Dosen:
Antonius N. W. Pratama, S.Farm., M.P.H., Apt.
Oleh :
Kelompok 6
Atika Sari Dyah P (182211101111)
Syahreza Yusvandika (182211101112)
Qurnia Wahyu Fatmasari (182211101113)
Nadia Iga Hasan (182211101114)
Ainun Nihayah (182211101115)
Indah Setyowati (182211101116)
1.1. Kolitis
1.1.1 Definisi Kolitis
Colitis berasal dari kata kolon (usus besar) dan itis (peradangan). Colitis
adalah penyakit berupa peradangan usus besar yang menyebabkan gejala nyeri,
meradang, diare dan perdarahan anus. Usus besar meliputi area dari caecum
(tempat menempel usus buntu/appendiks), kolon ascendant, kolon transversum,
kolon descendent, sigmoid, rektum, dan anus (Lestari, 2011). Colitis amoeba
merukapan salah satu jenis colitis infeksi yang termasuk peradangan kolon yang
disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica (Dipiro, 2008).
Gambaran tertentu kolitis menunjukkan beberapa kemungkinan penting
berkaitan dengan faktor :
a. Faktor Familia/Genetik Lebih sering pada orang kulit putih daripada
orang kulit hitam dan Cina. Insidensi meningkat 3-6 kali pada orang Yahudi
dibandingkan orang Non Yahudi (Ariestine, 2008).
b. Faktor Infeksi Pseudomonas (masih harus dikonfirmasi). Infeksi virus,
bakteri atau parasit dari makanan, minuman atau tangan yang kotor,
umumnya : Shigella, E. Coli, Salmonella dan Campylobacter. Amuba juga
dapat menyebabkan kolitis (menyebabkan diare darah, demam dan dehidrasi)
dan Parasit : Giardia. (Lestari, 2011)
c. Faktor imunologik manifestasi ekstraintestinal : artritis, perikolangitis.
d. Faktor Psikologis stres psikologi mayor (ex : kehilangan seorang
anggota keluarga), rentan terhadap stres emosi yg dapat merangsang penyakit
Kolitis.
e. Faktor Lingkungan/Kebiasaan Perokok beresiko 40% terkena Kolitis
dibanding bukan perokok. Hubungan terbalik antara operasi apendikotomi dg
kolitis (penyakit Kolitis menurun secara signifikan) (Ariestine, 2008).
f. Bahan-bahan kimia keras yang merangsang usus besar : enema
g. Kolitis akibat radiasi pada usus besar. (Lestari, 2011)
1.1.5 Epidemiologi
Prevalensi amebiasis diberbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan 10%
populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia
merupakan host sekaligus resevoir utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja
ke makanan dan minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal
atau lewat hubungan seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek, penduduk
yang padat dan kurangnya sanitasi individual mempermudah penularannya
(Dipiro, 2008).
Pasien yang asimtomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya mengeluarkan
kista pada tinjanya. Kista tersebut dapat bertahan hidup diluar tubuh manusia.
Sedangkan pada pasien dengan infeksi amuba akut/kronik yang invasif selain
kista juga mengeluarkan trofozoit, namun bentuk trofozoit tersebut tidak dapat
bertahan lama diluar tubuh manusia (Dipiro, 2008).
1.1.6 Prognosis
Dapat terjadi komplikasi : perforasi usus yang terlibat, terjadinya stenosis
usus akibat proses fibrosis, megakolon toksik (terutama pada colitis ulseratif),
perdarahan, dan degenerasi maligna.
Diperkirakan risiko terjadinya kanker pada IBD lebih kurang 13% .
Risiko terjadi kanker usus besar akan meningkat pada pasien kolitis ulseratif
setelah 8-10 tahun,
Perjalanan klinis Colitis bervariasi, mayoritas pasien akan menderita relaps
dalam waktu 1 tahun dari serangan pertama, mencerminkan sifat rekuren dari
penyakit.
1.1.7 Patofisiologi
E. histolytica memiliki bentuk pseudopod, merupakan parasit protozoa tidak
berflagel yang dapat menyebabkan proteolisis dan lisis jaringan, juga
menginduksi apoptosis sel host-nya. Manusia dan primata non-manusia
merupakan satu-satunya host bagi E. histolytica. Menelan kista E. histolytica yang
berasal dari lingkungan akan diikuti dengan eksistasi pada ileum terminal atau
kolon, dan berubah bentuknya menjadi trofozoit yang sangat motil. Saat
kolonisasi di mukosa kolon, trofozoit dapat menghasilkan kista yang kemudian
dieksresikan melalui feces atau dapat pula menembus barrier mukosa usus
sehingga dapat masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke hati, paru, serta
bagian tubuh lainnya. Kista yang dieksresikan akan mencapai lingkungan dan
melengkapi siklus ini.
Berdasarkan pola isoenzimnya, E. histolytica dibagi menjadi golongan
zymodeme patogenik dan zymogene nonpatogenik. Walaupun mekanismenya
belum seluruhnya jelas, diperkirakan trofozoit menginvasi dinding usus dengan
cara mengeluarkan enzim proteolitik. Pasien dalam keadaan imunosupresi seperti
pemakan steroid memudahkan invasi parasit ini. Pelepasan bahan toksik
menyebabkan reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi mukosa. Bila proses
ini berlanjut, timbul ulkus yang bentuknya seperti botol, kedalaman ulkus
mencapai submukosa atau lapisan submuskularis. Tepi ulkus menebal dengan
sedikit reaksi radang. Mukosa di antara ulkus terlihat normal. Ulkus dapat terjadi
di semua bagian kolon, tersering di sekum, kemudian kolon asenden dan sigmoid,
kadang-kadang apendiks dan ileum terminalis.
Akibat invasi amuba ke dinding usus, timbul reaksi imunitas humoral dan
imunitas cell-mediated amibisidal berupa makrofag lymphokine-activated serta
limfosit sitotoksik CD8. Invasi yang mencapai lapisan muskularis dinding kolon
dapat menimbulkan jaringan granulasi dan membentuk massa yang disebut
ameboma, sering terjadi di sekum atau kolon asenden (Dipiro, 2008).
1.1.9 Diagnosis
Pada pasien yang dicurigai mengidap amebiasis kolon, pertama kali
diperiksa adanya eritrosit dalam tinja, bila positif, pemeriksaan dilanjutkan.
Pemeriksaan tinja segar yang diberi larutan garam fisiologis, dilakukan minimal 3
spesimen tinja yang terpisah untuk mencari adanya bentuk trofozoit. Untuk
identifikasi kista dilakukan pemeriksaan tinja dengan pengecatan trichrome, bila
perlu dengan teknik konsentrasi tinja.
Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap amoeba,
positif pada 85-95% pasien dengan infeksi amoeba yang invasif. Pemeriksaan
endoskopi bermanfaat untuk menegakkan diagnosis pada pasien amebiasis akut.
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dini sebelum dilakukan terapi. Ulkus yang
terjadi bentuknya khas, berupa ulkus kecil, berbatas jelas, dengan dasar yang
melebar, dan dilapisi dengan eksudat putih kekuningan. Mukosa di sekitar ulkus
biasanya normal. Bentuk trofozoit biasanya dapat ditemukan pada dasar ulkus
dengan cara mengerok atau aspirasi kemudian diperiksa dengan mikroskop setelah
diberi larutan garam fisiologis.
Pemeriksaan radiologi tidak banyak membantu, karena gambaranya sangat
bervariasi dan tidak spesifik. Bila terbentuk ameboma tampak sebagai filling
defect (Dipiro, 2008)..
1.1.10 Penatalaksanaan
Metronidazole (Flagyl), dehydroemetine, dan chloroquine (Aralen) adalah
agen kerja jaringan, sedangkan iodoquinol (Yodoxin), diloxanide furoate
(Furamide), dan paromomycin (Humatin) adalah amebisida luminal. Agen
sistemik dapat diserap dengan sangat baik sehingga hanya sedikit obat yang
bertahan di usus, yang mungkin terbukti tidak efektif sebagai agen luminal. Agen
kerja luminal, di sisi lain, mungkin tidak terlalu baik diabsorbsi. Efektivitas obat
harus dipantau dengan pemeriksaan tinja, yaitu dari satu sampai tiga spesimen
negatif dari 1 hingga 3 bulan setelah pengobatan (Dipiro,2008)..
Karier asimtomatik
Diberi obat yang bekerja di lumen usus (luminal agents) antara lain :
Iodoquinol (diiodohidroxyquin) 650 mg 3 kali sehari selama 20 hari atau
Paromomycine 25 hingga 30 mg/kg 3 kali sehari selama 7 hari atau
diloxanide furoate 500 mg tiga kali sehari selama 10 hari (Dipiro,2008).
Kolitis amoeba akut
Metronidazol 750 mg 3 kali sehari selama 5-10 hari, ditambah dengan obat
luminal tersebut diatas.
Amebiasis ekstra-intestinal (misalnya: abses hati ameba)
Metronidazol 750 mg 3 kali sehari selama 5-10 hari ditambah dengan obat
luminal tersebut diatas. Penggunaan 2 macam atau lebih amebisidal ekstra
intestinal tidak terbukti lebih efektif dari satu macam obat. Tinidazole 800 mg
tiga kali sehari selama 5 hari telah disarankan untuk abses hati amebik. Pada
pasien anak-anak, dosis metronidazole oral adalah 50 mg/kg per hari dalam
dosis terbagi untuk diikuti oleh agen luminal. Pasien yang terlalu sakit untuk
minum metronidazole oral harus menerima obat yang setara dosis dengan rute
intravena (Dipiro,2008).
Terapi non-medis atau pengobatan alternative yang dapat dilakukan adalah
terapi air sagu dengan memasukkan tiga sendok makan tepung sagu ke dalam
segelas air putih biasa (tidak panas dan juga tidak dingin) kemudian diberi
tambahan gula jawa dan garam (boleh tanpa gula jawa dan garam) (Kalbe
Medical Portal, 2010).
Infeksi nosokomial yang merupakan infeksi yang didapat oleh pasien rawat
inap di rumah sakit dalam waktu 3 kali 24 jam, dan penyebab utamanya adalah
bakteri. Jenis infeksi nosokomial yang terbanyak adalah infeksi luka operasi
(ILO), saluran kemih (ISK) dan pneumonia nosokomial. Infeksi nosokomial
dapat terjadi akibat bakteri yang berada baik dalam tubuh penderita sendiri
(endogen) maupun dari luar penderita (eksogen), seperti lingkungan rumah sakit,
udara ruang operasi, peralatan kesehatan, bahan cairan atau petugas rumah sakit
yang kurang menerapkan cara sterilisasi yang baik dan benar sehingga terjadilah
suatu infeksi (Warganegara, 2013).
Diagnosis Infeksi luka operasi (ILO) sebagai salah satu infeksi nosokomial
ditegakkan atas dasar adanya nanah, rasa nyeri, serta kemerahan pada luka bekas
operasi, dan pada biakan dari pus tersebut didapatkan berbagai bakteri sebagai
penyebab infeksi, baik bakteri Gram positip maupun Gram negatip. Beberapa
peneliti telah melaporkan angka kejadian ILO dengan 3 jenis bakteri penyebab
infeksi terbanyak anatara lain di RSU Bangladesh bakteri teridentifikasi adalah
Pseudomonas sp., Staphylococcus epidermidis, dan Escherichia coli; RS M.
Djamil Padang didapatkan Klebsiella sp., Staphylococcus aureus, dan
Enterobacter aglomerans, sedangkan RS Moewardi Surakarta didapatkan
Enterobacter sp., Pseudomonas sp., dan Proteus sp. (Warganegara, 2013).
Infeksi luka operasi (ILO) atau Surgical site infection (SSI) adalah infeksi
pada tempat operasi yang merupakan salah satu komplikasi utama operasi yang
meningkatkan morbiditas dan biaya perawatan penderita di rumah sakit, bahkan
meningkatkan mortalitas penderita (Alsen dan Sihombing, 2014). Infeksi Luka
Operasi (ILO) terjadi ketika mikroorganisme dari kulit, bagian tubuh lain atau
lingkungan masuk kedalam insisi yang terjadi dalam waktu 30 hari dan jika ada
implant terjadi 1 tahun paska operasi, ditandai dengan adanya pus, inflamasi,
bengkak, nyeri dan rasa panas (Awad, dkk., 2009 dalam PP Hipkabi, 2010).
Penyebabnya sering dikaitkan dengan flora mikroba dan pasien, petugas bedah,
teknik pembedahan, lingkungan, dan faktor pasien sebagai pejamu
(Gruendemann, 2005).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi infeksi luka operasi antara lain sifat
operasi (derajat kontaminasi operasi), Nilai ASA (American Society of
Anesthesiologists), komorbiditas DM (diabetes melitus), suhu praoperasi, jumlah
lekosit, dan lama operasi. Selain itu faktor lain yang terkait dari pasien seperti
umur, jenis kelamin, penyakit predisposisi ILO, dan operasi dahulu. Lama pasien
dirawat di rumah sakit, tingkat kebersihan luka, kepatuhan melaksanakan teknik
aseptik, jumlah personil di kamar operasi, dan perawatan luka pasca operasi juga
dapat menjadi faktor yang memengaruhi kejadian infeksi luka operasi (Sandy,
dkk., 2015).
Pengobatan infeksi nosokomial bergantung pada etiologi yang
mendasarinya. Infeksi nosokomial pada daerah bedah atau ulkus dekubitus dapat
dilakukan debridement. Sampel dari jaringan harus di kultur untuk identifikasi
patogen yang dicurigai. Debridement adalah pengeluaran jaringan yang terlepas
atau nekrotik dari luka yang dapat dilakukan melalui pembedahan (Brooker,
2008). Penatalaksanaan bedah pada tulang atau sendi yang terinfeksi umumnya
meliputi pengeluaran materi terinfeksi dan nekrotik yang diikuti dengan
peningkatan penyembuhan normal jaringan lunak dan tulang, pembedahan
tersebut diantaranya adalah debridement ekstensif untuk mengendalikan infeksi.
Pengulangan debridement diperlukan jika infeksi luas (Kneale dan Davis, 2011).
Angka kejadian ILO telah terbukti dapat diturunkan dengan memberikan
antibiotik profilaksis yang tepat sebelum pembedahan (Sjamsuhidajat, dkk.,
2010). Pedoman praktis klinis tentang antibiotik profilaksis tindakan bedah yang
dikeluarkan oleh The American Society of Health-System Pharmacists (ASHP)
merekomendasikan Ampisilin-Sulbaktam, Cefazolin, Ceftriakson dan beberapa
antibiotik lainnya. Penggunaan antibiotik profilaksis setiap rumah sakit berbeda
sesuai dengan pola bakteri dan kepekaan di rumah sakit yang bersangkutan
(Bratzler, dkk., 2013).
Pemberian antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan antara lain untuk
menurunkan angka kejadian ILO, penurunan morbiditas dan mortalitas
pascaoperasi, penghambatan munculnya flora normal resisten, dan meminimalkan
biaya pelayanan kesehatan. Selain itu, pemberian antibiotik profilaksis
diindikasikan terhadap jenis operasi bersih dan bersih-terkontaminasi (Permenkes,
2011). Pemberian antibiotik untuk profilaksis menurut Permenkes pada tahun
2011, yaitu berdasarkan:
1. Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri pathogen terbanyak pada kasus
yang bersangkutan
2. Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri
3. Toksisitas rendah
4. Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anastesi
5. Bersifat bakterisidal
6. Harga terjangkau
Pemberian antibiotik menggunakan sefalosporin generasi I-II untuk
profilaksis bedah, namun pada kasus tertentu yang dicurigai melibatkan bakteri
anaerob dapat ditambahkan metronidazole. Antibiotik sefalosporin generasi III-
IV, antibiotik golongan karbapenem dan golongan kuinolon tidak dianjurkan
untuk profilaksis bedah (Permenkes, 2011). Antibiotik diberikan secara intravena
dan diberikan ≤ 30 menit sebelum insisi kulit, idealnya diberikan pada saat
induksi anastesi. Dosis ulangan dapat diberikan atas indikasi perdarahan lebih dari
1500 ml atau operasi berlangsung lebih dari 3 jam (Permenkes, 2011).
BAB 2 SOAP
Pharmaceutical Care
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. M
Ruang :-
Umur : 80 thn
Tanggal MRS : 25 Juli 2017
Tanggal KRS :-
Diagnosa : Kolitis amoeba, Post op hemikolektomi 10 hari
Farmasis :
II. SUBYEKTIF
2.1 Keluhan Utama
Nyeri pada luka operasi (operasi hemikolektomi pada tanggal 28 Juli 2017 dan operasi
debridement pada tanggal 4 Agustus 2017).
III. OBYEKTIF
3.1. Tanda Vital
Data Klinik Nilai Normal 7/8 8/8 9/8 10/8 11/8
Suhu 37 (0C) 36,2 36,2 36 36,5 36,8
Nadi 80-100 (x/menit) 82 88 84 89 88
RR 18-24 (x/menit) 18 18 20 20 20
TD 120/80 (mmHg) 130 ↑/100 ↑ 140 ↑/ 80 130 ↑/ 80 120 / 80 130 ↑/ 80
SpO2 96-100 (%) - - - 96 98
No Nama Obat Signa Rute Indikasi 7/8 8/8 9/8 10/8 11/8
1 Cefoperazone 3x1 IV anti-infeksi √ √ stop
2 Tramadol 1x2 ampul IV analgetik-antipiretik opioid √ √ √ √ stop
3 Novaldo 1x3 ampul IV anti-inflamasi non steroid (pasca op.) √ √ √ √ √
4 Clinimix IV IV suplemen nutrisi (lar. infus) √ √ √ stop
5 Novorapid 3x4 U IV insulin aspart √ √ √ √ stop
6 Sucralfat syrup 3xCII PO antitukak sitoprotektif √ √ √ √ √
7 Albumin IV ekspander plasma darah √ stop
8 Valsartan (80 mg) 1x1 PO Antihipertensi √ √ √ √ √
9 Lisinopril 1x1 PO Antihipertensi √ √
10 Amoxan (500 mg) 3x1 PO anti-infeksi √ √ √
11 Metronidazole (500 mg) 3x1 PO antibakteri-antiprotozoa √ √ √
12 Asam mefenamat (500 mg) 3x1 PO antiradang non-steroid √
4.2 Problem Medik dan Drug Related Problem Pasien
Problem Analisa Rekomendasi &
Subjek / Objektif Terapi DRP
Medik Monitoring
Kekurangan Tidak ada Clinimix IV Clinimix merupakan infus Pemberian TPN Rekomendasi :
nutrisi larutan nutrisi untuk dapat beresiko Terapi Clinimix IV
pasca mendukung kebutuhan meningkatkan dihentikan
operasi nutrisi selama pasien tidak terjadinya
dapat menyerap nutrisi kompikasi infeksi
melalui saluran (Pharmacology Monitoring :
pencernaan, tidak and Physiology in Kadar glukosa darah
mendapat nutrisi yang anestetics Ed 5th) Kadar elektrolit, Albumin
cukup secara oral atau
enteral (DIH ed 17th).
Komposisi Clinimix :
asam amino 2,75%,
dekstrosa dan elektrolit
10% (Drugs.com).
Dosis:
Awal: 80 mg atau 160 mg
sekali sehari, dosis dapat
ditingkatkan dengan
ditingkatkan untuk
mencapai efek yang
diinginkan. Dosis
maksimum yang
direkomendasikan 320
mg/hari
Hiperglike Subjektif: - Novorapid Novorapid merupakan Berinteraksi Rekomendasi :
mia 3x4 U, iv insulin aspart yang dengan sucralfate Terapi novorapid dihentikan
digolongkan sebagai secara moderate. karena penggunaan TPN juga
Objektif: insulin rapid acting. dihentikan.
GDA : 159 (7/8) Insulin aspart dapat Efek samping:
diberikan I.V. dalam Hipoglikemia Monitoring :-
situasi klinis tertentu (DIH, 17th
untuk mengendalikan Edition)
hiperglikemia.
Indikasi: diabetes
mellitus tipe 1 dan
diabetes mellitus tipe 2
untuk mengkontrol
glikemik
Kontra indikasi :
Hipersensitivitas insulin
aspart dan hipoglikemia
Dosis awal 0,15-0,2
unit/kg/hari
(DIH, 17th Edition)
Hipoalbum Subjektif:- Albumin iv Albumin digunakan saat Tidak ada DRP Rekomendasi :
inemia terjadi penurunan albumin Terapi dihentikan
Objektif: atau hiperalbuminemia
yang terjadi pada pasien Monitoring:
Albumin normal:
infeksi dan pasca operasi Kadar albumin di dalam
<3.5 – 5.2 (Throop et al., 2004) tubuh
Tanggal:
26/7= 2.38
28/7= 1.4
29/7= 2.5
31/7= 3
3.2 Hiperglikemia
Pada kasus ini pasien mengalami hiperglikemia, hiperglikemia dapat
disebabkan karena penggunaan TPN pada pasien yag tidak memiliki riwayat
diabetes melitus. Hiperglikemia saat penggunaan TPN dapat mengakibatkan
kematian dan prevalensi komplikasi khususnya komplikasi infeksi (Lee dkk.,
2011). Data objektif pasien yakni data laboraturium GDA 159 pada tanggal 7
Agustus. Menurut Dipiro tenth, banyak dokter memutuskan bahwa insulin,
terutama insulin basal menjadi pilihan terapi. Insulin aspart adalah analog yang
lebih cepat diserap, peak lebih cepat, dan memiliki durasi kerja lebih pendek
daripada insulin biasa. Pemberian dosisnya memmungkinkan lebih nyaman yakni
dalam waktu 10 menit setelah makan (daripada 30 menit sebelumnya),
menghasilkan kemanjuran yang lebih baik dalam menurunkan glukosa darah
postprandial dibandingkan insulin reguler pada diabetes mellitus tipe 1, dan
meminimalkan hipoglikemia pasca makan.
Terapi Novorapid 3x4 U, iv dihentikan karena data laboratorium GDA tidak
terlalu besar dari rentang normal, dilakukan pemeriksaan diabetes pada pasien.
Data laboraturium pasien yang sudah ada didapat ketika dilakukan penghentian
terapi Novorapid 3x4 U, iv pada pasien. Tidak ada data pendukung yang kuat
meliputi data laboratorium, subjektif maupun objektif yang menunjukkan bahwa
pasien terkena diabetes mellitus beserta tipenya. Perlunya pemeriksaan diabetes
mellitus kepada pasien.
3.4 Hipertensi
Penggunaan kombinasi Lisinopril dan valsartan tidak dilanjutkan karena
belum adanya bukti yang menunjukkan jika penggunaan kedua baik digunakan
untuk pasien hipertensi. Kombinasi keduanya digunakan jika pasien mengalami
penyakit kardiovaskular dan CKD dengan proteinuria namun pada pasien ini tidak
adanya riwayat dan data laboratorium yang menunjukkan adanya penyakit
kardiovaskular dan CKD. Maka disarankan untuk menghentikan penggunaan
Lisinopril dan tetap menggunakan valsartan sebagai antihipertensi pasien. Pada
jurnal menjelaskan penggunaan kombinasi ACEI (Lisinopril) dan ARB (Valsartan)
tidak menurunkan angka kematian pasien dan juga tidak dapat memperbaiki
progesifitas kerusakan ginjal. Selain itu guideline AHA, JNC dan KDOQI tidak
menyarankan penggunaan terapi kombinasi.
3.8 Mual-Muntah
Sukralfat adalah obat maag, sukralfat tidak banyak diserap ke dalam tubuh
melalui saluran pencernaan. Sukralfat bekerja terutama di lapisan perut dengan
menempel pada bagian-bagian yang terluka dan melindunginya dari asam, enzim,
dan garam empedu. Sukralfat digunakan untuk mengobati tukak duodenum aktif.
Sucralfat digunakan dalam mengobati tukak usus 12 jari, termasuk dalam
golongan obat antasida, anti refluks dan anti ulser. Mekanisme sucralat adalah
melapisi lambung dan pelindung dari asam, enzim dan garam empedu.
Penggunaan sukralfat dilanjutkan karena pasien mengalami mual muntah pada
saat tanggal 11 Agustus 2017 dan meminimalisir efek samping dari penggunaan
obat NSAID (Drugs.com)
DAFTAR PUSTAKA
Ariestine, D.A., 2008. Kolitis Ulsoratif Ditinjau dari Aspek Etiologi, Klinik dan
Patogenesa. Universitas Sumatra Utara: Fakultas Kedokteran
Misra, Shamita dan J. J., Stevermer. 2009. ACE Inhibitors and ARBs: One the
Other-not both-for high-risk patients. Chicago
Kneale, Julia D dan Davis, Peter. 2011. Keperawatan Ortopedik dan Trauma
Edisi 2. Jakarta. EGC.
Lee, H., S. O. Koh., dan M. S. Park. 2011. Higher dextrose delivery via TPN
related to the development of hyperglycemia in non-diabetic critically ill
patients. Seoul.
Sandy, F. P. T., Yuliwar, R., dan Utami, N. W. 2015. Infeksi Luka Operasi (ILO)
pada Pasien Post Operasi Laparotomi. Jurnal Keperawatan Terapan, 1(1),
14-24.