Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Disleksia (dyslexia) adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang
yang disebabkan oleh kesulitan pada orang tersebut dalam melakukan aktivitas membaca
dan menulis. Disleksia bukanlah suatu penyakit menular yang mematikan. Banyak orang
yang belum mengetahui mengenai gangguan ini. Anak yang mengidap disleksia kerap
dianggap dan dicap sebagai anak yang memiliki IQ rendah dikarenakan sulit dalam
mengikuti pelajaran, padahal kenyataannya tidak. Individu disleksia seringkali ditemui
mengalami kesulitan dalam membaca dan menulis, walaupun sudah berulangkali
diajarkan huruf dan tulisan yang sama. Hal ini disebabkan oleh adanya disfungsi pada
bagian abu-abu pada otak, yang berhubungan dengan perubahan konektivitas di area
fonologis (membaca).
Anak dengan disleksia sering “membaca” buku dalam waktu lama, tetapi tidak
membaca huruf. Hanya detail gambar hingga proses kerja dari setiap aktor di gambar itu.
Ia membaca “b” menjadi “d”, angka “2″ menjadi “5” jika diurut bersama. Ia juga suka
bingung antara kiri dan kanan. Ia bisa mengeja semua huruf, tapi harus melihat posisi
lidah, gigi dan bibir ketika kita mengucap suku kata seperti “ba” atau “da”. Sementara itu,
daya rekam atas semua detail peristiwa dan pengetahuan anak sangatlah tinggi.
Pengidap disleksia pada kenyataannya memiliki IQ yang tidak jauh berbeda dengan
orang normal pada umumnya, bahkan ada yang memiliki IQ diatas rata-rata. Banyak para
pesohor yang mengalami disleksia. Sebut saja tokoh terkenal seperti Albert Einstein,
penemu telpon Alexander Grahambell, kemudian seorang ilmuwan, matematikawan,
sekaligus seniman Leonardo Da Vinci, bahkan seorang penulis terkenal Agatha Christie.
Mereka tahu bagaimana mensiasati penyakit yang mereka alami sehingga bisa terus maju
dan mengoptimalkan potensinya. Jadi anak lainnya dengan disleksia pun juga bisa
mengoptimalkan bakat dan kemampuan mereka asal diberikan terapi dan penanganan
yang tepat. Walaupun tidak ada obat untuk disleksia, namun individu disleksia tetap dapat
belajar membaca dan menulis dengan dukungan pendidikan yang sesuai. Karena pada
dasarnya setiap orang memiliki metode yang berbeda-beda dalam belajar, begitupun anak
disleksia. Lingkungan yang mendukung pun sangat berpengaruh dalam proses
pembelajaran anak. Peran orangtua dan orang-orang terdekat anak sangat besar dalam
keberhasilan proses terapi yang dijalani.
Jadi sebenarnya seperti apakah disleksia itu? Bagaimanakah penanganan dan terapi
yang tepat untuk mengoptimalkan potensi seorang anak dengan disleksia? Bagaimana
pula kisah para penderita disleksia dalam menghadapi keunikannya ini? Mari kita bahas
bersama.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian disleksia?
2. Bagaimana gejala disleksia?
3. Bagaimana terapi dan penanganan yang tepat untuk disleksia?
C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami pengertian disleksia
2. Mengetahui dan memahami gejala disleksia
3. Mengerti mengenai terapi dan penanganan yang tepat untuk disleksia
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Disleksia
Disleksia (dyslexia) adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang
yang disebabkan oleh kesulitan pada orang tersebut dalam melakukan aktivitas membaca
dan menulis. Kata disleksia berasal dari bahasa Yunani δυς- dys- (“kesulitan untuk”) dan
λέξις lexis (“huruf” atau “leksikal”).
Ada juga ahli yang mendefinisikan disleksia sebagai suatu kondisi pemrosesan
input/informasi yang berbeda (dari anak normal) yang seringkali ditandai dengan
kesulitan dalam membaca, yang dapat mempengaruhi cara kognisi seperti daya ingat,
kecepatan pemrosesan input, kemampuan pengaturan waktu, aspek koordinasi dan
pengendalian gerak. Dapat terjadi kesulitan visual dan fonologis, dan biasanya terdapat
perbedaan kemampuan di berbagai aspek perkembangan.
Gangguan membaca (dyslexia) mengacu pada anak-anak yang memiliki
perkembangan keterampilan yang buruk dalam mengenali kata-kata dan memahami
bacaan. Disleksia diperkirakan mempengaruhi 4% dari anak-anak sekolah (APA, 2000).
Anak-anak yang menderita disleksia membaca dengan lambat dan kesulitan, dan mereka
mengubah, menghilangkan atau mengganti kata-kata ketika membaca dengan keras.
Mereka memiliki kesulitan menguraikan huruf-huruf dan kombinasinya serta mengalami
kesulitan menerjemahkannya menjadi suara yang tepat (Miller-Medzon, 2000). Mereka
mungkin juga salah dalam mempersepsikan huruf-huruf seperti jungkir balik (contohnya
bingung antara w dengan m) atau melihatnya secara terbalik (b untuk d). Disleksia
biasanya tampak pada usia 7 tahun, bersamaan dengan kelas 2 SD, walaupun kadang-
kadang sudah dikenali pada usia 6 tahun. Anak-anak dan remaja dengan disleksia
cenderung lebih rentan terhadap depresi, memiliki self-worth yang rendah, merasa tidak
kompeten secara akademik, dan menunjukkan tanda-tanda ADHD (Boetsch, Green &
Pennington, 1996).
Lebih banyak anak laki-laki yang memperoleh diagnosis gangguan membaca daripada
anak perempuan, tetapi perbedaan ini mungkin lebih disebabkan oleh adanya bias dalam
mengidentifikasi gangguan terhadap anak laki-laki daripada oleh perbedaan gender
dalam jumlah gangguan ini (APA, 2000). Anak laki-laki dengan disleksia cenderung
lebih sering menunjukkan perilaku mengganggu dikelas dibanding anak perempuan,
sehingga lebih besar kemungkinannya untuk menjalani evaluasi. Penelitian yang
dilakukan secara cermat menemukan jumlah yang setara dari gangguan ini baik pada
anak laki-laki maupun perempuan (APA, 2000; Shaywitz, 1998).
Banyaknya penderita disleksia bervariasi sesuai dengan bahasa. Jumlah disleksia
tinggi pada negara-negara berbahasa Inggris dan Prancis, di mana bahasa tersebut
memiliki banyak cara untuk mengeja kata-kata yang terdiri dari suara-suara yang sama
(misalnya, suara yang sama dari huruf “o” pada kata “toe” dan “tow”) dibandingkan
dengan di Italia, dimana rasio antara jenis suara dan kombinasi huruf lebih kecil
(“Dyslexia,” 2001; Paulesu dkk., 2001).
Ada empat kelompok karakteristik kesulitan belajar membaca, yaitu kebiasaan
membaca, kekeliruan mengenal kata, kekeliruan pemahaman, dan gejala-gejala serba
aneka, (Mercer, 1983).
Dalam kebiasaan membaca anak yang mengalami kesulitan belajar membaca sering
tampak hal-hal yang tidak wajar, sering menampakkan ketegangannya seperti
mengernyitkan kening, gelisah, irama suara meninggi, atau menggigit bibir. Mereka juga
merasakan perasaan yang tidak aman dalam dirinya yang ditandai dengan perilaku
menolak untuk membaca, menangis, atau melawan guru. Pada saat mereka membaca
sering kali kehilangan jejak sehingga sering terjadi pengulangan atau ada baris yang
terlompat tidak terbaca.
Kekeliruan mengenal kata ini mencakup penghilangan, penyisipan, penggantian,
pembalikan, salah ucap, perubahan tempat, tidak mengenal kata, dan tersentak-sentak
ketika membaca.
Kekeliruan memahami bacaan tampak pada banyaknya kekeliruan dalam menjawab
pertanyaan yang terkait dengan bacaan, tidak mampu mengurutkan cerita yang dibaca,
dan tidak mampu memahami tema bacaan yang telah dibaca. Gejala tersebut tampak
seperti membaca kata demi kata, membaca dengan penuh ketegangan, dan membaca
dengan penekanan yang tidak tepat.
Secara lebih khusus, anak disleksia biasanya mengalami :
a. Masalah fonologi
Hubungan sistematik antara huruf dan bunyi, misalnya kesulitan membedakan
”paku” dengan ”palu”, atau keliru memahami kata-kata yang mempunyai bunyi
hampir sama, misalnya ”lima puluh” dengan ”lima belas”. Kesulitan ini tidak
disebabkan oleh masalah pendengaran tetapi berkaitan dengan proses pengolahan
input di dalam otak.
b. Masalah mengingat perkataan
Mereka mungkin sulit menyebutkan nama teman-temannya dan memilih untuk
memanggilnya dengan istilah ”temanku di sekolah” atau ”temanku yang laki-laki
itu”. Mereka mungkin dapat menjelaskan suatu cerita namun tidak dapat mengingat
jawaban untuk pertanyaan yang sederhana
c. Masalah penyusunan yang sistematis
Misalnya susunan bulan dalam setahun, hari dalam seminggu, atau susunan huruf dan
angka. Mereka sering ”lupa” susunan aktivitas yang sudah direncanakan sebelumnya,
misalnya lupa apakah setelah pulang sekolah langsung pulang ke rumah atau
langsung pergi ke tempat latihan sepak bola. Padahal, orangtua sudah
mengingatkannya bahkan mungkin sudah pula ditulis dalam agenda kegiatannya.
Mereka juga mengalami kesulitan yang berhubungan dengan perkiraan terhadap
waktu. Misalnya, kesulitan memahami instruksi seperti: ”Waktu yang disediakan
untuk ulangan adalah 45 menit. Sekarang jam 8 pagi. Maka 15 menit sebelum waktu
berakhir, Ibu Guru akan mengetuk meja satu kali”. Kadang kala mereka pun
”bingung” dengan perhitungan uang yang sederhana, misalnya tidak yakin apakah
uangnya cukup untuk membeli sepotong kue atau tidak.
d. Masalah ingatan jangka pendek
Kesulitan memahami instruksi yang panjang dalam satu waktu yang pendek.
Misalnya, ”Simpan tas di kamarmu di lantai atas, ganti pakaian, cuci kaki dan tangan,
lalu turun ke bawah lagi untuk makan siang bersama ibu, tapi jangan lupa bawa serta
buku PR matematikanya, ya,” maka kemungkinan besar anak disleksia tidak
melakukan seluruh instruksi tersebut dengan sempurna karena tidak mampu
mengingat seluruh perkataan ibunya.
e. Masalah pemahaman sintaks
Anak disleksia sering mengalami kebingungan dalam memahami tata bahasa,
terutama jika dalam waktu yang bersamaan mereka menggunakan dua atau lebih
bahasa yang mempunyai tata bahasa yang berbeda. Anak disleksia mengalami
masalah dengan bahasa keduanya apabila pengaturan tata bahasanya berbeda dari
bahasa pertama. Misalnya, dalam bahasa Indonesia dikenal susunan Diterangkan-
Menerangkan (contoh: buku putih), tetapi dalam bahasa Inggris dikenal susunan
Menerangkan-Diterangkan (white book) .
Pada disleksia, terjadi gangguan pada susunan saraf pusat khususnya anatomi antara otak
anak disleksia dengan anak normal, yakni di bagian temporal-parietal-oksipitalnya (otak
bagian samping dan bagian belakang). Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging yang
dilakukan untuk memeriksa otak saat dilakukan aktivitas membaca ternyata
menunjukkan bahwa aktivitas otak individu disleksia jauh berbeda dengan individu biasa
terutama dalam hal pemrosesan input huruf/kata yang dibaca lalu ”diterjemahkan”
menjadi suatu makna.
B. Tanda dan Gejala Disleksia
Pada disleksia, anak memiliki kemampuan membaca di bawah kemampuan yang
seharusnya dilihat dari tingkat inteligensia, usia dan pendidikannya. Hal ini dikarenakan
keterbatasan otak mengolah dan memproses informasi tersebut. Disleksia merupakan
kesalahan pada proses kognitif anak ketika menerima informasi saat membaca buku atau
tulisan.
Jika pada anak normal kemampuan membaca sudah muncul sejak usia enam atau
tujuh tahun, tidak demikian halnya dengan anak disleksia. Sampai usia 12 tahun kadang
mereka masih belum lancar membaca. Kesulitan ini dapat terdeteksi ketika anak
memasuki bangku sekolah dasar.
Ciri-ciri disleksia:
a. Kesulitan mengenali huruf atau mengejanya.
b. Kesulitan membuat pekerjaan tertulis secara terstruktur misalnya esai
c. Huruf tertukar-tukar, misal ’b’ tertukar ’d’, ’p’ tertukar ’q’, ’m’ tertukar ’w’, ’s’
tertukar ’z’
d. Membaca lambat dan terputus-putus serta tidak tepat.
e. Menghilangkan atau salah baca kata penghubung (“di”, “ke”, “pada”).
f. Mengabaikan kata awalan pada waktu membaca (“menulis” dibaca sebagai “tulis”).
g. Tidak dapat membaca ataupun membunyikan perkataan yang tidak pernah dijumpai.
h. Tertukar-tukar kata (misalnya : dia-ada, sama-masa, lagu-gula, batu-buta, tanam-
taman, dapat-padat, mana-nama).
i. Daya ingat jangka pendek yang buruk
j. Kesulitan memahami kalimat yang dibaca ataupun yang didengar
k. Tulisan tangan yang buruk
l. Mengalami kesulitan mempelajari tulisan sambung
m. Ketika mendengarkan sesuatu, rentang perhatiannya pendek
n. Kesulitan dalam mengingat kata-kata
o. Kesulitan dalam diskriminasi visual
p. Kesulitan dalam persepsi spatial
q. Kesulitan mengingat nama-nama
r. Kesulitan / lambat mengerjakan PR
s. Kesulitan memahami konsep waktu
t. Kesulitan membedakan huruf vokal dengan konsonan
u. Kebingungan atas konsep alfabet dan simbol
v. Kesulitan mengingat rutinitas aktivitas sehari-hari
w. Kesulitan membedakan kanan kiri
Banyak faktor yang menjadi penyebab disleksia antara lain genetis, problem
pendengaran sejak bayi yang tidak terdeteksi sehingga mengganggu kemampuan
bahasanya, maupun faktor kombinasi keduanya.
Berikut merupakan tanda dan gejala disleksia pada anak usia sekolah dasar.
1. Kesulitan dalam berbicara :
Salah pelafalan kata-kata yang panjang
Bicara tidak lancar
Menggunakan kata-kata yang tidak tepat dalam berkomunikasi
2. Kesulitan dalam membaca:
Sangat lambat kemajuannya dalam keterampilan membaca
Sulit menguasai / membaca kata-kata baru
Kesulitan melafalkan kata-kata yang baru dikenal
Kesulitan membaca kata-kata ”kecil” seperti: di, pada, ke
Kesulitan dalam mengerjakan tes pilihan ganda
Kesulitan menyelesaikan tes dalam waktu yang ditentukan
Kesulitan mengeja
Membaca sangat lambat dan melelahkan
Tulisan tangan berantakan
Sulit mempelajari bahasa asing (sebagai bahasa kedua)
Riwayat adanya disleksia pada anggota keluarga lain.
C. Terapi dan Penanganan
Jika anak masih berada dalam tahap belum bisa membedakan mana huruf-huruf yang
mirip seperti b dan d, maka cara pengajaran yang perlu dilakukan adalah mengajarkannya
untuk mempelajari huruf tersebut satu persatu. Misalnya fokuskan pengajaran kali ini
pada huruf b. Tulislah huruf b dalam ukuran yang besar kemudian mintalah anak untuk
mengucapkan sembari tangannya mengikuti alur huruf b atau membuat kode tertentu oleh
tangan. Latihlah dan perkuatlah terus menerus sampai ia bisa menguasainya, setelah itu
mulailah beranjak ke huruf d.
Terdapat dua cara untuk mengajarkan anak membaca kata-kata: melihat dan
mendengar kata tersebut satu persatu. Buatlah kata yang dicetak dalam ukuran besar,
misalnya ‘buku’, setelah itu kita ucapkan ‘buku’, lalu mintalah anak mengulangi apa yang
kita ucapkan yaitu ‘buku’. Tunjukanlah kata tersebut terus menerus, tambahkanlah
beberapa kata yang sudah ia ketahui, hingga ia mengenali dan dapat mengucapkannya
langsung begitu ia melihat kata ‘buku’.
Ada beberapa anak  yang sudah bisa membaca namun ia memiliki masalah dengan
pemahaman (comprehension). Menurut Baumer (1996) ada beberapa cara mengajar jika
terjadi gangguan pada pemahaman anak :
1. Memilih cerita yang menarik pada level dimana 98% ia bisa memahami kata-kata
dalam cerita tersebut. Mintalah ia untuk membacakan secara keras dan mengatakan
kepada kita apa yang telah ia baca.
2. Jika anak tidak bisa melakukan ini, mintalah ia membaca tanpa bersuara, berhenti
setiap paragraph dan menceritakan kepada kita apa yang telah ia baca.
3. Ketika pemahamannya berkembang, tambahkan jumlah paragraph yang ia baca
hingga ia bisa membaca dan paham keseluruhan halaman.
4. Untuk membantu pemahamannya, Anda bisa memberikan arahan: menurutmu apa
yang dirasakan si tokoh? Apa yang akan terjadi selanjutnya? Bagaimana akhir
ceritanya?
Sebelum kita mengajarkan anak mengenai pemahaman, kita harus mengidentifikasi
sejauh mana kemampuannya. Jika ia tidak mampu memahami satu halaman, potonglah
menjadi beberapa paragraph. Jika ia tidak bisa memahami beberapa paragraph, potonglah
menjadi satu paragraf, dan seterusnya hingga sampai pada satu kalimat.
Membaca cerita bersama anak dirasa cukup efektif karena kita dapat langsung cross-
check pemahamannya. Misalnya ketika anak tidak paham kata ‘terbit, kita bisa
menganalogikan ‘terbit’ dengan bertanya ‘kalau pagi hari, matahari muncul atau
menghilang?’ lalu ketika anak menjawab ‘muncul’ kita menjelaskan bahwa itulah yang
dimaksud dengan ‘terbit’. Menganalogikan kata-kata tidak dimengerti dapat mengajarkan
anak untuk memberi tanda kata-kata yang belum ia pahami.
Dalam mengajari anak disleksia, kita harus hati-hati untuk tidak mengkritik terlalu
jauh karena anak yang menderita disleksia rawan untuk memiliki motivasi dan self-
esteem yang rendah. Ketika anak mulai menyadari ia memiliki kesulitan dalam membaca
dan ia sudah tertinggal jauh dari teman-temannya, ia akan membenci pelajaran membaca
dan langsung menyerah (mogok) ketika menghadapi kata yang sulit. Aksi mogok ini bisa
disiasati dengan cara belajar membaca melalui minatnya. Misalnya pada anak yang
memiliki minat memasak, kita bisa mengajarkan membaca resep dan menyuruhnya
memasak. Dari situ kita melihat sejauh mana pemahamannya terhadap bacaan.
Mengajar membaca anak disleksia adalah proses yang tidak mudah. Anak disleksia
memiliki short term memory yang terbatas dan kosa kata yang minim sehingga
membutuhkan banyak penguatan. Variasikan metode melalui permainan kata atau
mengajak anak jalan-jalan sambil mengajari membaca tulisan-tulisan yang ada. Dan hal
yang terpenting dalam proses pembelajaran ini adalah berilah apresiasi pada sekecil
apapun perkembangannya.
BAB III

FENOMENA DI MASYARAKAT

Kisah I
JAKARTA, KOMPAS.com – Sepintas, Aigis Arira (21) terlihat seperti mahasiswa
pada umumnya. Kini, ia menempuh semester 7 jurusan di Institut Teknologi Harapan,
Bandung. Tak ada yang menduga bahwa ia seorang penyandang disleksia.
Pada beberapa fase hidupnya, Aigis pernah mengalami masa-masa sulit. Saat ia
dianggap memiliki hambatan belajar. Sesuatu yang menurutnya biasa-biasa saja. Tetapi,
tak biasa bagi orang-orang sekitarnya. Saat menginjak kelas 3 SD, orangtuanya baru
menyadari bahwa Aigis mengalami perkembangan yang berbeda dari anak-anak
sebayanya. Ia menceritakan, awalnya, ia menempuh sekolah dasar di SD Cinere 03 pada
tahun 1995-1997.
“Di sini, saya pribadi tidak merasakan kesulitan di dalam diri saya. Tetapi, di mata
orang sekeliling saya, mereka berpendapat lain. Saya tidak bisa membedakan ‘b’ dan ‘d’
bahkan sering kebalik, menyalin suka salah, padahal saya duduk paling depan.
Menghafal perkalian dan pembagian saya tidak bisa, menggambar kubus hasilnya bisa
trapesium,” kisah Aigis, dalam sebuah seminar nasional mengenai disleksia, di Jakarta,
akhir pekan lalu.
Aigis juga mengalami hambatan dalam mengutarakan pendapatnya, sehingga
berakibat ia malu bertanya dan tidak bisa bergaul dengan teman-temannya. “Sayangnya,
tidak banyak yang mengetahui kondisi saya, bila orangtua saya tidak mencari info, maka
mungkin sampai sekarang tidak akan tahu bahwa saya mempunyai sesuatu yang unik,”
ujarnya.
Menyadari ada kekhususan yang dibutuhkan anaknya, orangtua Aigis kemudian
memindahkannya ke sekolah khusus, SD Pantara, yang menangani anak-anak yang
mengalami kesulitan belajar spesifik (specific learning difficulties/LD). Di sekolah ini,
Aigis lebih merasakan kenyamanan karena mendapat penanganan khusus dan lingkungan
yang lebih kondusif. Pendidikan dasarpun berhasil ditamatkannya.
Melanjutkan ke SMP Umum
Masa SMP dirasakan Aigis adalah masa terberatnya. Setamat SD, Aigis dan
keluarganya hijrah ke Bandung. Disana, Aigis tak lagi mengenyam pendidikan di sekolah
khusus. Ia kembali melanjutkan ke sekolah umum, SMPN 4 Cimahi. Pada masa SMP
inilah, Aigis diberitahu oleh orangtuanya bahwa ia seorang penyandang disleksia.
“Ketika SMP, orangtua saya baru menjelaskan bahwa kondisi saya seperti ini. Inilah titik
terberat yang saya alami, karena harus sekolah di sekolah umum, beda dengan SD saya
yang muridnya sedikit,” kata Aigis.
Ia pun harus beradaptasi. Dari semula di SD hanya memiliki teman 8 orang dalam satu
kelas dengan dua guru, kini 44 orang orang dengan satu guru. “Waktu SMP, saya selalu
memilih duduk di belakang karena takut ditanya guru,” ujarnya enteng.
Bagaimana prestasi belajarnya? “Saya ranking 44 dari 44 murid. Lumayanlah, ada
rankingnya, daripada enggak ranking,” kata Aigis sambil tertawa.
Tetapi, saat SMP ini, dorongan orangtua sangat kuat dirasakan Aigis. Ia diminta hanya
mencatat seluruh pelajaran dan perkataan gurunya. “Saya belajarnya di rumah, dengan
orangtua saya,” kata gadis hitam manis ini.
SMA Juara Mengetik 10 Jari
Memasuki jenjang pendidikan menengah atas, Aigis merasa sudah lebih bisa cepat
beradaptasi dengan lingkungannya. Ia melanjutkan ke SMK dengan jurusan RPL alias
Rekayasa Perangkat Lunak. Ya, Aigis memang suka dengan segala sesuatu yang
berhubungan dengan komputer. Lagipula, sekolah kejuruan dianggapnya sebagai pilihan
tepat karena tak harus berhadapan dengan pelajaran-pelajaran di sekolah umum yang
dirasanya sangat sulit.
“Selain itu, jumlah muridnya hanya 28 orang per kelas ditambah dengan pembagian
jurusan menjadikan perbandingan guru dan murid menjadi lebih sedikit. Di sekolah ini
pelajaran praktek lebih banyak daripada teori sehingga pemahaman mata pelajaran terasa
lebih nyata,” ujarnya.
Prestasi sekolahnya pun bisa menyamai nilai rata-rata di kelasnya. Hal inilah yang
membuat Aigis semakin termotivasi dan percaya diri. Di masa ini pula, Aigis meraih
prestasi yang sangat membanggakan orangtua dan dirinya sendiri : juara untuk pelajaran
mengetik sepuluh jari (blind system). “Saya mendapatkan point tertinggi di sekolah.
Padahal, untuk menghafalkan abjad dari A sampai Z saya masih belum bisa. Dan sampai
saat ini pun saya tidak mengerti kenapa saya bisa juara,” kata Aigis.
Selepas menamatkan pendidikan menengah atasnya, Aigis akhirnya memilih untuk
melanjutkan pendidikan dengan jurusan Ilmu Komputer di Institut Teknologi Harapan,
Bandung. Di masa ini, bantuan materi pelajaran dari orangtua sudah sangat terkurangi.
Aigis lebih didorong secara motivasi. Ia pun menyadari bahwa ia harus mandiri. Prestasi
belajar Aigis pun, hingga menginjak semester VII tak jauh berbeda dengan teman
seangkatannya. Kini, Aigis tengah menyusun skripsi untuk meraih gelar sarjananya.
Kisah II

'My three dyslexic sons and music'

Robert, Patrick and Luke Baldwin (l to r) all started piano aged five
Three brothers with dyslexia have overcome their struggles with reading music to
be chosen to play in the National Schools Symphony Orchestra.

"I shudder to think what it would have been like without music," says Sasha Baldwin,
mother to three teenage sons who are all dyslexic.

Luke, 17, plays the violin and guitar. Patrick, 15, plays the piano, organ and trumpet
while Robert, 14, is a gifted French horn player. They all sing too.

Yet at primary school they struggled from early on as dyslexia manifested itself in
different ways in each of them.

"Luke had difficulties learning how to read, Patrick had problems with short-term
memory and couldn't remember instructions from school or telephone numbers and
Robert had real problems with personal organisation and retaining information, as well as
reading," Sasha says.

The North Yorkshire school they attended recognised their learning difficulties and
enlisted the help of educational psychologists to support them.

But Sasha, who now lives in Perthshire, realised that music could provide a valuable
outlet for their development and she encouraged the boys to start learning the piano aged
five.
Although they were enthusiastic, they all had issues with reading music.

"Robert had to give up the piano after a year as he couldn't read two lines of music
simultaneously and became very frustrated," Sasha says.

A-team
So he took up the horn instead, an unusual instrument for a five-year-old, but it suited
him because he only had to read one line of music.

Robert is gifted, his mother says, and music has played a huge role in helping him to
achieve.

His two brothers have won places as choristers at the choir of St John's College,
Cambridge and all three have been invited to play with the National Schools Symphony
Orchestra.

Aged 10, their school report said the boys were going to struggle to cope with exams -
but they are now predicted to get A* in GCSEs.

Dr John Rack, a psychologist and head of research, development and policy at the charity
Dyslexia Action, says that people with dyslexia can often do well at creative subjects.

"But we don't know if dyslexia gives you a special advantage or whether dyslexic people
go in a different direction and develop alternative talents."

Dyslexia doesn't automatically mean you'll be creative or successful, he warns.

"You shouldn't feel bad if you're not creative."

'Easily distracted'
Teresa Bliss, an educational psychologist who works to help children and young people
who are experiencing problems in school, says she is convinced that music can have an
impact on children with dyslexia.

"Children and young people with dyslexia are often easily distracted and lacking in
concentration.
"Music offers training in many of the areas where dyslexics typically experience
difficulties such as understanding rhythm, sequencing, organisation, motor co-ordination,
memory and concentration."

Dr Rack believes music has a more logical structure than language which means it can
appeal to people with dyslexia.

"Dyslexics find it easier to learn to respond through action than through speaking or
words. They can struggle to remember names, for example, but give them a task and they
can make associations very well.

"Their fingers know how to play the notes, but can't always say what they are."

'Not faulty'
The key thing, dyslexics are told, is to find something you are good at and put lots of
effort into it.

Reading and writing can be difficult but dyslexia affects children in many different ways,
none of which are related to their level of intelligence.

However, it is the most common learning difficulty in schools, with some children
needing long-term support.

Dr Rack says being dyslexic is not something to get stressed and worried about.

"It only becomes a problem if people deny it or if there's a failure to recognise the effects
of it.

"Just say you're different, not faulty."

Sasha Baldwin says that music has been a great discipline for her three dyslexic sons.

"They have all improved massively. The oldest one is flying now. He reads very fast and
doesn't need any extra time in exams.

"It's been a great lesson in life to practise their instrument. They would not have got this
far academically without music," she says.
BAB IV
PEMBAHASAN
“My teachers say I’m addled . . . my father thought I was stupid, and I almost decided I
must be a dunce.” (Leonardo Da Vinci)
“When I had dyslexia, they didn’t diagnose it as that. It was frustrating and
embarrassing. I could tell you a lot of horror stories about what you feel like on the
inside. ” (Thomas Alfa Edison)
“I was dyslexic before anybody knew what dyslexia was. I was called ‘slow’. It’s an
awful feeling to think of yourself as ‘slow’ – it’s horrible.” (Albert Einstein)

Melihat nama tiga orang diatas, pasti semua mengenalnya. Siapa sangka mereka
mengidap disleksia? Banyak orang penderita disleksia yang sukses pada hidupnya setelah
berjuang untuk melawan keunikannya ini. Pada masa awalnya ketika seorang disleksis
menyadari mereka mengalami keterbatasan dalam membaca, merangkai kalimat,
menghafal ataupun salah dalam memproyeksikan suatu bentuk maupun jarak, tentu hal ini
membuat para disleksis merasa terpuruk dan cenderung merasa rendah diri. Padahal dari
beberapa contoh kisah hidup yang terpapar diatas, kita sekarang bisa mengerti bahwa
seorang disleksis sebenarnya mempunyai cara dan gaya unik mereka sendiri untuk
memahami suatu tulisan. Bagi kita yang dikatakan normal ini, ketika melihat kata ‘adab’,
maka kata ‘adab’ lah yang terekam dan terproses di pikiran kita. Tetapi tidak begitu
halnya dengan penderita disleksia. Mereka akan membaca ‘adab’ dengan ‘abad’, sehingga
apa yang terekam dan terproses dalam pikiran mereka pun berbeda dengan apa yang kita
mengerti. Salah besar ketika kita mengatakan bahwa mereka mengalami keterbelakangan,
moreover call them as a dumb! Banyak orang yang salah mempersepsikan disleksia,
padahal jika kita mau lebih banyak mencari informasi, ternyata ada banyak orang terkenal
dan berpengaruh di dunia yang mengalami keunikan ini. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, coba lihat kisah hidup disleksia George Washington, Winston Churchill, dan
Walt Disney. Jika ingin melihat lebih kecil di ranah dalam negeri, lihat saja Dedy
Corbuzier. Dengan keunikan bernama disleksia ini, ternyata mereka pun tetap bisa
menghasilkan sesuatu.
Walaupun seorang disleksia sulit dalam membaca maupun memahami bacaan,
tahukah anda bahwa mereka memiliki daya rekam luar biasa atas semua detail peristiwa
yang mereka lihat dan dengar? Ketika mereka sudah menemukan potensi mereka dalam
suatu bidang tertentu, ditambah kekreatifan dan ketekunan yang tinggi, maka mereka pun
bisa meraih sukses.

Mari kita lihat lagi pada kisah diatas, ketiga anak disleksis tersebut ternyata dapat
meraih sukses dalam bidang musik dan diundang secara terhormat untuk bermain
bersama di National Schools Symphony Orchestra. Dukungan orangtua yang luar biasa
untuk ketiganya juga telah meningkatkan semangat dan self-esteem mereka untuk terus
belajar. Beruntung Sasha, ibu mereka, telah mengetahui dari awal bahwa ketiga anaknya
mengalami disleksia. Ia pun langsung tanggap dalam mencari informasi dan mencari
jalan keluarnya. Ia sadar bahwa musik bisa meningkatkan perkembangan ketiga anaknya
dan musik juga menarik untuk dipelajari, sehingga ia menyarankan anaknya untuk
belajar piano sejak umur 5 tahun. Pada awalnya memang sulit bagi mereka, bahkan si
bungsu Robert sempat frustasi karena kesulitan dalam membaca not musik pada piano,
sehingga ia berpindah dan belajar memainkan French Horn dan berhasil memainkannya
dengan baik dan piawai.

Pada kisah Aigis pun sama. Setelah melewati masa-masa sulitnya pada awal masa
sekolah, pada akhirnya Aigis pun bisa setara bahkan mengungguli temannya. Bayangkan
saja, seorang pengidap disleksia yang sulit dalam membaca ternyata bisa menyabet juara
1 lomba mengetik 10 jari pada masa SMA nya. Mendengar kisah ini, saya jadi teringat
pada seorang novelis terkenal, Agatha Christie, yang juga mengidap keunikan yang sama
bernama disleksia ini. So, why do you still underestimate them?

Nah, saya ingin mengutip sedikit kata dari Dr. Rack untuk para disleksis, "Just say
you're different, not faulty."

“If I wasn’t dyslexic, I probably wouldn’t have won the Games. If I had been a better
reader, then that would have come easily, sports would have come easily… and I never
would have realized that the way you get ahead in life is hard work.” (Leonardo Da
Vinci)

So find your potential, and win it!


BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Disleksia (dyslexia) adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang
yang disebabkan oleh kesulitan pada orang tersebut dalam melakukan aktivitas membaca
dan menulis.
Secara lebih khusus, anak disleksia biasanya mengalami :
a. Masalah fonologi
b. Masalah mengingat perkataan
c. Masalah penyusunan yang sistematis
d. Masalah ingatan jangka pendek
e. Masalah pemahaman sintaks
Banyak faktor yang menjadi penyebab disleksia antara lain genetis, problem
pendengaran sejak bayi yang tidak terdeteksi sehingga mengganggu kemampuan
bahasanya, maupun faktor kombinasi keduanya.
Mengajar membaca anak disleksia adalah proses yang tidak mudah. Anak disleksia
memiliki short term memory yang terbatas dan kosa kata yang minim sehingga
membutuhkan banyak penguatan. Variasikan metode melalui permainan kata atau
mengajak anak jalan-jalan sambil mengajari membaca tulisan-tulisan yang ada. Dan hal
yang terpenting dalam proses pembelajaran ini adalah berilah apresiasi pada sekecil
apapun perkembangannya.
B. Saran
Kondisi disleksia bukanlah momok mengerikan dan memalukan. Cukup cari metode
belajar yang tepat dan bisa diterima anak, dan terus gali potensi mereka. Dukung anak
untuk meningkatkan self-esteem mereka, berikan reward selalu walaupun hanya dengan
pujian. Karena kasih sayang dan dukungan orang terdekat merupakan faktor terpenting
untuk menunjang perkembangan mereka.
Seperti apapun kondisi seorang anak, jangan pernah merendahkan mereka. Sayangi
mereka, cintai mereka, maka mereka pun akan tumbuh dengan cinta yang diberikan.

For further information about diyslexia, please visit this link :


http://dyslexia.yale.edu/DYS_DyslexiaDeclarations.html
http://www.dyslexiclikeme.org/about-dyslexia/r/
DAFTAR PUSTAKA

Nevid, Jeffrey S, dkk. 2005.Psikologi Abnormal.Jakarta : Erlangga


http://caramendidikanak-1.blogspot.com/2012/07/disleksia.html
http://disleksia.wordpress.com/
http://health.detik.com/read/2013/02/18/141900/2172909/763/orang-orang-ini-mampu-
mencapai-kesuksesan-meski-memiliki-disleksia
http://childrenclinic.wordpress.com/2011/06/07/gangguan-membaca-disleksia-deteksi-
dini-dan-penanganannya/
http://sosbud.kompasiana.com/2012/01/16/sepotong-kisah-kekuranganku-seorang-
disleksia-431454.html
http://www.successstories.co.in/10-successful-and-famous-people-who-had-dyslexia/

Anda mungkin juga menyukai