Anda di halaman 1dari 11

PENCEGAHAN PERILAKU BULLYING DI SEKOLAH

Oleh: Tita Novitasari

Mahasiswi Hukum Ekonomi Syariah

novitasaritita@gmail.com

Abstrak

Perilaku bullying pada faktanya banyak terjadi di dunia pendidikan kita. Berdasarkan
hal tersebut, penulis akan mencoba menguraikan bagaimana pencegahan perilaku
bullying yang paling efektif dengan mengidentifikasi terlebih dahulu definisi, karakter,
penyebab, mitos, dan fakta dari perilaku bullying. Pencegahan perilaku bullying pada
akhirnya harus dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi. Kerjasama antara pihak
sekolah dan orangtua murid juga mutlak untuk dilakukan.

Kata kunci: Bullying, sekolah, dan pencegahan perilaku bullying.

A. Latar Belakang

Anak merupakan generasi penerus dari suatu bangsa, sehingga diperlukan


pendidikan dan pertumbuhan yang baik bagi seorang anak agar anak dapat menjadi
penerus yang baik bagi Indonesia. Oleh karena itu, melindungi hak-hak anak dari
segenap tindakan-tindakan buruk yang dapat merugikan serta menyakiti fisik maupun
psikis dari seorang anak ialah urgensi bagi setiap penduduk Indonesia.

Berbicara mengenai perlindungan anak, Pasal 1 Undang-undang Nomor 23


tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Perlindungan Anak adalah:
Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Salah satu bentuk perlindungan anak ialah perlindungan terhadap kekerasan


yang seringkali dialami oleh anak. Anak kian menjadi sosok yang terancam oleh orang
dewasa, kakak tingkat di sekolah, dan bahkan oleh teman sebayanya sendiri. Menurut
Sanford Kadish, kekerasan atau violence itu mengarah pada tingkah laku yang
bertentangan dengan undang-undang serta memiliki akibat-akibat baik berupa
kerusakan fisik maupun kerusakan harta benda atau kematian seseorang (Romli
Atmasasmita, 1992: 55).

Aksi kekerasan terhadap anak yang saat ini sedang sangat marak terjadi ialah
bullying (perundungan). Sebagai tindakan yang dapat membahayakan kondisi mental
dan fisik anak, bullying tidak hanya menjadi permasalahan bagi Indonesia, tetapi juga
dunia. Berdasarkan data dari Josephson Institute, anak dan remaja yang terlibat dalam
perilaku bullying, baik itu terlibat sebagai korban, pelaku, maupun hanya sebagai pihak
yang menyaksikan atau penonton (bystander), bahkan sampai mencapai 75%
(Josephson Institute, 2010). Hymel mengatakan bahwa angka perilaku bullying
bervariasi di berbagai Negara, 9-37% pelajar melaporkan pernah melakukan bullying
(pelaku) terhadap pelajar lain dan 2-36% lainnya pernah menjadi korban bullying
(Smokowski & Kopasz, 2010). Di Indonesia, penelitian Yayasan Semai Jiwa Amini di 3
kota besar, yaitu kota Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta, mencatat perilaku bullying
pada 67,9% siswa/i SMA dan 66,1% SMP dengan kategori tertinggi kekerasan
psikologis yaitu pengucilan dan kategori tertinggi kedua adalah kekerasan verbal
(mengejek) dan fisik atau memukul (Yayasan Semai Jiwa Amini, 2008).

Jumlah anak yang terlibat dalam aksi bullying di Indonesia sendiri tidaklah
semakin berkurang, tetapi justru semakin meningkat setiap tahunnya. Data yang
diperoleh dari website resmi Komisi Perlindungan Anak (KPAI) menunjukan bahwa
perilaku bullying di sekolah masih kerapkali terjadi, bahkan sampai memakan korban.
Pada tahun 2011, jumlah korban bullying berjumlah 56 orang. Jumlah 56 korban
tersebut meningkat di tahun berikutnya, yakni mencapai angka 130 orang di tahun 2012.
Pada tahun 2013, jumlah korban bullying berkurang sampai mencapai angka 96, namun
angka ini masih lebih besar dari angka (baca: jumlah korban) di tahun 2011. Korban
bullying yang sudah berkurang di tahun 2013 tersebut sayangnya meningkat pesat di
tahun berikutnya. Tahun 2014 sampai 2015, korban bullying di sekolah berjumlah
kurang lebih 313 orang, 159 korban di tahun 2014 dan 154 korban di tahun 2015
(KPAI, 2016). Jumlah korban bullying yang fluktuatif namun cenderung meningkat
tersebut tentu tidak akan dibiarkan begitu saja tanpa ada usaha untuk menguranginya.

Berbeda dengan jumlah korban yang mencapai angka ratusan, jumlah pelaku
bullying yang tercatat dalam data KPAI nyatanya tidak sampai seratus orang. Tetapi
hanya sampai 93 orang di tahun 2016, namun jumlah pelaku bullying ini selalu
meningkat dari tahun 2011 sampai 2016. Ada sebanyak 48 pelaku bullying di tahun
2011, 66 orang di tahun 2012, 63 di tahun 2013, 67 di tahun 2014, 93 di tahun 2015,
dan 93 di tahun 2016 (KPAI, 2016).

Jumlah korban dan pelaku bullying tersebut di atas ialah yang tercatat di KPAI,
yang tidak tercatat oleh KPAI mungkin saja jauh lebih banyak dari data KPAI. Sebab
aksi bullying ini merupakan aksi yang seringkali sulit dideteksi, yakni korban cenderung
enggan menceritakan pengalamannya kepada guru dan orangtua (Anis Widiyawati,
2014: 2). Oleh karenanya, pada faktanya ada banyak jumlah aksi bullying yang tidak
sampai terungkap oleh guru atau orangtua anak, bahkan oleh KPAI. Satu hal yang pasti
ialah: aksi bullying merupakan aksi yang sangat sering terjadi di sekolah, juga di luar
sekolah.

Data anak yang menjadi pelaku tindakan kekerasan fisik (pengeroyokan,


penganiayaan, perkelahian, dan sebagainya) dan anak pelaku kekerasan psikis
(ancaman, intimidasi, dan sebagainya) ialah terpisah dari data anak pelaku dan korban
bullying. Anak yang tercatat sebagai pelaku kekerasan fisik di tahun 2011 sampai tahun
2016 berjumlah 423 anak, sedangkan pelaku kekerasan psikis sebanyak 119 (KPAI,
2016).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, anak yang terlibat dalam aksi bullying
menghadapi risiko yang serius untuk masa depannya. Kekerasan (bullying) seolah-olah
sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak. Oleh karenanya,
perlu dicarikan jalan atau cara yang dapat ditempuh untuk mencegah kekerasan yang
tiada habis-habisnya. Tentunya semua pihak memiliki tanggung jawab atas
kelangsungan hidup anak, karena anak-anak juga memiliki hak yang harus dipenuhi
oleh negara, orang tua, guru, dan masyarakat. Diperlukan komitmen bersama dan
langkah nyata untuk mecegah kekerasan (bullying) di sekolah.
B. Pembahasan
1. Bullying (Kekerasan) di Sekolah

Bullying merupakan suatu aksi atau serangkaian aksi negatif yang seringkali
agresif dan manipulatif, dilakukan oleh satu atau lebih orang terhadap orang lain atau
beberapa orang selama kurun waktu tertentu, bermuatan kekerasan baik verbal maupun
fisik, dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan. Pelaku biasanya mencuri-curi
kesempatan dalam melakukan aksinya, dan bermaksud membuat orang lain merasa
tidak nyaman atau terganggu, sedangkan korban biasanya juga menyadari bahwa aksi
itu akan berulang menimpanya (Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron, 2015).

Yayasan SEJIWA mengidentifikasi jenis dan wujud bullying secara umum dapat
dikelompokan ke dalam tiga kategori (Yayasan Semai Sejiwa, 2008: 2), yaitu:

a. Bullying Fisik, meliputi tindakan: menampar, menimpuk, menginjak kaki,


menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, menghukum
dengan berlari keliling lapangan dan menghukum dengan cara push up.
b. Bullying Verbal, terdeteksi karena tertangkap oleh indera pendengaran,
seperti memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, memalukan di depan
umum, menuduh, menyoraki, menebar gosip, memfitnah dan menolak.
c. Bullying Mental/Psikologis, merupakan jenis bullying yang paling berbahaya
karena tidak tertangkap mata. Praktik ini terjadi secara diam-diam dan di luar
pemantauan si korban. Contohnya adalah: memandang sinis, memandang
penuh ancaman, mempermalukan di depan umum, mendiamkan,
mengucilkan, mempermalukan, meneror lewat pesan sms, memandang yang
merendahkan, memelototi, dan mencibir.

2. Faktor Penyebab dan Dampak Bullying di Sekolah

Dalam aksi bullying terdapat beberapa murid yang memegang peran masing-
masing, yakni peran sebagai pelaku, korban, penonton (bystander), dan sebagai murid
yang tidak terlibat. Selain korban yang merasakan dan mengalami kerugian akibat dari
perilaku bullying, dalam beberapa kasus, pelaku pun dapat menjadi pelaku sekaligus
korban dari bullying yang dilakukan oleh pelaku lain. Pihak yang tidak terlibat dalam
aksi bullying di sekolah dasar misalnya, bisa saja pihak tersebut malah menjadi korban
bullying yang serius di sekolah menengah pertama (SMP) atau di SMA, begitu pula
dengan bystander (Paige Lembeck, dkk., 2016: 1). Setiap anak dan remaja yang terlibat
secara langsung (pelaku dan korban), tidak langsung, dan yang tidak terlibat sekali pun,
berpotensi mengalami bullying.

Salah satu alasan dari banyaknya tindakan bullying yang terjadi di kalangan
anak dan remaja dapat diurai berdasarkan hasil survei, bahwa sebagian besar korban
enggan menceritakan pengalaman mereka kepada pihak-pihak yang mempunyai
kekuatan untuk mengubah cara berpikir mereka dan menghentikan siklus ini, yaitu
pihak sekolah dan orang tua. Korban biasanya merahasiakan bullying yang mereka
derita karena takut pelaku akan semakin mengintensifkan bullying mereka (Anies
Widiyawati, 2014: 2).

Oleh karena keengganan atau ketakutan korban untuk menceritakan perilaku


bullying tersebut, pencegahan bullying ini pun menjadi terhambat. Pada akhirnya, pihak
sekolah dan keluarga tidak akan mengetahui persoalan bullying yang terjadi di antara
siswa, sampai bullying tersebut menjadi semakin intensif, atau sampai perilaku itu
tercium (teridentifikasi) oleh pihak sekolah dan keluarga.

Dalam skema kognitif korban, korban mempunyai persepsi bahwa pelaku


melakukan bullying karena tradisi, balas dendam karena dia dulu pernah diperlakukan
sama (menurut korban laki-laki), ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban
tidak berperilaku sesuai dengan yang diharapkan, mendapatkan kepuasan (menurut
korban perempuan), dan iri hati (menurut korban perempuan), Adapun korban juga
mempersiapkan dirinya sendiri menjadi korban bullying karena berpendapat bahwa aksi
bullying dilakukan karena penampilan menyolok, tidak berperilaku dengan sesuai,
perilaku dianggap tidak sopan, dan karena tradisi (Anies Widiyawati, 2014: 2).

Menurut Coloroso (2006), perilaku bullying akan selalu melibatkan adanya


ketidakseimbangan kekuatan, niat untuk mencederai, ancaman agresi lebih lanjut, dan
teror. Bullying merupakan salah satu bentuk perilaku agresi. Ejekan, hinaan, dan
ancaman seringkali merupakan pancingan yang dapat mengarah ke agresi. Rasa sakit
dan kekecewaan yang ditimbulkan oleh penghinaan akan mengundang reaksi siswa
untuk membalas. Penghinaan muncul dengan tiga keunggulan psikologis yang jelas,
yang memungkinkan anak melukai tanpa merasa empati, iba, ataupun malu, yaitu:

a. Perasaan berhak, menyangkut keistimewaan dan hak untuk mengendalikan,


mengatur, menaklukkan, dan menyiksa orang lain.
b. Fanatisme terhadap perbedaan, perbedaan dipandang sebagai kelemahan,
dan karenanya tidak layak untuk memperoleh penghargaan.
c. Suatu kemerdekaan untuk mengecualikan, melakukan tindakan-tindakan
yang membatasi, mengisolasi dan memisahkan seseorang yang dianggap
tidak layak untuk mendapatkan penghargaan.

Ken Rigby (2012) berpendapat dalam penelitiannya bahwa mengidentifikasi


hasrat (desire) para pelaku bullying dalam mencegah perilaku bullying ialah cara yang
seharusnya lebih diutamakan daripada menghukum atau memberi sanksi untuk para
pelaku tersebut. Beberapa faktor dari perilaku bullying yang telah teridentifikasi antara
lain ialah (Ken Rigby, 2012: 344):

a. pelaku bully sedang merasa sedih (feeling aggrieved) dan merasa dibolehkan
melampiaskan perasaan sedih atau depresinya tersebut kepada orang lain;
b. pelaku bully melihat korban yang berada di bawah tekanan sebagai sesuatu
yang menyenangkan (seeking fun at another's discomfiture);
c. pelaku bullying berpikir bahwa kelompoknya akan semakin menerima dan
mengakui keberadaannya jika ia berani mem-bully orang lain (gaining or
retaining group support);
d. pelaku bullying bisa saja memang seseorang yang senang menyakiti dan
melihat orang lain dalam keadaan sulit, atau dengan kata lain alasan
seseorang mem-bully bisa saja ialah karena alasan yang sifatnya sadistic
(extortion and sadism).

Matraisa Bara Asi Tumon (2014) dalam simpulan penelitiannya menyatakan


bahwa faktor keluarga, teman sebaya, dan sekolah dapat membentuk perilaku bullying
pada remaja, saat ketiga faktor tersebut berjalan dengan tidak kondusif maka remaja
cenderung akan melampiaskan gejolak emosinya dalam hal yang negatif, dalam hal ini
salah satunya ialah bullying.

Perilaku bullying tentu memiliki efek yang sangat berbahaya, perilaku ini dapat
menimbulkan dampak traumatik luar biasa. Bullying menyebabkan anak dan remaja
enggan untuk masuk sekolah (membolos), menurunkan nilai rapor dan peringkat anak di
sekolah, dan mengganggu kesehatan mental anak antara lain membuat anak dan remaja
mengalami stress, depresi, gelisah dan khawatir, bahkan bullying dapat mendorong anak
dan remaja untuk melakukan bunuh diri (Paige Lembeck, dkk., 2016: 1-2).

Salah satu dampak dari bullying yang paling jelas terlihat adalah kesehatan fisik.
Beberapa dampak fisik yang biasanya ditimbulkan bullying adalah sakit kepala, sakit
tenggorokan, flu, batuk, bibir pecah-pecah, dan sakit dada (Anis Widiyawati, 2014: 3).
Bahkan dalam kasus-kasus yang ekstrim seperti insiden yang terjadi di SMA 3 Jakarta
(Kompas, 2014), dampak fisik ini bisa mengakibatkan kematian.

3. Mencegah Bullying di Sekolah

Program pencegahan bullying yang bisa dikatakan sukses biasanya mengandung


beberapa sifat yang sama antara lain (Nadia S. Ansary, dkk., 2015: 31-33):

a. Menciptakan Budaya Anti-Bullying di Sekolah

Untuk menciptakan budaya anti-bullying di sekolah, pihak sekolah dapat


membentuk program pencegahan bullying yang fokus pada pengembangan
karakter dan budaya di sekolah secara komprehensif dan menyeluruh. Seluruh
guru, murid, bahkan sampai bagian kebersihan sekolah mesti mengetahui apa itu
bullying dan bagaimana menghentikan perilaku bullying yang tertangkap tangan.
Sekolah dapat memberikan edukasi mengenai bullying tersebut melalui kegiatan
belajar mengajar di sekolah, jadi ketika guru mengajar, guru tersebut semestinya
mensosialisasikan persoalan bullying kepada murid.

Memberikan pemahaman kepada murid bahwa bullying ialah perilaku


yang tidak patut dan melanggar norma ialah penting. Lebih jauh lagi, sekolah
selanjutnya mesti membuat sebuah kebijakan atau aturan tentang larangan
bullying di sekolah dan di luar sekolah dengan jelas dan tegas. Penegakan
kebijakan atau aturan sekolah tentang bullying tersebut harus dilakukan secara
konsisten oleh semua pihak di sekolah, utamanya murid, sehingga budaya anti-
bullying di sekolah pun dapat terbentuk.

Program pencegahan bullying ini juga perlu disosialisasikan kepada


pihak keluarga murid pelaku bullying dan korban bullying, sebab keluarga murid
tentu memegang peran yang penting dalam mencegah. Langkah yang dapat
dilakukan misalnya adalah dengan mengadakan pertemuan dengan keluarga atau
wali murid, melakukan kampanye melalui media sosial, mengirim berita tentang
program pencegahan bullying atau tentang tindakan bullying kepada keluarga
atau wali murid, dan sebagainya.

Kerjasama antara pihak sekolah dan keluarga murid untuk menolong


anak baik yang menjadi pelaku maupun korban bullying ini sangatlah penting,
sebab seringkali persoalan anak yang menjadi pelaku bullying ialah berawal dari
persoalan keluarga (Thomas dan Kevin, 2010). Ketika fungsi keluarga, teman,
dan sekolah berjalan dengan baik dan kondusif maka perilaku bullying dapat
dicegah dan dikurangi (Matraisa Bara Asie Tumon, 2014: 13). Pada intinya
semua pihak mesti dilibatkan dalam program pencegahan bullying dengan
memberikan pemahaman mengenai bullying secara komprehensif.

b. Komitmen

Komitmen lebih ditekankan untuk dimiliki oleh semua guru di sekolah.


Guru seharusnya memiliki komitmen untuk mencegah bullying. Tidak hanya
mengetahui secara pasti seperti apa tindakan bullying yang biasa terjadi di antara
siswanya, tetapi juga guru mesti mengetahui bagaimana semestinya ia bertindak
ketika tindakan bullying tersebut terjadi. Bahkan seorang guru mestinya dapat
melihat bullying yang terjadi di luar sekolah, kemudian melakukan pencegahan
terhadapnya. Sebab bullying dapat berpindah ke tempat di luar sekolah, seperti
ke dunia maya, sehingga semua tempat harus dapat dimonitor oleh seorang guru.
c. Respons yang Jelas terhadap Tindakan Bullying

Perlakuan terhadap anak yang menjadi korban dan pelaku bullying dapat
dibuat secara efektif dan efisien. Pelaku bullying tidak semestinya hanya
diberikan sanksi, tetapi juga guru mesti memberikan bimbingan yang tepat untuk
siswa pelaku bullying, seperti dengan mengajak siswa tersebut berbincang atau
membuat siswa merefleksikan perbuatannya dan membuatnya memahami bahwa
bullying yang ia lakukan adalah perbuatan yang tidak baik. Mempermalukan
siswa pelaku bullying dengan memarahinya di depan umum atau dengan
langsung menghukum siswa tersebut adalah cara yang dinilai kurang efektif
untuk mencegah bullying. Siswa pelaku bullying bisa saja akan melakukan
aksinya kembali sesudah ia menyelesaikan hukumannya.

C. Simpulan

Kekerasan (bullying) terhadap anak di sekolah merupakan pelanggaran terhadap


hak anak. Bullying bukanlah suatu tindakan yang begitu saja terjadi secara kebetulan,
melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor sosial, ekonomi, budaya, dan
faktor psikologis dari orang-orang yang terlibat dalam bullying. Semua pihak perlu
bercermin (melakukan refleksi diri) berdasarkan fenomena kian menguatnya intensitas
kekerasan tersebut. Selanjutnya perlu dicari upaya nyata untuk mencegah bullying
melalui berbagai program yang terintegrasi di sekolah itu sendiri, serta melalui
kolaborasi atau kerjasama dengan orangtua siswa. Lebih lanjut, kerjasama dapat
dilakukan dengan masyarakat dan pemerintah.

Daftar Pustaka

Abdul-Wahid, Salwa SH., dkk. Emotional and Behavioral Problems Among School
Children. International Journal of Development Research, Volume 4, Issue 5,
(May 2014).
Efianingrum, Ariefa. 2009. Mengurai Akar Kekerasan (Bullying) di Sekolah. Jurnal
Dinamika.

Atmasasmita, Romli. 1992. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: Erasco.

Ansary, Nadia S., dkk. Best Practice to Adress (Reduce) Bullying in School. The Phi
Delta Kappan, Vol. 97, No. 2 (October 2015), pp. 30-35.

Coloroso, Barbara. 2006. Penindas, Tertindas, dan Penonton. Resep Memutus Rantai
Kekerasan Anak dari Prasekolah Hingga SMU. Jakarta: Serambi.

http://entertainment.kompas.com/read/2014/06/25/0850308/Alumnus.SMA.3.Jakarta.A
ddie.MS.Kecam.Dugaan.Bullying.dalam.Kematian.Arfiand diakses pada hari
Rabu, 19 April 2017.

http://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-per-tahun/rincian-data-kasus-
berdasarkan-klaster-perlindungan-anak-2011-2016 diakses pada hari Rabu,
19 April 2017.

http://lbhmawarsaron.or.id/home/publikasi/materi-seminar-dan-penyuluhan/149-
bullying-pada-institusi-pendidikan-ditinjau-dari-sudut-pandang-hukum diakses
pada hari Rabu, 19 April 2017

Institute, Josephson. 2010. Installment 1: Bullying and violence: The ethics of American
youth: CHARACTER COUNTS!. Diakses dari http://charactercounts.org
/programs/reportcard/2010/installment01_reportcard_bullying-youth
violence.html.

Lembeck, Paige., dkk. 2016. Bullying Prevention & Intervention. University of


Nebraska-Lincoln: Strategy Brief, January.

Muhammad. Aspek Perlindungan Anak dalam Tindak Kekerasan (Bullying) terhadap


Siswa Korban Kekerasan di Sekolah: Studi Kasus di SMK Kabupaten
Banyumas. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 9 No. 3 September 2009.

Rigby, Ken. 2012. Bullying in School: Adressing Desire Not Only Behaviors.
Educational Psychology Review, Vol. 24, No. 2 (June 2012), pp. 339-348.
Smokowski, Kopasz. 2010. Bullying in school: an overview of types, effects, famiy
characteristics, and intervention strategies, Children School Journal.

Surilena. 2016. Perilaku Bullying (Perundungan) pada Anak dan Remaja, CDK 35 -
236/ vol. 43 no. 1.

Tumon, Matriasa Bara Asie. Studi Deskriptif Perilaku Bullying Terhadap Remaja.
Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, Volume 3, Nomor 1,
2014.

Widyawati, Anis. Sosialisasi School Bullying Sebagai Upaya Preventif terjadinya


Tindak Pidana Kekerasan di SMPN 3 Boja Kabupaten Kendal. ABDIMAS Vol.
18 No. 1, Juni 2014.

Yayasan Semai Jiwa Amini (SELIWA). 2008. Bullying: Mengatasi Kekerasan di


Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta: Grasindo.

Anda mungkin juga menyukai