DISPLACE COMPLETE
Pembimbing:
Disusun oleh:
1
BERITA ACARA
Portofolio ini telah disetujui untuk memperlengkap Program Internsip Dokter Indonesia
Disusun oleh :
Sylvia Chandra
030.11.282
Dokter Pedamping
2
KASUS PORTFOLIO
Obyektif Presentasi:
Tujuan:
Mengetahui diagnosis dan tatalaksana Fraktur tertutup subtrochanter femur sinistra displace
complete
Bahan Bahasan: Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara Membahas: Diskusi Presentasi dan Diskusi Email Pos
Data Pasien Nama: Nn. Y No Registrasi: 19.89.20
1. Gambaran Klinis
3
Nn. Y, 19 tahun, datang dengan keluhan nyeri pada kaki kiri. Nyeri dirasakan makin lama makin
memberat disertai pasien tidak dapat menggerakan kakinya karena nyeri.
2. Riwayat Pengobatan
-
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit
Hipertensi (-)
Diabetes (-)
4. Riwayat Keluarga
• Disangkal
5. Lain-lain: -
Hasil Pembelajaran
1. Subjektif:
Nn. Y, 19 tahun, datang dengan keluhan nyeri pada kaki kiri setelah terjatuh dari motor.
Nyeri dirasakan makin lama makin memberat disertai pasien tidak dapat menggerakan
kakinya karena nyeri. Tiga jam sebelum masuk rumah sakit, pasien ditemukan oleh polisi
terjatuh dari motor di daerah Semanggi. Pasien mengaku tidak ingat kejadian yang dialami.
Saat pasien sadar, pasien sudah ada didalam mobil polisi dan mengeluh nyeri pada kaki kiri,
tidak dapat digerakkan, mati rasa (-), kesemutan (-), mual (-), muntah (-), nyeri dibagian lain
(-) dan pandangan kabur (-).
2. Objektif:
Keadaan umum
o Kesadaran: Compos Mentis
o Kesan sakit: Tampak sakit sedang
Vital Signs
o KU: Tampak sakit sedang
o Kesadaran: Compos Mentis, GCS 15 (E5 M6 V4)
o Tekanan darah: 120/60 mmHg
o Frekuensi Nadi: 98 x/ menit, reguler, isi cukup
o Suhu: 36ºC axiler
o Frekuensi Nafas: 20 x/ menit, tipe pernafasan abdominalthoracal
o Saturasi O2: 92%
o VAS: 9
Status Generalis
4
o Kepala: Normocephali, distribusi rambut merata, tidak mudah dicabut.
o Mata: Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
o Hidung: Bentuk normal, septum ditengah, sekret (-)
o Mulut: Bibir simetris, gigi caries (+)
o THT: Faring tidak hiperemis, arkus faring simetris, tonsil T1-T1
o Leher: Tidak ada pembesaran KGB
o Thorax:
o I: Bentuk normal, simetris, gerakan nafas simetris, tidak ada bagian yang
tertinggal, iktus kordis tidak terlihat, tipe pernafasan abdominalthoracal, tidak
ada jejas.
o P: Pergerakan nafas kiri dan kanan simetris, tidak ada bagian yang tertinggal,
vocal fremitus kanan dan kiri sama kuat.
o P: Kedua lapang paru sonor.
o A: Bunyi jantung S1 dan S2 normal, murmur -/-, gallop -/-, ronchi -/-,
wheezing -/-.
o Abdomen:
o I: Bentuk datar, benjolan -, jejas -
o P: Supel, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak terdapat pembesaran, tidak teraba
massa
o P: Timpani.
o A: Bising usus positif normal
o Urogenital
o Tidak ada kelainan
o Ekstremitas
o Ekstremitas atas:
Kanan : Simetris, tidak ada luka, deformitas -/-, edema -/-, akral hangat +/+,
kekuatan otot 5/5, CRT <2, akral dingin (-), sianosis (-).
Kiri : Nyeri pada tungkai atas kiri (+), nyeri tekan (+), nyeri saat pergerakan
(+), ROM terbatas, krepitasi susah dinilai, deformitas -/-, tidak ada luka, CRT
<2, akral dingin (-), sianosis (-).
o Ekstremitas bawah:
Kanan : Simetris, tidak ada luka, deformitas -/-, edema -/-, akral hangat +/+,
kekuatan otot 5/5, CRT <2, akral dingin (-), sianosis (-)..
Kiri : Nyeri pada tungkai bawah kiri (+), nyeri saat pergerakan (+), nyeri
tekan (-), ROM terbatas, krepitasi sulit dinilai, deformitas -/-, tidak ada luka,
CRT <2, akral dingin (-), sianosis (-).
STATUS LOKALIS
5
Regio Femur Sinistra
Penilaian
Look Warna Seperti kulit sekitar
Pembengkakan (-)
Deformitas
- Angulasi (-)
- Rotasi (+) Rotasi Medial
- Pemendekan (+)
Luka Terbuka (-)
Feel Nyeri tekan (+)
Fungsi Sensorik (+)
Akral Dingin (-)
Krepitasi Sulit dinilai
Pulsasi
- Poplitea (+)
- Dorsalis Pedis (+)
Move Aktif
- Adduksi (-)
- Abduksi (-)
Kekuatan Sulit dinilai
Pemeriksaan Penunjang
Hematologi
-Darah Lengkap
Variable Hasil Nilai Normal
Hemoglobin (g/dL) 13.5 14-16
Eritrosit (juta/uL) 5.40 4.20-6.20
Hematokrit (%) 47 42.0-48.0
Jumlah Leukosit (/uL) 9.000 5.000-10.000
Jumlah Trombosit (/uL) 400.000 150.000-450.000
-Hemostasis
Variable Hasil Nilai Normal
Masa Perdarahan/BT (menit) 2’00’’ 1-3
Masa Pembekuan/CT (menit) 7’00’’ 5-15
-Kimia Klinik
Variable Hasil Nilai Normal
Glukosa Darah Sewaktu 135 <200
6
(mg/dL)
-Fungsi Hati
Variable Hasil Nilai Normal
AST (SGOT) (U/l) 30 <35
ALT (SGPT) (U/l) 33 <55
-Fungsi Ginjal
Variable Hasil Nilai Normal
Ureum (mg/dL) 20 17-43
Creatinin (mg/dL) 0.8 0.7-1.3
Hasil Radiologi
7
dan pandangan kabur (-).Riwayat HT disangkal,
Riwayat DM disangkal
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak sakit sedang, tidak terdapat penurunan
kesadaran dengan GCS E4M6V5 dan tidak ada tanda-tanda syok, Tanda tanda vital TD: 120/60
mmHg, Nadi 98x/menit, Suhu 36 C, RR: 20x/menit, Saturasi: 92%.
Pada pemeriksaan status lokalis ditemukan Nyeri pada tungkai atas kiri (+), nyeri tekan (+),
nyeri saat pergerakan (+), ROM terbatas, krepitasi susah dinilai, deformitas -/-, tidak ada luka,
CRT <2, akral dingin (-), sianosis (-).
Diagnosis Kerja:
Fraktur tertutup subtrochanter femur sinistra displace complete
4. Plan Tatalaksana:
o Rencana terapi
Injeksi Ketorolac 1 ampul
Injeksi Ranitidin 1 ampul
Pemasangan bidai spalk
Pemasangan kateter urin
Edukasi
Tirah baring
Konsultasi ke dokter spesialis orthopedi untuk direncanakan operasi ORIF
Konsultasi ke spesialis anestesi, jantung-paru, dan penyakit dalam untuk
acc operasi.
BAB I
PENDAHULUAN
Fraktur subtrokhanter merupakan fraktur yang terjadi antara bawah trokhanter dan
5 cm ke distal dari fraktur intertrokhanter (Kulkarni, 2006), yang ditemukan sekitar 10-
30% dari semua fraktur tulang panggul. Fraktur subtrokhanter dapat terjadi pada usia
berapapun, dan paling sering ditemukan pada dua kelompok populasi, yaitu pasien tua
8
trauma dengan energi rendah; serta pasien yang lebih muda yang biasanya disebabkan
oleh trauma energi tinggi (Ekström et al., 2009; Nieves et al., 2009).
Hingga saat ini, menurut Boy dan griffin (dalam kurkarni, 2006) fraktur
subtrokhanter adalah jenis fraktur yang paling sulit ditangani dari semua jenis fraktur
trokhanter. Hal ini terkait dengan banyaknya komplikasi akibat fraktur femur
subtrokhanter jika tidak ditangani (Rockwood et al., 2010), yaitu kehilangan darah yang
lebih besar dibandingkan pada fraktur collum femur atau trokhanter (Kulkarni, 2006).
Hasil dari manajemen penanganannya pun masih belum memuaskan (Nieves et al., 2009)
karena penyembuhan fraktur yang berjalan lambat (Archdeacon et al., 2009), dan jika
menggunakan plat bersudut, implant dapat gagal sebelum fraktur menyatu (Apley et al,
1995) atau terjadi malunion atau nonunion fraktur Chapman et al.,2001; Rockwood et al.,
2001).
Menurut Watson, campbell, dan wade (dalam kulkarni, 2006) pada 100 orang
yang mengalami fraktur subtrokhanter, mortalitas mencapai hingga 19%, kemudian 19%
sisanya mengalami nonunion atau delayed union. Masalah yang banyak ditemukan pada
fraktur ini adalah malunion, delayed union, atau non union (Hasenboehler et al., 2007).
Malunion akan tampak sebagai pemendekan tulang femur, adanya deformitas angular,
femur (Vaidya et al., 2003). Penyebab utama terjadinya malunion pada area fraktur ini
adalah karena kebanyakan kerusakan terjadi pada bagian tulang kortikal dan sering
berupa fraktur kominutif. Sedangkan faktor lainnya adalah biomekanika stress yang
terjadi pada region subtrokhanter yang menghasilan kegagalan pada implantasi fiksasi (8-
Meskipun terdapat modalitas penanganan fiksasi implant yang lebih baru untuk
mengatasi ketidaksatabilan pada trauma, namun angka kegagalan implant masih cukup
9
tinggi (Saarenpää et al., 2007). Kegagalan teknik seperti gagal reduksi, non-union
(Massoud, 2009), dan kegagalan implantasi (penetrasi implant ke sendi) [Egol, 2005]
dikarenakan kebanyakan fraktur daerah ini adalah kominutif (Jiang et al., 2007),
merupakan hal yang penting untuk terus dikembangkan sebagai perencanaan penanganan
10
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Fraktur adalah terputus atau hilangnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang biasa disebabkan oleh trauma (Sjamsuhidajat, 2004), dan jika tidak terdapat
hubungan tulang yang patah dengan dunia luar maka disebut sebagai fraktur tertutup
(Fitzgerald et al., 2002). Fraktur subtrokhanter femur adalah atau tampak sebagai
B. KLASIFIKASI
Seinsheimer (1978) [dalam Rockwood et al., 2010] yang mengelompokkan faktur ini
2. Tipe 2, yaitu terjadi displacement hingga terbentuk 2 fragmen (2 bagian) dengan garis
kominutif.
5. Tipe 5, yaitu jika terjadi patahan yang lebih luas hingga ke trokhanter.
11
Gambar 1. Klasifikasi fraktur subtrokhanter menurut seinsheimer (1978)
[Rockwood et al., 2001].
dikelompokkan menjadi 9 subtipe berdasarkan garis dan bentuk patahan (Kulkarni, 2006),
Rockwood et al., 2001). Klasifikasi ini membagi fraktur subtrokhanter menjadi dua tipe
utama, yaitu tipe 1 dan tipe 2. Fraktur tipe 1 tidak melibatkan fossa piriformis dan dibagi
kedalam subtype A, untuk fraktur di bawah trokanter minor, dan tipe B yang melibatkan
trokanter minor. Sedangkan fraktur tipe 2 melibatkan fossa piriformis. Tipe 2A memiliki
12
buttress medial stabil dan tipe 2B tidak memiliki stabilitas korteks medial femoral
metode pengobatan yang tepat. Fraktur tipe 1 dapat diobati dengan generasi pertama atau
fiksasi internal (ORIF) dengan screw plate devices atau fixed angle implants (Rockwood
et al., 2001).
Association for the Study of Internal Fixation (AO-ASIF) yang mengelompokkan fraktur
ini menjadi 3 tipe (tipe A, B, dan C) [karunakar et al., 2009]. Klasifikasi ini dimaksudkan
13
Gambar 4. Klasifikasi menurut Association for the Study of Internal Fixation
(AO-ASIF) [Fitzgerald et al., 2002].
C. ANATOMI FEMUR
Femur merupakan tulang terkuat, terpanjang, dan terberat di tubuh dan amat
penting untuk pergerakan normal. Seperti tulang panjang lainnya, femur terdiri atas
corpus (body) dan dua ekstremitas, yaitu ekstremitas atas (proksimal) dan ekstremitas
bawah (distal). Esktremitas proksimal femur teridri atas caput, collum, serta trokhanter
mayor dan minor. Sedangkan ekstremitas distal femur terdiri atas dua penonjolan yang
Caput femur merupakan lebih kurang dua pertiga bola dan berartikulasi dengan
acetabulum dari os coxae membentuk articulatio coxae. Pada pusat caput terdapat lekukan
kecil yang disebut fovea capitis, yang merupakan tempat perlekatan ligamen dari caput.
Sebagian suplai darah untuk caput femoris dihantarkan sepanjang ligamen ini dan
memasuki tulang pada fovea. Bagian collum, yang menghubungkan kepala pada batang
femur, berjalan kebawah, belakang, lateral dan membentuk sudut lebih kurang 125 0 (pada
wanita sedikit lebih kecil) dengan sumbu panjang batang femur. Besarnya sudut ini perlu
14
Gambar 5. Anatomi femur (gambaran dari anterior dan posterior) [sumber:
medical atlas, www.edoctoronline.com]
Trochanter major dan minor merupakan tonjolan besar pada batas leher dan
batang. Yang menghubungkan dua trochanter ini adalah linea intertrochanterica di depan
dan crista intertrochanterica yang mencolok di bagian belakang, dan padanya terdapat
depan. Bagian ini lebih licin dan bulat pada permukaan anteriornya, namun pada bagian
posteriornya terdapat linea aspera. Tepian linea aspera melebar ke atas dan ke bawah.
dengan crista supracondylaris lateralis. Pada permukaan posterior batang femur, di bawah
trochanter major terdapat tuberositas glutealis, yang ke bawah berhubungan dengan linea
aspera. Bagian batang melebar ke arah ujung distal dan membentuk daerah segitiga datar
15
Gambar 6. Anatomi femur (1) trochanter mayor, (2) linea intertrochanterica
(3) foramen nutricium (4) corpus femoris [diaphysisi] (5) epicondilus lateralis (6)
facies patellaris (7) caput femoris (8) fovea cavities femoris (9) collum femoris (10)
trochanter minor (11) epicondilus medialis (12) linea pectinea (13) linea aspera (14)
facies poplitea (15) condilus lateralis (16) condilus medialis (17) crista
intertrochanterica (18) trochanter tertius (19) labium medial lineaaspera (20) labium
lateral linea aspera (21) fossa intercondilaris [yokochi, 2006]
Ujung bawah femur atau ekstremitas distal memiliki condylus medialis dan
anterior condylus dihubungkan oleh permukaan sendi untuk patella. Kedua condylus ikut
membentuk articulatio genu. Di atas condylus terdapat epicondylus lateralis dan medialis.
2006).
D. ETIOLOGI
usia muda. Kelompok pasien tua biasanya disebabkan oleh trauma energi ringan (jatuh
minor). Pada kondisi ini, fraktur subtrokhanter terjadi karena kelemahan tulang (Nieves
et al., 2009), dan mungkin juga terjadi kominutif karena adanya osteoporosis (Rockwood
16
et al., 2010). Kelompok usia ini juga rentan terhadap penyakit metastasis yang dapat
menyebabkan fraktur patologis (Nieves et al., 2009). Kelompok yang kedua adalah
kelompok pasien muda yang biasanya karena trauma energi tinggi, dan kominutif terjadi
karena adanya energi tinggi tersebut, baik dari trauma lateral yang langsung (misalnya,
kecelakaan kendaraan bermotor [Motor Vehicle Accident]) atau dari beban aksial
(misalnya, jatuh dari ketinggian). Fraktur pada kelompok ini dapat berupa fraktur terbuka
dan berhubungan dengan trauma sistem yang multipel (Kulkarni, 2006). Sedangkan luka
tembak menyebabkan sekitar 10% dari fraktur subtrochanteric karena energi tinggi
E. PATOFISIOLOGI
Penyembuhan pada daerah ini berjalan lambat karena konsolidasi yang lambat pada
kortikal primer, serta karena daerah ini selalu mengalami stress yang tinggi selama
Beban aksial melalui sendi pinggul membuat daerah regang yang cukup besar,
karena adanya tarikan ke lateral dan beban tekan medial. Selain kekuatan regang yang
cukup besar, kekuatan otot di bagian pinggul juga membuat efek torsional yang sekaligus
mengakibatkan rotasi. Selama kegiatan normal sehari-hari, hingga 6 kali berat badan
17
Gambar 7. Gangguan gerak (fleksi, rotasi, abduksi dan adduksi) akibat fraktur
subtrokhanter (Rockwood et al., 2010)
yaitu fleksi iliopsoas, rotasi eksterna muskulus rotator breves, dan abduksi muskulus
abduktor, serta batang femur menjadi lebih pendek dan terjadi adduksi oleh adductor dan
F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2006). Pada kelompok usia muda, penyebab utama fraktur subtrokhanter adalah
trauma energi tinggi misalnya karena jatuh dari ketinggian, atau terbanyak karena
kecelakaan lalu lintas (Nieves et al., 2009). Sedangkan pada kelompok usia tua,
riwayat trauma biasanya ringan seperti terpeleset hingga terjadi fraktur (Archdeacon
et al., 2009). Pada kelompok usia ini, perlu digali informasi mengenai adanya
nyeri, keterbatasan gerak pada kaki yang mengalami fraktur, kaki menjadi lebih
18
2. Pemeriksaan fisik
Kaki berada pada rotasi luar, bentuknya pendek, dan paha jelas membengkak.
Gerakan akan terasa sangat nyeri (Apley et al., 1995; kulkarni, 2006). Pada Inspeksi,
tampak pembengkakan pada daerah fraktur (paha), dengan kaki yang tampak
mengalami rotasi internal maupun eksternal, serta terdapat nyeri tekan pada paha
proksimal (Talley, 2005). Pada kondisi ini, pasien tidak dapat melakukan gerakan
pemeriksaan arteri dorsalis pedis). Pada fraktur akibat energi tinggi, harus dilakukan
pemeriksaan fisik lengkap, yaitu terkait dengan Waddell triad (trauma cranium,
thorak, dan abdomen). Pelvis, tulang belakang, dan tulang panjang lainnya harus
diperiksa, terutama di bagian ipsilateral, agar dapat dilakukan penanangan segera jika
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan sinar X akan menunjukkan lokasi fraktur yang berada pada atau
dibawah trokanter minor (Rockwood et al., 2010). Fraktur ini mungkin tampak
dengan garis patahan melintang, oblik, atau spiral, dan tersering adalah kominutif.
Fragmen bagian atas berfleksi dan tampak seakan-akan pendek, batang berabduksi
19
Gambar 8. Fraktur kominutif subtrokhanter (Rockwood et al., 2010)
Biplanar plain radiography (foto polos biplanar) merupakan pemeriksaan
Pemeriksaan AP pada pelvis serta lutut ipsilateral juga harus dilakukan untuk
radiologis skrining yaitu technetium bone scanning atau dengan MRI untuk
mengevaluasi keterlibatan skeletal. Pemeriksaan lain seperti foto thorak juga dapat
(Kulkarni, 2006)
G. TATALAKSANA
Tindakan non operatif hanya dilakukan jika pasien dalam keadaan yang sangat
lemah (karena usia tua) atau diperkirakan akan meninggal dengan tindakan operatif
20
(Craig et al., 2005). Secara umum, fiksasi internal untuk fraktur subtrokhanter meliputi
nailing (paku) dan plating. Fiksasi internal bertujuan untuk stabilisasi region femur
Sedangkan fiksasi eksternal digunakan sebagai tindakan segera, atau stabilisasi sementara
pada politrauma, namun secara umum tidak direkomendasikan sebagai terapi definitif
1. Nailing
dari fossa piriformis atau pada ujung trokhanter mayor (dengan menggunakan teknik
tersebut dapat memberikan hasil yang baik), 2) mengunci bagian proksimal dengan
standar “greater to lesser” (dari trokhanter mayor ke trokhanter minor) dengan kunci
tunggal (single screw) ke dalam caput dan collum femoris yang disebut sebagai
mayor dan minor harus berdasarkan intergritas dari fragmen proksimal dan kualitas
21
Gambar 9. Fiksasi internal intramedular atau cephalomedularry rekonstruksi
(Rockwood et al., 2010).
2. Plating
fraktur dengan fragmen proksimal yang sangat pendek yang sangat sulit jika
menggunakan teknik nailing dan sulit untuk dilakukan reduksi (Sanders et al., 2009).
Beberapa kategori plate yang dapat digunakan diantaranya DCS (dynamic condilar
screw) atau traditional sliding hip screw (Rockwood et al., 2010). Jika menggunakan
teknik plating, maka harus dievaluasi dengan hati-hati kemiringan (obliquity) dari
H. KOMPLIKASI
kegagalan fiksasi, dan infeksi (Larsson et al., 1990; Archdeacon et al., 2009; Rockwood
et al., 2010). Nonunion biasanya terjadi setelah 4 hingga 6 bulan akibat tidak mampunya
tulang yang fraktur menahan beban tubuh. Jika pada pemeriksaan foto polos tidak
tampak, maka dapat menggunakan CT-Scan, atau bone scanning. Pada kondisi dimana
fiksasi masih dapat stabil maka dapat pula dilakukan autogenous bone grafting pada
22
fraktur union, atau pada pasien dengan paku intramedular (intramedullary nails), dapat
deformity) dapat dideteksi saat pemasangan paku intramedulla dan dapat dikoreksi saat
itu juga atau dengan tindakan derotasional osteotomi pada tulang yang cedera. Jika terjadi
pemendekan sekunder yang membentuk varus di kolum femur maka dapat dilakukan
a b c
mengulangi pemasangan plat screw dan bone graft, atau dengan nailing generasi kedua.
fraktur, sehingga perlu evaluasi infeksi memalui pemeriksaan darah rutin, yaitu leukosit,
sedimentasi eritrosit, dan CRP (C-reaktif protein). Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan
adalah dengan aspirasi daerah yang dicurigai mengalami infeksi, kemudian melakukan
23
I. PROGNOSIS
Relatif sedikit data yang ada mengenai outcome pada pasien dengan fraktur
subtrochanteric femur (Karunakar et al, 2009). Pada pasien muda, cedera ini umumnya
karena luka traumatis, dan prognosisnya cenderung buruk. Patah tulang melibatkan
cedera jaringan lunak pada lutut dan akan mempersulit upaya rehabilitasi. Pada pasien
yang lebih tua, patah tulang subtrochanteric dapat dikelompokkan dengan patah tulang
femur proksimal lainnya dengan morbiditas dan mortalitas yang relatif tinggi
diperiksa 7-14 hari pasca operasi. Harus dilakukan evaluasi radiologis dan klinis setiap
bulan untuk memantau penyembuhan. Rehabilitasi quadriceps harus dimulai dalam waktu
2 minggu pasca operasi. Kebanyakan pasien memiliki cacat yang signifikan selama
minimal 4-6 bulan. Jika terjadi nonunion yang nyata maka perlu dipertimbangkan bone
BAB III
KESIMPULAN
1. Fraktur subtrokhanter femur adalah fraktur yang terjadi pada 1/3 proksimal femur dari
bawah trokhanter ke tengah dari isthmus femur, atau dari bawah trokhanter hingga 5
cm ke distal.
2. Etiologi utama fraktur subtrokhanter adalah trauma energy tinggi (pada kelompok
usia muda) dan energy rendah (pada kelompok usia tua dengan kealinan osteogenik).
(stabilisasi dengan nailing dan plating) kecuali jika tidak memungkinkan dilakukan
operasi.
24
4. Jika tidak ditangani, dapat terjadi komplikasi berupa perdarahan sehingga
nonunion, malunion, dan delayed union tetap dapat terjadi setalah penanganan
operatif.
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A Graham., Solomon, Louis. 1995. Buku ajar orthopedic dan fraktur sistem Apleys.
Jakarta: Widya medika
Archdeacon, MT., Cannada, LK., Herscovici, D Jr., Ostrum, RF., Anglen, JO. 2009.
Prevention of complications after treatment of proximal femoral fractures. Instr
Course Lect.;58:13-9.
Chapman MW, Campbell WC. 2001. Chapman's Orthopaedic Surgery. 3rd ed. Philadelphia,
Pa:. Lippincott Williams & Wilkins;.
Craig NJ, Maffulli N. 2005. Subtrochanteric fractures: current management options. Disabil
Rehabil. 15;27(18-19):1181-90.
Egol KA. 2005. Opinion: Open reduction and internal fixation in conjunction with total hip
arthroplasty. J Orthop Trauma. 19(1):60-1.
Fitzgerald, Robert H., kaufer, Herbert., malkani, Arthur L. 2002. Orthopaedics. Philadelpia.
Elseviers
Hasenboehler EA, Agudelo JF, Morgan SJ, Smith WR, Hak DJ, Stahel PF. 2007. Treatment
of complex proximal femoral fractures with the proximal femur locking compression
plate. Orthopedics. 30(8):618-23. .
Jiang SD, Jiang LS, Zhao CQ, Dai LY. 2007. No advantages of Gamma nail over sliding hip
screw in the management of peritrochanteric hip fractures: A meta-analysis of
randomized controlled trials. Disabil Rehabil. Jul 13;1-5.
Karunakar, M., McLaurin, TM., Morgan, SJ., Egol, KA. 2009. Improving outcomes after
pertrochanteric hip fractures. Instr Course Lect. 58:91-104
25
Kulkarni GS. 2006. Textbook of Orthopedics and Trauma. New delhi. Jaypee brothers
medical publisher.
Nieves JW, Bilezikian JP, Lane JM, Einhorn TA, Wang Y, Steinbuch M, et al. Fragility
fractures of the hip and femur: incidence and patient characteristics. Osteoporos Int.
May 30 2009.
Perren SM. 2002. Evolution of the internal fixation of long bone fractures. The scientific
basis of biological internal fixation: choosing a new balance between stability and
biology. J Bone Joint Surg Br. 84(8):1093-110.
Sanders S, Egol KA. 2009. Adult periarticular locking plates for the treatment of pediatric
and adolescent subtrochanteric hip fractures. Bull NYU Hosp Jt Dis. 67(4):370-3.
Sjamsuhidajat, R. dan W. De Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC. Jakarta. Hal.
198-200.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC
Talley, Nicholas J., O’connor, Simmon. 2005. Clinical Examination: A Systematic guide to
physical diagnosis. Elsevier. Philadelpia. 191pp.
Vaidya SV, Dholakia DB, Chatterjee A. 2003. The use of a dynamic condylar screw and
biological reduction techniques for subtrochanteric femur fracture. Injury. 34(2):123-
8. .
Yokochi. 2006. Atlas anatomi manusia. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC
26
BERITA ACARA PORTOFOLIO
27
6 dr. Natalia Darmawan (Peserta) 6
28