terjadi baik
pada pria maupun wanita. Pasien memiliki lubang kecil yang terletak pada
perineum anterior ke pusat sfingter eksternal, dekat dengan skrotum pada pria
atau vulva pada wanita. Pasien ini biasanya memiliki sakrum yang baik, alur
garis tengah, dan lesung anal. Frekuensi kerusakan organ lain terkait yang
mempengaruhi sekitar 10%. Diagnosis ditetapkan oleh inspeksi perineum
sederhana, tetapi sering kali diagnosis ini terlewatkan karena pemeriksaan
neonatal yang kurang memadai. Keterlambatan diagnosis mungkin memiliki
dampak signifikan yaitu obstipasi. [10]
20
Gambar 7. Fistula perineal
2. Fistula rektouretral
Dalam fistula rektouretral, rektum berkomunikasi dengan bagian bawah uretra
(uretra bulbar) atau bagian atas dari uretra (uretra prostat). Mekanisme sfingter
pada umumnya baik, tetapi pada sebagian pasien memiliki otot-otot perineal
dan perineum datar. Sakrum juga memiliki derajat perkembangan yang
berbeda, terutama dalam kasus fistula rektouretral prostat. Sebagian besar
pasien memiliki sakrum yang kurang berkembang, perineum yang datar,
skrotum terpecah menjadi dua belah, dan letak lesung anal sangat dekat dengan
skrotum. [10]
21
3. Fistula rektovesikal (bladder neck)
Pada pasien yang memiliki fistula rektovesikal, rektum berkomunikasi dengan
saluran kemih pada tingkat leher kandung kemih. Mekanisme sfingter pada
umumnya kurang berkembang. Sakrum kurang berkembang dan perineum
terlihat datar. Kelainan ini terjadi pada 10% dari jumlah pasien laki-laki.
Prognosis biasanya tidak baik. [10]
22
Gambar 10. Anus imperforata tanpa fistula
5. Atresia rektum
Kelainan ini merupakan kelainan yang jarang terjadi, yaitu hanya 1% dari
anomali anorektal. Karakteristik pada kedua jenis kelamin sama. Gambaran
yang unik dari kelainan ini yaitu bahwa pasien memiliki lubang anus yang
normal dan anus yang normal. Sebuah halangan terdapat sekitar 2 cm diatas
permukaan kulit. Prognosis fungsionalnya sangat baik karena memiliki sfingter
yang normal dan sensasi yang normal. [10]
Perempuan
1. Fistula vestibular
Kelainan ini merupakan kelainan yang sering pada wanita. Rektum terbuka di
depan alat kelamin wanita diluar selaput dara. Pasien sering disalah artikan
sebagai fistula rektovaginal. Prognosis fungsionalnya baik, sakrum biasanya
normal, alur garis tengah perineum, dan lesung anal yang semuanya
menunjukkan mekanisme sfingter masih utuh. [10]
23
Gambar 11. Fistula vestibular
2. Kloaka persisten
Dalam kasus kloaka persisten, rektum, vagina, dan saluran kemih bertemu
dalam satu saluran tunggal. Perineum memperlihatkan suatu lubang tunggal
tepat di belakang klitoris. Panjang saluran ini bervariasi antara 1-10 cm,
panjang dari saluran ini menunjukkan suatu prognosis. Pasien dengan saluran
dengan panjang < 3 cm pada umumnya sakrum dan sfingter berkembang
dengan baik. Pasien dengan panjang saluran > 3 cm sering kali menunjukkan
kelainan yang lebih kompleks dengan sakrum dan sfingter yang kurang
berkembang dengan baik. Pasien dengan kloaka persisten merupakan suatu
kedaruratan urologi karena 90% memiliki kelainan urologi. Sebelum dilakukan
kolostomi, diagnosis urologi harus segera ditegakkan untuk dekompresi
saluran kemih. [10]
24
Gambar 12. Kloaka persisten
6. PATOFISIOLOGI
Asal anus dan rektum merupakan stuktur embriologis yang disebut kloaka.
Secara embriologis, saluran pencernaan berasal dari Foregut, Midgut, dan Hindgut.
Foregut akan membentuk faring, sistem pernapasan bagian bawah, esofagus,
lambung, sebagian duodenum, hati, sistem bilier, serta pankreas. Midgut
membentuk usus halus, sebagian duodenum, caecum, apendiks, kolon ascenden
sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut hingga ke
membran kloaka, membran ini tersusun dari endoderm kloaka dan ektoderm dari
protoderm/analpit. Usus terbentuk mulai minggu keempat disebut sebagai primitif
gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis menghasilkan
anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak rendah atau
translevator berasal dari defek perkembangan proktoderm dan lipatan genital. Pada
anomali letak tinggi, otot levator ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan
otot sfingter eksternus dan internus dapat tidak ada atau rudimenter. [4]
Atresia ani terjadi akibat kegagalan punurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Terjadinya atresia ani adalah karena kelainan kongenital
dimana saat proses perkembangan embriogenik tidak lengkap pada proses
perkembangan anus dan rektum. Dalam perkembangan selanjutnya, ujung ekor dari
belakang berkembang jadi kloaka yang juga akan berkembang jadi genito urinari
dan struktur anorektal. Atresia ani ini terjadi karena ketidaksempurnaan migrasi dan
perkembangan struktur kolon antara 7- 10 minggu selama perkembangan janin.
25
Kegagalan migrasi tersebut juga karena gagalnya agenesis sakral dan abnormalitas
pada daerah uretra dan vagina atau juga pada proses obstruksi. Atresia ani dapat
terjadi karena tidak adanya pembukaan usus besar yang keluar anus sehingga
menyebabkan feses tidak dapat dikeluarkan. [4]
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula.
Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan
segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin
akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir
ke arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya
akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. [4]
26
7. DIAGNOSIS
Pasien dengan atresia ani biasanya berada dalam kondisi yang stabil dan
diagnosisnya segera tampak setelah kelahiran. Cara penegakkan diagnosis adalah
semua bayi yang lahir harus dilakukan pemasukan termometer melalui anusnya,
tidak hanya untuk mengetahui suhu tubuh, tapi juga untuk mengetahui apakah
terdapat atresia ani atau tidak. Selain itu juga diperlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang secara cermat. [1]
A. Anamnesis
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya
mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rektal, adanya
membran anal, dan fistula eksternal pada perineum.
Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48 jam.
Gejala itu antara lain: [10]
- Tidak dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium (tidak bisa
buang air besar sampai 24 jam setelah lahir).
- Perut membuncit dan pembuluh darah di kulit abdomen terlihat menonjol
(Adele, 1996). Perut kembung biasanya terjadi antara empat sampai delapan
jam setelah lahir.
- Muntah (cairan muntahan dapat berwarna hijau karena cairan empedu atau
juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium).
Adapun perbedaan gejala klinis antara anomali letak rendah dan letak tinggi,
yaitu:
- Obstruksi usus halus letak tinggi memiliki gejala muntah lebih dahulu dan
dehidrasi yang sangat cepat.
- Obstruksi usus halus letak rendah, nyeri lebih dominan pada sentral distensi.
Muntah biasanya lebih lambat.
Gejala yang ada terjadi karena adanya obstruksi usus, oleh karena itu
banyak penyakit lain yang dapat menjadi diagnosis banding (Tabel 4). [9]
27
Tabel 4. Penyakit penyebab obstruksi usus
Penyakit Keterangan
B. Pemeriksaan fisik
28
maka fistula rektouretral karena fistula tertutup oleh kateter, sedangkan
bila terdapat urin bercampur mekonium maka fistula rektovesika.
- Pada perempuan diperiksa genitalia eksterna (fistula vestibulum).
- Pada perempuan jika urine bercampur mekonium dan terdapat hematuria
maka defek berupa letak tinggi. Jika dari uretra keluar mekonium, kencing
jernih, dan terdapat fistula pada perineum maka defek letak rendah.
- Dilihat pada saat anak menangis apakah anus menonjol atau tidak, jika
menonjol maka anomali letak rendah, sedangkan jika tidak maka anomali
letak tinggi.
- Pada bayi yang baru lahir, hal yang harus kita lakukan adalah mengukur
suhu rektum sekaligus melihat apakah terdapat adanya lubang pada anus
dengan menggunakan termometer yang sudah diberi gel.
- Pemeriksaan abdomen:
Inspeksi = perut tampak kembung
Palpasi = distensi, nyeri tekan tidak dijumpai.
Perkusi = hipertimpani
Auskultasi = Peristaltik meningkat, dapat terdengar metalic sound
- Jika dalam 24 jam pertama tidak tampak mekonium baik pada perineum
ataupun urin, dapat dilakukan cross table lateral x-ray dengan posisi bayi
tengkurap.
C. Pemeriksaan Penunjang
Meskipun diagnosis atresia ani dapat dibuat dengan pemeriksaan fisik, sering
kali sulit untuk menentukan apakah bayi memiliki lesi tinggi atau rendah.
Sebuah radiograf polos dari perut dapat membantu menemukan lesi. Selain itu,
harus dicari adanya kelainan lain yang terkait (Sindrom VACTERL) sampai
tidak terbukti adanya kelainan tersebut. Untuk memperkuat diagnosis sering
diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
- Invertogram (Radiografi Abominal Lateral dengan marker radiopaque pada
perineum)
Teknik pengambilan foto ini dapat dibuat setelah udara yang ditelan oleh
bayi sudah mencapai rektum, dan bertujuan untuk menilai jarak puntung
distal rektum terhadap tanda timah atau logam lain pada tempat bakal anus
29
di kulit peritoneum. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah
bayi lahir agar usus terisi udara, dengan cara Wangensteen & Rice (kedua
kaki dipegang dengan posisi badan vertikal dengan kepala di bawah) atau
knee chest position (sujud), dengan sinar horizontal diarahkan ke trochanter
mayor. Prinsipnya adalah agar udara menempati tempat tertinggi.
Selanjutnya, diukur jarak dari ujung udara yang ada di ujung distal rektum
ke tanda logam (marker Pb) di perineum. Cara Wangensteen dan Rice
digunakan pada kondisi dengan fistula, sedangkan pada knee chest position
digunakan pada kondisi tanpa fistula dengan adanya gejala ostruksi usus.
Dengan menggunakan invertogram, dapat diketahui anomali yang terjadi
merupakan letak rendah atau tinggi (Gambar 13). [1,3,9]
30
1. Setelah usia > 24 jam (paling cepat 18 jam, karena udara sudah sampai
ke anus).
2. Hip joint fleksi maksimal.
3. Arah cahaya dari lateral.
4. Kepala di bawah, kaki ke atas agar udara naik ke atas dan mekanium
akan ke bawah.
5. Interpretasi pada invertogram
a. Pada Wangensteen dan Rice
Bila letak udara paling distal:
> 1 Cm = letak tinggi / high
< 1 cm = letak rendah / low
31
Gambar 14. Pubococcygeal line
a) b) c)
32
a)
b)
c) d)
Penegakkan diagnosis anomali letak tinggi dan letak rendah dapat ditegakkan
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti yang
diperlihatkan pada skema 2.
33
Skema 2. Algoritma penegakkan diagnosis
Foto Jarak
Banyak Minimal
Sedikit Multiple Mekonium
34
8. PENATALAKSANAAN
klasifikasinya, yaitu anomali letak tinggi atau letak rendah, ada atau tidak adanya
fistula, dan mengevaluasi apakah terdapat kelainan kongenital lain yang menyertai.
Dibutuhkan waktu sampai 24 jam sebelum fistula dapat ditemukan, oleh karena itu,
Semua pasien dimasukkan nasogastric tube sebelum makan untuk melihat adanya
atresia esofagus dan dimonitoring apakah terdapat mekonium pada perineum atau
urine. Selain itu, dalam 24 jam pertama, bayi harus mendapatkan terapi cairan dan
antibiotik. Pada anomali letak tinggi dengan atau tanpa fistel dan atresia ani dengan
fistula yang tidak adekuat, sifat tatalaksananya adalah emergency, sedangkan pada
ada atresia ani dengan fistula yang adekuat dan anterior anus adalah elektif.
[1,8,9]
tanpa kolostomi. Operasi yang dilakukan berupa repair yaitu anoplasti. Terdapat 3
pendekatan yang dapat dilakukan. Untuk anal stenosis, dimana pembukaan anus
berada pada lokasi yang normal, maka dilatasi serial merupakan penatalaksanaan
kuratif. Dilatasi dapat dilakukan sehari-hari oleh orang tua atau pengasuh anak dan
ukuran dari dilator harus dinaikkan secara progresif (dimulai dari 8 atau 9 French
anterior dari sfingter eksternus dengan jarak yang kecil antara pembukaan dan
bagian tengah dari sfingter eksternus, dan perineal intak, maka anoplasti cutback
dilakukan. Tindakannya terdiri dari insisi dari orifisium anal ektopik menuju bagian
35
tengah dari sfingter anus, dan dengan demikian terjadi pelebaran pembukaan anal.
Namun, jika jaraknya lebar antara pembukaan anal dengan bagian tengah dari
sfingter ani eksternus, maka yang dilakukan adalah anoplasti transposisi, dimana
pembukaan anal yang tidak pada tempatnya dipindahkan ke posisi yang normal
pada bagian tengah dari otot sfingter, dan perineal di rekonstruksi. [1,8,9]
36
antisipasi trauma psikis. Sebagai tujuan akhirnya adalah defekasi secara teratur dan
konsistensinya baik. [1,8,9]
1. Kolostomi
Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus
preternaturalis yaitu pembuatan lubang sementara atau permanen dari usus
besar melalui dinding perut untuk mengeluarkan feses. Kolostomi dapat
dilakukan pada kolon transversalis ataupun sigmoid yang merupakan organ
intraabdominal. Kolon dipisahkan pada daerah sigmoid, dengan usus bagian
proksimal sebagai kolostomi dan usus bagian distal sebagai mukus fistula.
Pemisahan secara komplit dari usus akan meminimalkan kontaminasi feses
menuju fistula rektourinarius sehingga mengurangi risiko terjadinya urosepsis.
Selanjutnya, bagian distal usus di evaluasi secara radiografik untuk
menentukan lokasi dari fistula rektourinarius. Kolostomi dilakukan pada kolon
transversum sebelah kiri di flexura lienalis atas pertimbangan sebagai proteksi
karena di sebelah kiri tidak ada organ-organ penting, kolon lebih mobile
sehingga lebih mudah, dan pada daerah ini tidak terjadi dehidrasi karena
absorbsi elektrolit maksimal di daerah tersebut sehingga konsistensi feces tidak
keras.
37
Manfaat kolostomi, yaitu:
a. Mengatasi obstruksi usus.
b. Memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan
lapangan operasi yang bersih.
c. Memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan
lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta
menemukan kelainan bawaan yang lain.
Tipe kolostomi yang dapat digunakan pada bayi dengan atresia ani adalah
kolostomi loop yaitu dengan membuat suatu lubang pada lengkung kolon yang
dieksteriorisasi. Jenis anestesi pada tindakan kolostomi adalah anestesi umum.
Suatu tindakan operasi definitif pada pasien atresia ani dengan teknik operasi
menggunakan irisan kulit secara sagital mulai dari tulang koksigeus sampai
batas anterior bakal anus. Prosedur ini memberikan beberapa keuntungan
seperti kemudahan dalam operasi fistula rektourinaria maupun rektovaginal
dengan cara membelah otot dasar perlvis, sling, dan sfingter. Saat ini, teknik
yang paling banyak dipakai adalah minimal, limited atau full PSARP.
Macam-macam PSARP
1. Minimal PSARP
38
Tidak dilakukan pemotongan otot levator maupun vertical fibre, yang
penting adalah memisahkan common wall untuk memisahkan rektum
dengan vagina dan yang dibelah hanya otot sfingter eksternus. Indikasi dari
minimal PSARP, yaitu dilakukan pada fistula perineal, anal stenosis, anal
membran, bucket handle dan atresia ani tanpa fistula yang akhiran rektum
kurang dari 1 cm dari kulit.
2. Limited PSARP
Yang dibelah adalah otot sfingter eksternus, muscle fiber, muscle complex
serta tidak membelah tulang koksigeus. Yang penting adalah diseksi rektum
agar tidak merusak vagina. Indikasi dari limited PSARP adalah atresia ani
dengan fistula rektovestibuler.
3. Full PSARP
Dibelah otot sfingter eksternus, muscle complex, dan koksigeus. Indikasi
dari full PSARP, yaitu atresia ani letak tinggi dengan gambaran invertogram
gambaran akhiran rektum lebih dari 1 cm dari kulit, pada fistula
rektovaginalis, fistula rektouretralis, atresia rektum, dan stenosis rektum.
Teknik operasi PSARP [1,4]
1. Dilakukan dengan anestesi umum, dengan endotrakeal intubasi, dengan
posisi pasien tengkurap dan pelvis ditinggikan (prone jackknife position).
2. Stimulasi perineum dengan alat pena muscle stimulator untuk identifikasi
anal dimple.
3. Insisi bagian tengah sakrum ke arah bawah melewati pusat sfingter dan
berhenti 2 cm di depannya.
4. Dibelah jaringan subkutis, lemak, parasagital fiber dan muscle complex. Os
coccygeus dibelah sampai tampak musculus levator, lalu muskulus levator
dibelah sampai tampak dinding belakang rektum.
5. Fistula yang ada dari rektum menuju ke vagina atau traktus urinarius
dipisahkan.
6. Rektum dibebaskan dari jaringan sekitarnya.
7. Rektum ditarik melewati levator, muscle complex dan parasagital fiber.
8. Dilakukan anoplasti dan dijaga jangan sampai terjadi tension (dilakukan
rekonstruksi pada muskulus dan dijahit ke rektum)
39
Gambar 18. Sebelum dan sesudah PSARP
40
5. Setelah dilakukan penutupan kolostomi, eritema popok sering terjadi
karena kulit perineum bayi tidak pernah kontak dengan feses sebelumnya.
Salep tipikal yang mengandung vitamin A, D, aloe, neomycin dan desitin
dapat digunakan untuk mengobati eritema popok ini. [12,13]
41
Skoring Koltz
Algoritma penatalaksanaan atresia ani pada laki-laki dan perempuan dapat dilihat
pada skema 3. [12,14]
42
Skema 3. Algoritma penatalaksanaan atresia ani pada laki-laki dan
perempuan
Perineal Inspection
And Urinalysis
Fistula No Fistula
43
9. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi post operasi banyak disebabkan oleh karena
kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat,
keterbatasan pengetahuan anatomi, dan keterampilan operator yang kurang serta
perawatan post operasi yang buruk.
Komplikasi awal dari PSARP adalah infeksi dari luka, perdarahan, anus
salah letak, fistula berulang, serta cedera pada uretra dan kandung kemih. Pada
komplikasi selanjutnya, pada umumnya terjadi stenosis, striktur anorektal, prolaps,
dan inkontinensia. [5]
Komplikasi awal dapat dihindari dengan penutupan luka yang adekuat tanpa
meninggalkan celah. Sebagian besar pasien yang melakukan operasi untuk
memperbaiki atresia ani memiliki berbagai derajat konstipasi. Gejala ini lebih berat
terjadi pada kelainan letak rendah dan intermediat. Pasien yang sebelumnya
dilakukan kolostomi baik di daerah proksiamal maupun distal dapat mengalami
obstipasi maka dari itu pasien memerlukan diet kaya serat dan kadang-kadang
sampai dibutuhkan obat pencahar. [5]
10. PROGNOSIS
Morbiditas yang ada pasien berhubungan dengan anomali lain yang ada
pada pasien. Tujuan utama dari tatalaksana pada atresia ani adalah kontinensia
feses. Sebanyak 75% pasien memiliki pergerakan usus volunter. [8] Konstipasi
merupakan sekuele yang paling umum. Prognosis pada atresia dapat dievaluasi
dengan cara melihat fungsi klinisnya dan psikologisnya. [8]
44
Pada anomali letak rendah, hasil akhir yang sering terjadi adalah konstipasi,
sedangkan pada anomali letak tinggi adalah inkontinensia feses. [8,9]
Evaluasi Psikologis
Fungsi kontinensi tidak hanya tergantung integritas atau kekuatan sfingter atau
sensasi saja, tetapi tergantung juga pada bantuan orangtua dan kerja sama serta
keadaan mental penderita. [11]
Pasien dengan fistula perineal, atresia rektal, dan anus imperforata tanpa
fistula pada umumnya setelah dilakukan operasi perbaikan memiliki fungsi
defekasi yang baik. Sekitar 80% dapat mencapai kontrol usus anatara usia 3- 4
tahun.
Pasien pria dengan fistula prostat rektouretral sekitar 60% dapat mencapai
kontrol usus pada usia 3 tahun. Pasien dengan fistula rektovesikal prognosisnya
kurang baik sekitar 20% dapat mencapai kontrol usus atau buang air besar secara
normal pada usia 3 tahun. Pada sakrum yang tidak normal atau letak rendah pada
umumnya akan terjadi inkontinensia feses, dan sakrum yang tidak normal pada
umumnya terjadi pada fistula rektovesikal dan prostat rektouretral.
Pasien wanita dengan fistula rektovestibular sekitar 90% dapat memiliki
gerakan usus yang normal pada usia 3 tahun. Pasien wanita dengan kloaka dengan
saluran kurang dari 3 cm sekitar 80% dapat mencapai gekaran usus yang normal
pada umur 3 tahun. Bila saluran lebih dari 3 cm pada umumnya juga terdapat
kelainan pada sakrum, maka prognosisnya sekitar 25 % terjadi inkontinensia feses,
dan 70 % dari pasien kloaka persisten dengan saluran lebih dari 3 cm menbutuhkan
katerisasi intermiten untuk mengosongkan kandung kemih. [15,16]
Pasien dengan inkontinensia fekal dan diare pada umumnya memerlukan
kolostomi permanen. [16]
45
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan letak anatomi, atresia ani dapat dibagi mejadi 3 yaitu letak
tinggi, intermediet, dan rendah. Dan dapat juga di klasifikasikan berdasarkan ada
atau tidaknya fistula dan letak fistula.
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews
JB, et al. Pediatric Surgery. In: Schwartz’s Principles of Surgery. 9th
edition. McGraw Hill; 2010.p. 2777-2780.
2. Suriadi. Asuhan Keperawatan Anak. Jakarta: Seto Agung; 2006.hlm 159
3. Sjamsuhidajat R. De Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.hlm. 668-70.
4. Anonymus. Ilmu Bedah. [cited May 11, 2012]. Available at: http:// www.
bedahugm. net/atresia-ani. ac.
5. Texas Pediatric Associates. Imperforate Anus. [cited May 12, 2012].
Available: http://www.pedisurg.com/PtEduc/Imperforate_Anus.htm.
6. Kaneshiro NK. Imperforate Anus. [cited May 12, 2012]. Available:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001147.htm.
7. Adotey JM, Jebbin NJ. Anorectal disorders requiring surgical treatment in
the University of Port Harcourt Teaching Hospital, Port Harcourt.
Nigerian journal of medicin : journal of the National Association of
Resident Doctors of Nigeria 2004; 13 (4): 350–4.
8. Mahmoud N, Rombeau J, Ross HM, et al.In: Townsend CM, Beauchamp
RD, Evers BM, Mattox KL, editors. Pediatric Surgery. Sabiston Textbook
of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice. 17th edition.
Elsevier Saunders; 2004.p.1746-8.
9. Williams N, Bulstrode CJK, O’connell PR. Bailey and love short practice
of surgery. 25th edition. Edward Arnold (Publisher) Ltd;2008.p. 87-88,
1247.
10. Pena A. Surgical Condition of the Anus, Rectum, and Colon. Pediatric
Surgery. Germany: Springer; 2006.p. 289 -312.
47
11. Swenson. Anorectal malformation. Pediatric surgery. WB Saunder; 2000.
48