Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN

HEMODIALISA

Disusun Oleh

TRI NUR ARKHAM SAFITRI

B0019058

PROGRAM STUDI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

BHAKTI MANDALA HUSADA

2019/2020
1. Pengertian Hemodialisa
Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti fungsi
ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari
peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea,
kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeable
sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi
proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Kusuma & Nurarif, 2012).
Hemodialisa berasal dari kata hemo = darah, dan dialisis = pemisahan atau
filtrasi. Hemodialisis adalah suatu metode terapi dialis yang digunakan untuk
mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika secara akut
ataupun secara progresif ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut.
Tetapi ini dilakukan dengan menggunakan sebuah mesin yang dilengkapi
dengan membran penyaring semipermeabel (ginjal buatan). Hemodialisis
dapat dilakukan pada saar toksin atau zat beracun harus segera dikeluarkan
untuk mencegah kerusakan permanen atau menyebabkan kematian (Mutaqin
& Sari, 2011).
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi
darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan
menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya
menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan
pada penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney
Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang
dilakukan HD dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD
persiapan/preparative, dan HD kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).

1. Tujuan Hemodialisa
Tujuan dari hemodilisis adalah untuk memindahkan produk-produk
limbah terakumulasi dalam sirkulasi klien dan dikeluarkan ke dalam mesin
dialisis. Pada klien gagal ginjal kronik, tindakan hemodialisis dapat
menurunkan risiko kerusakan organ-organ vital lainnya akibat akumulasi zat
toksik dalam sirkulasi, tetapi tindakan hemodialisis tidak menyembuhkan atau
mengembalikan fungsi ginjal secara permanen. Klien GGK biasanya harus
menjalani terapi dialiss sepanjang hidupnya (biasanya tiga kali seminggu
selama paling sedikit 3 atau 4 jam perkali terapi) atau sampai mendapat ginjal
baru melalui transplantasi ginjal (Mutaqin & Sari, 2011).

2. Indikasi Hemodialisa
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD
kronik. Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan, Indikasi
hemodialisis segera antara lain (D87uaurgirdas et al., 2007):
a Kegawatan ginjal
 Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
 Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
 Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
 Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5
mmol/l )
 Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
 Uremia ( BUN >150 mg/dL)
 Ensefalopati uremikum
 Neuropati/miopati uremikum
 Perikarditis uremikum
 Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L
 Hipertermi
b. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran
dialisis.
c. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan
seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis.
Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien
yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis
dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di
bawah ini (Daurgirdas et al., 2007):
 GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
 Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
 adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
 Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
 Komplikasi metabolik yang refrakter.

3. Prinsip Hemodialisis
Seperti pada ginjal, ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu:
difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
a Proses difusi adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan
kadar di dalam darah, makin banyak yang berpindah ke dialisat.
b Proses osmosis adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi
yaitu perbedaan osmolalitas dan dialisat.
c Proses Ultrafiltrasi adalah proses berpindahnya zat dan air karena
perbedaan hidrostatik didalam darah dan dialisat.
Luas permukaan membran dan daya saring membran mempengaruhi
jumlah zat dan air yang berpindah. Pada saat dialisis, pasien, dialiser dan
rendaman dialisat memerlukan pemantauan yang konstan untuk mendeteksi
berbagai komplikasi yang dapat terjadi, misalnya: emboli udara, ultrafiltrasi
yang tidak adekuat atau berlebihan (hipotensi, kram, muntah) perembesan
darah, kontaminasi, dan komplikasi terbentuknya pirau atau fistula (Mutaqin
& Sari, 2011)

4. Pedoman Pengkajian Praprosedur Hemodialisis


Untuk memudahkan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
pasien dengan hemodialisis yang komprehensif, berikut adalah pedoman
dalam melakukan pengkajian keperawatan praprosedur hemodialisa.
A. Pengkajian Anamnesis
1. Kaji identitas klien
Rasional: memudahkan kelengkapan asuhan
2. Kaji adanya progam dokter tentang pelaksanaan hemodilasis
Rasional: Sebagai peran kolaboratif untuk melaksanakan intervensi
keperawatan yang sesuai dengan progam dokter
3. Kaji kondisi psikologis, mekanisme koping, dan adanya kecemasan
praprosedur
Rasional: mekanisme koping maladktif terutama pada pasein yang
pertama kali divonis untuk cuci darah dapat memepengaruhi
pelaksanaan. Peran perawat sangat penting untuk membantu pasien
dalam mencari mekanisme koping yang positif. Prosedu kecemasan
merupakan hal yang paling sering dialami pasien yang pertama kali
dilakukan hemodilalisis. Peran perawat memberikan dukungan dan
penjelasan yang ringkas dan mudah dimengerti agar bisa menurunkan
kecemasan pasien.
4. Kaji pengetahuan pasien tentang prosedur hemodialisis
Rasional: untuk menentukan tingkat koorperatif dan sebaga materi
dasar untuk memberikan penjelasan prosedur hemodialisis sesuai
dengan tingkat pengetahuannya.
5. Beri penjelasan prosedur pemasangan dan lakukan penandatangan
informed consent
Rasional: hemodialisis dapat menimbulkan komplikasi. Klien perlu
diberi penjelasan dan menyatakan persetujuannya melalui surat
pesetujuan tindakan.
6. Kaji adanya riwayat dilakukan hemodialisis sebelumnya.
Rasional: untuk memantau reaksi pasca hemodialisis
7. Kaji pemakaian obat-obatan sebelumnya
Rasional: klien yang meminum obat-obatan (preparat glikosida
jantung, antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan
ketat untuk memastikan agar kadar obat ini dalam darah dan jaringan
dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksis. Beberapa
obat akan dikeluarkan dari darah pada saat dialisis, oleh karena itu
penyesuaian dosis oleh dokter mungkin diperlukan. Obat-obat yang
terikat dengan protein tidak akan dikeluarkan selama dialisis.
Pengeluaran metabolit obat yang lain bergantung pada berat dan
ukuran molekulnya. Apabila seorang pasien menjalani dialisis, semua
jenis obat dan dosisinya harus dievaluasi dengan cermat. Terapi
antihipertensi yang sering merupakan bagian dari susunan terapi
dialisis meruapakan salah satu contih dimana komunikasi, pendidikan
dan evalusasi dapat memberikan hasil yang berbeda. Pasien harus
mengetahui kapan minum obat dan kapan menundanya. Sebagai
contoh, jika obat antihipertensi diminum pada pagi hari yang sama
dengan saat menjalani hemodialisis, efek hipotensi dapat terjadi selama
hemodialisis dan menyebabkan tekanan darah rendah yang berbahaya.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Timbang berat badan pasien
Rasional: sebagai pengukuran standar sebelum dilaksanakan
hemodialisis. Berat badan akan menurun pada saat prosedur selesai
dilaksanakan.
2. Periksa Tanda-tanda vital
Rasional: Sebelum dilakukan prosedur hemodialisis. Denyut nadi dan
tekanan darah biasanya diatas rentang normal. Kondisi ini harus diukur
pada saat selesai prosedur dengan membandingkan hasil pra dan
sesudah prosedur.
3. Kaji adanya akses vakuler
Rasional: Pengkajian akses vaskular diperlukan dalam pengkajian
praprosedur
4. Subklavia dan femoralis
Rasional: akses segera kedalam sirkulasi darah pasien pada
hemodialisis darurat dicapai melalui katerisasi subklavia untuk
pemakaian sementara. Kateter dwi lumen atau multi lumen
dimasukkan ke dalam vena subklavia. Meskipun metode akses
vaskular ini memiliki risiko misalnya dapat menyebabkan cedera
vaskuler seperti hematom, pneumothoraks, infeksi, trombosis vena
subklavia, dan aliran darah yang tidak adekuar. Namun metode
tersebut biasanya dapat digunakan selama beberapa minggu. Kateter
femoralis dapat dimasukan ke dalam pembuluh darah femoralis untuk
pemakaian segera dan sementara. Kateter tersebut dikeluarkan jika
sudah tidak diperlukan karena kondisi pasein telah membaik, atau
terdapat cara akses lain. Oleh karena mayoritas pasien hemodialisis
jangka panjang yang harus dirawat dirumah sakit merupakan pasien
dengan kegagalan akses sirkulasi yang permanen, maka salah satu
prioritas dalam perawatan pasien hemodilasis adalah perlindungan
terhadap akses sirkulasi tersebut.
5. Fistula arteri vena
Rasional: Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan
yang biasanya dilakukan pada lengan bawah dengan cara
menghubungkan atau menyambung pembuluh arteri dengan vena
secara dihubungkan antar sisi atau dihubungkan antara ujung dan sisi
pembuluh darah. Fistula tersebutkan memerlukan waktu 4 hingga 6
minggu untuk menjadi matang sebelum siap digunakan. Waktu ini
diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih dn
segmen vena fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima
jarum berlumen besar dengan ukuran – 14 sampai – 16. Jarum
ditusukan ke dalam pembuluh darah agar cukup aliran darah yang akan
mengalir melalui dialiser. Segmen arteri fistula digunakan untuk aliran
darah arteri dan segmen vena digunakan untuk memasukan kembali
reinfus darah yang sudah didialisis. Untuk menampung aliran darah
ini, segmen arteri vena fistula tersebut harus lebih besar daripada
pembuluh darah normal. Pasien dianjurkan untuk melakukan latihan
guna meningkatkan ukuran pembuluh darah yaitu dengan meremas
remas bola karet untuk melatih fistula yang dibuar dilengan bawah
sehingga pembuluh darah yang sudah lebar dapat menerima jarum
berukuran besar yang digunakand alam proses hemodialisis.
6. Shunt/ Tandur
Rasional:  dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum
dialisis, sebuah tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong
pembuluh arteri atau vena dari sapi, materia; gore tex (heterografi) atau
tandur vena safena dari pasien sendiri. Biasanya tandur tersebut dibuat
bila pembuluh darah pasien tidak cocok untuk dijadikan fistula. Tandur
biasanya dipasang pada lengan bawah, lengan atas atau paha bagian
atas. Pasien dengan sistem vaskular yang terganggu seperti pasien
diabetes, biasanya memerlukan pemasangan tandur sebelum menjalani
hemodialisis. Oleh karena tandur tersebut merupakan pembuluh darah
artifisial, risiko infkesi akan meningkat.
C. Pengkajian Penunjang
1. Kaji pemeriksaan laboratorium
Rasional: pemeriksaan lab menjadi parameter untuk dilakukan
hemodialisis, meliputi Hb, Hematokrit, kadar albumin, BUN, Kreatinin
dan elektrolit.
2. Konfirmasi pemeriksaan HbSag dan status HIV
Rasional: Preventif perawat dalam menjaga atau mempertahankan
universa; precaution dan mencegahan menular
3. Kaji adanya peningkatan kadar SGOT/PT
Rasional: Menilai keterlibatan hati dengan melihat peningkatan enzim
serum hati

5. Komplikasi
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari
fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal
kronik (PGK) stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun tindakan
HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih
banyak penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani HD.
Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah
gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan
dilakukannya UF atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik
terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani H  reguler. Namun sekitar 5-
15% dari pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut
hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension (HID) (Agarwal dan
Light, 2010). Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan
komplikasi kronik (Daurgirdas et al., 2007).
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot,
mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan
menggigil (Daurgirdas et al., 2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013).
Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik
hipotensi maupun hipertensi saat HD atau HID. Komplikasi yang jarang
terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade
jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara,
neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al., 2007).
komplikasi Kronik adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan
hemodialisis kronik.
a. Penyakit jantung
b. Malnutrisi
c. Hipertensi / volume excess
d. Anemia
e. Renal osteodystrophy
f. Neurophaty
g. Disfungsi reproduksi
h. Komplikasi pada akses
i. Gangguan perdarahan
j. Infeksi
k. Amiloidosis
l. Acquired cystic kidney disease
6. Diagnosis Keperawatan
a. Kelebihan produk sisa metabolit pada sirkulasi b.d ketidakmampuan ginjal
dalam mengeksresikan keluar tubuh, ketidakmampuan dalam
pembentukan urine
b. Kelebihan volume cairan b.d penurunan volume urine, retensi cairan dan
natrium, peningkatan aldosteron sekunder dari penuruan GFR
c. Ketidakseimbangan cairan dan elektroli b.d ketidakmampuan ginjal dalam
mengatur reabsorsi dan sekresi elektrolit
d. Aktual/ risiko tinggi cedera b.d tindakan invasif hemodialisa, gangguan
faktor pembekuan, peningkatan kerapuhan vaskular
e. Risiko tinggi infeksi b.d adanya pintu masuk kuman respons sekunder dari
timdakan invasif hemodalisis.
f. Kurangnya pengetahuan tentang prosdur tindakan hemodialisis b.d
tindakan hemodialisis yang pertama kal
g. Gangguan konsep diri (gambaran diri) b.d penurunan fungsi tubuh,
tindakan dialisis, koping maladaptif
h. Kecemasan b.d prognosis penyakir dan tindakan hemodialisis yang
pertama kali

DAFTAR PUSTAKA
Beiber, S.D. dan Himmelfarb, J. 2013. Hemodialysis. In: Schrier’s Disease of the
Kidney. 9th edition. Coffman, T.M., Falk, R.J., Molitoris, B.A., Neilson,
E.C., Schrier, R.W. editors. Lippincott Williams & Wilkins.
Philadelphia:2473-505.
Daugirdas, J.T., Blake, P.G., Ing, T.S. 2007. Handbook of Dialysis. 4th ed.
Phildelphia. Lipincott William & Wilkins.
Mutaqqin, Arif & Kumala Sari. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Kusuma, Hardhi & Amin, Huda Nurarif. (2012). Handbook for Health Student.
Yogyakarta: Mediaction Publishing.

Anda mungkin juga menyukai