Anda di halaman 1dari 10

KASUS

MANAJEMEN KONFLIK ANTARA PERAWAT DENGAN PERAWAT MENGENAI


KOMUNIKASI YANG KURANG EFEKTIF

DISUSUN OLEH :
AKBAR FITRIYADI MANDALA
D0019004

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI
2020
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perawat adalah salah satu profesi yang menyediakan pelayanan jasa
keperawatan dan langsung berinteraksi dengan banyak orang dalam hal ini adalah
klien. Profesi perawat juga menjalin hubungan kolaboratif antar tim kesehatan, baik
itu dengan dokter, laboran, ahli gizi, apoteker, dan semua yang terlibat dalam
pelayanan kesehatan. Dalam menjalankan pekerjaannya, perawat akan saling
berinteraksi dengan tim kesehatan tersebut dan ketika tim ini memandang suatu
masalah atau situasi dari sudut pandang yang berbeda maka dapat terjadi sebuah
konflik (CNO, 2011). Perawat seringkali mengambil tindakan menghindar dalam
menyelesaikan permasalahan atau konflik yang terjadi dengan tujuan
mempertahankan status nyaman dan mencegah perpecahan dalam kelompok.
Ironisnya, strategi tersebut memberikan dampak destruktif terhadap perkembangan
individu dan organisasi.

Perawat sebagai pengelola, dalam hal ini sebagai manajer, memegang peranan
penting dalam menentukan strategi penyelesaian konflik antar anggotanya. Seorang
pemimpin yang dianggap berkompeten dalam menyelesaikan konflik (a conflict-
competent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika terjadinya
suatu konflik, memahami reaksi yang ditimbulkan dari suatu konflik, mendorong
respon konstruktif, dan membangun suatu organisasi yang mampu menangani konflik
secara efektif (a conflict-competent organization) (Runde and Flanagan, 2014).

Perilaku asertif bagi perawat penting dilakukan sebagaimana perawat bekerja


selalu berinteraksi dengan orang lain. Asertif merupakan tindakan mengemukakan
pendapat atau ekpresi tidak setuju tanpa menyakiti orang lain (Chang, Schneider &
Sessanna, 2011). Keperawatan merupakan profesi yang mengharuskan berinteraksi
dengan pasien, intradisiplin dan masyarakat. Perbedaan nilai, persepsi, budaya, latar
belakang antara satu dengan yang lain dapat memicu terjadinya sebuah konflik
(Humaira, 2012). Berperilaku tidak asertif seorang perawat dalam bekerja dapat
menyebabkan terjadinya konflik. Konflik tidak dapat dihindari, melainkan dapat
dikelola agar memberikan dampak positif sebagai sebuah pembelajaran. Salah satu
cara mencegah terjadinya konflik ialah dengan berperilaku asertif. Konflik dapat
bersifat negatif (merugikan) tetapi dapat bersifat positif (menguntungkan), tergantung
bagaimana konflik dikelola (Bazogul & Ozgur, 2015). Konflik yang sedikit dapat
membuat suatu organisasi statis dan konflik yang terlalu banyak dapat menyebabkan
kehancuran.

Konflik dapat mempengarui kualitas pelayanan keperawatan. Konflik yang


tidak diselesaikan secara tepat dapat merusak kesatuan unit kerja dan menimbulkan
situasi yang tidak menyenangkan, sehingga dapat menurunkan produktivitas
(Marquis, & Huston, 2012). Manajemen konflik yang tidak efektif dapat
menyebabkan kondisi kerja yang tidak sehat, permainan kekuasaan, ketidakpuasan
klien, penurunan kualitas perawatan, dan peningkatan biaya kesehatan (Chang,
Schneider & Sessanna, 2011). Dampak konflik diharapkan mengarah kearah yang
positif agar pemberian pelayanan keperawatan dapat berkualitas. Perilaku asertif
dalam manajemen konflik merupakan hal yang penting untuk dipelajari. Konflik saat
ini menjadi sebuah perhatian yang besar oleh peneliti-peneliti, karena menjadi
ancaman global di setiap organisasi. Delapan dari sepuluh tenaga kesehatan
diperkirakan mengalami konflik dalam menjalankan tugasnya. Manajer keperawatan
menghabiskan 20% waktunya untuk mengatasi konflik. Konflik merupakan hal yang
penting untuk dikelola dengan baik dengan bersikap asertif.

Penyelesaian konflik diharapkan bersifat sealami mungkin dengan tujuan


meningkatkan proses belajar dan pemahaman individu atau organisasi dalam
menyelesaikan konflik saat ini ataupun yang akan datang (Shetach, 2012). Menurut
Rahim (2012), gaya kepemimpinan (demokratis, autokratis, dan Laissez faire) sangat
mempengaruhi pemilihan strategi penyelesaian konflik (integrating (problem solving),
obliging, compromising, dominating (forcing), avoiding), dimana setiap strategi
tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing tergantung pada batasan
dan sumber konflik, serta tujuan yang ingin dicapai apakah berorientasi pada
hubungan antar anggota (concern for others) atau berorientasi pada diri sendiri
(concern for self). Oleh karena itu seorang pemimpin perlu memiliki pemahaman
yang cukup tentang pengaruh gaya kepemimpinan terhadap penyelesaian konflik
individu ataupun organisasi.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah menyusun makalah ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami tentang
penerapan manajemen konflik di seluruh tatanan.

1.2.2 Tujuan Khusus


a. Menjelaskan tentang konsep dasar kepemimpinan dan manajemen konflik.
b. Menjelaskan pengaruh kepemimpinan dalam manajemen konflik.
c. Membuat kasus konflik dan melakukan analisa terkait gaya kepemimpinan dan
strategi penyelesaian konflik yang tepat.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kasus
Manajemen Konflik Antara Perawat Dengan Keluarga Pasien, saya
menemukan konflik di rumah sakit X di ruang rawat inap. Pada saat itu sayang sedang
mendapatkan shift pagi. Seperti biasanya shift pagi di ruang rwat inap penyakit dalam
perawat dibagi tugas ada yg melakukan tindakan mengoplos obat injeksi dan ada yang
melakukan peawatan luka atau ganti balut. Kemudian mahasiswa juga dibagi sesuai
dengan perintah yang telah dibagi oleh CI, pada hari itu saya mendapatkan tugas ganti
balut bersama perawat dan satu mahasiswa dari institusi lain. Ganti balut dilakukan
urut sesuai nomer kamar dari kamar 1 sampai dengan kamar 5. Pada saat memasuki
kamar 1 ada pasien bernama Ny. S dengan diagnosa medis diabetes melitus dengan
luka di telapak kaki bagian bawah sebelah kanan perawat mengatakan pasien tersebut
tidak perlu diganti balutannya karena lukanya terlihat masih bersih dan tidak berbau.
Lalu kita melanjutkan ke kamar berikutnya tetapi keluarga pasien Ny. S memanggil
perawat bahwa Ny. S ingin balutannya diganti dan perawat mengatakan bahwa
balutannya akan diganti setelah melakukan perawatan luka jahit pada pasien di kamar
nomer 5, keluarga pasien pun mengiyakan jawaban perawat. Tetapi setelah selesai
melakukan ganti balut di kamar 5 perawat tidak langsung mengganti balut Ny. S,
kemudian saya mencoba mengingatkan tetapi perawat mengatakan bahwa keluarga
pasien Ny. S memang rewel dan sebenarnya balutannya tidak perlu diganti karna baru
diganti sore kemarin dan terlihat masih bersih. Namun, sekitar jam 11.00 keluarga
pasien datang ke ruang perawat untuk meminta agar Ny. S diganti balutannya.

2.2 Cara Penyelesaian Masalah


Dari analisa kasus diatas maka penyelesaian masalah yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut dengan Planning Of Action (POA):

No Kegiatan Tujuan Sasaran Metode Waktu PJ


1. Membuat Adanya ketua tim diskusi - -
Kebijakan ketetapan yang perawat
terkait konflik jelas terkait pelaksana
yang terjadi konflik yang RS.X
sedang terjadi
2. Melakukan keluarga ketua tim ceramah - -
Monitoring pasien terkait diskusi
Dan Evaluasi mendapatkan
Terhadap sosialisasi
Keluaarga tentang konflik
Pasien Terkait yang terjadi
Konflik
3. Melakukan Adanya ketua tim, ceramah, - -
evaluasi terkait kebenaran dan perawat dan
konflik evaluasi terkait pelaksana, diskusi
konflik keluarga
pasien

2.3 Pembahasan
Manajemen konflik dalam keperawatan khususnya perilaku asertif merupakan
salah satu implementasi yang mendukung pelayanan keperawatan. Perawat baik
pelaksana dan kepala ruangan bertugas untuk memberikan motivasi, pemikiran,
pengaturan untuk mencapai tujuan dengan meminimalkan hambatan/konflik (Miyata,
Arai & Suga, 2015) . Pemimpin dalam perawat bertugas memberikan motivasi kepada
pelaksana untuk selalu bersikap asertif guna mencegah terjadinya konflik. Tugas dari
seorang kepala ruangan ialah memastikan bahwa unit kerjanya kondusif. Leader atau
kepala ruangan menjalankan lima fungsi POSAC dimulai dari planning, organizing,
staffing, actuating, dan controlling (Armstrong-Stassem et al 2013). Hasil pengkajian
berdasarkan POSAC menunjukkan, antara lain. (1) Planning, belum adanya
pedoman, prosedur atau panduan penatalaksanaan manajemen konflik. Tujuan dengan
adanya perencanaan dapat membuat suatu kegiatan menjadi lebih strategis (Phillips,
2010). (2) Organizing, penyelesaian konflik dilakukan secara berjenjang, apabila
terdapat masalah di unit maka kepala ruang akan menyelesaikannya, namun jika tidak
maka akan berkoordinasi dengan koordinator instalasi rawat inap. (3) Staffing, hasil
kuesioner Thomas & Killaman dan OCCI menunjukkan bahwa 31% perawat memiliki
gaya manajemen konflik kolaborasi dan kompromi. Beberapa ahli mengatakan bahwa
gaya penyelesaian konflik, antara lain kompetisi, kolaborasi/negosiasi, menghindar,
smoothing (melancarkan), akomodasi (Robbins & Judge, 2013). (4) Actuating,
penerapan fungsi pengarahan kepada staf seharusnya sesuai standar secara
berkesinambungan sehingga meningkatkan kinerja staf. Berdasarkan hasil kuesioner,
45% perawat menyebutkan bahwa selalu orang yang menjadi pengambil keputusan
dalam adalah kepala ruangan. Kepala ruang keperawatan sebaiknya melaksanakan
fungsi pengarahan untuk memandu organisasi dalam mencapai tujuan yang spesifik.
Pengarahan yang dilakukan melalui supervisi, komunikasi, kolaborasi dan koordinasi.
(5) Controlling, kepala ruang perlu untuk melakukan penilaian kinerja perawat dan
malakukan evaluasi guna memastikan kondisi tempat kerja yang kondusif.

Menciptakan lingkungan kerja yang kondusif menjadi fungsi pokok yang harus
dikerjakan oleh manajer keperawatan dari level rendah sampai tertinggi. Konflik yang
terjadi pada ruang rawat inap, antara lain konflik tugas, konflik komunikasi, konflik
struktur dan konflik variabel pribadi. Sebuah organisasi sangat dibutuhkan adanya
konflik selagi masih dalam batas kewajaran, untuk itu diperlukan suatu manajemen
konflik yang dapat mengidentifikasi dan menangani konflik lalu mengarahkan konflik
menjadi hal yang bermanfaat bagi organisasi. Manajemen konflik sangat penting
diketahui oleh perawat khususnya kepala ruangan guna mengatasi baik konflik tugas,
konflik komunikasi, konflik stuktur dan konflik pribadi pada unit kerjanya. Mintzberg
menyatakan bahwa peran manajer dalam menjalankan manajemen meliputi peran
interpersonal, peran informasional dan peran pengambil keputusan. Peran pengambil
keputusan merupakan peran yang paling penting dalam menyelesaikan suatu konflik.
Proses terjadinya konflik melalui 5 tahap, dalam proses terjadinya konflik sebaiknya
leader/ kepala ruangan dapat menempatkan perannya dengan tepat. (1) Pertentangan
yang berpotensial menyebabkan konflik, pada tahap ini peran informational (monitor
dan dessiminator) dengan memantau, memverifikasi, menjaga agar komunikasi antar
staf kondusif. (2) Terjadi kesadaran adanya suatu konflik, pada ada tahap ini peran
informational kepala ruangan dengan memverifikasi dan mengklarifikasi tentang
konflik dan peran interpersonal (liasion) sebagai penghubung supaya kecemasan dan
ketegangan menurun. Peran interpersonal dengan memotivasi menjaga hubungan. (3)
Niat dalam menangani konflik, peran decision role (negotiaror role) untuk kolaborasi
dan kompromi. (4) Perilaku yang di lakukan setelah adanya konflik, peran sebagai
decision role (disturbance handler): peran melakukan tindakan korektif dalam suatu
masalah. (5) hasil akibat terjadinya konflik, peran informational role (monitor dan
desiminator) untuk selelu memantu lingkungan agar kondusif. Manajemen konflik
khususnya teknik asertif sangat penting dimiliki oleh setiap perawat, perawat antusias
mempelajari manajemen konflik. Penyusunan draf panduan dan SOP manajemen
konflik dalam keperawatan bermanfaat sebagai dasar dalam melaksanakan
manajemen konflik, dalam panduan juga terdapat alur manajemen konflik untuk
memberikan gambaran kepada kepala ruangan dalam mengimplementasikan
manajemen konflik mulai dari pra konflik, konflik dan pasca konflik. Menyatakan
bahwa manajer juga bertanggung jawab mengkaji ulang dan merevisi kebijakan dan
prosedur agar tetap baru dan dapat diaplikasikan. Proses review SPO dilakukan secara
berkala dan sistematis dalam perencanaan. Alur yang dibuat tersusun dan
menguraikan kebijakan-kebijakan yang akan dijalankan oleh kepala ruangan sehingga
pelaksanaan akan lebih efektif. Pembuatan kebijakan yang tepat dan efektif akan
membantu kepala ruangan dalam bekerja (Marquis & Huston, 2012).

Di setiap ruangan telah dibentuk tim champion asertif yang dilengkapi dengan
buku saku asertif. Champion asertif (kepala ruangan) bertugas mengevaluasi tindakan
asertif setiap perawat pelaksana di unitnya. Kepala ruang harus mempersiapkan diri
dengan matang dalam menangani konflik dan perlu memiliki pengetahuan terkait
taktik dan strategi dalam manajemen konflik. menyatakan bahwa merealisasikan
program menjadi tindakan nyata, dapat dilakukan dengan tiga langkah, yaitu:
memotivasi staf; menghargai staf: dan menerapkan proses perencanaan, dalam hal ini
yaitu tim champion menerapkan perilaku asertif (Enz, 2015).

Implementasi dengan membuat buku saku digunakan sebagai media melaksanakan


latihan asertif. Buku saku sebagai pedoman yang memuat sumber-sumber yang
dibutuhkan. Buku saku yang efektif berisi tentang informasi yang spesifik, tepat
sasaran, dan mampu memberikan pengetahuan baru kepada pembaca. Buku saku
mempermudah perawat dalam belajar melakukan latihan asertif dan mengevaluasi
perilaku asertif pada diri sendiri. Fungsi leader (kepala ruangan) dalam manajemen
konflik, antara lain menciptakan lingkungan kerja yang meminimalkan kondisi
pencetus konflik, jika perlu secara formal memfasilitasi penyelesaian konflik yang
melibatkan pegawai. Implementasi yang telah dilaksanakan sangat bermanfaat agar
konflik yang terjadi dalam keperawatan mengarah pada konflik yang positif.
Kemampuan manajemen konflik guna pencegahan konflik bertujuan untuk membatasi
dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-
pihak terlibat. Konflik yang dapat dikelola dengan baik dapat memberikan efek
pelayanan keperawatan yang berkualitas.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide, nilainilai,
keyakinan, dan perasaan antara dua orang atau lebih. Seorang pemimpin memiliki
peran yang besar dalam mengelola konflik yang konstruktif dalam pengembangan,
peningkatan, dan produktivitas suatu organisasi. Gaya kepemimpinan seseorang
sangat mempengaruhi pemilihan strategi penanganan konflik (integrating, obliging,
dominating, avoiding, dan compromising). Salah satu model penyelesaian konflik
yang digunakan yang terdiri atas proses diagnosis, intervensi, dan evaluasi. Untuk
menegakkan diagnosis, diperlukan langkah-langkah identifikasi, antara lain
identifikasi batasan konflik, sumber konflik, potensi sumber daya manusia, dan
identifikasi strategi yang akan dilakukan.

3.2 Saran
Perlu adanya kegiatan pelatihan dasar kepemimpinan yang berkelanjutan bagi profesi
keperawatan, khususnya sebagai perawat pengelola (manajer) untuk dapat
menerapkan gaya kepemimpinan yang baik dalam menentukan strategi penyelesaian
konflik.
DAFTAR PUSTAKA

Armstrong-Stassen, M., Freeman, M., Cameron, S., & Rajacich, D. Nurse managers’ role in
older nurses’ intention to stay. Journal of Health Organization and Management,
29(1), 55–74. 2015 http://doi.org/10.1108/JHOM-022013-0028

Bazogul, C & Ozgur, G. Asian Nursing Research: Role of emotional intelligence in conflict
management strategies of Nurses. 2015 Diakses dari www.asian-nursingresearch.com

Chang, Y.-P., Schneider, J. K., & Sessanna, L. Decisional conflict among Chinese family
caregivers regarding nursing home placement of older adults with dementia. Journal
of Aging Studies. 2011 25(4), 436–444. https://doi.org/10.1016/j.jaging.2011. 05.001

CNO. (2011). Practice Guidelines Conflict prevention and management. Retrieved from:
http://www.cno.org/global/docs/prac/47004_conflict_prev.pdf.

Enz, C. A.. Hospitality strategic management (2nd ed.).2015. Canada: John Wiley &
Sins,Inc.,Hoboken, New Jersey.

Humaira, L. Hubungan antara gaya penyelesaian konflik dengan kepuasan kerja pada
perawat. 2008 Tesis UI: Fakultas ilmu Psikolog

Marquis, B. L., & Huston, C. J. Leadership roles and management functions in nursing:
theory and application (7th ed.). 2012 Philadelphia: Lippincott Williams

Miyata, C., Arai, H., & Suga, S. Characteristics of the nurse manager’s recognition behavior
and its relation to sense of coherence of staff nurses in Japan. Collegian, 22(1), 9–17.
2015. http://doi.org/10.1016/j.colegn.2013.1 0.004

Phillips, L. D. What is strategy? Journal of the Operational Research Society. 2011.


https://doi.org/10.1057/jors.2010.12

Rahim, M. Afzalur. (2012). Toward a theory of managing organizational conflict. The


International Journal of Conflict Management, 13 (3), 206-235

Robbins, S. P., & Judge, T. A. Organizational Behavior (15 th). 2013 New Jersey: Pearson
Education

Runde, C. E. & Flanagan, T. A. (2014). Effective leadership stems from ability to handle
conflict. Dispute Resolution Journal, 62(2), 92

Anda mungkin juga menyukai