Anda di halaman 1dari 35

JAVA TALES

Buku 4
HIKAYAT PERANG JAWA

1
Tanggal 5 September 1823, Pakubuwono V mangkat setelah hanya tiga tahun bertahta di singgasana Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Setelah masa berkabung selama 10 hari, Surakarta punya raja baru. Sang putra mahkota naik tahta dengan gelar Susuhunan
Pakubuwono VI, tepat pada 15 September 1823. Saat itu, usianya baru menginjak 16 tahun.

Putra mahkota Surakarta itu bernama Raden Mas Sapardan, anak lelaki ke-11 Pakubuwono V dari permaisuri Raden Ayu Sosrokusumo.
Raden Mas Sapardan dilahirkan pada 26 April 1807 dan masih keturunan Ki Juru Martani, patih pertama dalam sejarah Kesultanan
Mataram Islam, dari garis darah ibundanya.

2
Baru dua tahun bertahta sebagai Sunan ke-6, Pakubuwono VI langsung dihadapkan pada situasi yang dilematis. Pangeran Diponegoro,
putra sulung Sultan Hamengkubuwono III yang tidak lain adalah Sultan ke-3 Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, terlibat sengketa
serius dengan Belanda.

3
Diponegoro yang menolak menjadi raja Yogyakarta—karena merasa bukan putra mahkota sebab terlahir dari istri selir—memilih
keluar dari keraton. Dan pada perkembangannya, ia harus berurusan dengan kaum penjajah yang kemudian memantik salah satu
peperangan terbesar melawan Belanda di tanah Jawa sejak pertengahan tahun 1825.

4
Dahulunya, meski tampuk kekuasaan Jogjakarta telah dipindahkan kepada Sultan Hamengkubuwana III, Sultan Hamengkubuwana II
yang kemudian dijuluki Sultan Sepuh masih tetap tinggal di istana. Kondisi tersebut membuat runyam suasana birokrasi keraton.
Kondisi keraton Jogja di bawah Sultan Sepuh dan Sultan Hamengkubuwana III telah berada di bawah pengaruh kepentingan bangsa
Eropa.

5
Ibu suri, janda Sultan Hamengkubuwana I yang sejak lama tidak suka kondisi keraton memilih tinggal di luar keraton, yakni di Tegal
Rejo dengan membawa cicitnya Pangeran Ontowiryo yang kelak dewasa berganti nama menjadi Pangeran Diponegoro.

6
Kondisi Keraton Jogjakarta kian tak menentu ketika Sultan Hamengkubuwana IV yang diangkat kala itu baru berumur 10 tahun
sehingga diperlukan perwalian (pendamping) yang terdiri dari Sultan Sepuh, janda Hamengkubuwana III, dan lain-lain.

Kemelencengan kian memuncak ketika penguasa kolonial mengangkat Pangeran Menol yang masih berusia tiga tahun menjadi Sultan
Hamengkubuwana V.

Pangeran Diponegoro kala itu didudukkan menjadi salah satu walinya. Tetapi, melihat kolaborasi penguasa kolonial Inggris bersama
Patih Sultan yang jauh lebih besar pengaruh dan kuasanya, Pangeran Diponegoro pun memilih untuk mengundurkan diri dari perwalian
Sultan Hamengkubuwana V itu. Pangeran Diponegoro yang seharusnya cakap memimpin keraton jogja itu “dikotakkan” sehingga tidak
dapat menjadi Sultan dengan alasan dia bukan anak dari seorang permaisuri. Pangeran Diponegoro sangat prihatin bahwa birokrasi
keraton diobok-obok semaunya. Keraton Jogja pun berada di ambang kehancuran.

7
Pada era Sultan Hamengkubuwana V yang ketika itu masih anak-anak, penguasa kolonial menentukan kebijakan baru tentang perlunya
dibuat jalan raya. Pangeran Diponegoro kaget bukan kepalang mendengar kabar kebun-kebun miliknya bakal digusur. Patok-patok
telah menancap di sepanjang kebun yang telah ia rawat selama bertahun-tahun sejak muda. Nyai Ageng, Mbah Buyutnya, mewariskan
kebun-kebun yang luas itu untuk Sang Pangeran.

Diponegoro kaget soal penggusuran itu karena tidak menerima pemberitahuan lebih dulu. Tidak Residen, tidak juga Patih, atau utusan
siapapun, yang mengabari tanah-tanah miliknya bakal dilewati jalan raya. Tanah-tanah tersebut begitu berharga bukan hanya karena
menjadi sumber pemasukan, tapi juga, di beberapa bagian, menjadi tempat pemakaman leluhurnya.

Sebulan sebelum pematokan tanah, Residen Yogyakarta Anthonie Henrik Smissaert memberi perintah agar jalan lingkar di luar kota
Yogyakarta, yang melintasi daerah Tegalrejo, diperbaiki dan diperlebar. Tujuannya: meningkatkan laju perdagangan sehingga
pendapatan negara meningkat. Meski Smissaert tidak punya pengalaman bertugas di keraton-keraton Jawa Tengah, ia dianggap sosok
yang tepat: dikenal sebagai pejabat yang ahli dalam urusan olah-olah duit.

8
Kedatangan Tuan Residen yang gempal dan pemalu inilah yang membuat hubungan Diponegoro dengan keraton Yogyakarta dan
pemerintah kolonial makin runyam. Lima tahun menjelang Perang Jawa, terjadi berbagai konflik internal dalam tubuh keraton, terutama
sejak diangkatnya Danureja IV menjadi Patih. Smissaert membuat keadaan itu kian rumit.

Diponegoro tidak diberitahu Danureja bahwa tanahnya akan dilewati jalan raya. Tindakan ini adalah kesengajaan. Semua orang di
Yogyakarta tahu, Danureja memendam kedongkolan tersendiri terhadap sang pangeran. Danureja menganggap Diponegoro selalu
menghalangi langkah-langkahnya yang korup dan memperkaya diri.

Bagi Diponegoro, Danureja terlalu pro-Belanda dan hanya memikirkan kesenangan diri sendiri: mabuk-mabukan, main perempuan,
bergaya ke-Belanda-Belanda-an. Danureja dipandang sebagai simbol paling nyata dekadensi moral yang terjadi di keraton Yogyakarta
selama bertahun-tahun.

9
Orang alim seperti Diponegoro tentu saja gelisah melihat kebobrokan macam itu. Baginya keraton sudah tidak layak lagi memegang
otoritas moral untuk membimbing rakyat Jawa. Situasi itu pula yang membuatnya berpikir untuk menuntut kekuasaan Jawa dibagi dua:
penguasa politik dan penguasa spiritual.

Dalam konsepsi kekuasaan Jawa, penguasa politik dan penguasa spritual digabung jadi satu. Tercermin dalam gelar raja-raja
Jawa “senopati ing alaga khalifatullah sayidin panatagama”. Secara ringkas artinya “panglima perang sekaligus pemimpin agama”.
Diponegoro ingin meraih kepemimpinan yang kedua.

10
Pada 17 Juni 1825, tukang-tukang mulai berdatangan ke perkebunan Diponegoro untuk memasang patok-patok di tanah yang akan
digunakan sebagai ruas jalan. Mereka datang atas perintah Danureja.

Diponegoro dan para pengikutnya jadi repot dengan adanya patok-patok itu. Para pengikutnya, yang sebagian besar merupakan petani
penggarap kebun yang merasa nyaman bekerja di atas lahan Diponegoro karena bebas dari pungutan, tidak bisa pergi ke sawah dengan
leluasa.

Beberapa hari kemudian terjadi cekcok keras antara para petani dengan tukang-tukang pemasang patok. Penduduk dari desa-desa
sekitar Tegalrejo juga berduyun-duyun membantu para petani.

11
Suasana makin memanas sebab pengikut Diponegoro yang berdatangan kian bertambah. Niat mereka yang paling utama adalah
membela sang pangeran dari tindakan sewenang-wenang Belanda dan Danureja. Pada awal Juli 1825, konsentrasi massa semakin
bertumpuk di Tegalrejo dan menyebabkan pemerintah kolonial mulai mengkhawatirkan kericuhan yang lebih besar.

Pada pertengahan Juli, menyaksikan keadaan yang makin ruwet dan kejengkelannya terhadap Belanda sudah berada di puncak, Sang
Pangeran akhirnya memilih jalan yang subtil tapi tegas: memerintahkan patok-patok jalan diganti dengan tombak. Dan dalam dunia
ksatria Jawa, dipasangnya tombak adalah pesan yang jelas: sebuah tantangan perang.

Sejarawan Inggris Peter Carey, yang menghabiskan empat puluh tahun karier kesejarawanannya untuk meneliti Diponegoro,
menyimpulkan begini dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (hlm. 704): Pangeran
tersebut menganggap pembangunan jalan raya yang tanpa pemberitahuan itu sebagai casus belli (penyebab perang).

Di hari patok-patok itu diganti tombak, ia memerintahkan anak-anak, para istri dan kerabat yang lain mengungsi dari Tegalrejo ke
Selarong. Mereka dibekali sejumlah besar uang dan barang-barang berharga. Uang ini kelak dipakai untuk membiayai Perang Jawa.

12
Danureja dan Smissaert tentu saja mengetahui keadaan genting itu dan mereka berdua tampaknya juga merasa jika pemberontakan
sudah di ambang pintu. Pada 18 Juli 1825, Smissaert mengeluarkan ultimatum agar Sang Pangeran mesti datang ke Yogyakarta untuk
mempertanggungjawabkan kelakuannya.

Justru ultimatum Smissaert ini semakin mempersempit ruang Diponegoro untuk memilih opsi di luar perlawanan bersenjata. Sang
Pangeran, menurut Peter Carey, “kini menjadi tawanan pendukungnya sendiri, yang telah bersumpah untuk bertempur dan tidak
membiarkan dia pergi ke Yogya untuk berunding dengan Smissaert.”

Lantaran Diponegoro tetap keras kepala, Smissaert mengirimkan pasukan besar ke Tegalrejo pada 20 Juli 1825. Mereka dilengkapi
atribut dan alat kemiliteran penuh. Harapannya: Diponegoro segera ditangkap dan diseret ke Yogyakarta.

Setibanya di Tegalrejo, pasukan itu dihadang pengikut Diponegoro yang sudah bersiap. Pertempuran sengit pun tak terelakkan. Pasukan
akhirnya berhasil mengepung kediaman Sang Pangeran dan membakarnya.

13
Sementara Diponegoro dan para pengikutnya berhasil lolos lewat gerbang barat Tegalrejo. Mereka mengambil rute jalan setapak
melalui daerah persawahan sehingga pasukan penyerbu sulit mengejar. Beberapa jam kemudian bahkan mereka masih sempat salat
maghrib berjamaah di jalan raya dekat Sentolo.

14
Esok harinya, Kamis 21 Juli 1825, mereka sudah sampai di Selarong, berkumpul dengan sejumlah pasukan dan para kerabat yang sudah
lebih dulu tiba.

15
Di Selarong, dekat gua tempat Pangeran sering bersemadi dan tinggal berhari-hari dalam kesenyapan, mereka menancapkan panji
pemberontakan."

16
Dari Selarong inilah, dentum Perang Jawa pun meledak.

17
Sejak itulah terjadi Perang Diponegoro selama lima tahun dengan kondisi yang terus bergerilya di sekitar wilayah Jogja-Magelang. Di
titik inilah batin Pakubuwono VI bergejolak dan akhirnya ia memutuskan untuk membantu perjuangan Pangeran Diponegoro meskipun
secara diam-diam berkolaborasi dengan Belanda agar hubungan “diplomatik” terjaga, demi keamanan istana dan rakyat Kasunanan
Surakarta Hadiningrat.

18
19
Beberapa kali telah terjadi pertemuan antara Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro. Perjumpaan dua tokoh penting Wangsa
Mataram ini benar-benar dirahasiakan. Yang jelas, Pakubuwono VI menyatakan kesanggupannya untuk membantu Diponegoro.
Pakubuwono VI sering dikabarkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau ke pedalaman hutan rimba seperti alas Krendowahono, yang
kemudian memunculkan julukan “Sinuhun Bangun Tapa” bagi sang raja. Namun, sebenarnya ia menemui Diponegoro untuk
membicarakan situasi terkini sekaligus membahas strategi perlawanan terhadap Belanda.

Pangeran Diponegoro sendiri pernah menyusup ke Keraton Surakarta untuk menemui Pakubuwono VI. Ketika Belanda curiga dan
mengirimkan pasukan penggeledah ke istana, keduanya pura-pura berkelahi. “Sandiwara” itu diakhiri dengan akting Diponegoro yang
melarikan diri dari istana.

Peran ganda Pakubuwono VI terus berlanjut. Beberapa kali pasukan dikirimkan dengan dalih membantu Belanda. Namun, yang terjadi
di lapangan tidak seperti itu. Taktik gerilya memberikan peluang bagi pasukan itu untuk bergabung dengan kubu Diponegoro secara
diam-diam.

20
Perang Jawa akhirnya usai pada 1830 setelah Diponegoro ditangkap dengan cara dijebak. Perang ini merupakan salah satu perang yang
paling melelahkan bagi Belanda yang kehilangan sekitar 8.000 serdadu Eropa dan 7.000 prajurit lokal. Sementara korban jiwa dari
rakyat mencapai 200.000 orang (M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa, 2013:42).

21
Kekalahan ini berawal saat militer Belanda di bawah Letnan Gubernur Jenderal de Kock yang bersahabat, membiarkan Pangeran
Diponegoro dan pengikutnya berpuasa dengan damai di sekitar pegunungan Menoreh.

22
Namun, ini malah membuat Diponegoro dan pengikutnya jadi lengah, sampai akhirnya Diponegoro ditangkap dengan mudah saat hari
lebaran. Saat itu adalah hari-hari terakhir sang Pangeran menikmati lebaran terakhirnya di Tanah Jawa. Di hari kemenangan umat Islam
itu, Diponegoro mengadakan pertemuan dengan pihak Belanda, ia mendatangi de Kock. Residen Valck menyambut Diponegoro dan
mempertemukannya dengan de Kock. Pertemuan itu digadang-gadang jadi momentum tawar menawar soal mengakhiri Perang Jawa
dan keinginan adanya kesultanan di selatan Jawa.

De Kock mau Pangeran tak perlu kembali ke Metesih dan tinggal di Keresidenan saja. Diponegoro bingung dengan ucapan jenderal
Belanda itu. “Saya hanya sebentar menemuimu untuk kunjungan ramah-tamah, sebagai mana adat Jawa setelah bulan puasa. Mereka
yang muda pergi mendatangi rumah mereka yang lebih sepuh untuk meminta maaf atas semua kesalahan yang dilakukan tahun yang
lewat. Dalam hal ini engkau, Jenderal, adalah pihak yang lebih tua,” jelas Diponegoro—ucapan ini tentu tak akan memengaruhi de Kock.

23
“Alasan saya ingin menahanmu ialah karena karena saya ingin membuat semua persoalan di antara kita menjadi jelas hari ini,” kata de
Kock.

Diponegoro makin heran dengan orang-orang Belanda yang dia datangi untuk lebaran justru bicara masalah politik yang agak berat. Dia
belum siap untuk bicara masalah politiknya.Diponegoro meyakinkan jika dia tak ingin apapun kecuali jadi kepala agama Islam di Jawa
dan gelar Sultan.

24
Namun, apa yang terjadi setelahnya adalah, Diponegoro ditangkap dan dipisahkan dari pengikutnya.

25
Dari benteng Belanda di Ungaran, Pangeran Diponegoro segera dibawa ke Semarang dan kemudian diangkut dengan kapal ke Batavia.
Dari Batavia beliau kemudian dibawa ke Makasar di Benteng Ujung Pandang.

26
Berdasar catatan Letnan Knoerle yang mengawal Diponegoro, yang menjadi referensi Peter Carey dalam menulis Takdir Riwayat
Pangeran Diponegoro 1785-1855 (2015), perjalanan laut yang dialaminya saat dibuang ke Sulawesi begitu berat.

27
Dalam perjalanan itu, tak jarang Diponegoro bercakap dengan Knoerle. Suatu kali, bertanyalah sang Pangeran pada Letnan muda yang
juga ajudan Gubernur Jenderal van den Bosch si arsitek tanam paksa itu.

“Apakah sudah menjadi kebiasaan di Eropa untuk mengasingkan pemimpin yang kalah perang ke sebuah pulau terpencil dan memutus
hubungannya dengan semua kaum kerabatnya?” tanya Sang Pangeran.

Knoerle lalu menjawab dan menyamakan kisah Pangeran Diponegoro itu dengan kisah Napoleon Bonaparte. Mereka berdua sama-sama
dibuang pada usia 40-an. Napoleon yang kelahiran 1769, dibuang pada 1814 ke Elba. Tahun berikutnya dia sempat kabur dan perang
lagi, namun dikalahkan armada Duke Welington di Waterloo. Setelahnya Napoleon dibuang lagi ke pulau yang lebih jauh, St Helena
hingga wafat.

Gubernur Jenderal van den Bosch berusaha memastikan sang Pangeran tidak kabur seperti yang terjadi pada Napoleon, sampai
melanjutkan perang. Pemerintah kolonial yang kala itu sedang cekak kantongnya tentu tak mau itu terulang pada Pangeran Diponegoro.

28
Pada 12 Juni 1830 rombongan Pangeran Diponegoro tiba di Manado. Semula Sang Pangeran dan pengikutnya itu hendak ditempatkan di
Tondano, namun Kyai Modjo sudah di sana.

“Betapa terkejutnya Knoerle begitu tiba di Manado ia diberitahu oleh residen di kota itu, Pietermaat, bahwa Kyai Modjo beserta 62
pengikutnya yang menjadi tawanan Belanda baru tiba dari Ambon, dan akan ditempatkan di Tondano.

“Sebenarnya, tempat itu dipersiapkan untuk Diponegoro dengan para pengikutnya. Knoerle khawatir kalau keduanya sampai bertemu
lagi. Oleh sebab itu Diponegoro beserta para pengiringnya untuk sementara lantas ditempatkan di Benteng Manado,” tulis P Swantoro
dalam Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu.

29
Tak adanya harapan untuk menempatkan Diponegoro di pedalaman Sulawesi Utara, maka pada 1833, Sang Pangeran direlokasi diam-
diam ke Makassar dengan kapal Angkatan Laut. Di mana jumlah pengawal di Makassar akan lebih banyak lagi. Di Makassar, Diponegoro
ditempatkan di Fort Rotterdam. Istrinya, dua anaknya dan 23 pengikutnya pergi bersamanya.

Makassar nampaknya cocok dengan Diponegoro dan pengikutnya. Diponegoro lebih bisa diterima, berbeda ketika di Manado, apalagi di
Makassar. Pengikut Diponegoro bebas berkeliaran dan bergaul dengan orang-orang militer maupun pribumi sipil Makassar di sekitar
Benteng.

Sebelas tahun di Makassar, barulah pejabat Belanda hendak menawarkan tempat pembuangan baru, tapi Sang Pangeran menjawab,
“Tidak.” Ia ingin menghabiskan sisa hidupnya di Makassar saja.
30
Selama pembuangannya di Makassar ia sempat dijenguk oleh pangeran Pangeran Hendrik. Di bawah ini adalah surat Pangeran Hendrik
kepada orang tuanya Raja Willem III ketika mengunjungi Pangeran Diponegoro 07 Maret 1837, di Benteng Rotterdam, Makasar. Dalam
sebagian isi suratnya, ia mengatakan beberapa hal berikut.

“Saya sadar akan menghadapi resiko, tetapi kejujuran sejarah harus dibuka.

Semua orang tahu bahwa Diponegoro telah memberontak terhadap kami. Tapi cara penangkapnya, menurut hemat saya, adalah suatu
aib atas pamor kami orang Belanda. Memang benar ia seorang pemberontak, tetapi ia datang untuk mengakhiri perang yang telah
menelan begitu banyak korban [di kedua belah pihak] dan dia mengandalkan kesetiaan kepada kejujuran Belanda untuk bernegosiasi
dengan dia dengan tulus. Lalu ia tertangkap atas perintah Jenderal de Kock. Saya percaya bahwa ini akan mengakibatkan suatu
malapetaka besar bagi kita dalam hal moral, karena jika kami sampai harus berperang lagi di Jawa salah satu akibat akan terjadi: atau
kami atau orang Jawa akan dikalahkan, karena tak seorang pun petinggi pribumi akan sudi lagi untuk berurusan dengan kami - tidak
hanya disini di Jawa tapi dimana-mana.”

31
Enam tahun sebelum kematiannya, duka menyelimuti sang Pangeran. Maret 1849 putra kedua Pangeran Diponegoro yang berusia 14
tahun, Raden Mas Sarkumo, meninggal setelah beberapa waktu sakit. Ia dimakamkan di sebidang tanah kecil milik pemerintah Belanda
di Kampung Melayu. Kesedihan ini nampak pada surat yang ditulis oleh Diponegoro untuk mendiang anaknya. Peristiwa duka ini
langsung membuat Pangeran berpikir sejenak agak jauh. Saat itu ia berusia kepala enam, tubuhnya kian lemah oleh penderitaan dan
hidup melarat di pengasingan akibat perang, rasanya tinggal menghitung bulan.

32
Ajal pun menjemput Sang Pangeran pada 8 Januari 1855. Persis saat matahari terbit, pukul 06.30 pagi, Sang Pangeran tutup usia.

Pemakaman itu dilaksanakan “dengan hak-hak penuh menurut agama Islam dan dengan penghormatan yang pantas sesuai martabatnya
yang terlahir sebagai bangsawan...dan sesuai keinginan almarhum, agar ia dimakamkan...dekat pusara putra keduanya Sarkumo.”

Makam Sang Pangeran itu dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama: Kuburan Sultan Jawa.

33
Selain berhasil menyingkirkan Pangeran Diponegoro hingga wafatnya, Belanda juga membidik Pakubuwono VI. Belanda menangkap
Pakubuwono VI dan mengirimkannya ke Ambon, Maluku, sebagai orang buangan, pada 8 Juni 1830. Pakubuwono VI cukup lama
menjalani kehidupan di tanah pengasingan hingga akhirnya wafat pada 2 Juni 1849. Menurut laporan resmi Belanda, Pakubuwono VI
tewas dalam kecelakaan di laut. Kejanggalan atas penyebab kematian Pakubuwono VI baru terungkap ketika kuburannya dibongkar
untuk dipindahkan ke makam raja-raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta, pada 1957. Ditemukan, ada lubang di dahi tengkorak
Pakubuwono VI, seukuran peluru senapan. Temuan mengejutkan itu tak pelak mengarah kepada dugaan kuat bahwa Pakubuwono VI
meninggal dunia bukan karena kecelakaan, tapi lantaran luka tembak. Presiden Republik Indonesia menetapkan Susuhunan
Pakubuwono VI sebagai pahlawan nasional melalui surat keputusan tertanggal 17 November 1964.

34
Dengan selesainya Perang Diponegoro yang melegenda itu, maka tidak ada lagi perlawanan di Tanah Jawa. Tidak ada lagi hak milik yang
dipertahankan kecuali tahta sebagai penguasa tradisional yang bersama-sama dengan pemerintah Belanda menjaga stabilitas dan
kemakmuran bersama. Jawa menghadapi situasi baru, hubungan dengan pemerintah kolonial menjadi hubungan yang saling
membutuhkan.

Setelah era Perang Jawa berakhir, petani-petani Jawa kian tercekik dengan kebijakan tanam paksa.

Jawa telah terkunci seluruhnya.

35

Anda mungkin juga menyukai