Anda di halaman 1dari 30

STUDI KASUS FARMAKOTERAPI TERAPAN

INFEKSI SALURAN CERNA

PHARMACEUTICAL CARE PLAN

Dosen:
Antonius N. W. Pratama, S.Farm., M.P.H., Apt.

Oleh :
Kelompok 6
Atika Sari Dyah P (182211101111)
Syahreza Yusvandika (182211101112)
Qurnia Wahyu Fatmasari (182211101113)
Nadia Iga Hasan (182211101114)
Ainun Nihayah (182211101115)
Indah Setyowati (182211101116)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2019
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Kolitis
1.1.1 Definisi Kolitis
Colitis berasal dari kata kolon (usus besar) dan itis (peradangan). Colitis
adalah penyakit berupa peradangan usus besar yang menyebabkan gejala nyeri,
meradang, diare dan perdarahan anus. Usus besar meliputi area dari caecum
(tempat menempel usus buntu/appendiks), kolon ascendant, kolon transversum,
kolon descendent, sigmoid, rektum, dan anus (Lestari, 2011). Colitis amoeba
merukapan salah satu jenis colitis infeksi yang termasuk peradangan kolon yang
disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica (Dipiro, 2008).
Gambaran tertentu kolitis menunjukkan beberapa kemungkinan penting
berkaitan dengan faktor :
a. Faktor Familia/Genetik  Lebih sering pada orang kulit putih daripada
orang kulit hitam dan Cina. Insidensi meningkat 3-6 kali pada orang Yahudi
dibandingkan orang Non Yahudi (Ariestine, 2008).
b. Faktor Infeksi  Pseudomonas (masih harus dikonfirmasi). Infeksi virus,
bakteri atau parasit dari makanan, minuman atau tangan yang kotor,
umumnya : Shigella, E. Coli, Salmonella dan Campylobacter. Amuba juga
dapat menyebabkan kolitis (menyebabkan diare darah, demam dan dehidrasi)
dan Parasit : Giardia. (Lestari, 2011)
c. Faktor imunologik  manifestasi ekstraintestinal : artritis, perikolangitis.
d. Faktor Psikologis  stres psikologi mayor (ex : kehilangan seorang
anggota keluarga), rentan terhadap stres emosi yg dapat merangsang penyakit
Kolitis.
e. Faktor Lingkungan/Kebiasaan  Perokok beresiko 40% terkena Kolitis
dibanding bukan perokok. Hubungan terbalik antara operasi apendikotomi dg
kolitis (penyakit Kolitis menurun secara signifikan) (Ariestine, 2008).
f. Bahan-bahan kimia keras yang merangsang usus besar : enema
g. Kolitis akibat radiasi pada usus besar. (Lestari, 2011)

1.1.2 Tanda dan Gejala


Gejala utama Kolitis yaitu
a. Diare berdarah
b. Nyeri abdomen/Nyeri perut (nyeri bertambah saat diare dan kemudian
berkurang)
c. Seringkali terjadi demam menggigil dan tanda-tanda infeksi lain (sesuai
penyebab kolitisnya)
d. Penurunan berat badan (Kasus berat)
e. Feses mengandung sedikit darah/tanpa manifestasi sistemik (Kasus ringan)
f. Kembung dan peningkatan udara usus.

1.1.3 Anatomi letak


Colitis penyakit ulcer inflamatorik yang mengenai kolon, tetapi sebatas
mukosa dan submukosa. Kecuali pada keadaan parah. Berawal dari rektum
meluas ke perkontinuitatum. Colitis terjadi pada usus besar, khususnya bagian
kolon desenden sampai rectum.

1.1.4 Fungsi organ


Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk
membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat
dikeluarkan. Setengah bagian proksimal kolon berhubungan dengan absorbsi dan
setengah distal kolon berhubungan dengan penyimpanan (Ariestine, 2008).

1.1.5 Epidemiologi
Prevalensi amebiasis diberbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan 10%
populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia
merupakan host sekaligus resevoir utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja
ke makanan dan minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal
atau lewat hubungan seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek, penduduk
yang padat dan kurangnya sanitasi individual mempermudah penularannya
(Dipiro, 2008).
Pasien yang asimtomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya mengeluarkan
kista pada tinjanya. Kista tersebut dapat bertahan hidup diluar tubuh manusia.
Sedangkan pada pasien dengan infeksi amuba akut/kronik yang invasif selain
kista juga mengeluarkan trofozoit, namun bentuk trofozoit tersebut tidak dapat
bertahan lama diluar tubuh manusia (Dipiro, 2008).

1.1.6 Prognosis
 Dapat terjadi komplikasi : perforasi usus yang terlibat, terjadinya stenosis
usus akibat proses fibrosis, megakolon toksik (terutama pada colitis ulseratif),
perdarahan, dan degenerasi maligna.
 Diperkirakan risiko terjadinya kanker pada IBD lebih kurang 13% .
 Risiko terjadi kanker usus besar akan meningkat pada pasien kolitis ulseratif
setelah 8-10 tahun,
 Perjalanan klinis Colitis bervariasi, mayoritas pasien akan menderita relaps
dalam waktu 1 tahun dari serangan pertama, mencerminkan sifat rekuren dari
penyakit.

1.1.7 Patofisiologi
E. histolytica memiliki bentuk pseudopod, merupakan parasit protozoa tidak
berflagel yang dapat menyebabkan proteolisis dan lisis jaringan, juga
menginduksi apoptosis sel host-nya. Manusia dan primata non-manusia
merupakan satu-satunya host bagi E. histolytica. Menelan kista E. histolytica yang
berasal dari lingkungan akan diikuti dengan eksistasi pada ileum terminal atau
kolon, dan berubah bentuknya menjadi trofozoit yang sangat motil. Saat
kolonisasi di mukosa kolon, trofozoit dapat menghasilkan kista yang kemudian
dieksresikan melalui feces atau dapat pula menembus barrier mukosa usus
sehingga dapat masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke hati, paru, serta
bagian tubuh lainnya. Kista yang dieksresikan akan mencapai lingkungan dan
melengkapi siklus ini.
Berdasarkan pola isoenzimnya, E. histolytica dibagi menjadi golongan
zymodeme patogenik dan zymogene nonpatogenik. Walaupun mekanismenya
belum seluruhnya jelas, diperkirakan trofozoit menginvasi dinding usus dengan
cara mengeluarkan enzim proteolitik. Pasien dalam keadaan imunosupresi seperti
pemakan steroid memudahkan invasi parasit ini. Pelepasan bahan toksik
menyebabkan reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi mukosa. Bila proses
ini berlanjut, timbul ulkus yang bentuknya seperti botol, kedalaman ulkus
mencapai submukosa atau lapisan submuskularis. Tepi ulkus menebal dengan
sedikit reaksi radang. Mukosa di antara ulkus terlihat normal. Ulkus dapat terjadi
di semua bagian kolon, tersering di sekum, kemudian kolon asenden dan sigmoid,
kadang-kadang apendiks dan ileum terminalis.
Akibat invasi amuba ke dinding usus, timbul reaksi imunitas humoral dan
imunitas cell-mediated amibisidal berupa makrofag lymphokine-activated serta
limfosit sitotoksik CD8. Invasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon
dapat menimbulkan jaringan granulasi dan membentuk massa yang disebut
ameboma, sering terjadi di sekum atau kolon asenden (Dipiro, 2008).

1.1.8 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis pasien amebiasis sangat bervariasi, mulai dari
asimtomatik sampai berat dengan gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif.
Manifestasi klinis yang sering dijumpai berupa diare berdarah dan nyeri
abdominal. Hanya 10-30% pasien dengan disentri amuba disertai dengan demam.
Penurunan berat badan dan anoreksia dapat terjadi. Kolitis fulminan atau nekrosis
biasanya bermanifestasi sebagai diare berdarah yang berat, nyeri abdominal yang
luas disertai dengan adanya peritonitis dan demam. Faktor predisposisi dari kolitis
fulminan ini meliputi nutrisi yang kurang, kehamilan, penggunaan kortikosteroid,
dan usia yang sangat muda (Dipiro, 2008).
Selain itu, terdapat beberapa jenis keadaan klinis pasien amebiasis yaitu:
 Carrier (cyst passer): Amoeba tidak mengadakan invasi ke dinding usus,
tanpa gejala atau hanya keluhan ringan seperti kembung, flatulensi, obstipasi,
kadang-kadang diare. Sembilan puluh persen pasien sembuh sendiri dalam
waktu 1 tahun, sisanya (10%) berkembang menjadi kolitis ameba.
 Disentri Amoeba Ringan: Kembung, nyeri perut ringan, demam ringan, diare
ringan dengan tinja berbau busuk serta bercampur darah dan lendir, keadaan
umum pasien baik.
 Disentri Amoeba Sedang: Kram perut, demam, badan lemah, hepatomegali
dengan nyeri spontan.
 Disentri Amoeba Berat: Diare disertai banyak darah, demam tinggi, mual,
anemia.
 Disentri Amoeba Kronik: Gejala menyerupai disentri amoeba ringan diselingi
dengan periode normal tanpa gejala, berlangsung berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun, neurasthenia, serangan diare biasanya timbul karena
kelelahan, demam atau makanan yang sukar dicerna.

1.1.9 Diagnosis
Pada pasien yang dicurigai mengidap amebiasis kolon, pertama kali
diperiksa adanya eritrosit dalam tinja, bila positif, pemeriksaan dilanjutkan.
Pemeriksaan tinja segar yang diberi larutan garam fisiologis, dilakukan minimal 3
spesimen tinja yang terpisah untuk mencari adanya bentuk trofozoit. Untuk
identifikasi kista dilakukan pemeriksaan tinja dengan pengecatan trichrome, bila
perlu dengan teknik konsentrasi tinja.
Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap amoeba,
positif pada 85-95% pasien dengan infeksi amoeba yang invasif. Pemeriksaan
endoskopi bermanfaat untuk menegakkan diagnosis pada pasien amebiasis akut.
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dini sebelum dilakukan terapi. Ulkus yang
terjadi bentuknya khas, berupa ulkus kecil, berbatas jelas, dengan dasar yang
melebar, dan dilapisi dengan eksudat putih kekuningan. Mukosa di sekitar ulkus
biasanya normal. Bentuk trofozoit biasanya dapat ditemukan pada dasar ulkus
dengan cara mengerok atau aspirasi kemudian diperiksa dengan mikroskop setelah
diberi larutan garam fisiologis.
Pemeriksaan radiologi tidak banyak membantu, karena gambaranya sangat
bervariasi dan tidak spesifik. Bila terbentuk ameboma tampak sebagai filling
defect (Dipiro, 2008)..

1.1.10 Penatalaksanaan
Metronidazole (Flagyl), dehydroemetine, dan chloroquine (Aralen) adalah
agen kerja jaringan, sedangkan iodoquinol (Yodoxin), diloxanide furoate
(Furamide), dan paromomycin (Humatin) adalah amebisida luminal. Agen
sistemik dapat diserap dengan sangat baik sehingga hanya sedikit obat yang
bertahan di usus, yang mungkin terbukti tidak efektif sebagai agen luminal. Agen
kerja luminal, di sisi lain, mungkin tidak terlalu baik diabsorbsi. Efektivitas obat
harus dipantau dengan pemeriksaan tinja, yaitu dari satu sampai tiga spesimen
negatif dari 1 hingga 3 bulan setelah pengobatan (Dipiro,2008)..
 Karier asimtomatik
Diberi obat yang bekerja di lumen usus (luminal agents) antara lain :
Iodoquinol (diiodohidroxyquin) 650 mg 3 kali sehari selama 20 hari atau
Paromomycine 25 hingga 30 mg/kg 3 kali sehari selama 7 hari atau
diloxanide furoate 500 mg tiga kali sehari selama 10 hari (Dipiro,2008).
 Kolitis amoeba akut
Metronidazol 750 mg 3 kali sehari selama 5-10 hari, ditambah dengan obat
luminal tersebut diatas.
 Amebiasis ekstra-intestinal (misalnya: abses hati ameba)
Metronidazol 750 mg 3 kali sehari selama 5-10 hari ditambah dengan obat
luminal tersebut diatas. Penggunaan 2 macam atau lebih amebisidal ekstra
intestinal tidak terbukti lebih efektif dari satu macam obat. Tinidazole 800 mg
tiga kali sehari selama 5 hari telah disarankan untuk abses hati amebik. Pada
pasien anak-anak, dosis metronidazole oral adalah 50 mg/kg per hari dalam
dosis terbagi untuk diikuti oleh agen luminal. Pasien yang terlalu sakit untuk
minum metronidazole oral harus menerima obat yang setara dosis dengan rute
intravena (Dipiro,2008).
 Terapi non-medis atau pengobatan alternative yang dapat dilakukan adalah
terapi air sagu dengan memasukkan tiga sendok makan tepung sagu ke dalam
segelas air putih biasa (tidak panas dan juga tidak dingin) kemudian diberi
tambahan gula jawa dan garam (boleh tanpa gula jawa dan garam) (Kalbe
Medical Portal, 2010).

1.2 Infeksi Luka Operasi

Infeksi nosokomial yang merupakan infeksi yang didapat oleh pasien rawat
inap di rumah sakit dalam waktu 3 kali 24 jam, dan penyebab utamanya adalah
bakteri. Jenis infeksi nosokomial yang terbanyak adalah infeksi luka operasi
(ILO), saluran kemih (ISK) dan pneumonia nosokomial. Infeksi nosokomial
dapat terjadi akibat bakteri yang berada baik dalam tubuh penderita sendiri
(endogen) maupun dari luar penderita (eksogen), seperti lingkungan rumah sakit,
udara ruang operasi, peralatan kesehatan, bahan cairan atau petugas rumah sakit
yang kurang menerapkan cara sterilisasi yang baik dan benar sehingga terjadilah
suatu infeksi (Warganegara, 2013).
Diagnosis Infeksi luka operasi (ILO) sebagai salah satu infeksi nosokomial
ditegakkan atas dasar adanya nanah, rasa nyeri, serta kemerahan pada luka bekas
operasi, dan pada biakan dari pus tersebut didapatkan berbagai bakteri sebagai
penyebab infeksi, baik bakteri Gram positip maupun Gram negatip. Beberapa
peneliti telah melaporkan angka kejadian ILO dengan 3 jenis bakteri penyebab
infeksi terbanyak anatara lain di RSU Bangladesh bakteri teridentifikasi adalah
Pseudomonas sp., Staphylococcus epidermidis, dan Escherichia coli; RS M.
Djamil Padang didapatkan Klebsiella sp., Staphylococcus aureus, dan
Enterobacter aglomerans, sedangkan RS Moewardi Surakarta didapatkan
Enterobacter sp., Pseudomonas sp., dan Proteus sp. (Warganegara, 2013).
Infeksi luka operasi (ILO) atau Surgical site infection (SSI) adalah infeksi
pada tempat operasi yang merupakan salah satu komplikasi utama operasi yang
meningkatkan morbiditas dan biaya perawatan penderita di rumah sakit, bahkan
meningkatkan mortalitas penderita (Alsen dan Sihombing, 2014). Infeksi Luka
Operasi (ILO) terjadi ketika mikroorganisme dari kulit, bagian tubuh lain atau
lingkungan masuk kedalam insisi yang terjadi dalam waktu 30 hari dan jika ada
implant terjadi 1 tahun paska operasi, ditandai dengan adanya pus, inflamasi,
bengkak, nyeri dan rasa panas (Awad, dkk., 2009 dalam PP Hipkabi, 2010).
Penyebabnya sering dikaitkan dengan flora mikroba dan pasien, petugas bedah,
teknik pembedahan, lingkungan, dan faktor pasien sebagai pejamu
(Gruendemann, 2005).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi infeksi luka operasi antara lain sifat
operasi (derajat kontaminasi operasi), Nilai ASA (American Society of
Anesthesiologists), komorbiditas DM (diabetes melitus), suhu praoperasi, jumlah
lekosit, dan lama operasi. Selain itu faktor lain yang terkait dari pasien seperti
umur, jenis kelamin, penyakit predisposisi ILO, dan operasi dahulu. Lama pasien
dirawat di rumah sakit, tingkat kebersihan luka, kepatuhan melaksanakan teknik
aseptik, jumlah personil di kamar operasi, dan perawatan luka pasca operasi juga
dapat menjadi faktor yang memengaruhi kejadian infeksi luka operasi (Sandy,
dkk., 2015).
Pengobatan infeksi nosokomial bergantung pada etiologi yang
mendasarinya. Infeksi nosokomial pada daerah bedah atau ulkus dekubitus dapat
dilakukan debridement. Sampel dari jaringan harus di kultur untuk identifikasi
patogen yang dicurigai. Debridement adalah pengeluaran jaringan yang terlepas
atau nekrotik dari luka yang dapat dilakukan melalui pembedahan (Brooker,
2008). Penatalaksanaan bedah pada tulang atau sendi yang terinfeksi umumnya
meliputi pengeluaran materi terinfeksi dan nekrotik yang diikuti dengan
peningkatan penyembuhan normal jaringan lunak dan tulang, pembedahan
tersebut diantaranya adalah debridement ekstensif untuk mengendalikan infeksi.
Pengulangan debridement diperlukan jika infeksi luas (Kneale dan Davis, 2011).
Angka kejadian ILO telah terbukti dapat diturunkan dengan memberikan
antibiotik profilaksis yang tepat sebelum pembedahan (Sjamsuhidajat, dkk.,
2010). Pedoman praktis klinis tentang antibiotik profilaksis tindakan bedah yang
dikeluarkan oleh The American Society of Health-System Pharmacists (ASHP)
merekomendasikan Ampisilin-Sulbaktam, Cefazolin, Ceftriakson dan beberapa
antibiotik lainnya. Penggunaan antibiotik profilaksis setiap rumah sakit berbeda
sesuai dengan pola bakteri dan kepekaan di rumah sakit yang bersangkutan
(Bratzler, dkk., 2013).
Pemberian antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan antara lain untuk
menurunkan angka kejadian ILO, penurunan morbiditas dan mortalitas
pascaoperasi, penghambatan munculnya flora normal resisten, dan meminimalkan
biaya pelayanan kesehatan. Selain itu, pemberian antibiotik profilaksis
diindikasikan terhadap jenis operasi bersih dan bersih-terkontaminasi (Permenkes,
2011). Pemberian antibiotik untuk profilaksis menurut Permenkes pada tahun
2011, yaitu berdasarkan:
1. Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri pathogen terbanyak pada kasus
yang bersangkutan
2. Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri
3. Toksisitas rendah
4. Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anastesi
5. Bersifat bakterisidal
6. Harga terjangkau
Pemberian antibiotik menggunakan sefalosporin generasi I-II untuk
profilaksis bedah, namun pada kasus tertentu yang dicurigai melibatkan bakteri
anaerob dapat ditambahkan metronidazole. Antibiotik sefalosporin generasi III-
IV, antibiotik golongan karbapenem dan golongan kuinolon tidak dianjurkan
untuk profilaksis bedah (Permenkes, 2011). Antibiotik diberikan secara intravena
dan diberikan ≤ 30 menit sebelum insisi kulit, idealnya diberikan pada saat
induksi anastesi. Dosis ulangan dapat diberikan atas indikasi perdarahan lebih dari
1500 ml atau operasi berlangsung lebih dari 3 jam (Permenkes, 2011).
BAB 2 SOAP

Pharmaceutical Care

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. M
Ruang :-
Umur : 80 thn
Tanggal MRS : 25 Juli 2017
Tanggal KRS :-
Diagnosa : Kolitis amoeba, Post op hemikolektomi 10 hari
Farmasis :

II. SUBYEKTIF
2.1 Keluhan Utama
Nyeri pada luka operasi (operasi hemikolektomi pada tanggal 28 Juli 2017 dan operasi
debridement pada tanggal 4 Agustus 2017).

2.2 Keluhan Tambahan


-

2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Hipertensi

2.4 Riwayat Pengobatan


-

2.5 Riwayat Penyakit Keluarga


-

2.6 Alergi Obat


-

III. OBYEKTIF
3.1. Tanda Vital
Data Klinik Nilai Normal 7/8 8/8 9/8 10/8 11/8
Suhu 37 (0C) 36,2 36,2 36 36,5 36,8
Nadi 80-100 (x/menit) 82 88 84 89 88
RR 18-24 (x/menit) 18 18 20 20 20
TD 120/80 (mmHg) 130 ↑/100 ↑ 140 ↑/ 80 130 ↑/ 80 120 / 80 130 ↑/ 80
SpO2 96-100 (%) - - - 96 98

3.2. Hasil Pemeriksaan Kondisi Klinik


Kondisi Klinik 7/8 8/8 9/8 10/8 11/8
Nyeri 4 4 3 3 3
Mual-muntah - - - - +
Demam - - - - -
Catatan: pada luka keluar cairan kuning tetapi tidak berbau.

3.3. Hasil Pemeriksaan Histopatologi


Pada tanggal 7 Agustus 2017 adalah radang kronis supuratif dan amubiasis.

3.4. Hasil Kultur Pus


Tanggal 7/8 9/8
bakteri Pseudomonas
Mikroba bakteri Klebsiella pneumonia
aeruginosa
Keterangan  resisten terhadap  sensitif terhadap antibiotik
semua antibiotik cefoperazone/sulbactam, doripenem,
 intermediate pada imepenem, meropenem, amikasin
antibiotik polimiksin  intermediate terhadap antibiotik amoxicillin,
cefoxitin, tobramysin

3.5. Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Data Nilai
25/7 26/7 28/7 29/7 31/7 7/8 Ket.
Lab Normal
3,5-5,5 hipoalbu-
Albumin - 2,38 ↓ 1,4 ↓ 2,5 ↓ 3↓ -
(g/dl) minemia
135-145 Hiponatre-
Na 129 ↓ 137,8 142 - 141 -
(mEq/L) mia, N
3,4-5,0
K 2,8 ↓ 3,24 ↓ 3,3 ↓ - - - hipokalemia
(mEq/L)
4.5-11
WBC 28,2 ↑ 25,56 ↑ 17,1 ↑ - 8,9 - infeksi, N
(x103/mm3)
< 200
GDA - - - - - 159 N
(mg/dl)
IV. ASSESMENT
4.1 Terapi Pasien

No Nama Obat Signa Rute Indikasi 7/8 8/8 9/8 10/8 11/8
1 Cefoperazone 3x1 IV anti-infeksi √ √ stop
2 Tramadol 1x2 ampul IV analgetik-antipiretik opioid √ √ √ √ stop
3 Novaldo 1x3 ampul IV anti-inflamasi non steroid (pasca op.) √ √ √ √ √
4 Clinimix IV IV suplemen nutrisi (lar. infus) √ √ √ stop
5 Novorapid 3x4 U IV insulin aspart √ √ √ √ stop
6 Sucralfat syrup 3xCII PO antitukak sitoprotektif √ √ √ √ √
7 Albumin IV ekspander plasma darah √ stop
8 Valsartan (80 mg) 1x1 PO Antihipertensi √ √ √ √ √
9 Lisinopril 1x1 PO Antihipertensi √ √
10 Amoxan (500 mg) 3x1 PO anti-infeksi √ √ √
11 Metronidazole (500 mg) 3x1 PO antibakteri-antiprotozoa √ √ √
12 Asam mefenamat (500 mg) 3x1 PO antiradang non-steroid √
4.2 Problem Medik dan Drug Related Problem Pasien
Problem Analisa Rekomendasi &
Subjek / Objektif Terapi DRP
Medik Monitoring
Kekurangan Tidak ada Clinimix IV Clinimix merupakan infus Pemberian TPN Rekomendasi :
nutrisi larutan nutrisi untuk dapat beresiko Terapi Clinimix IV
pasca mendukung kebutuhan meningkatkan dihentikan
operasi nutrisi selama pasien tidak terjadinya
dapat menyerap nutrisi kompikasi infeksi
melalui saluran (Pharmacology Monitoring :
pencernaan, tidak and Physiology in Kadar glukosa darah
mendapat nutrisi yang anestetics Ed 5th) Kadar elektrolit, Albumin
cukup secara oral atau
enteral (DIH ed 17th).

Komposisi Clinimix :
asam amino 2,75%,
dekstrosa dan elektrolit
10% (Drugs.com).

Dosis (DIH ed 17):


Kalori total : 85-105
kcal/kg/hari
Cairan Elektrolit : 130-150
mL/kg/hari
Asam Amino : 2.5
g/kg/day
Karbohidrat : 6-8
mg/kg/menit
Nyeri Subjektif: As. As. Mefenamat merupakan Risiko efek Rekomendasi :
(pasca  Nyeri pada Mefenamat NSAID digunakan sebagai samping Terapi as. mefenamat
operasi luka operasi 500 mg 3x1 analgesik untuk nyeri (pendarahan disarankan untuk dihentikan
hemikolek- ringan sampai nyeri asimtomatik, atau bisa diganti (jika benar-
tomi) Objektif: sedang. Pasien ini peptic ulcer) benar diperlukan) dengan
 Skala nyeri merupakan pasien geriatri terhadap terapi analgesik yang lebih
7/8-8/8 = 4 yang memiliki risiko penggunaan as. aman untuk pasien geriatri,
(sedang) tinggi terhadap efek mefenamat pada seperti parasetamol p.o dosis
9/8-11/8 = 3 samping dari penggunaan pasien geriatri. 325-650 mg setiap 4-6 jam
(ringan) as. mefenamat, seperti atau 1 g 3-4 kali/hari tetapi
pendarahan asimtomatik tidak lebih dari 4 g/hari (DIH
dan peptic ulcer, meskipun ed 17).
telah mendapatkan terapi
sucralfat sebagai Monitoring :
profilaksis (DIH ed 17). Rasa nyeri

Dosis : Oral 500 mg, 250


mg tiap 4 jam jika
diperlukan (DIH ed 17).

Pasien merasakan mual


muntah pada tanggal 11
Agustus, dimungkinkan
karena pemberian terapi
as. mefenamat pada
tanggal tersebut.
Tramadol Merupakan analgesik Penggunaan Rekomendasi : terapi
1x2 ampul kuat golongan opioid, Tramadol dapat penggunaan analgesik kuat
yang diindikasikan untuk menimbulkan (tramadol) dihentikan,
nyeri sedang hingga berat efek anxiety pada karena tingkatan nyeri pada
terutama untuk pasien pasien. pasien sudah menurun secara
post-op. bertahap.

Dosis: 1xsehari 50mg/ml. Monitoring:


Bila nyeri tidak mereda Rasa nyeri
bisa ditambahkan 50
mg/ml dengan selang
waktu 30-60 menit.
Pasien dengan usia>75
tahun, 300 mg/hari.
(DIH, 17th Edition)

Novaldo Novaldo dengan bahan Penggunaan Rekomendasi:


1x3 ampul aktif metamizole Novaldo dapat terapi novaldo tetap
merupakan Obat Anti menimbulkan dilanjutkan karena nyeri
Inflamasi Non Steroid efek reaksi pasien masih dalam tingkatan
(OAINS), yang hipersensitivitas ringan (nilai 3). Jika pasien
diindikasikan untuk yakni ruam sudah tidak nyeri (nilai 0)
meredakan nyeri pasien kemerahan pada maka penggunaan novaldo
post-op. kulit dan mual bisa dihentikan.
muntah.
Monitoring:
Rasa nyeri
Infeksi Subjektif : Cefoperazone  Golongan Sefalosporin Cefoperazone Rekomendasi :
luka Keluar cairan 3x1 iv generasi ke tiga memiliki rantai Terapi dilanjutkan dan
operasi berwarna kuning,  Indikasi: Susceptible samping N- dikombinasikan dengan
nyeri infections methylthiotetrazol
Polimyxin iv 15.000-25.000
 Kontraindikasi: e (NMTT) yang
dapat unit/kg/hari dibagi setiap 12
Objektif : Hipersensitifitas
meningkatan jam. Total dosis harian tidak
7/7/17, hasil kultur Sefalosporin
risiko boleh lebih dari 2.000.000
pus : bateri Ps.  Dosis dewasa: hipoprothrombine unit/ hari (DIH, 17th
aeruginosa IV / IM 2-4 g/ hari dalam mia dan Edition)
9/7/17, hasil kultur 2 atau 3 dosis terbagi, perdarahan pada
pus : bateri hingga 12 g/ hari untuk pasien lanjut usia,
infeksi berat lemah, atau
Klebsiella
(MIMS.com) setelah Monitoring:
pneumonia
pembedahan GI Efek samping obat,
- WBC
radikal, dapat monitoring tingkat cairan
25/7 = 28,2
mengganggu kuning yang keluar pada
26/7 = 25,56
metabolisme dan luka, Jumlah WBC,
28/7 = 17,1
regenerasi keberadaan bakteri
vitamin K dan
menghambat g-
karboksilasi asam
glutamat, reaksi
seperti disulfiram
(disulfiram like
reaction)
(AHFS Drug
Information,
2008)
Amoxan 3x1  Antibiotik golongan Dari hasil kultur, Rekomendasi:
mg (po) penisilin (BNF 58, tingkat resistensi Terapi Amoksisilin lebih
2009). penggunaan disarankan agar diganti
amoxicillin pada dengan antibiotik seperti
 Diindikasikan untuk bakteri Klebsiella Cefoperazone dengan dosis
infeksi oral, juga pneumonia adalah 2-4 g per hari, dibagi menjadi
perawatan intermediate dua atau tiga dosis sehari.
endokarditis, antraks, (terapi kurang
tambahan dalam tepat indikasi). Monitoring:
meningitis listerial, Efek samping obat, dan
Pemberantasan Efek samping: monitoring tingkat cairan
Helicobacter pylori mual, muntah, kuning yang keluar pada
BNF 58, 2009). diare; ruam
luka, Jumlah WBC,
(hentikan
pengobatan); Keberadaan bakteri
 kontraindikasi:
Hipersensitif terhadap jarang, kolitis
amoksisilin, penisilin, terkait antibiotik;
atau komponen lihat juga di
formulasi apa pun bawah
th
(DIH 17 edition). Benzylpenicillin
(BNF 58, 2009).
 Oral: 250-500 mg Reaksi
setiap 8 jam atau 500- anafilaksis,
875 mg dua kali sehari superinfeksi
(DIH 17th edition). (DIH 17th
edition).
Kolitis  Subyektif: Metronidazo  Metronidazole Efek samping: Rekomendasi:
Amoeba Diagnosis le 500 mg termasuk kategori berupa kejang, Terapi metronidazole tetap
dokter 3x1 po amebisida; antibiotik, neuropati, dilanjutkan, tetapi sebaiknya
Nyeri pada antibiotik topikal; superinfeksi, dan diganti dengan bentuk sediaan
luka operasi antiprotozoal, karsinogenik suppositoria dengan dosis 500
nitroimidazole (DIH, (DIH 17th mg 3x1 po karena memiliki
 Objektif: 17th Edition). edition). efek yang cepat dan bekerja
- Hasil  Diindikasikan untuk lokal.
pemeriksaan pengobatan infeksi Mual, muntah,
histopatologi bakteri dan protozoa gangguan rasa, Monitoring:
pada tanggal 7 anaerob yang rentan furred tongue, Efek samping obat, kadar
Agustus 2017 dalam kondisi mucositis oral, WBC, colonoscopy/
adalah radang Amebiasis, infeksi anoreksia (BNF histopatologi dan gejala
kronis intraabdominal, 58, 2009). infeksi
supuratif + pengobatan kolitis
Amubiasis. pseudomembranosa
- Hasil kultur terkait-antibiotik
Pus tanggal 7 (AAPC) (DIH, 17th
Juli 2017 : Edition).
bakteri Ps.  Kontraindikasi:
aeruginosa, Hipersensitif terhadap
resisten metronidazole,
terhadap semua turunan
antibiotik, nitroimidazole, atau
intermediate komponen apa pun
pada antibiotic dari formulasi;
polimyxin. kehamilan (trimester
- Hasil kultur pertama - ditemukan
Pus tanggal 9 bersifat karsinogenik
Juli 2017 : pada tikus) (DIH, 17th
bakteri Edition).
Klebsiella  Dosis:
pneumonia Infeksi anaerob: Oral,
sensitif I.V 500 mg setiap 6-8
terhadap jam, tidak melebihi 4 g /
antibiotik hari
cepoferazone / Amebiasis: Oral: 500-
sulbactam, 750 mg setiap 8 jam
doripenem, selama 5-10 hari
imepenem, Kolitis pseudomembran
meropenem, terkait antibiotik: Oral:
amikasin dan 250-500 mg 3-4 kali /
intermediate hari selama 10-14 hari;
terhadap (DIH, 17th Edition).
antibiotik
amoxicillin,
cefoxitin,
tobramysin.

Hipertensi Riwayat Lisinopril  Golongan obat Kombinasi terapi Rekomendasi:


Hipertensi 1x1 (ACE)Inhibitor, dengan ACEI dan ARB Terapi Lisinopril dihentikan
mekanisme menghambat dapat sedangkan valsartan tetap
konversi angiotensin I meningkatkan dilanjutkan.
menjadi angiotensin II resiko
 Indikasi: pengobatan hyperkalemia,
gagal ginjal akut Monitoring:
hipertensi, terapi
hingga dialysis. Tekanan darah, fungsi ginjal
tambahan gagal jantung,
Selain itu juga pasien dan kadar kalium.
pengobatan infark
miokard akut tidak mendukung
 Kontraindikasi: bukti jika terapi
hipersensitivitas kombinasi dapat
lisinopril, angiodema menurunkan
dari pengobatan ACEI resiko kematian
sebelumnya, pasien dan penyakit
yang diduga atau kardiovaskular.
dipastikan Selain itu AHA,
Valsartan Golongan antihipertensi JNC dan KDOQI
1x1 ARB tidak
merekomendasika
Indikasi: n pengunaan
Digunakan monoterapi kombinasi ACEI
atauun kombinasi dengan dan ARB (Anand
antihipertensi lainnya dan Tamura,
untuk agen hipertensi, 2011) (Misra dan
mereduksi tingkat Stevermer, 2009 )
kematian akibat
kardiovaskular yang
disebabkan disfungsi
ventrikel kiri post
miokardial infark,
treatment untuk gagal
jantung (NYHA Class II-
IV)

(DIH 17th Ed)

Dosis:
Awal: 80 mg atau 160 mg
sekali sehari, dosis dapat
ditingkatkan dengan
ditingkatkan untuk
mencapai efek yang
diinginkan. Dosis
maksimum yang
direkomendasikan 320
mg/hari
Hiperglike Subjektif: - Novorapid  Novorapid merupakan Berinteraksi Rekomendasi :
mia 3x4 U, iv insulin aspart yang dengan sucralfate Terapi novorapid dihentikan
digolongkan sebagai secara moderate. karena penggunaan TPN juga
Objektif: insulin rapid acting. dihentikan.
GDA : 159 (7/8) Insulin aspart dapat Efek samping:
diberikan I.V. dalam Hipoglikemia Monitoring :-
situasi klinis tertentu (DIH, 17th
untuk mengendalikan Edition)
hiperglikemia.
 Indikasi: diabetes
mellitus tipe 1 dan
diabetes mellitus tipe 2
untuk mengkontrol
glikemik
 Kontra indikasi :
Hipersensitivitas insulin
aspart dan hipoglikemia
 Dosis awal 0,15-0,2
unit/kg/hari
(DIH, 17th Edition)
Hipoalbum Subjektif:- Albumin iv Albumin digunakan saat Tidak ada DRP Rekomendasi :
inemia terjadi penurunan albumin Terapi dihentikan
Objektif: atau hiperalbuminemia
yang terjadi pada pasien Monitoring:
Albumin normal:
infeksi dan pasca operasi Kadar albumin di dalam
<3.5 – 5.2 (Throop et al., 2004) tubuh

Tanggal:
26/7= 2.38
28/7= 1.4
29/7= 2.5
31/7= 3

Mual Subjektif: Sucralfat Sucralfat digunakan dalam Sucralfat sirup + Rekomendasi:


Muntah Nyeri pada luka syrup 3xCII mengobati tukak usus 12 novorapid Pemberian sucralfat dapat
operasi (operasi (po) jari, termasuk dalam (interaksi dilanjutkan dengan
hemikolektomi 28 golongan obat antasida, moderate pada 7- monitoring ketat gula darah
Juli 2017 dan anti refluks dan anti ulser 10 Agustus).
operasi (drugs.com) Suspense oral Monitoring:
debridement 4 sucralfat adalah Kadar gula darah dan gejala
Agustus 2017 Mekanisme sucralat obat tinggi hiperglikemia
adalah melapisi lambung karbohidrat yang Mual muntah
Objektif: dan pelindung dari asam, mampu
Kondisi klinik enzim dan garam empedu mengganggu
nyeri pasien (drugs.com) efektivitas terapi
4 (7/8-8/8 2017) insulin, jadi perlu
3 (9/8-11/8 2017) Dosis: dilakukan
Untuk profilaksis penyesuaian dosis
pendarahan GI dari stress insulin dalam
ulcer 1g 6x sehari, penggunaan
maksimal 8g sehari. terapi bersama
Untuk gastritikronik, PUD (drugs.com)
1g 4x sehari
BAB 3 PEMBAHASAN

3.1 Infeksi Luka Operasi


Pada kasus ini pasien mengalami infeksi luka operasi yang ditunjukkan dari
adanya nyeri pada luka operasi (operasi hemikolektomi 28/7/17 dan operasi
debridement 4/8/17). Pasien telah mendapatkan operasi debridement yang
dimungkinkan untuk infeksi luka operasi hemikolektomi. Berdasar hasil obejktif
pasien, pada luka keluar cairan kuning tidak berbau, kultur pus tanggal 7 Agustus
2017 terdapat bakteri Ps. aeruginosa yang resisten terhadap semua antibiotik
tetapi intermediet pada polimyxin dan tanggal 9 Agustus 2017 terdapat bakteri
Klebsiella pneumonia yang sensitif cepoferazone/sulbactam, doripenem,
imepenem, meropenem, amikasin, dan intermediet terhadap amoxicillin, cefoxitin,
tobramysin. Selain itu dilihat dari hasil pemeriksaan lab WBC pasien cukup tinggi
pada tanggal 25, 26, 27 Juli secara berturut-turut sebesar 28,2; 25,56; dan 17,1.
Terapi antibiotik Cefoperazone 3x1 iv untuk infeksi luka operasi diberikan
ke pasien pada tanggal 7/8-8/8 lalu dihentikan dan digantikan dengan terapi
Amoxan 500 mg 3x1 mg secara peroral. Perlunya kultur pus pada pasien untuk
mendapatkan data bakteri yang menyebabkan infeksi serta dapat ditentukan terapi
antibiotik yang cocok bagi pasien. Cefoperazone merupakan antibiotik golongan
sefalosporin generasi ke tiga. Cefoperazone diindikasikan untuk infeksi yang
rentang (MIMS.com). Amoxan berisi antibiotik amoxicillin (golongan beta
lactam/penisilin) (BNF 58, 2009). Amoxan ini diindikasikan untuk pengobatan
infeksi pasien. Penggunaan amoxan ini kurang tepat indikasi, karena berdasarkan
hasil kultur, tingkat resistensi penggunaan amoxicillin pada bakteri Klebsiella
pneumonia adalah intermediate. Selain itu efek samping lain amoxicillin yaitu
mual, muntah, dan diare. pasien mengalami mual pada 11 Agustus. Amoxicillin
ini juga akan memperparah diare dari pasien mengingat pasien mengalami kolitis
amoeba.
Berdasarkan beberapa pertimbangan, kami menyarankan penggantian
terapi antibiotik amoxan dengan antibiotik cefoperazone dengan dosis 2-4 gram
perhari dibagi menjadi 2-3 dosis sehari. Terapi cefoperazone dikombinasikan
dengan Polimyxin iv 15.000-25.000 unit/kg/hari dibagi setiap 12 jam. Total dosis
harian tidak boleh lebih dari 2.000.000 unit/ hari (DIH, 17th Edition). Berdasarkan
hasil kultur Pus tanggal 7 Agustus 2017 terdapat bakteri Ps. aeruginosa yang
resisten terhadap semua antibiotik tetapi intermediet pada polimyxin dan tanggal 9
Agustus 2017 terdapat bakteri Klebsiella pneumonia yang sensitif terhadap
antibiotik cepoferazone. Selama terapi antibiotik ini harus dilakukan monitoring
terhadap efek samping obat, kadar WBC, keberadaan dan tingkat cairan kuning
yang keluar pada luka, serta keberadaan bakteri.

3.2 Hiperglikemia
Pada kasus ini pasien mengalami hiperglikemia, hiperglikemia dapat
disebabkan karena penggunaan TPN pada pasien yag tidak memiliki riwayat
diabetes melitus. Hiperglikemia saat penggunaan TPN dapat mengakibatkan
kematian dan prevalensi komplikasi khususnya komplikasi infeksi (Lee dkk.,
2011). Data objektif pasien yakni data laboraturium GDA 159 pada tanggal 7
Agustus. Menurut Dipiro tenth, banyak dokter memutuskan bahwa insulin,
terutama insulin basal menjadi pilihan terapi. Insulin aspart adalah analog yang
lebih cepat diserap, peak lebih cepat, dan memiliki durasi kerja lebih pendek
daripada insulin biasa. Pemberian dosisnya memmungkinkan lebih nyaman yakni
dalam waktu 10 menit setelah makan (daripada 30 menit sebelumnya),
menghasilkan kemanjuran yang lebih baik dalam menurunkan glukosa darah
postprandial dibandingkan insulin reguler pada diabetes mellitus tipe 1, dan
meminimalkan hipoglikemia pasca makan.
Terapi Novorapid 3x4 U, iv dihentikan karena data laboratorium GDA tidak
terlalu besar dari rentang normal, dilakukan pemeriksaan diabetes pada pasien.
Data laboraturium pasien yang sudah ada didapat ketika dilakukan penghentian
terapi Novorapid 3x4 U, iv pada pasien. Tidak ada data pendukung yang kuat
meliputi data laboratorium, subjektif maupun objektif yang menunjukkan bahwa
pasien terkena diabetes mellitus beserta tipenya. Perlunya pemeriksaan diabetes
mellitus kepada pasien.

3.3 Kolitis Amoeba


Pada kasus ini pasien mengalami colitis jenis infeksi, yaitu colitis amoeba.
Kolitis amoeba merukapan salah satu jenis kolitis infeksi yang termasuk
peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica (Dipiro,
2008). Kondisi kolitis amoeba pasien ditandai dengan nyeri pada luka operasi dan
terjadi radang kronis supuratif + amubiasis.
Kolitis amoeba pasien ditangani dengan diberikan obat golongan amebisida
dan sebagai first line therapy untuk pasien koliti infeksi oleh amoeba yaitu
menggunakan Metronidazole 500 mg 3 kali sehari. Penggunaan obat tersebut
diganti bentuk sediaannya dari sediaan peroral menjadi bentuk sediaan
suppositoria dikarenakan bentuk sediaan suppositoria lebih efektif karena bekerja
secara local serta memberikan efek yang lebih cepat. Selain faktor tersebut, pasien
juga mengalami mual karena efek samping dari penggunaan beberapa obat.
Metronidazole diindikasikan untuk pengobatan infeksi bakteri dan protozoa
anaerob yang rentan dalam kondisi Amebiasis, infeksi intraabdominal, pengobatan
kolitis pseudomembranosa terkait-antibiotik (AAPC). Dosis metronidazole untuk
kolitis infeksi adalah 500 mg tiap 6-8 jam, tidak melebihi 4 gram/hari (DIH, 17th
Edition).
Efek samping yang disebabkan oleh metronidazole yaitu berupa kejang,
nuropati, suoerinfeksi dan karsinogenik (jarang terjadi). Sedangkan efek samping
yang umum terjadi untuk sediaan oral adalah mual, gangguan rasa, furred tongue,
mucositis oral dan anoreksia, oleh karena itu kami lebih menyarankan untuk
mengganti bentuk sediaan oral metronidazole menjadi bentuk sediaan
suppositoria.
Penggunaan Metronidazole dalam pengobatan kolitis amoeba ini perlu
dilakukan monitoring terhadap efek samping obat, kadar WBC,
colonoscopy/histopatologi dan gejala infeksi. Kadar WBC harus sering dikontrol
untuk melihat perkembangan infeksi. Jika WBC turu maka kemungkinan
infeksinya akan semakin membaik.

3.4 Hipertensi
Penggunaan kombinasi Lisinopril dan valsartan tidak dilanjutkan karena
belum adanya bukti yang menunjukkan jika penggunaan kedua baik digunakan
untuk pasien hipertensi. Kombinasi keduanya digunakan jika pasien mengalami
penyakit kardiovaskular dan CKD dengan proteinuria namun pada pasien ini tidak
adanya riwayat dan data laboratorium yang menunjukkan adanya penyakit
kardiovaskular dan CKD. Maka disarankan untuk menghentikan penggunaan
Lisinopril dan tetap menggunakan valsartan sebagai antihipertensi pasien. Pada
jurnal menjelaskan penggunaan kombinasi ACEI (Lisinopril) dan ARB (Valsartan)
tidak menurunkan angka kematian pasien dan juga tidak dapat memperbaiki
progesifitas kerusakan ginjal. Selain itu guideline AHA, JNC dan KDOQI tidak
menyarankan penggunaan terapi kombinasi.

3.5 Kekurangan Nutrisi Pasca Operasi


Pemberian Clinimix iv ditujukan karena pasien tersebut mengalami
kekurangan nutrisi pasca operasi. Clinimix merupakan infus larutan nutrisi (asam
amino, glukosa, elketrolit) untuk mendukung kebutuhan nutrisi selama pasien
tidak dapat menyerap nutrisi melalui saluran pencernaan, tidak mendapat nutrisi
yang cukup secara oral atau enteral (DIH ed 17). Pada kasus ini Clinimix
dihentikan karena dikhawatirkan dapat memperburuk infeksi pasien karena
pemberian TPN dapat meningktakan resiko terjadinya komplikasi (Pharmacology
and Phisiology anatetics). Tetap dilakukan monitoring kadar glukosa darah serta
kadar elektrolit. Pemberian TPN pada pasien post operasi bertujuan untuk
menghindari sepsis dan resiko kematian.

3.6 Nyeri Pasca Operasi


Untuk nyeri dengan tingkatan sedang (nilai 4-6) direkomendasikan untuk
penggunaan analgesik kuat golongan opiod, yakni tramadol. Untuk nyeri dengan
tingkatan ringan (nilai 1-3) direkomendasikan untuk penggunaan OAINS. Pada
kasus, penggunaan tramadol bisa dihentikan karena tingkat nyeri pada pasien
sudah berangsur berkurang. Sehingga, penanganan nyeri pasien cukup
menggunakan OAINS yakni novaldo (iv). Pemberian asam mefenamat juga
ditujukan untuk mengatasi nyeri pasien pasca operasi. Tetapi pasien ini
merupakan pasien geriatri yang memiliki risiko tinggi terhadap efek samping dari
penggunaan asam mefenamat, seperti pendarahan asimtomatik dan peptic ulcer
(DIH ed 17). Pada tanggal yang sama dengan pemberian asam mefenamat yakni
tanggal 11 Agustus, pasien ini mengalami mual muntah dimungkinkan karena
pemberian asam mefenamat. Sehingga terapi asam mefenamat disarankan untuk
dihentikan.
3.7 Hipoalbunemia
Albumin adalah suatu protein yang diproduksi di hati dan disirkulasikan di
plasma. Pengobatan albumin terbuat dari plasma protein yang berasal dari darah
manusia. Albumin dapat menambah volume plasma dan kadar albumin dalam
darah. Albumin juga digunakan untuk mengembalikan volume darah yang hilang.
Albumin digunakan saat terjadi penurunan albumin atau hiperalbuminemia yang
terjadi pada pasien infeksi dan pasca operasi. Penggunaan albumin dihentikan
disebabkan kadar albumin mendekati normal.

3.8 Mual-Muntah
Sukralfat adalah obat maag, sukralfat tidak banyak diserap ke dalam tubuh
melalui saluran pencernaan. Sukralfat bekerja terutama di lapisan perut dengan
menempel pada bagian-bagian yang terluka dan melindunginya dari asam, enzim,
dan garam empedu. Sukralfat digunakan untuk mengobati tukak duodenum aktif.
Sucralfat digunakan dalam mengobati tukak usus 12 jari, termasuk dalam
golongan obat antasida, anti refluks dan anti ulser. Mekanisme sucralat adalah
melapisi lambung dan pelindung dari asam, enzim dan garam empedu.
Penggunaan sukralfat dilanjutkan karena pasien mengalami mual muntah pada
saat tanggal 11 Agustus 2017 dan meminimalisir efek samping dari penggunaan
obat NSAID (Drugs.com)
DAFTAR PUSTAKA

Alsen, M. dan Sihombing, R. 2014. Infeksi Luka Operasi. Majalah Kedokteran


Sriwijaya, 46(3), 229-235.

Anand, S dan M. K., Tamura. 2011. Combining Angiotensin Receptor Blockers


with ACE Inhibitors in Elderly Patients. California.

Ariestine, D.A., 2008. Kolitis Ulsoratif Ditinjau dari Aspek Etiologi, Klinik dan
Patogenesa. Universitas Sumatra Utara: Fakultas Kedokteran

Bratzler, D.W., E. Patchen Dellinger, Keith M. Olsen, Trish M. Perl, Paul G.


Auwaerter, Maureen K. Bolon, Douglas N. Fish, Lena M. Napolitano,
Robert G. Sawyer, Douglas Slain, James P. Steinberg, dan Robert A.
Weinstein. 2013. Clinical practice guidelines for antimicrobial prophylaxis
in surgery. Surgical infections, 14(1), 73-156.

Brooker, Chris. 2008. Ensiklopedi Keperawatan. Jakarta. EGC.

Dipiro, J.T., et al. 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach,


Seventh Edition. Mc-Graw Hill. USA.

Gruandemann, Barbara J. 2005. Keperawatan Perioperatif Volume 1. Terjemahan


Oleh Brahm Pendit. Jakarta : EGC.

Misra, Shamita dan J. J., Stevermer. 2009. ACE Inhibitors and ARBs: One the
Other-not both-for high-risk patients. Chicago

Katzung, B. G., dan Trevor, A. J. (Eds.). 2004. Basic & clinical


pharmacology (Vol. 8). New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill.

Kneale, Julia D dan Davis, Peter. 2011. Keperawatan Ortopedik dan Trauma
Edisi 2. Jakarta. EGC.

Lee, H., S. O. Koh., dan M. S. Park. 2011. Higher dextrose delivery via TPN
related to the development of hyperglycemia in non-diabetic critically ill
patients. Seoul.

Lestari, P. 2011. Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam. Universitas


Tarumanegara: Fakultas Kedokteran.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2406/MENKES/PER/XII/2011 Tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik

PP Hipkabi. 2010. Buku Kumpulan Materi Pelatihan Manajemen Kamar Bedah.


Jakarta : Hipkabi Press Jakarta

Sandy, F. P. T., Yuliwar, R., dan Utami, N. W. 2015. Infeksi Luka Operasi (ILO)
pada Pasien Post Operasi Laparotomi. Jurnal Keperawatan Terapan, 1(1),
14-24.

Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TO, Rudiman R, penyunting.


2010. Buku ajar ilmu bedah sjamsuhidajat-de jong. Edisi 3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Warganegara, E., Apriliana, E., & Ardiansyah, R. 2013. Identifikasi bakteri


penyebab infeksi luka operasi (ilo) nosokomial pada ruang rawat inap bedah
dan kebidanan RSAM di Bandar Lampung. In Prosiding Seminar Nasional
Sains Mipa dan Aplikasi (ISBN: 978-602-98559-1-3) (Vol. 3, No. 3).

Anda mungkin juga menyukai