Anda di halaman 1dari 12

HUKUM AGRARIA

GADAI TANAH DALAM PERBANDINGAN HUKUM POSITIF DAN


HUKUM ISLAM

DOSEN : Amiludin S.H, M.H,

DISUSUN OLEH:

Arif Darmawan Harahap : 17-74-201-077

KELAS: A.1.3

PRODI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG

2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya bias
selesaikan makalah mengenai gadai tanah dalam perbandingan hukum positif dan
hukum islam.

Makalah ini sudah selesai saya susun dengan maksimal dengan bantuan
materi dari buku sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Terlepas
dari semua itu, Saya menyadari seutuhnya bahwa masih jauh dari kata sempurna
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, saya
terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik yang bersifat membangun dari
pembaca sehingga saya bias melakukan perbaikan makalah ini sehingga menjadi
makalah yang baik dan benar.

Akhir kata saya meminta semoga makalah ini tentang gadai tanah dalam
perbandingan hukum positif dan hukum islam bias memberi manfaat ataupun
wawasan dan inspirasi kepada pembaca.

Jakarta, 07 Juli 2019

Penyusu

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………… i

KATA PENGANTAR ………………………………………………………… ii

DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. iii

BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………………………………. 4

A. LATAR BELAKANG …………………………………………….. 4

B. RUMUSAN MASALAH ………………………………………….. 6

C. TUJUAN PENULISAN …………………………………………… 6

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………... 7

A. GADAI TANAH DALAM HUKUM POSITIF …………………... 7

B. GADAI TANAH DALAM HUKUM ISLAM …………………….. 9

BAB III PENUTUP …………………………………………………………… 10

A. KESIMPULAN ……………………………………………………. 10

B. SARAN …………………………………………………………….. 10

DAFTAR PUSTAKA ……….………………………………………………. 11

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan


umat manusia. Di dalam masyarakat hukum adat, antara masyarakat hukum
adat dengan tanah yang di tempatinya menyatu atau satu kesatuan karna
mempunyai hubungan yang sangat erat. Dimana hubungan ini menjadi hak
masyarakat untuk mempeloreh penguasaan hak atas tanah, untuk di
manfaatkan dan di ambil hasil yang ada.

Gadai tanah adalah salah satu transaksi tanah yang bersumber darti
hukum adat yang sering menimbulkan perdebatan dan perselisihan akibat tarik
menarik antara Hukum Agraria Nasional dan Hukum Adat. Istilah gadai tanah
di kenal juga sebagai menjual gadai, menggadai atau memegang, yaitu:
“perjanjian yang menyebabkan tanah di serahkan untuk menerima sejumlah
uang tunai, dengan pemufakatan terlebih dahulu bahwa si pemilik berhak
mengambil tanah itu kembali dengan membayar dengan sejumlah uang yang
sama”1

Dalam pembahasan gadai, Islam sudah mengaturnya seperti yang


telah di ungkapkan oleh ulama fiqh, baik mengenai rukun, syarat, dasar
hukum maupun tentang pemanfaatan barang gadai, oleh penerima gadai yang
semua itu bisa di jumpai di banyak buku-buku fiqh.

Secara Bahasa, gadai atau rahn berarti “al-Subut wa al Dawam”


yang artinya tetap dan kekal. Sebagian ulama lughat mengartikan ar-rahn
dengan “al-Habsu”. Abu Bakar Jabir al-Jaziri, mendifinisikan rahn dengan
menjamin hutang dengan barang dimana hutang dimungkinkan bisa dibayar
dengannya, atau hasil dari penjualan nya.2

1
Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan oleh K. Ng. Soebakti Poespondo,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), hlm.112
2
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim, cet. Ke-7(Jakarta: Darul Falah, 2004), hlm.531.

5
 Menurut Ahmad Azhar Basyir,rukrun dalam perjanjian gadai adalah :

1. Orang yang menyerahkan barang gadai (rahin)

2. Orang yang menerima barang gadai (murtahin)

3. Barang yang di gadaikan (marhun)

4. Shighat akad3

 Menurut Al-Jaziri, rukun gadai ada macam 3 yaitu:

1.> Aqid (orang yang melakukan akad ) yang terdiri dari rahin (orang
yang berutang dan menggadaikan barang) dan murtahin (pihak
yang piutang yang menerima barang gadai sebagai jaminan uang
yang dipinjamkan)

2.> Ma'qud alaiha (yang diakadkan) yang terdiri dari marhun (barang
yang digadaikan) dan Marhun bih (utang yang karenanya diadakan
gadai)

3.> Shighat (akad gadai)4

Dari beberapa definisi di atas dapat kita pahami bahwa gadai


adaalah penahanan suatu barang( Tanah, Dan lain-lainnya) atau jaminan atas
hutang, jika hutang sudah di lunasi maka jaminan itu kembali kepada sang
3
(Ahamad Azhar Basyir ,hukum islam tetang riba, utang - piutang dan gadai, (
Bandung : PT Al-Ma'arif, 1983 : 50 )

''abd Al-rahman Al-jaziri, kitab Al-fiqh 'Ala madzahib Al-arba'ah, (birut : dar
Al-qutub Al-ilmiyah, 2008 : 165 )

6
pemilik. Selanjutnya penyusun akan menggambarkan perbandingan hukum
dari gadai tanah menurut hukum positif dan hukum islam. Jika di lihat dari
latar belakang yang jika di lihat dari beberapa definisi tentang gadai tanah
mendorong penyusun untuk membandingkan hukum gadai tanah darin segi
hukum positif dan hukum islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian gadai tanah?
2. Bagaimana perbandingan hukum gadai tanah dari segi hukum positif
dan islam?
C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dalam penulisan


makalah ini sebagi berikut:

a. Untuk memahami apa itu gadai tanah


b. Untuk melakukan perbandingan hukum gadai tanah dengan hukum
Islam dan Hukum Positif

BAB II

PEMBAHASAN

A. Gadai Tanah Dalam Hukum Positif

7
a.) Gadai tanah merupakan salah satu hak atas tanah yang bersifat
sementara. Pasal 53 ayat 1 UU Nomor 5 Tahun 1960 mengatur tentang
Peraturan Dasar Pokok pokok Agraria menyatakan bahwa: Hak-hak
yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1
huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan
hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang
bertentangan dengan UU ini dan hak-hak tersebut diusahakan
hapusnya di dalam waktu yang singkat.

b.) Ketentuan Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tentang


Penetapan Luas Tanah Pertanian menyatakan bahwa: Barang siapa
yang menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu
dimulai berlakunya peraturan ini (29 Desember 1960) sudah
berlangsung 7 (tujuh) tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu
kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada
selesai dipanen dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran
uang tebusan.

c.) Penjelasan pasal 7 UU No.56/Prpu/1960 menurut Boedi


Harsono menyatakan: Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan
hak gadai sejak berlakunya peraturan ini (yaitu tanggal 1 Januari 1961
yang sudah berlangsung 7 (tujuh) tahun atau lebih), wajib
dikembalikan tanah itu kepada pemilik dalam waktu sebulan setelah
tanaman yang ada selesai dipanen dengan tidak ada hak untuk
menuntut pembayaran uang tebusan dan barang siapa melanggar, maka
dapat dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga)
bulan/atau denda sebanyakbanyaknya Rp 10.000,-.5

Undang-undang tersebut di atas secara teoritis


menunjukkan pentingnya kepastian hukum. Kepastian hukum yang ada
lahir dari filsafat hukum yang menyatakan bahwa hukum perlu adanya
ketegasan sehingga masyarakat memiliki pedoman yang jelas dalam
5
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2008), h. 391.

8
melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Akan tetapi, dalam
realitas masyarakat yang terjadi di Indonesia telah menjadikan hukum
adat sebagai kepastian hukum sehingga Undang-undang ini tidak
berjalan. Akibatnya banyak kendala khususnya murtahin yang merasa
tidak puas dengan keputusan Undang-undang tersebut.

Penjelasan pasal 7 di atas menyatakan bahwa tanah yang


tergadai selama 7 tahun lebih harus dikembalikan kepada pemiliknya
tanpa uang tebusan. Râhin sebagai pihak pemilik tanah merasa puas
dengan keputusan dan peraturan tersebut, tanah dijadikan sebagai
agunan akan dikembalikan setelah tujuh tahun tanpa adanya uang
tebusan sedikitpun. Namun bagi murtahin yang terbiasa meminjamkan
uang dan perbuatannya hampir seperti rentenir, adanya peraturan Perpu
tersebut merasa haknya dikurangi dan menolak pengembalian agunan
yang dikelolanya sebelum marhûn bih diterima.

Murtahin telah lupa dengan laba yang didapatkan, laba


akan terus berlipat dan yang mengemuka adalah tuntutan tebusan pada
awal perjanjian yaitu kesepakatan transaksi bahwa gadai berakhir
setelah piutang dibayar. Jika hal ini terjadi, maka hukum gadai
berakibat negatif. M. Zuhailli menyatakan, “Transaksi gadai tanah
penuh mubâdzir, ‘uyûb, banyak keprihatinan, kekurangan dan penuh
problematika”.6

Jual gadai merupakan penyerahan tanah serta pem bayaran


kontan dengan ketentuan râhin berhak mendapatkan kembali tanahnya
melalui jalan penebusan. Gadai tanah tidak dijelaskan dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) karena tanah
merupakan benda tak bergerak dikategorikan dalam hipotik.
6
Muhammad Zuhaylî, al-‘Uqûd al-Musammá, (Damaskus: Mathba’ah Khâlid Ibn al-Wâlid, 1983),
h. 47

9
B. Hukum Gadai Tanah dalam Islam

Hakikat dan fungsi gadai dalam Islam pada dasarnya


semata-mata memberikan kesempatan saling tolong menolong,
marhûn hanya sebagai jaminan bukan kepentingan komersial
dengan mengambil keuntungan sebesar-besarnya tanpa
menghiraukan kemampuan orang lain,5 ayat Alquran surat al-
Baqarah ayat 283 menjelaskan bahwa gadai merupakan bentuk dari
konsep mu’âmalah, di mana sikap tolong menolong dan sikap
amanah dengan menggunukan akad altabarru’ (segala macam
perjanjian yang menyangkut transaksi dan tidak mengejar
keuntungan (nonprofit transaction). Akad ini dilakukan dengan
tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan, sehingga
tidak disyaratkan adanya imbalan apapun kecuali dari Allah) bukan
akad al-tijâri (segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi
yang mengejar keuntungan (profit orientation). Akad ini bertujuan
mencari keuntungan dan bersifat komersial) sangat ditonjolkan.
Pada dasarnya gadai adalah untuk memberi tingkat kepercayaan
lebih tinggi kepada pihak yang berkepentingan.

Dari Abu Hurairah r.a, Nabi Muhammad Saw. bersabda:

Gadaian itu tidak menutup hak yang punya dari manfaat


barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib
mempertanggungjawabkan segalanya (kerusakan dan biaya).7

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

7
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam Kitab al-Mawârid al-Dzam-ân (no.1123)

10
Dari penulisan di atas maka penulis mampu menyimpulkan bahwa
bersama dengan makalah” Perbandingan Gadai Tanah dalam
Hukum Positif dan Hukum Islam”, Bahwa di dalam Islam (Gadai)
merupakan bentuk dari konsep mu’amalah yang pada dasarnya
semata-mata untuk menolong, di mana sikap tolong menolong dan
sikap amanah dengan menggunukan akad altabarru’ (segala macam
perjanjian yang menyangkut transaksi dan tidak mengejar
keuntungan (nonprofit transaction). Sedangkan dalam hukum
positif yang tercantum dalam pasal 7 UU No.56/Prpu/1960
menurut Boedi Harsono, tanah dijadikan sebagai agunan akan
dikembalikan setelah tujuh tahun tanpa adanya uang tebusan
sedikitpun.

B. Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna,


kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail di dalam
menyebutkan perihal makalah di atas bersama sumber-sumber
yang lebih banyak yang tentunya mampu di pertamggung
jawabkan.

DAFTAR PUSTAKA

Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan oleh K. Ng. Soebakti
Poespondo, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), hlm.112

11
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim, cet. Ke-7(Jakarta: Darul Falah,
2004), hlm.531.

(Ahamad Azhar Basyir ,hukum islam tetang riba, utang - piutang dan gadai,
( Bandung : PT Al-Ma'arif, 1983 : 50

''abd Al-rahman Al-jaziri, kitab Al-fiqh 'Ala madzahib Al-arba'ah, (birut : dar Al-
qutub Al-ilmiyah, 2008 : 165 )

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2008), h.


391.

Muhammad Zuhaylî, al-‘Uqûd al-Musammá, (Damaskus: Mathba’ah Khâlid Ibn


al-Wâlid, 1983), h. 47

Hadis diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam Kitab al-Mawârid al-Dzam-ân
(no.1123)

12

Anda mungkin juga menyukai