Anda di halaman 1dari 24

STUDI KASUS FARMAKOTERAPI TERAPAN

GAGAL GINJAL

Oleh:
Kelompok 13

Selvi Rahma Dewi 182211101154


Murni Dwi Prastiwi 182211101155
Danik Wiluajeng 182211101156
Edo Kurnia Putra 182211101157
Muhamad Arfan M 182211101158
Krisna Bintang W. 182211101159
Kurniawan Hidayat P.P 182211101160

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Definisi dan Epidemiologi Penyakit Gagal Ginjal Kronik


Penyakit Gagal Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi
dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan pada umumnya berakhir dengan keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan
terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Menurut National Kidney Foundation kriteria penyakit ginjal kronik adalah:
a) Kerusakan ginjal ≥3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional dari
ginjal, dengan atau tanpa berkurangnya laju filtrasi glomerulus (LFG),
dengan manifestasi berupa kelainan patologi atau kelainan laboratorik pada
darah, urin, atau kelainan pada pemeriksaan radiologi.
b) LGF <60 ml/menit per 1,73 m2 luas permukaan tubuh selama >3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronik saat ini terus mengalami
peningkatan di seluruh belahan dunia. Diperkirakan lebih dari 50 juta penduduk
dunia mengalami PGK dan 1 juta dari mereka membutuhkan terapi pengganti
ginjal. Penelitian di jepang memperkirakan sekitar 13 % dari jumlah penduduk atau
sekitar 13,3 juta orang yang memiliki penyakit ginjal kronik pada tahun 2005.
Menurut data dari CDC tahun 2010, lebih dari 20 juta warga Amerika Serikat
yang menderita penyakit ginjal kronik, angka ini meningkat sekitar 8% setiap
tahunya. Lebih dari 35% pasien diabetes menderita penyakit ginjal kronik, dan lebih
dari 20% pasien hipertensi juga memliki penyakit ginjal kronik dengan insidensi
penyakit ginjal kronik tertinggi ditemukan pada usia 65 tahun atau lebih. Studi di
Indonesia menyebutkan angka insidensi pasien PGK sebesar 30,7 perjuta penduduk
dan angka kejadianya sebesar 23,4 perjuta penduduk.
Jumlah pasien yang menderita penyakit ginjal kronik diperkirakan akan terus
meningkat, peningkatan ini sebanding dengan bertambahnya jumlah populasi,
peningkatan populasi usia lanjut, serta peningkatan jumlah pasien hipertensi dan
diabetes.
1.2 Etiologi Penyakit Ginjal Kronik
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi, etiologi yang sering menjadi
penyebab penyakit ginjal kronik diantaranya adalah (Anonim, 2010) :
1. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit parenkim ginjal progesif
dan difus yang sering berakhir dengan gagal ginjal kronik, disebabkan oleh
respon imunologik dan hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah
diketahui etiologinya. Secara garis besar dua mekanisme terjadinya GN
yaitu circulating immune complex dan terbentuknya deposit kompleks
imun secara in-situ. Kerusakan glomerulus tidak langsung disebabkan oleh
kompleks imun, berbagai
faktor seperti proses inflamasi, sel inflamasi, mediator inflamasi dan
komponen berperan pada kerusakan glomerulus (Anonim, 2010).
Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuri, penurunan
fungsi ginjal dan perubahan eksresi garam dengan akibat edema, kongesti
aliran darah dan hipertensi. Manifestasi klinik GN merupakan sindrom
klinik yang terdiri dari kelainan urin asimptomatik, sindrom nefrotik dan
GN kronik. Di Indonesia GN masih menjadi penyebab utama penyakit
ginjal kronik dan penyakit ginjal tahap akhir.
2. Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karateristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan
jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah. Masalah yang akan
dihadapi oleh penderita DM cukup komplek sehubungan dengan
terjadinya komplikasi kronis baik mikro maupun makroangiopati. Salah
satu komplikasi mikroangiopati adalah nefropati diabetik yang bersifat
kronik progresif. Perhimpunan Nefrologi Indonesia pada tahun 2000
menyebutkan diabetes mellitus sebagai penyebab nomor 2 terbanyak
penyakit ginjal kronik dengan insidensi 18,65%.
3. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal
disamping faktor lain seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal,
hiperglikemi dan faktor lain. Penyakit ginjal hipertensi menjadi salah satu
penyebab penyakit ginjal kronik. Insideni hipertensi esensial berat yang
berakhir dengan gagal ginjal kronik <10 %. Selain Glomerulonephritis,
diabetes mellitus dan hipertensi terdapat penyebab lain penyakit ginjal
kronik seperti kista dan penyakit bawaan lain, penyakit sistemik (lupus,
vaskulitis), neoplasma, serta berbagai penyakit lainya.
1.3 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan menurut 2 hal yaitu, menurut
diagnosis etiologi dan menurut derajat (stage) penyakit. Menurut diagnosis
etiologi, penyakit ginjal kronik dapat di golongkan menjadi penyakit ginjal
diabetes, penyakit ginjal non diabetes, dan penyakit pada transplantasi sebagai
berikut :
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Menurut Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe Mayor
Penyakit Ginjal Diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit Ginjal non Diabetes Penyakit Glomerular
(penyakit autoimun,infeksi ,
sistemik, obat, neoplasia) Penyakit
vascular (penyakit pembuluh darah
besar, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstisial
(pielonefritis, kronik, obstruksi,
keracunan obat) Penyakit kistik
(ginjal polikistik)

Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik Keracunan Obat


Sesuai rekomendasi The National Kidney Foundation Kidney Disease
Improving Global Outcomes (NKF-KDIGO) tahun 2012, Klasifikasi PGK menurut
derajat penyakit di kelompokan menjadi 5 derajat, dikelompokan atas penurunan
faal ginjal berdasarkan LFG, yaitu :

Tabel 2.Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Menurut Derajat Penyakit


Derajat LFG
(mL/meit/1,73
m2)
G1 ≥90
G2 60-89
G3a 45-59
G3b 30-44
G4 15-29
G5 <15

1.4 Patofisiologi

Gambar 1. Patofisiologi Gagal Ginjal


Patofisiologi CKD pada awal nya dilihat dari penyakit yang mendasari,
namun perkembangan proses selanjutnya kurang lebih sama. Penyakit ini
menyebabkan berkurangnya massa ginjal. Sebagai upaya kompensasi, terjadilah
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa yang diperantarai
oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor. Akibatnya, terjadi
hiperfiltrasi yang diikuti aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, hingga pada akhirnya terjadi suatu proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Sklerosis nefron ini diikuti dengan penurunan fungsi
nefron progresif, walaupun penyakit yang mendasarinya sudah tidak aktif lagi
(Suwitra, 2009).

Gambar 2. Anatomi Fisiologi Gagal Ginjal


Diabetes melitus (DM) menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai
bentuk. Nefropati diabetik merupakan istilah yang mencakup semua lesi yang
terjadi di ginjal pada DM (Wilson, 2005). Mekanisme peningkatan GFR yang
terjadi pada keadaan ini masih belum jelas benar, tetapi kemungkinan disebabkan
oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai
oleh hormon vasoaktif, Insuline-like Growth Factor (IGF) – 1, nitric oxide,
prostaglandin dan glukagon. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya
glikasi nonenzimatik asam amino dan protein. Proses ini terus berlanjut sampai
terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis
tubulointerstisialis (Hendromartono, 2009).
Hipertensi juga memiliki kaitan yang erat dengan gagal ginjal. Hipertensi
yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-perubahan struktur pada
arteriol di seluruh tubuh, ditnadai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) dinding
pembuluh darah. Salah satu organ sasaran dari keadaan ini adalah ginjal (Wilson,
2005). Ketika terjadi tekanan darah tinggi, maka sebagai kompensasi, pembuluh
darah akan melebar. Pelebaran ini juga menyebabkan pembuluh darah menjadi
lemah dan akhirnya tidak dapat bekerja dengan baik untuk membuang kelebihan air
serta zat sisa dari dalam tubuh. Kelebihan cairan yang terjadi di dalam tubuh
kemudian dapat menyebabkan tekanan darah menjadi lebih meningkat, sehingga
keadaan ini membentuk suatu siklus yang berbahaya (National Institute of Diabetes
and Digestive and Kidney Disease, 2014).
1.5 Tanda dan gejala
Adapun tanda dan gejala terjadinya gagal ginjal lainnya yang dialami
penderita secara akut antara lain : nyeri pinggang hebat (kolik), kencing sakit,
demam, kencing sedikit, kencing merah /darah, sering kencing. Kelainan Urin:
Protein, Darah / Eritrosit, Sel Darah Putih / Lekosit, Bakteri (Anonim, 2010).
Sedangkan tanda dan gejala yang mungkin timbul oleh adanya gagal ginjal
kronik antara lain: Lemas, tidak ada tenaga, nafsu makan, mual, muntah, bengkak,
kencing berkurang, gatal, sesak napas, pucat/anemi. Kelainan urin: Protein,
Eritrosit, Lekosit. Kelainan hasil pemeriksaan Lab. lain: Creatinine darah naik, Hb
turun, Urin: protein selalu positif (Anonim, 2010).

1.2 Tatalaksana terapi:


1.2.1 Terapi farmakologi meliputi :
a) Mengontrol gula darah secara intensif dengan terapi insulin untuk penderita
DM tipe 1
b) Mengontrol tekanan darah
Untuk pasien CKD stage 1 hingga 4, goal of therapy tekanan darah harus
kurang dari 130/80 mmHg. Sedangkan untuk pasien CKD stage 5 goal of
therapy tekanan darah harus kurang dari 140/90 mmHg sebelum
hemodialisis dan kurang dari 130/80 mmHg setelah hemodialisa.
c) Mengurangi proteinuria
ACEI (Angiotensin Converting Enzym Inhibitor) dan ARB (Angitensin
Reseptor Bloker) dapat menurunkan tekanan kapiler dan volume pada
glomerulus karena efek dari angiotensin II. Hal tersebut yang dapat
mengurangi jumlah protein yang disaring melalui glomerulus, sehingga
akan mengurangi perkembangan gangguan ginjal kronis.
(Schonder, 2008)
1.2.2 Terapi non-farmakologi meliputi :
Terapi non-farmakologi meliputi pengelolaan nutrisi tubuh seperti
pengurangan asupan protein. National Kidney Foundation telah merekomendasikan
untuk pasien yang memiliki GFR kurang dari 25 ml/menit/1,73m2 yang tidak
menjalani dialisis harus membatasi asupan protein 0,6 g/kg/hari. Sedangkan untuk
pasien yang menerima dialisis menjaga asupan protein dari 1,2 g/kg/hari sampai 1,3
g/kg/hari (Schonder, 2008).
BAB II
PEMBAHASAN
Pharmaceutical Care Plan
STUDI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. ASM
Umur : 56 tahun
Tanggal MRS : 13 Agustus 2018
Diagnosa : CKD stage V, udema peritoneal, HT stage 2
Stage CKD : stage V ( GFR = 6,6 mg/dl )

II. SUBYEKTIF
2.1 Keluhan Utama Pasien :
Sesak nafas dirasakan sejak 2 bulan, memberat dalam 4 hari saat berjalan jauh
dan berkurang saat istirahat.

2.2 Keluhan Tambahan Pasien :


 Mengeluh kembung perut terasa penuh
 BAB normal , BAK keluar hanya sedikit meskipun minum banyak
 Terdapat luka di telapak kaki kiri
 Gatal-gatal diseluruh tubuh dan bintik merah

2.3 Riwayat Penyakit Dahulu :


DM (14 tahun), HT (8 tahun)
2.4 Riwayat Pengobatan :
Glibenklamid, metformin, dan HCT.
2.5 Riwayat Keluarga/Sosial : -
2.6 Alergi Obat : -
III. OBJEKTIF
A. Tanda-tanda vital
Tanggal
Parameter Nilai Normal
12/4 13/4 14/4
Suhu 36-37 (C) 36 36,5 36,1
TD 120/80 170/90 160/90 170/80
(mmHg)
Nadi 80-100 92 92 90
(x/menit)
RR 20 (x/menit) 24 26 20

B. Tanda-tanda klinik
Tanggal
Parameter Nilai Normal
13/8 14/8 15/8
GCS 456 456 456 456
Sesak nafas - +++ ++ ++
Urine output 200 ml 350 ml 500 ml
Gatal - ++ + +

Keterangan Data Klinik:


Data Keterangan
Tekanan darah meningkat pada tanggal 13-15 Agustus 2018. Dimana
TD
tanda dan gejala dari CKD adalah peningkatan tekanan darah.
Pasien mengalami sesak pada tanggal 13-15 Agustus 2018 hal ini
Sesak
disebabkan karena adanya udema peritoneal

C. Data Laboratorium

Parameter Normal 13/8 14/8 15/8 Keterangan


GDA <108 262 283 - Pada pasien diabetes
mg/dL mengalami gangguan
dalam pemecahan glukosa
dalam darah sehingga
terjadinya kenaikan gula
darah dalam tubuh
GD2PP <140 209 - 258 Pada pasien diabetes
mg/dL mengalami gangguan
dalam pemecahan glukosa
dalam darah sehingga
terjadinya kenaikan gula
darah dalam tubuh, GD2PP
didefinisikan sebagai tes
toleransi glukosa 2 jam
setelah makan
GDP <110 190 - 200 Pada pasien diabetes
mg/dL mengalami gangguan
dalam pemecahan glukosa
dalam darah sehingga
terjadinya kenaikan gula
darah dalam tubuh, gula
darah puasa didefinisikan
sebagai tidak adanya
asupan kalori selama
minimal 8 jam
Hb 11-18 - 7,8 - Penderita gagal ginjal
biasanya kekurangan sel
darah merah (anemia) yang
menyebabkan keletihan
serta dapat merusak hati,
sehingga penderita
biasanya membutuhkan
injeksi erythropoetin.
Eritrosit 4,5-5,5 - 3,46 - Penderita gagal ginjal
biasanya kekurangan sel
darah merah (anemia) yang
menyebabkan keletihan
serta dapat merusak hati,
sehingga penderita
biasanya membutuhkan
injeksi erythropoetin.
Hematokrit 35,0-60,0 - 26,8 - Kerusakan struktur dan
fungsi ginjal bisa disertai
dengan penurunan LFG.
Penurunan laju
fitrasiglomerulus ini
berhubungan dengan
gambaran klinik yang akan
ditemukan pada pasien.
Salah satunya adalah
penurunan kadar
hemoglobin atau
hematokrit di dalam darah
yang dapat dikatakan
sebagai anemia (Suwitra,
2009)
Leukosit 4500- - 10000 - Leukosit sangat penting
10500 sebagai pertahanantubuh
primer. Pada gagal ginjal
kronis,
hipertensimerupakan salah
satu penyebab kerusakan
pembuluhdarah, terutama
pada endotelium, yang
secarakronis akan berujung
pada kerusakan
organ.Infiltrasi endotelium
yang permeabel oleh
leukosit
akan mengaktifkan
cascadeinflamasi, termasuk
didalamnya leukosit,
sitokin, kemokin dan zat
inflamasilainnya. (GöQoez,
2012)
Kreatinin 0,5-1,5 6,6 - 5,8 Jika terjadi disfungsi renal
maka kemampuan filtrasi
kreatinin akan berkurang
dan kreatinin serum akan
meningkat (Astrid, 2016)
BUN 10-20 32 - 23 -
Albumin 3,4-5 2,8 - 2,6 -
Asam urat 2,7-7,3 9,8 - - -
Kalium 3,8-5 6,1 5,0 - -
Na 148-144 132 - - -
Ca 7,6-11 7,6 - - -

Perhitungan eGFR = 186 x (Scr)-1,154 x (Usia)-0,203 x (0,742)


= 186 x (6,6 )-1,154 x (56)-0,203 x (0,742)
= 6,906
IV. TERAPI PASIEN

Obat Dosis (rute) 13/8 14/8 15/8

O2 2 L/Meniit   

NS 0,9 % 8 tpm (ivfd)   

Furosemid 2x40 mg (iv)   

Amlodipin 1x10 mg (po)   

Clonidin 2x0,15 (po) -  

ISDN 3x5 mg (po) -  

Glibenklamid 1x5 mg (po)   

Novorapid 10 iu (iv)  - -

Metformin 3x500 mg (po)   

D40 50 ml (iv)  - -

Metoklopramid 3x10 mg (iv)   

Allopurinol 3x100 mg (po)   

Metilprednisolon 1x6,25 mg (iv)   

Anbacim 2x1 gram (iv)   


V. ANALISIS SOAP

Problem Subyektif/
Terapi Analisis Obat DRP Plan&Monitoring
Medis Obyektif
Hipertensi Subyektif : Furosemid Furosemid adalah Amlodipin memiliki Plan :
 Riwayat 2x40 mg (iv) obat antihipertensi efek samping Amlodipin diganti dengan
penyakit pasien golongan loop pulmonari edema nivedipine, sebagai
hipertensi (8 diuretik yang renoprotector
tahun) bekerja dengan Monitoring :
mengeluarkan /  Tekanan darah
meringankan udema  Kadar Na
Obyektif : (Madscape.com)  Kadar Ca
 TD=  Kadar K
H1= 170/90
mmHg
H2= 169/90
mmHg Amlodipin Amlodipin adalah
H3= 170/80 1x10 mg (po) antihipertensi dari
mmHg golongan Calsium
 Nilai Na rendah Canal Blocker
yaitu 132 (CCB)
mmol/L dihydropiridine
(Medscape.com)
 Nilai Ca rendah
yaitu 7,6
mmol/dL Clonidine Antihipertensi
 Nilai K normal 2x0,15 mg (po) golongan α agonis
yaitu 5 mg/dL (Dipiro ed 9)
Diabetes Subyektif : - Glibenklamide - Glibenklamide - Adverse Drug Plan :
Mellitus - Riwayat 1x5 mg obat anti diabetes Reaction, Farmakologi
pasien DM - Metformine golongan kombinasi - Penggunaan glibenklamide
(14 tahun) 3x500 mg sulfonylurea globenklamide tetap digunakan dengan
- Mengeluh - Novorapid (Evaria, 2016) dengan metformine dosis yang sama
gatal-gatal 10 iu (iv) - Metformin obat menyebabkan - Penggunaan metformin
dan muncul - D40% antidibetes hipersensitivitas dihentikan sementara
50 ml (iv)
bintik merah bignamide (gatal-gatal) sambil memonitoring data
pada seluruh (Evaria, 2016) (BPOM, 2017) glukosa darah
tubuh - Novorapid - GRF pasien rendah - Penggunaan D40%
golongan <30ml/min dihentikan karena hanya
Obyektif : antidiabetes (Perkovic et al, digunakan pada hari
 GDA = 262 insulin kerja 2016) pertama
 GDP = 190 pendek, kinerja - Kombinasi D40% - Novorapid digunakan
 GD2PP = 209 insulin dalam dengan novorapid sekali-kali ketika gula
jangka waktu 4-6 digunakan untuk darah meningkat
jam (Perkeni, menganalisa kadar
2015)
- D40%, infus kalium dalam darah Non farmakologi
yang berisi (Darung, 2017) - Memperbaiki pola
dextrose yang hidup/life style
digunakan untuk - Mengatur pola makan,
meningkatkan dan mengurangi makanan
kandungan yang banyak mengandung
glukosa darah garam Na
(Darung, 2017) - Olah raga kecil (yoga)
Monitoring :
 Glukosa darah
(GDA,GDP)

Chronic Subjective: Plan :


Kidney
- Diabetes
Disease Monitoring :
mellitus (14
(CKD) tahun) - Monitoring volume urine
- Monitoring kadar gula
- Hipertensi (8 darah dan tekanan darah
tahun) - Monitoring hasil lab.
Objective:
- BAK keluar
hanya sedikit
- Kreatin tinggi
yaitu 6,6 mg/dL
- BUN tinggi yaitu
23 mg/dL
- Albumin rendah
yaitu 2,6 mg/dL
- Asam urat tinggi
yaitu 9,8 mg/dL
- Volume urin
500ml

Udema Subjective: O2 (2L/menit) Terapi oksigen Plan:


Peritoneal diberikan pada
- Rasa kembung
pasien yang Monitoring:
dan terasa penuh
mengalami sesak - Monitoring saturasi
- Sesak jika nafas dengan nilai oksigen dan kondisi vital
beraktifitas O2 kurang dari 95% pasien
Objective:
- RR meningkat Isosorbit dinitrat ISDN adalah obat
dari 24 sampai (ISDN) anti angina dengan
26x/menit kerja menurunkan
kbutuhan dan
meningkatkan suplai
oksigen dengan cara
mempengaruhi
tonus vaskular
(Kabo,2010)
Furosemid Furosemid adalah
obat antihipertensi
2x40mg (iv)
golongan loop
diuretik yang
bekerja dengan
mengeluarkan /
meringankan udema
(Madscape.com)
Anemia Subjective: Untreated indication Plan:
- Tambahan pemberian
sangobion
Objective: Monitoring:
- Hb rendah - Monitoring Hb dan
dengan niali 7,8 eritrosit
mg/dL
- Eritrosit
nilainya yaitu
3,46 mg/dL
Hiperurisemia Subjective: Allopurinol Allopurinol adalah Plan:
golongan obat - Tetap menggunakan obat
- Terdapat bintik 3 x 100 mg (po)
merah pengobatan jangka tersebut dengan dosis
pajang pada gout, Methylprednisolone yang
- Keluhan pasien mekanisme kerja sama, sedangkan untuk
mengenai gatal obat tersebut dengan Allopurinol dosis dikurang
gatal diseluruh penghambatan menjadi 1 x 100mg atau 2 x
tubuh xantin oksidase 100mg
Objective: yang digunakan
untuk sekresi asam
- Penigkatan
urat pada urin
nilai kadar
(BPOM, 2017)
asam urat yaitu Methyl Methylprednisolone Monitoring:
9,8 mg/dL prednisolone merupakan obat - Monitoring kadar nilai asam
1 x 6,26 mg (iv) glongan urat
kortikosteroid yang - Monitoring kondisi tubuh
bekerja pada pasien yang mengalami
penekanan efek bitnik merah dan gatal
inflamassi dan
penurunan
hipersensitivitas,
dosis yang
digunakan masih
dalam rentan dosis
normal yaitu 4-
48mg/hari (Evaria,
2016;
Medscape.com)

NB:
Penggunaan Allopurinol pada terapi pasien Chronic Kidney Disease (CKD), yang bekerja dengan menurunkan kadar asam urat melalui
penghambatan xanthine oksidase atau urikosurik dapat meningkatkan ekskresi asam urat dalam urine. Penggunaa dosis yang tinggi
allopurinol pada pasien ckd hanya meningkatkan efek samping yang ditimbulkan sedangkan pada penggunaan dosis 1 x 100mg dan 2 x
100mg, kadar asam urat dapat diturunkan secara signifikan pada seluruh stadium penderita CKD (Sedyaningrum, 2009; Astuti, 2013).
PEMBAHASAN
Nyonya ASM usia 56 tahun, masuk rumah sakit tanggal 13 Agustus.
Diagnosa pasien yaitu Chronic Kidney Disease (CKD) stage V, udema peritoneal,
Hipertensi Stage 2 serta mempunyai riwayat Penyakit Diabetes Mellitus selama 14
tahun dan Hipertensi selama 8 tahun. Pasien menderita penyakit gagal ginjal kronis
dengan nilai GFR sebesar 6,9. Menurut KDIGO (2017) mengungkapkan bahwa
pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis yang memiliki nilai GFR < 15 maka
masuk dalam kategori stage 5. Monitoring yang dapat dilakukan kepada pasien
antara lain monitoring volume urine, monitoring kadar gula dalam darah dan
tekanan darah, monitoring kadar kreatinin, BUN, dan albumin.
Pasien mengeluhkan sesak nafas yang sudah dirasakan sejak 2 bulan lalu.
Sesak nafas memberat dalam 4 hari terutama saat digunakan untuk berjalan jauh
dan berkurang jiika istirahat. Pasien mengeluhkan perut kembung dan terasa penuh
hal ini dapat terjadi karena adanya udema peritoneal atau penumpukan cairan pada
daerah peritoneal. Hipertensi merupakan salah satu manifestasi dari terjadinya
edema. Penggunaan terapi furosemide diberikan selain untuk mengkontrol tekanan
darah juga untuk mengurangi udema peritoneal yang terjadi pada pasien. Selain itu
pasien juga mengeluhkan sesak nafas dengan nilai Respiration Rate (RR) diatas
normal, terapi oksigen diberikan untuk mengatasi sesak nafas yang ada pada pasien.
Selain pemberian terapi oksigen juga diberikan obat Isosorbid Dinitrat. Pemberian
terapi ISDN diberikan pada hari kedua karena Respiration Rate pasien meningkat
sehingga diperlukan ISDN untuk menurunkan kebutuhan dan meningkatkan suplai
oksigen dengan cara mempengaruhi tonus vascular atau sebagai vasodilator (Kabo,
2010). Dilakukan monitoring terhadap kondisi vital pasien dan tingkat saturasi
oksigennya.
Pasien mempunyai riwayat hipertensi stage 2, pada pasien gagal ginjal
kronis hipertensi dapat terjadi karena penurunan fungsi ginjal sehingga tidak
mampu membuang kelebihan air dan garam sehingga diperulukan terapi diuretic.
Pemberian terapi furosemide 2x40mg pada pasien sesuai dengan data urine output
yang kecil pada hari pertama yaitu 200ml dan pasien mengeluhkan buang air kecil
sedikit. Selain itu pasien diberikan terapi amlodipin 1x10mg untuk menurunkan
tekanan darah pada pasien. Pemberian amlodipin pada pasien gagal ginjal kronis
memiliki efek samping pulmonari edema, sehingga perlu diberikan pilihan terapi
yang lain yaitu nifedipine 1x5mg. Nifedipine merupakan golongan obat calcium
canal blocker (CCB) golongan dihidropiridin long acting selain sebagai
antihipertensi juga memiliki efek renoprotektif dengan menurunkan resistensi
vaskullar ginjal dan meningkatkan aliran darah ke ginjal tanpa mengubah laju
filtrasi glomelurus (McEvoy, 2004). Kemudian pada hari kedua ditambahkan
kombinasi terapi Clonidin merupakan antihipertensi golongan α agonis yang
digunakan sebagai terapi untuk mengontrol tekanan darah pasien yang sebagian
besar fluktuatif akibat kondisi ginjal yang menurun (Sjamsiah, 2005).
Pada kasus ini Ny. ASM diketahui memiliki riwayat penyakit Diabetes
Mellitus (DM) selama 14 tahun dan pasien rutin menggunakan rutin menggunakan
glibenklamid dan metformin sebagai pengobatan diabetes mellitusnya dan dapat
ditegaskan lagi bahwa pasien menderita diabetes mellitus dengan melihat hasil
pemeriksaan lab dengan nilai Gula Darah Acak (GDA), Gula Darah 2 jam Post
Prandial (GD2PP), dan Gula Darah Puasa (GDP) berada di atas batas normal.
Pasien mengeluhkan gatal-gatal di seluruh tubuh, hal ini kemungkinan
terjadi dikarenakan penggunaan kombinasi glibenklamid dan metformin yang
menimbulkan reaksi hipersensitifitas yang memiliki manifestasi klinik dengan
gatal-gatal di seluruh tubuh (BPOM, 2017). Selain itu, pasien gagal ginjal kronis
yang memiliki nilai GFR <30 ml/min disarankan untuk tidak menggunakan obat
metformin (Perkovic et al, 2016) Oleh karena itu disarankan penggunaan
metformin dihentikan dan melakukan monitoring kadar gula darah dalam darah.
Kombinasi novorapid dan D40% digunakan untuk menganalisa kadar kalium dalam
darah (Daruung, 2017) oleh karena itu penggunaan kedua obat tersebut tidak
dilanjutkan, tetapi penggunaan injeksi insulin dapat diberikan jika kadar gula dalam
darah terus meningkat.
Selain pengobatan farmakologi untuk penyakit diabetes mellitus, dapat juga
dilakukan pengobatan non farmakologi untuk membantu mengontrol kadar gula
dalam darah. Pengobatan non farmakologi yang dapat dilakukan antara lain,
memperbaiki pola hidup, mengatur pola makan, mengurangi makanan yang banyak
mengandung garam Na, dan melakukan olahraga ringan.
Pada hasil lab yang ada, terlihat bahwa nilai Hemoglobin (Hb) dan eritrosit
pasien berada di bawah batas normal, hal ini mengindikasikan bahwa pasien dapat
menderita anemia. Anemia pada pasien gagal ginjal kronis dapat disebabkan karena
produksi eritropoetin menurun sehingga terjadi penurunan hemoglobin, dan
hemaktokrit. Pengobatan yang dilakukan untuk kondisi pasien ini disarankan
pemberian obat penambah darah dan monitoring nilai Hb dan eritrosit. Berdasarkan
data lab pasien menunjukan kondisi hiperurisemia dengan nilai asam urat pasien
9,8 atau lebih dari rentang normal pasien yaitu <6mg/dl. Pada pasien gagal ginjal
terjadi pengurangan massa ginjal dan penurunan fungsi ginjal, menyebabkan laju
filtrasi <50% dan mulai terjadi peningkatan asam urat. Hiperurisemia akan
mencetuskan garam monosodium urat (MSU) pada jaringan dan sendi, sehinggga
mengaktifkan mediator inflamasi (Tehupelory, 2009). Pasien diberikan terapi
allopurinol untuk mengatasi kadar asam urat yang tinngi, serta diberikan
antiinflamasi methylprednisolone untuk mengurangi gatal dan bitnik merah pada
keluhan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim., 2010. Pendekatan Komprehensif Untuk Penyakit Ginjal Dan Hipertensi.


http://www.jurnalmedika.com/edisi-tahun-2010/edisi-no-12-vol-xxxvi-
2010/267-kegiatan/485-pendekatan-komprehensif-untuk-penyakit-
ginjaldan-hipertensi. [diakses tanggal 07 Maret 2019].

Astute, Briandini Dwi. 2013. Pola Penggunaan Allopurinol Pada Pasien Penyakit
Ginjal Kronik Dengan Hiperurise Di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.
Skripsi. Surabaya: : Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Badan POM Indonesia. 2017. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta:


Sagung Seto

Darung, Yosevina Silvia.2017. Studi Penggunaan Insulin Kombinasi Dextrose


Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Hiperkalemia Rawat Inap Di Rsud
Kabupaten Sidoarjo. Skripsi. Surabaya: Universitas Katolik Widya Mandala
Surabaya

Evaria, Pramudianto A. 2016. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 16.


Jakarta: BIP

Kabo,P. 2010. Bagaimana Menggunakan Obat-Obat Kardiovaskular Secara


Rasional. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO). 2017. KDIGO 2017


clinical practice guideline update for the diagnosis, evaluation, prevention,
and treatment of chronic kidney disease-mineral and bone disorder (CKD-
MBD). Official Journal Of The International Society Nephrology, 7(1) 1-59

Medscape. Drug And Disease. Availabel From: Url:


http//Reference.Medscape.Com Accesed Maret 9, 2019

Perkeni. 2015 . Konsensus Penggunaan Insulin. Jakarta: PB Perkeni

Schonder, K.S., 2008. Chronic And End-Stage Renal Disease. In Burns, M.A.C.,
Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer,
J.C. & J. T. Dipiro, Eds. Pharmacotherapy Principles And Practice. New
York: The Mcgraw-Hill Companies, P. 373-380.

Sedyaningrum Purbaning Prasasti, Ff (2009) Pengaruh Pemberian Allopurinol


Terhadap Perubahan Kadar Asam Urat Pasien Penyakit Ginjal Kronik
Dengan Hiperurisemia (Penelitian Dilakukan Di Poli Ginjal Dan Hipertensi
Rsud Dr. Soetomo Surabaya). Thesis, Universitas Airlangga.

Anda mungkin juga menyukai