Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH PORTOFOLIO

FRAKTUR TERTUTUP SUBTROCHANTER FEMUR SINISTRA

DISPLACE COMPLETE

Pembimbing:

dr. Eko PAW, Sp.OT

Disusun oleh:

dr. Sylvia Chandra

RUMAH SAKIT TNI AL Dr. Mintohardjo

Periode Februari 2018 – Juni 2018

1
BERITA ACARA

Portofolio ini telah disetujui untuk memperlengkap Program Internsip Dokter Indonesia

RS TNI AL Dr. Mintohardjo

Periode Februari 2018 – 26 Desember 2015

Disusun oleh :

Sylvia Chandra

030.11.282

Jakarta, April 2018

Dokter Pedamping

(dr. Agnes Maria Tantri)

2
KASUS PORTFOLIO

Nama Peserta: dr. Sylvia Chandra

Nama Wahana: RSAL Dr. Mintohardjo

Topik: Fraktur tertutup subtrochanter femur sinistra displace complete

Tanggal (Kasus): 6 April 2018

Nama Pasien: Nn. Y No RM: 19.89.20

Tanggal Presentasi: - Nama Pendamping: dr. Eko PAW, Sp.OT


Tempat Presentasi: RSAL Dr. Mintohardjo

Obyektif Presentasi:

 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran Tinjauan Pustaka


 Diagnostik  Manajemen Masalah  Istimewa
 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa  Lansia  Bumil
Deskripsi: Nn. Y, 19 tahun, datang dengan keluhan nyeri pada kaki kiri.

 Tujuan:
Mengetahui diagnosis dan tatalaksana Fraktur tertutup subtrochanter femur sinistra displace
complete
Bahan Bahasan:  Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit
Cara Membahas:  Diskusi  Presentasi dan Diskusi  Email  Pos
Data Pasien Nama: Nn. Y No Registrasi: 19.89.20

Nama Tempat: UGD RSAL Dr.


Telepon: Terdaftar Sejak:
Mintohardjo

Data Utama dan Bahan Diskusi

1. Gambaran Klinis

3
Nn. Y, 19 tahun, datang dengan keluhan nyeri pada kaki kiri. Nyeri dirasakan makin lama makin
memberat disertai pasien tidak dapat menggerakan kakinya karena nyeri.
2. Riwayat Pengobatan
-
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit
 Hipertensi (-)
 Diabetes (-)
4. Riwayat Keluarga
• Disangkal
5. Lain-lain: -
Hasil Pembelajaran

1. Penegakan diagnosis Fraktur tertutup subtrochanter femur sinistra displace complete


2. Penatalaksanaan pada Fraktur tertutup subtrochanter femur sinistra displace complete

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portfolio

1. Subjektif:
Nn. Y, 19 tahun, datang dengan keluhan nyeri pada kaki kiri setelah terjatuh dari motor.
Nyeri dirasakan makin lama makin memberat disertai pasien tidak dapat menggerakan
kakinya karena nyeri. Tiga jam sebelum masuk rumah sakit, pasien ditemukan oleh polisi
terjatuh dari motor di daerah Semanggi. Pasien mengaku tidak ingat kejadian yang dialami.
Saat pasien sadar, pasien sudah ada didalam mobil polisi dan mengeluh nyeri pada kaki kiri,
tidak dapat digerakkan, mati rasa (-), kesemutan (-), mual (-), muntah (-), nyeri dibagian lain
(-) dan pandangan kabur (-).
2. Objektif:
Keadaan umum
o Kesadaran: Compos Mentis
o Kesan sakit: Tampak sakit sedang
Vital Signs
o KU: Tampak sakit sedang
o Kesadaran: Compos Mentis, GCS 15 (E5 M6 V4)
o Tekanan darah: 120/60 mmHg
o Frekuensi Nadi: 98 x/ menit, reguler, isi cukup
o Suhu: 36ºC axiler
o Frekuensi Nafas: 20 x/ menit, tipe pernafasan abdominalthoracal
o Saturasi O2: 92%
o VAS: 9
Status Generalis

4
o Kepala: Normocephali, distribusi rambut merata, tidak mudah dicabut.
o Mata: Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
o Hidung: Bentuk normal, septum ditengah, sekret (-)
o Mulut: Bibir simetris, gigi caries (+)
o THT: Faring tidak hiperemis, arkus faring simetris, tonsil T1-T1
o Leher: Tidak ada pembesaran KGB
o Thorax:
o I: Bentuk normal, simetris, gerakan nafas simetris, tidak ada bagian yang
tertinggal, iktus kordis tidak terlihat, tipe pernafasan abdominalthoracal, tidak
ada jejas.
o P: Pergerakan nafas kiri dan kanan simetris, tidak ada bagian yang tertinggal,
vocal fremitus kanan dan kiri sama kuat.
o P: Kedua lapang paru sonor.
o A: Bunyi jantung S1 dan S2 normal, murmur -/-, gallop -/-, ronchi -/-,
wheezing -/-.
o Abdomen:
o I: Bentuk datar, benjolan -, jejas -
o P: Supel, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak terdapat pembesaran, tidak teraba
massa
o P: Timpani.
o A: Bising usus positif normal
o Urogenital
o Tidak ada kelainan
o Ekstremitas
o Ekstremitas atas:
 Kanan : Simetris, tidak ada luka, deformitas -/-, edema -/-, akral hangat +/+,
kekuatan otot 5/5, CRT <2, akral dingin (-), sianosis (-).
 Kiri : Nyeri pada tungkai atas kiri (+), nyeri tekan (+), nyeri saat pergerakan
(+), ROM terbatas, krepitasi susah dinilai, deformitas -/-, tidak ada luka, CRT
<2, akral dingin (-), sianosis (-).
o Ekstremitas bawah:
 Kanan : Simetris, tidak ada luka, deformitas -/-, edema -/-, akral hangat +/+,
kekuatan otot 5/5, CRT <2, akral dingin (-), sianosis (-)..
 Kiri : Nyeri pada tungkai bawah kiri (+), nyeri saat pergerakan (+), nyeri
tekan (-), ROM terbatas, krepitasi sulit dinilai, deformitas -/-, tidak ada luka,
CRT <2, akral dingin (-), sianosis (-).

STATUS LOKALIS

5
Regio Femur Sinistra

Penilaian
Look Warna Seperti kulit sekitar
Pembengkakan (-)
Deformitas
- Angulasi (-)
- Rotasi (+) Rotasi Medial
- Pemendekan (+)
Luka Terbuka (-)
Feel Nyeri tekan (+)
Fungsi Sensorik (+)
Akral Dingin (-)
Krepitasi Sulit dinilai
Pulsasi
- Poplitea (+)
- Dorsalis Pedis (+)
Move Aktif
- Adduksi (-)
- Abduksi (-)
Kekuatan Sulit dinilai

Pemeriksaan Penunjang

Hasil Laboratorium (06/04/18); 21:00

Hematologi
-Darah Lengkap
Variable Hasil Nilai Normal
Hemoglobin (g/dL) 13.5 14-16
Eritrosit (juta/uL) 5.40 4.20-6.20
Hematokrit (%) 47 42.0-48.0
Jumlah Leukosit (/uL) 9.000 5.000-10.000
Jumlah Trombosit (/uL) 400.000 150.000-450.000

-Hemostasis
Variable Hasil Nilai Normal
Masa Perdarahan/BT (menit) 2’00’’ 1-3
Masa Pembekuan/CT (menit) 7’00’’ 5-15

-Kimia Klinik
Variable Hasil Nilai Normal
Glukosa Darah Sewaktu 135 <200

6
(mg/dL)

-Fungsi Hati
Variable Hasil Nilai Normal
AST (SGOT) (U/l) 30 <35
ALT (SGPT) (U/l) 33 <55

-Fungsi Ginjal
Variable Hasil Nilai Normal
Ureum (mg/dL) 20 17-43
Creatinin (mg/dL) 0.8 0.7-1.3

Hasil Radiologi

Foto Femur Sinistra AP&Lateral


Deskripsi Radiologis
1. Tampak diskontinuitas subtrochanter sinistra
2. Posisi, alignment tak baik
3. Struktur tulang baik
Kesan : Fraktur Subtrochanter sinistra
2. Assessment :
Resume: Nn. Y, 19 tahun, datang dengan keluhan nyeri pada kaki kiri setelah terjatuh dari
motor. Nyeri dirasakan makin lama makin memberat disertai pasien tidak dapat menggerakan
kakinya karena nyeri. Tiga jam sebelum masuk rumah sakit, pasien ditemukan oleh polisi
terjatuh dari motor di daerah Semanggi. Pasien mengaku tidak ingat kejadian yang dialami.
Saat pasien sadar, pasien sudah ada didalam mobil polisi dan mengeluh nyeri pada kaki kiri,
tidak dapat digerakkan, mati rasa (-), kesemutan (-), mual (-), muntah (-), nyeri dibagian lain (-)

7
dan pandangan kabur (-).Riwayat HT disangkal,
Riwayat DM disangkal
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien tampak sakit sedang, tidak terdapat penurunan
kesadaran dengan GCS E4M6V5 dan tidak ada tanda-tanda syok, Tanda tanda vital TD: 120/60
mmHg, Nadi 98x/menit, Suhu 36 C, RR: 20x/menit, Saturasi: 92%.
Pada pemeriksaan status lokalis ditemukan Nyeri pada tungkai atas kiri (+), nyeri tekan (+),
nyeri saat pergerakan (+), ROM terbatas, krepitasi susah dinilai, deformitas -/-, tidak ada luka,
CRT <2, akral dingin (-), sianosis (-).
Diagnosis Kerja:
Fraktur tertutup subtrochanter femur sinistra displace complete
4. Plan Tatalaksana:
o Rencana terapi
 Injeksi Ketorolac 1 ampul
 Injeksi Ranitidin 1 ampul
 Pemasangan bidai spalk
 Pemasangan kateter urin
 Edukasi
 Tirah baring
 Konsultasi ke dokter spesialis orthopedi untuk direncanakan operasi ORIF
 Konsultasi ke spesialis anestesi, jantung-paru, dan penyakit dalam untuk
acc operasi.

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur subtrokhanter merupakan fraktur yang terjadi antara bawah trokhanter dan

5 cm ke distal dari fraktur intertrokhanter (Kulkarni, 2006), yang ditemukan sekitar 10-

30% dari semua fraktur tulang panggul. Fraktur subtrokhanter dapat terjadi pada usia

berapapun, dan paling sering ditemukan pada dua kelompok populasi, yaitu pasien tua

dengan gangguan osteopenik (osteoporosis atau osteomalasia) yang disebabkan oleh

8
trauma dengan energi rendah; serta pasien yang lebih muda yang biasanya disebabkan

oleh trauma energi tinggi (Ekström et al., 2009; Nieves et al., 2009).

Hingga saat ini, menurut Boy dan griffin (dalam kurkarni, 2006) fraktur

subtrokhanter adalah jenis fraktur yang paling sulit ditangani dari semua jenis fraktur

trokhanter. Hal ini terkait dengan banyaknya komplikasi akibat fraktur femur

subtrokhanter jika tidak ditangani (Rockwood et al., 2010), yaitu kehilangan darah yang

lebih besar dibandingkan pada fraktur collum femur atau trokhanter (Kulkarni, 2006).

Hasil dari manajemen penanganannya pun masih belum memuaskan (Nieves et al., 2009)

karena penyembuhan fraktur yang berjalan lambat (Archdeacon et al., 2009), dan jika

menggunakan plat bersudut, implant dapat gagal sebelum fraktur menyatu (Apley et al,

1995) atau terjadi malunion atau nonunion fraktur Chapman et al.,2001; Rockwood et al.,

2001).

Menurut Watson, campbell, dan wade (dalam kulkarni, 2006) pada 100 orang

yang mengalami fraktur subtrokhanter, mortalitas mencapai hingga 19%, kemudian 19%

sisanya mengalami nonunion atau delayed union. Masalah yang banyak ditemukan pada

fraktur ini adalah malunion, delayed union, atau non union (Hasenboehler et al., 2007).

Malunion akan tampak sebagai pemendekan tulang femur, adanya deformitas angular,

dan ketidaksegarisan rotasional yang banyak ditemukan padda fraktur subtrokhanter

femur (Vaidya et al., 2003). Penyebab utama terjadinya malunion pada area fraktur ini

adalah karena kebanyakan kerusakan terjadi pada bagian tulang kortikal dan sering

berupa fraktur kominutif. Sedangkan faktor lainnya adalah biomekanika stress yang

terjadi pada region subtrokhanter yang menghasilan kegagalan pada implantasi fiksasi (8-

25%.) sebelum terjadi penyatuan tulang (union) [Kulkarni, 2006]

Meskipun terdapat modalitas penanganan fiksasi implant yang lebih baru untuk

mengatasi ketidaksatabilan pada trauma, namun angka kegagalan implant masih cukup

9
tinggi (Saarenpää et al., 2007). Kegagalan teknik seperti gagal reduksi, non-union

(Massoud, 2009), dan kegagalan implantasi (penetrasi implant ke sendi) [Egol, 2005]

dikarenakan kebanyakan fraktur daerah ini adalah kominutif (Jiang et al., 2007),

merupakan hal yang penting untuk terus dikembangkan sebagai perencanaan penanganan

dan prediksi outcome nya (Kulkarni, 2006).

10
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Fraktur adalah terputus atau hilangnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang

rawan yang biasa disebabkan oleh trauma (Sjamsuhidajat, 2004), dan jika tidak terdapat

hubungan tulang yang patah dengan dunia luar maka disebut sebagai fraktur tertutup

(Fitzgerald et al., 2002). Fraktur subtrokhanter femur adalah atau tampak sebagai

perluasan dari fraktur intertrokhanterika (Kulkarni, 2006; Rockwood et al., 2010).

B. KLASIFIKASI

Beberapa klasifikasi fraktur subtrokhanter diantaranya adalah klasifikasi menurut

Seinsheimer (1978) [dalam Rockwood et al., 2010] yang mengelompokkan faktur ini

kedalam 5 tipe berikut berdasarkan hilangnya stabilitas kortikal:

1. Tipe 1, yaitu jika displacement (pergeseran) < 2 mm.

2. Tipe 2, yaitu terjadi displacement hingga terbentuk 2 fragmen (2 bagian) dengan garis

patahan transversal, ataupun spiral (baik dominan ke arah trokhanter proksimal

ataupun kea rah distal).

3. Tipe 3, yaitu terjadi displacement hingga terbentuk 3 fragmen (3 bagian).

4. Tipe 4, yaitu terjadi displacement hingga terbentuk 4 fragmen (4 bagian) atau

kominutif.

5. Tipe 5, yaitu jika terjadi patahan yang lebih luas hingga ke trokhanter.

11
Gambar 1. Klasifikasi fraktur subtrokhanter menurut seinsheimer (1978)
[Rockwood et al., 2001].

Berdasarkan Orthopedic Trauma Association klasifikasi trauma subtrokhanter

dikelompokkan menjadi 9 subtipe berdasarkan garis dan bentuk patahan (Kulkarni, 2006),

seperti yang diilustrasikan pada gambar berikut ini:

Gambar 2. Klasifikasi fraktur subtrokhanter menurut orthopedic trauma


association (Kulkarni, 2006).
Klasifikasi lain fraktur subtrokhanter juga dikenalkan oleh Russell-Taylor (dalam

Rockwood et al., 2001). Klasifikasi ini membagi fraktur subtrokhanter menjadi dua tipe

utama, yaitu tipe 1 dan tipe 2. Fraktur tipe 1 tidak melibatkan fossa piriformis dan dibagi

kedalam subtype A, untuk fraktur di bawah trokanter minor, dan tipe B yang melibatkan

trokanter minor. Sedangkan fraktur tipe 2 melibatkan fossa piriformis. Tipe 2A memiliki

12
buttress medial stabil dan tipe 2B tidak memiliki stabilitas korteks medial femoral

(Rockwood et al., 2001).

Sistem klasifikasi Russell-Taylor ini berguna untuk membantu menentukan

metode pengobatan yang tepat. Fraktur tipe 1 dapat diobati dengan generasi pertama atau

kedua intramedullarydevices sementara fraktur tipe 2 memerlukan reduksi terbuka dan

fiksasi internal (ORIF) dengan screw plate devices atau fixed angle implants (Rockwood

et al., 2001).

Gambar 3. Klasifikasi fraktur subtrokhanter menurut Russell-Taylor (Rockwood


et al., 2001).

Untuk kepentingan penelitian, menurut Karunakar et al. (2009) klasifikasi lain

yang juga digunakan pada fraktur subtrokhanter adalah klasifikasi berdasarkan

Association for the Study of Internal Fixation (AO-ASIF) yang mengelompokkan fraktur

ini menjadi 3 tipe (tipe A, B, dan C) [karunakar et al., 2009]. Klasifikasi ini dimaksudkan

untuk mempelajari teknik pemasangan implant (fiksasi internal) berdasarkan biomekanika

fraktur subtrokhanter (Fitzgerald et al., 2002).

13
Gambar 4. Klasifikasi menurut Association for the Study of Internal Fixation
(AO-ASIF) [Fitzgerald et al., 2002].

C. ANATOMI FEMUR

Femur merupakan tulang terkuat, terpanjang, dan terberat di tubuh dan amat

penting untuk pergerakan normal. Seperti tulang panjang lainnya, femur terdiri atas

corpus (body) dan dua ekstremitas, yaitu ekstremitas atas (proksimal) dan ekstremitas

bawah (distal). Esktremitas proksimal femur teridri atas caput, collum, serta trokhanter

mayor dan minor. Sedangkan ekstremitas distal femur terdiri atas dua penonjolan yang

disebut condilus (Snell, 2006).

Caput femur merupakan lebih kurang dua pertiga bola dan berartikulasi dengan

acetabulum dari os coxae membentuk articulatio coxae. Pada pusat caput terdapat lekukan

kecil yang disebut fovea capitis, yang merupakan tempat perlekatan ligamen dari caput.

Sebagian suplai darah untuk caput femoris dihantarkan sepanjang ligamen ini dan

memasuki tulang pada fovea. Bagian collum, yang menghubungkan kepala pada batang

femur, berjalan kebawah, belakang, lateral dan membentuk sudut lebih kurang 125 0 (pada

wanita sedikit lebih kecil) dengan sumbu panjang batang femur. Besarnya sudut ini perlu

diingat karena dapat dirubah oleh penyakit (Snell, 2006).

14
Gambar 5. Anatomi femur (gambaran dari anterior dan posterior) [sumber:
medical atlas, www.edoctoronline.com]

Trochanter major dan minor merupakan tonjolan besar pada batas leher dan

batang. Yang menghubungkan dua trochanter ini adalah linea intertrochanterica di depan

dan crista intertrochanterica yang mencolok di bagian belakang, dan padanya terdapat

tuberculum quadratum. Bagian batang femur umumnya menampakkan kecembungan ke

depan. Bagian ini lebih licin dan bulat pada permukaan anteriornya, namun pada bagian

posteriornya terdapat linea aspera. Tepian linea aspera melebar ke atas dan ke bawah.

Tepian medial berlanjut ke bawah sebagai crista supracondylaris medialis menuju

tuberculum adductorum pada condylus medialis. Tepian lateral menyatu ke bawah

dengan crista supracondylaris lateralis. Pada permukaan posterior batang femur, di bawah

trochanter major terdapat tuberositas glutealis, yang ke bawah berhubungan dengan linea

aspera. Bagian batang melebar ke arah ujung distal dan membentuk daerah segitiga datar

pada permukaan posteriornya, disebut fascia poplitea (Snell, 2006).

15
Gambar 6. Anatomi femur (1) trochanter mayor, (2) linea intertrochanterica
(3) foramen nutricium (4) corpus femoris [diaphysisi] (5) epicondilus lateralis (6)
facies patellaris (7) caput femoris (8) fovea cavities femoris (9) collum femoris (10)
trochanter minor (11) epicondilus medialis (12) linea pectinea (13) linea aspera (14)
facies poplitea (15) condilus lateralis (16) condilus medialis (17) crista
intertrochanterica (18) trochanter tertius (19) labium medial lineaaspera (20) labium
lateral linea aspera (21) fossa intercondilaris [yokochi, 2006]

Ujung bawah femur atau ekstremitas distal memiliki condylus medialis dan

lateralis, yang di bagian posterior dipisahkan oleh incisura intercondylaris. Permukaan

anterior condylus dihubungkan oleh permukaan sendi untuk patella. Kedua condylus ikut

membentuk articulatio genu. Di atas condylus terdapat epicondylus lateralis dan medialis.

Tuberculum adductorium berhubungan langsung dengan epicondylus medialis (Snell,

2006).

D. ETIOLOGI

Etiologi fraktur subtrokhanter dikelompokkan berdasarkan kelompok usia tua dan

usia muda. Kelompok pasien tua biasanya disebabkan oleh trauma energi ringan (jatuh

minor). Pada kondisi ini, fraktur subtrokhanter terjadi karena kelemahan tulang (Nieves

et al., 2009), dan mungkin juga terjadi kominutif karena adanya osteoporosis (Rockwood

16
et al., 2010). Kelompok usia ini juga rentan terhadap penyakit metastasis yang dapat

menyebabkan fraktur patologis (Nieves et al., 2009). Kelompok yang kedua adalah

kelompok pasien muda yang biasanya karena trauma energi tinggi, dan kominutif terjadi

karena adanya energi tinggi tersebut, baik dari trauma lateral yang langsung (misalnya,

kecelakaan kendaraan bermotor [Motor Vehicle Accident]) atau dari beban aksial

(misalnya, jatuh dari ketinggian). Fraktur pada kelompok ini dapat berupa fraktur terbuka

dan berhubungan dengan trauma sistem yang multipel (Kulkarni, 2006). Sedangkan luka

tembak menyebabkan sekitar 10% dari fraktur subtrochanteric karena energi tinggi

(Nieves et al., 2009).

E. PATOFISIOLOGI

Daerah subtrokhanter merupakan daerah yang dibatasi oleh bagian bawah

trokhanter dan 5 cm di distalnya, yang predominan merupakan tulang kortikal.

Penyembuhan pada daerah ini berjalan lambat karena konsolidasi yang lambat pada

kortikal primer, serta karena daerah ini selalu mengalami stress yang tinggi selama

aktifitas sehari-hari (Rockwood et al., 2010).

Beban aksial melalui sendi pinggul membuat daerah regang yang cukup besar,

karena adanya tarikan ke lateral dan beban tekan medial. Selain kekuatan regang yang

cukup besar, kekuatan otot di bagian pinggul juga membuat efek torsional yang sekaligus

mengakibatkan rotasi. Selama kegiatan normal sehari-hari, hingga 6 kali berat badan

ditransmisikan di seluruh daerah subtrokhanter femur (Rockwood et al., 2010).

17
Gambar 7. Gangguan gerak (fleksi, rotasi, abduksi dan adduksi) akibat fraktur
subtrokhanter (Rockwood et al., 2010)

Gambar 7. menunjukkan tipe deformitas muskular akibat fraktur subtrokhanter,

yaitu fleksi iliopsoas, rotasi eksterna muskulus rotator breves, dan abduksi muskulus

abduktor, serta batang femur menjadi lebih pendek dan terjadi adduksi oleh adductor dan

kuadriseps (Rockwood et al., 2010).

F. DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Adanya riwayat trauma merupakan petunjuk tentang adanya fraktur (Kalkurni,

2006). Pada kelompok usia muda, penyebab utama fraktur subtrokhanter adalah

trauma energi tinggi misalnya karena jatuh dari ketinggian, atau terbanyak karena

kecelakaan lalu lintas (Nieves et al., 2009). Sedangkan pada kelompok usia tua,

riwayat trauma biasanya ringan seperti terpeleset hingga terjadi fraktur (Archdeacon

et al., 2009). Pada kelompok usia ini, perlu digali informasi mengenai adanya

penyakit lain seperti keganasan (Kulkarni, 2006), atau pengeroposan tulang

(osteoporosis) [Sanders et al., 2009]. Pasca trauma, pasien mengeluhkan adanya

nyeri, keterbatasan gerak pada kaki yang mengalami fraktur, kaki menjadi lebih

pendek (Ekström et al., 2009).

18
2. Pemeriksaan fisik

Kaki berada pada rotasi luar, bentuknya pendek, dan paha jelas membengkak.

Gerakan akan terasa sangat nyeri (Apley et al., 1995; kulkarni, 2006). Pada Inspeksi,

tampak pembengkakan pada daerah fraktur (paha), dengan kaki yang tampak

mengalami rotasi internal maupun eksternal, serta terdapat nyeri tekan pada paha

proksimal (Talley, 2005). Pada kondisi ini, pasien tidak dapat melakukan gerakan

fleksi atau abduksi kaki ke panggul (Rockwood et al., 2010).

Perdarahan harus dievaluasi dengan monitoring kemungkinan syok sistemik,

dan evaluasi kemungkinan terjadinya kompartemen sindrom di region femur (dengan

pemeriksaan arteri dorsalis pedis). Pada fraktur akibat energi tinggi, harus dilakukan

pemeriksaan fisik lengkap, yaitu terkait dengan Waddell triad (trauma cranium,

thorak, dan abdomen). Pelvis, tulang belakang, dan tulang panjang lainnya harus

diperiksa, terutama di bagian ipsilateral, agar dapat dilakukan penanangan segera jika

terbukti terdapat trauma (Kulkarni, 2006).

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan sinar X akan menunjukkan lokasi fraktur yang berada pada atau

dibawah trokanter minor (Rockwood et al., 2010). Fraktur ini mungkin tampak

dengan garis patahan melintang, oblik, atau spiral, dan tersering adalah kominutif.

Fragmen bagian atas berfleksi dan tampak seakan-akan pendek, batang berabduksi

dan bergeser-geser ke bagian proksimal (Apley et al., 1995; Egol, 2005).

19
Gambar 8. Fraktur kominutif subtrokhanter (Rockwood et al., 2010)
Biplanar plain radiography (foto polos biplanar) merupakan pemeriksaan

radiologis dasar dan esensial untuk mendiagnosis fraktur subtrokhanter femur.

Pencitraan Full-length anteroposterior (AP) femur dari panggul ke lutut harus

tergambarkan. Pencitraan juga harus mencakup dari lateral panggul untuk

mengevaluasi kolum femur dan menyingkirkan adanya perluasan fraktur.

Pemeriksaan AP pada pelvis serta lutut ipsilateral juga harus dilakukan untuk

menyingkirkan adanya kecurigaan trauma (Rockwood et al., 2010).

Jika dicurigai adanya fraktur patologi, maka dapat dilakukan pemeriksaan

radiologis skrining yaitu technetium bone scanning atau dengan MRI untuk

mengevaluasi keterlibatan skeletal. Pemeriksaan lain seperti foto thorak juga dapat

dilakukan untuk mencari adanya kemungkinan metastasis suatu keganasan ke pulmo

(Kulkarni, 2006)

G. TATALAKSANA

Tindakan non operatif hanya dilakukan jika pasien dalam keadaan yang sangat

lemah (karena usia tua) atau diperkirakan akan meninggal dengan tindakan operatif

20
(Craig et al., 2005). Secara umum, fiksasi internal untuk fraktur subtrokhanter meliputi

nailing (paku) dan plating. Fiksasi internal bertujuan untuk stabilisasi region femur

(terutama subtrokhanter dengan menggunakan implant intramedular) [Perren, 2002].

Sedangkan fiksasi eksternal digunakan sebagai tindakan segera, atau stabilisasi sementara

pada politrauma, namun secara umum tidak direkomendasikan sebagai terapi definitif

(Rockwood et al., 2010).

1. Nailing

Keuntungan mekanik dan biologis dengan teknik intramedular terhadap

stabilisasi fraktur subtrokhanter masih diperdebatkan. Teknik nailing merupakan

mayoritas teknik yang dipilih untuk stabilisasi fraktur subtrokhanter. Dalam

penggunaan teknik nailing, harus dipertimbangkan 1) titik awal pemasangan harus

dari fossa piriformis atau pada ujung trokhanter mayor (dengan menggunakan teknik

tersebut dapat memberikan hasil yang baik), 2) mengunci bagian proksimal dengan

standar “greater to lesser” (dari trokhanter mayor ke trokhanter minor) dengan kunci

tunggal (single screw) ke dalam caput dan collum femoris yang disebut sebagai

rekonstruksi atau cepalomedulari nailing. Penggunaan “single screw” pada trokhanter

mayor dan minor harus berdasarkan intergritas dari fragmen proksimal dan kualitas

tulang (Rockwood et al., 2010).

21
Gambar 9. Fiksasi internal intramedular atau cephalomedularry rekonstruksi
(Rockwood et al., 2010).

2. Plating

Teknik plating dapat digunakan pada fraktur subtrokhanter, khususnya pada

fraktur dengan fragmen proksimal yang sangat pendek yang sangat sulit jika

menggunakan teknik nailing dan sulit untuk dilakukan reduksi (Sanders et al., 2009).

Beberapa kategori plate yang dapat digunakan diantaranya DCS (dynamic condilar

screw) atau traditional sliding hip screw (Rockwood et al., 2010). Jika menggunakan

teknik plating, maka harus dievaluasi dengan hati-hati kemiringan (obliquity) dari

fraktur (Kulkarni, 2006).

Gambar 10. Plating (Rockwood et al., 2010)

H. KOMPLIKASI

Komplikasi tersering pada fraktur subtrokhanter adalah nonunion, malunion,

kegagalan fiksasi, dan infeksi (Larsson et al., 1990; Archdeacon et al., 2009; Rockwood

et al., 2010). Nonunion biasanya terjadi setelah 4 hingga 6 bulan akibat tidak mampunya

tulang yang fraktur menahan beban tubuh. Jika pada pemeriksaan foto polos tidak

tampak, maka dapat menggunakan CT-Scan, atau bone scanning. Pada kondisi dimana

fiksasi masih dapat stabil maka dapat pula dilakukan autogenous bone grafting pada

22
fraktur union, atau pada pasien dengan paku intramedular (intramedullary nails), dapat

dilakukan penggantian paku yang lebih lebar (over-reaming) [Kulkarni, 2006].

Malunion biasanya tampak sebagai pemendekan kaki (pincang) atau deformitas

dengan keterbatasan rotasi pinggul. Seringkali, deformitas rotasi (gross rotational

deformity) dapat dideteksi saat pemasangan paku intramedulla dan dapat dikoreksi saat

itu juga atau dengan tindakan derotasional osteotomi pada tulang yang cedera. Jika terjadi

pemendekan sekunder yang membentuk varus di kolum femur maka dapat dilakukan

osteotomi valgus (Rockwood et al., 2010).

a b c

Gambar 11. Komplikasi fraktur subtrokhanter, a) malunion, b) nonunion, c) gagal


fiksasi (Rockwood et al., 2010)

Komplikasi berupa adanya kegagalan fiksasi (implant) dapat diatasi dengan

mengulangi pemasangan plat screw dan bone graft, atau dengan nailing generasi kedua.

Sedangkan komplikasi deep sepsis mungkin merupakan manifestasi akibat nonunion

fraktur, sehingga perlu evaluasi infeksi memalui pemeriksaan darah rutin, yaitu leukosit,

sedimentasi eritrosit, dan CRP (C-reaktif protein). Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan

adalah dengan aspirasi daerah yang dicurigai mengalami infeksi, kemudian melakukan

kultur kuman (Kulkarni, 2006).

23
I. PROGNOSIS

Relatif sedikit data yang ada mengenai outcome pada pasien dengan fraktur

subtrochanteric femur (Karunakar et al, 2009). Pada pasien muda, cedera ini umumnya

karena luka traumatis, dan prognosisnya cenderung buruk. Patah tulang melibatkan

cedera jaringan lunak pada lutut dan akan mempersulit upaya rehabilitasi. Pada pasien

yang lebih tua, patah tulang subtrochanteric dapat dikelompokkan dengan patah tulang

femur proksimal lainnya dengan morbiditas dan mortalitas yang relatif tinggi

(Hasenboehler et al., 2007)

Perlu dilakuakan follow-up untuk memantau penyembuhan. Luka operasi

diperiksa 7-14 hari pasca operasi. Harus dilakukan evaluasi radiologis dan klinis setiap

bulan untuk memantau penyembuhan. Rehabilitasi quadriceps harus dimulai dalam waktu

2 minggu pasca operasi. Kebanyakan pasien memiliki cacat yang signifikan selama

minimal 4-6 bulan. Jika terjadi nonunion yang nyata maka perlu dipertimbangkan bone

graft (Craig et al., 2005).

BAB III

KESIMPULAN

1. Fraktur subtrokhanter femur adalah fraktur yang terjadi pada 1/3 proksimal femur dari

bawah trokhanter ke tengah dari isthmus femur, atau dari bawah trokhanter hingga 5

cm ke distal.

2. Etiologi utama fraktur subtrokhanter adalah trauma energy tinggi (pada kelompok

usia muda) dan energy rendah (pada kelompok usia tua dengan kealinan osteogenik).

3. Prinsip tatalaksana pada fraktur subtrokhanter adalah dengan tindakan operatif

(stabilisasi dengan nailing dan plating) kecuali jika tidak memungkinkan dilakukan

operasi.

24
4. Jika tidak ditangani, dapat terjadi komplikasi berupa perdarahan sehingga

dikhawatirkan terjadi syok. Meski demikian, kemungkinan terjadinya komplikasi

nonunion, malunion, dan delayed union tetap dapat terjadi setalah penanganan

operatif.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Femur bone anatomy. http://www.edoctoronline.com/medical-atlas.asp?


c=4&id=22094 diakses tanggal 22 November 2013 pukul 20.06 WIB.

Apley, A Graham., Solomon, Louis. 1995. Buku ajar orthopedic dan fraktur sistem Apleys.
Jakarta: Widya medika

Archdeacon, MT., Cannada, LK., Herscovici, D Jr., Ostrum, RF., Anglen, JO. 2009.
Prevention of complications after treatment of proximal femoral fractures. Instr
Course Lect.;58:13-9.

Chapman MW, Campbell WC. 2001. Chapman's Orthopaedic Surgery. 3rd ed. Philadelphia,
Pa:. Lippincott Williams & Wilkins;.

Craig NJ, Maffulli N. 2005. Subtrochanteric fractures: current management options. Disabil
Rehabil. 15;27(18-19):1181-90.

Egol KA. 2005. Opinion: Open reduction and internal fixation in conjunction with total hip
arthroplasty. J Orthop Trauma. 19(1):60-1.

Ekström W, Németh G, Samnegård E, Dalen N, Tidermark J. 2009. Quality of life after a


subtrochanteric fracture: a prospective cohort study on 87 elderly patients. Injury.
40(4):371-6.

Fitzgerald, Robert H., kaufer, Herbert., malkani, Arthur L. 2002. Orthopaedics. Philadelpia.
Elseviers

Hasenboehler EA, Agudelo JF, Morgan SJ, Smith WR, Hak DJ, Stahel PF. 2007. Treatment
of complex proximal femoral fractures with the proximal femur locking compression
plate. Orthopedics. 30(8):618-23. .

Jiang SD, Jiang LS, Zhao CQ, Dai LY. 2007. No advantages of Gamma nail over sliding hip
screw in the management of peritrochanteric hip fractures: A meta-analysis of
randomized controlled trials. Disabil Rehabil. Jul 13;1-5.

Karunakar, M., McLaurin, TM., Morgan, SJ., Egol, KA. 2009. Improving outcomes after
pertrochanteric hip fractures. Instr Course Lect. 58:91-104

25
Kulkarni GS. 2006. Textbook of Orthopedics and Trauma. New delhi. Jaypee brothers
medical publisher.

Massoud EI. 2009. Fixation of subtrochanteric fractures : Does a technical optimization of


the dynamic hip screw application improve the results?. Strategies Trauma Limb
Reconstr. 4(2):65-71.

Nieves JW, Bilezikian JP, Lane JM, Einhorn TA, Wang Y, Steinbuch M, et al. Fragility
fractures of the hip and femur: incidence and patient characteristics. Osteoporos Int.
May 30 2009.

Perren SM. 2002. Evolution of the internal fixation of long bone fractures. The scientific
basis of biological internal fixation: choosing a new balance between stability and
biology. J Bone Joint Surg Br. 84(8):1093-110.

Rockwood, Charles A., Bucholz, Robert W., M, Charles., Court-Brown., D, James.,


Heckman., Tornetta, Paul., Williams, Lippincott., Wilkins. 2010. Rockwood and
Green's Fractures in Adults, Volume 1. London: Amazon Media EU

Saarenpää I, Heikkinen T, Jalovaara P. 2007. Treatment of subtrochanteric fractures. A


comparison of the Gamma nail and the dynamic hip screw: short-term outcome in 58
patients. Int Orthop. 31(1):65-70.

Sanders S, Egol KA. 2009. Adult periarticular locking plates for the treatment of pediatric
and adolescent subtrochanteric hip fractures. Bull NYU Hosp Jt Dis. 67(4):370-3.

Sjamsuhidajat, R. dan W. De Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC. Jakarta. Hal.
198-200.

Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC

Talley, Nicholas J., O’connor, Simmon. 2005. Clinical Examination: A Systematic guide to
physical diagnosis. Elsevier. Philadelpia. 191pp.

Vaidya SV, Dholakia DB, Chatterjee A. 2003. The use of a dynamic condylar screw and
biological reduction techniques for subtrochanteric femur fracture. Injury. 34(2):123-
8. .

Yokochi. 2006. Atlas anatomi manusia. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC

26
BERITA ACARA PORTOFOLIO

Pada hari ini tanggal :

Nama peserta : dr. Sylvia Chandra

Dengan judul/topik : Fraktur tertutup subtrochanter femur sinistra displace complete

Nama Pembimbing : dr. Eko PAW, Sp.OT

Nama Pendamping : dr. Agnes Maria Tantri

Nama Wahana : RSAL DR Mintohardjo

No Nama Peserta Presentasi No Tanda Tangan

1 dr. Sylvia Chandra (Presentan) 1

2 dr. Angga Valentino (Peserta) 2

3 dr. Cindy Desianti (Peserta) 3

4 dr. Jessica Yulianti (Peserta) 4

5 dr. Mesa Sabila (Peserta) 5

27
6 dr. Natalia Darmawan (Peserta) 6

7 dr. Stephanie Utomo (Peserta) 7

28

Anda mungkin juga menyukai