Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH FARMAKOTERAPI II

“GERD”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK II

SUGI AS MIRA (O1A116064)

AFIFAH AGRI ARYANA (O1A117002)

ARNIKA SEPTIA (O1A117009)

DARSIA (O1A117012)

FITRIA NURCAHYANI (O1A117021)

MUHAMMAD NUZUL ARKHAM (O1A117033)

NURAENUN RASYID (O1A117043)

KELAS A

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami ucapkan kehadirat ALLAH SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah mengenai studi kasus.
Makalah ini dibuat sebagai tugas mata kuliah Farmakoterapi II, makalah ini kami buat dengan maksimal
dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu,
kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu makalah ini
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan kekeliruan, baik dari
segi penulisan, tata bahasa, serta penyusunannya. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun, guna menjadi bekal pengalaman kami untuk menjadi lebih baik di masa yang akan datang.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih.
Kendari, 10 Maret 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................................................i

Daftar Isi.................................................................................................................................ii

Bab I Pendahuluan...................................................................................................................1

A. Latar Belakang...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................2
C. Tujuan....……....……………………………………………………….............................2
D. Manfaat.........................................................................................................................2

Bab II Pembahasan..................................................................................................................3

A. Definisi GERD dan Epidemiologi..................................................................................3


B. Patofisiologi dan Patogenesis.........................................................................................4
C. Tanda, Gejala, dan Diagnosis.........................................................................................6
D. Klasifikasi GERD..........................................................................................................8
E. Terapi Non Farmakologi dan Farmakologi...................................................................10
F. Tata Laksana Terapi.....................................................................................................15

Bab III Penutup......................................................................................................................25

A. Kesimpulan..................................................................................................................25

Daftar Pustaka.......................................................................................................................27

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah suatu kondisi refluks HCL dari gaster ke
esofagus, mengakibatkan gejala klinis dan komplikasi yang menurunkan kualitas hidup seseorang.
GERD merupakan salah satu jenis gangguan pencernaan yang cukup sering dijumpai di masyarakat
sehingga dapat menurunkan kualitas hidup (Ndraha, 2016). Angka prevalensi GERD di Amarika Selatan
yaitu 23,%, Amerika Utara yaitu 18,1%-27,8%, Australia 11,6%, Eropa yaitu 8,8%-25,9%, Asia Timur
2,5%-7,8% dan Indonesia didapatkan peningkatan prevalensi GERD dari 5,7% pada tahun 1997 sampai
25,18% pada tahun 2002 Jenis kelamin laki-laki dan perempuan mempunyai risiko yang sama, hal ini
terjadi akibat gejala GERD tidak mudah dibedakan dengan penyakit lambung lainnya sehingga
perbedaannya harus lebih dicermati. Ciri khas gejala utama dari timbulnya GERD jika pasien
mengalami heartburn (rasa terbakar di dada yang kadang disertai rasa nyeri dan pedih) dan regurgitasi
(rasa asam dan pahit di lidah) (Chaidir, 2013).
Studi di Indonesia menyebutkan bahwa prevalensi GERD meningkat akhir-akhir ini. melaporkan
prevalensi GERD di Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo meningkat dari 5,7% pada tahun 1997
menjadi 25,18% pada tahun 2002. Studi lain yang dikemukakan oleh Sijabat, dkk.4 menemukan bahwa
karakteristik yang paling banyak dari GERD di Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo adalah esofagitis
grade A, pasien wanita, dan rerata usia 48,61 tahun (simpang baku [SB] 8,64 tahun), serta terdapat
korelasi antara obesitas atau obesitas abdomen dan GERD erosif. Sedangkan, data epidemiologi di
Amerika menunjukkan 1 dari 5 orang dewasa memiliki gejala refluks esofagus berupa heartburn dan
atau regurgitasi asam lambung sekali dalam seminggu. Data tersebut juga menunjukkan bahwa lebih
dari 40% di antaranya memiliki gejala–gejala tersebut sedikitnya sekali dalam sebulan. Sementara di
Asia, prevalensi bervariasi antara 3-5%.3,4
Komplikasi dari GERD terdiri atas komplikasi esofagus dan ekstra esofagus. Komplikasi di
esofagus yang dapat ditemukan berupa perdarahan, striktur, perforasi, Barret’s esophagus (BE), dan
kanker esofagus. Sedangkan, komplikasi di luar esofagus meliputi sakit tenggorokan, tonsilofaringitis,
sinusitis, laringitis, karies dentis, pneumonia, dan asma bronkial.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Nyeri dada ternyata bukan saja disebabkan oleh karena kelainan jantung,nyeri dada dapat disebabkan
karena naiknya asam lambung kekerongkongan penyakitnya kita sebut GERD (gastroesofageal reflux
disease). Pasien dengan GERD bisa datang karena nyeri dada dan bisa merasakan rasa panas didada seperti
terbakar (heart burn) biasanya nyeri dada ini diikuti juga dengan mulut pahit karena ada asam yang naik
(regurgitasi). Berdasarkan hasil endoskopi GERD dibagi menjadi 2: GERD dengan erosi yaitu ditemukan
adanya luka pada bagian bawah kerongkongan dan jika tidak ditemukan kelainan pada kerongkongan
bawah disebut non erosive reflux disease (NERD).
GERD dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Hal ini terjadi karena asam lambung atau isi lambung
yang naik dapat menyebabkan luka pada dinding dalam kerongkongan awalnya hanya perlukaan (erosi),
luka yang terjadi bisa makin luas dan bisa menyebabkan penyempitan dari kerongkongan bawah. Bahkan
GERD dapat menyebabkan perubahan struktur dari dinding dalam kerongkongan menyebabkan terjadinya
penyakit Barrett’s yang merupakan lesi pra kanker. Diluar saluran cerna, asam lambung yang tinggi dapat
menyebar ke gigi (erosi dental), tenggorokan (faringitis kronis), sinus (sinusitis), pita suara (laringitis),
saluran pernafasan bawah (asma) bahkan sampai paru- paru (Fibrosis paru Idiopatik) .
GERD adalah singkatan dari Gastroesophageal Reflux Disease yaitu penyakit yang timbul akibat ada
reflux (aliran membalik) isi lambung ke esofagus (pipa saluran pencernaan).
Faktor yang berperan terjadinya gejala GERD ialah : Melemahnya fungsi LES, Efek iritasi oleh asam
lambung, Terlambatnya pengosongan isi lambung, Peninggian tekanan dalam perut.Faktor risiko terjadinya
GERD ialah : Hiatus hernia, Obesitas, Kehamilan, Pola hidup tak sehat seperti merokok atau pecandu
alkohol, Obat tertentu seperti obat antihipertensi.

B. Epidemiologi
Penyakit refluks gastroesofagus terjadi pada orang-orang dari segala usia tetap paling umum usia
lebih dari 40 tahun. Meskipun kematian terkait dengan GERD jarang terjadi, gejala GERD mungkin
memiliki dampak signifikan pada kualitas hidup. Prevalensi dan kejadian sebenarnya sulit dinilai karena
banyak pasien tidak mencaripengobatan medis, gejala tidak selalu berkorelasi dengan baik, dan tidak ada
definisi standar atau universal untuk mendiagnosis penyakit. Namun,diperkirakan 10% hingga 20% orang
di negara-negara Barat menderita gejala GERD setiap minggu. Mulas adalah ciri khasnya. Gejala GERD
dan umumnya digambarkan sebagai substernal sensasi kehangatan atau rasa terbakar naik dari perut dan
mungkin menjalar ke leher.

5
Prevalensi GERD bervariasi tergantung pada geografis wilayah, tetapi muncul tertinggi di negara-
negara Barat.Kecuali selama kehamilan dan mungkin, tampaknya tidak ada yang utama perbedaan kejadian
antara pria dan wanita. GERD cenderung lebih umum pada wanita dan pada pasien yang kira-kira lebih
muda dari pasien yang menderita penyakit erosif. Meskipun gender umumnya tidak memainkan peran
utama dalam pengembangan GERD, itu adalah faktor penting dalam pengembangan Barrett esofagus,
komplikasi GERD di mana epitel skuamosa normal diganti dengan epitel kolumnar khusus. Barrett
esofagus paling banyak terjadi pada pria dewasa kulit putih di Barat negara. Kehadiran Barrett's esophagus
meningkatkan risiko adenokarsinoma kerongkongan. Faktor risiko lain dan komorbiditas yang dapat
berkontribusi pada perkembangan atau memburuknya GERD gejala termasuk riwayat keluarga, obesitas,
merokok, konsumsi alkohol, obat dan makanan tertentu, penyakit pernapasan, dan dada rasa sakit (Dipiro
dkk., 2008).

C. Patofisiologi
Patofisiologi GERD dikaitkan dengan cacat dalam transien relaksasi Les, clearance asam
esofagus dan buffering anatomi, pengosongan lambung, resistensi mukosa, dan dengan paparan mukosa
esofagus untuk faktor agresif (asam lambung, Pepsin, dan garam empedu) yang mengarah kerusakan
esophagus.
Faktor utama dalam pengembangan GERD adalah refluks abnormal isi lambung dari perut ke
kerongkongan.Dalam beberapa kasus, gastroesophageal refluks dikaitkan dengan cacat yang lebih
rendah esofagus sfingter (LES) tekanan atau fungsi. Pasien mungkin memiliki Penurunan tekanan
sfingter gastroesophageal terkait dengan (a) spontan Les sementara relaksasi, (b) peningkatan sementara
dalam Complicated atau (c) LES atonis, yang semuanya dapat menyebabkan pengembangan
gastroesophageal refluks. Masalah dengan normal lain mekanisme pertahanan mukosa, seperti faktor
anatomi, kerongkongan Clearance, mukosa perlawanan, lambung pengosongan, epidermal faktor
pertumbuhan, dan buffering air liur, juga dapat berkontribusi pada pengembangan GERD. Faktor agresif
yang dapat mendorong kerongkongan kerusakan saat refluk ke dalam kerongkongan termasuk asam
lambung, Pepsin, asam empedu, dan enzim pankreas. Dengan demikian komposisi dan volume
refluxate, serta lamanya paparan, faktor penting dalam menentukan konsekuensi dari gastroesophageal
refluks. Rejimen terapi rasional dalam pengobatan gastroesophageal refluks dirancang untuk
memaksimalkan normal mekanisme pertahanan mukosa dan melemahkan faktor agresif. (Dipiro dkk.,
2008).

6
D. Tanda, Gejala, Diagnosis (tingkat keparahan) atau Klasifikasi Penyakit
1) Tanda dan Gejala GERD
Tanda tanda dari tukak peptic yaitu:
a. Merasa seperti ada makanan yang tersangkut di dalam kerongkongan, sulit menelan, serta cegukan
b. Mengalami sensasi panas seolah terbakar di dada (heartburn), yang bisa menyebar sampai ke leher
c. Sakit atau nyeri pada dada
d. Timbul rasa asam atau pahit di mulut
e. Ada cairan atau makanan yang naik dari dalam perut ke bagian mulut
f. Masalah pernapasan, seperti batuk kronis dan asma
g. Suara serak
h. Sakit tenggorokan
Gambaran klinis utama GERD timbul rasa seolah terbakar di dada dan kerongkongan, karena
lapisan kerongkongan tersebut mengalami iritasi. Sebenarnya, asam lambung normalnya bisa naik
setelah makan, dan hanya terjadi dalam waktu yang cukup singkat alias tidak akan lama.Jangan
khawatir, karena kenaikan asam lambung yang normal tersebut jarang muncul selama Anda tidur. Akan
tetapi, kenaikan asam lambung yang sebenarnya normal ini dapat berubah menjadi penyakit GERD
ketika gejalanya sering muncul. Misalnya sekitar 2-3 kali atau saat timbul luka pada kerongkongan.
Seseorang dinyatakan mengalami GERD adalah ketika mengalami kenaikan asam lambung ringan
selama 2 kali seminggu, atau kenaikan asam lambung berat hingga minimal seminggu sekali.

2) Diagnosis dan Klasifikasi Peyakit


Kriteria inklusi yang digunakan yaitu berdasarkan diagnosis yang didapatkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan kriteria diagnostik GERD dari endoskopi menurut kriteria Los Angeles selama
tahun 2016.

(Taringan dan Bogi, 2019).

7
Kategori 1
Tidak ada gejala GERD
1. Tanda objektif refluks : Tes pH (jika sudah) negative > positif (5%)
2. Visible CLE : Tidak diketahui tanpa endoskopi; sedikit tetapi tidak ada prevalensi
nol
3. Risiko terkena adenocarsinoma : Sangat sedikit tetapi tetap ada kemungkinan
4. Pengobatan : Tidak ada

Kategori 2
Clinical GERD, dapat diatasi dengan PPI
1. Gejala : Dapat diatasi dengan PPI
2. Tes empiris PPI : Positif atau negative
3. Tanda objektif refluks : Tes pH positif (jika sudah) positif> negatif (30%)
4. Visible CLE : Tidak diketahui tanpa endoskopi; prevalensi ~5%
5. Risiko terkena adenocarsinoma : Rendah tetapi lebih tinggi daripada kategori 1
6. Pengobatan : PPI untuk mengontrol gejala

Kategori 3
Clinical GERD, kurang baik diatasi dengan PPI
1. Gejala : Kurang dapat dikontrol dengan PPI
2. Tes empiris PPI : Positif atau negative
3. Tanda objektif refluks : pH positif > negative (30%)
4. Endoskopi : Normal; esofagitis erosif; visible CLE (10% + prevalensi)
5. Risiko terkena adenocarsinoma : Rendah tetapi lebih tinggi dripada kategori 1 dan 2
6. Pengobatan : PPI dengan dosis dan frekuensi yang maksimum.

Kategori 4
Barrett Esophagus (visible CLE dengan Intestinal Metaplasia)
1. Gejala : Bisa tidak ada; jika ada bisa kurang dapat dikontrol atau dapat
dikontrol dengan PPI
2. Tanda objektif refluks : Tes pH (jika sudah) positif>negative (<10%)
3. Risiko terkena adenocarsinoma : 0.2% - 0.5% setiap tahun
4. Pengobatan : Pengawasan dengan endoskopi; dan terapi PPI untuk mengontrol
gejala.
8
Kategori 4
Adenocarcinoma
1. Gejala : Bisa tidak ada; jika ada bisa kurang dapat dikontrol atau dapat
dikontrol dengan PPI; disfagia
2. Tanda objektif refluks : Tes pH (jika sudah) positif > negative (<10%)
3. Pengobatan : Endoterapi ketika kanker awal ditemukan selama pengawasan
Bareett (15%); radikal untuk kanker stadium lanjut.
(Departement of Internasional Medicine, 2014).

3) Presentasi klinis
Pasien dengan GERD dapat menunjukkan gejala yang digambarkan sebagai :
a. Alarm tipikal
b. Atipikal; aau
c. Tabel 34–2 merangkum masing-masing dari presentasi klinis GERD ini.
Tingkat keparahan gejala refluks gastroesofagus tidak selalu berkorelasi dengan esofagitis, tetapi
berkorelasi dengan durasi redanya. Pasien dengan penyakit nonerosive mungkin memiliki gejala parah
seperti yang dengan temuan endoskopi. Penting untuk membedakan gejala-gejala GERD dari penyakit
lain, terutama saat sakit dada atau gejala paru-paru hadir Menariknya, hampir setengah dari pasien
datang dengan nyeri dada yang memiliki elektrokardiogram normal mengalami GERD. Demikian pula,
sekitar setengah dari pasien asma menderita GERD. Pasien dengan asma (terutama asma nokturnal)
yaitu kurang responsif terhadap terapi medis standar harus dievaluasi untuk menentukan apakah GERD
berkontribusi pada gejalanya. Paru gejala timbul dari iritasi langsung pada saraf vagus ketika asam
refluks bersentuhan dengan mukosa esofagus, menyebabkan bronkospasme (teori refleks) atau, lebih
jarang, dari aspirasi dari refluks ke paru-paru, menyebabkan iritasi kimia manifest sebagai pneumonia
atau fibrosis paru (teori refluks).
Seperti yang disebutkan sebelumnya, pasien yang dirawat tidak cukup untuk GERD dapat terus
mengembangkan komplikasi dari asam jangka paparan panjang. Gejala refluks jangka panjang dan
berulang yang tidak diobati dengan tepat dapat menyebabkan pengembangan kerongkongan Barrett dan
mungkin merupakan faktor risiko independen untuk pengembangan adenokarsinoma esofagus. Dapat
terjadi striktur esophagus pada pasien dengan disfagia. Namun gejala-gejala tersebut dapat terjadi pada
kelainan kerongkongan lain seperti divertikulum esofagus, akalasia, obstruksi, spasme esofagus,

9
esophagus infeksi, scleroderma, dan keganasan. Kehadiran alarm gejalaharus diselidiki lebih lanjut
untuk membedakan penyakit yang lain sebagai penyebabnya

(Dipiro dkk., 2008).

4. Tata Laksana Terapi


1. Tujuan Terapi
Tujuan penatalaksanaan GERD adalah mengurangi atau menghilangkan gejala refluks, mengurangi
kekambuhan atau lama penyakit GERD, mempercepat penyembuhan mukosa esofagus, serta mencegah
komplikasi.
2. Strategi Terapi
a) Terapi Non-Farmakologi
1. Modifikasi Gaya Hidup
Pengobatan nonfarmakologis GERD yaitu dengan memperbaiki gaya hidup.

10
Pasien obesitas/overweight direkomendasikan untuk menurunkan berat badan. Elevasi kepala
saat tidur dan menghindari posisi berbaring setelah makan <3 jam bagi pasien dengan gejala refluks
di malam hari. Hindari makanan berlemak, asam, pedas, cokelat, kopi, minuman bersoda, kurangi
rokok, dan alkohol serta menghindari pakaian ketat juga dapat disarankan pada pasien.
Mengubah gaya hidup dan diet terdiri dari langkah awal dalam mengelola pasien dengan
GERD. Strategi harus didiskusikan dengan pasien dan disesuaikan dengan kebutuhan spesifiknya.
Kurangnya bukti sampai saat ini menunjukkan bahwa meskipun banyak pasien mungkin mendapat
manfaat dari modifikasi ini, mereka tidak mungkin untuk sepenuhnya meringankan gejala pada
sebagian besar pasien. Modifikasi gaya hidup ditujukan untuk mengurangi paparan asam dalam
esofagus dengan meningkatkan tekanan LES (tekanan dari perut ke tenggorokan), mengurangi
tekanan intragastrik, meningkatkan asam esophagus pembersihan, dan menghindari agen spesifik
yang mengiritasi kerongkongan mukosa. Ada bukti yang mendukung beberapa modifikasi itu
mengurangi paparan dan gejala asam lambung esofagus.
a. Ini termasuk menaikkan kepala tempat tidur 6 hingga 8 inci dengan menggunakan blok di bawah
kaki tempat tidur atau menggunakan irisan busa bukannya bantal tradisional.
b. Penurunan berat badan, yang juga menurunkan intra-lambung tekanan.

11
c. Menghindari makan besar dalam waktu 3 jam sebelum tidur atau berbaring di posisi terlentang
juga dapat mengurangi gejala.
d. Pasien dengan gejala GERD harus menghindari makanan dan minuman diketahui memicu gejala.
e. Memakai pakaian yang longgar
f. Menghindari makan makanan pedas yang dia tahu akan memperburuk gejalanya.
g. Menghindari makan setidaknya 3 jam sebelum tidur
h. Faktor makanan dan gaya hidup yang memicu gejala dan tindakan mana yang paling efektif
dalam menghilangkan gejalanya.
i. Berhenti merokok dan menghindari konsumsi makanan yang dapat memicu gejala GERD
(contoh: coklat, jeruk). Meskipun bukti fisiologis menunjukkan bahwa alkohol, coklat, jeruk,
makanan berlemak, atau rokok bisa saja berpengaruh negatif pada pH esofagus, namun belum
ada bukti yang menunjukkan perbaikan klinis gejala GERD bila konsumsi makanan-minuman
tersebut dihentikan.
b) Terapi Farmakologi

1) Medikamentosa
Terapi penghambat produksi asam merupakan pilar utama penatalaksanaan penyakit refluks
esofageal. Proton pump inhibitor (PPI) paling cepat menghilangkan gejala dan memulihkan
kerusakan mukosa. PPI diberikan 30-60 menit sebelum makan pertama kali di pagi hari untuk
mencapai efek supresi asam maksimal. Dosis terapi medikamentosa bergantung pada spektrum
penyakit refluks gastreoesofageal yang dialami.
2) Sindrom Simtomatik

12
Terapi inisial dengan PPI diberikan sekali sehari dengan dosis standar (Omeprazole 1x 20
mg: Lanzoprazole 1 x 30 mg; Pantoprazole 1x 40 mg; Rabeprazole 1x 20 mg; atau Esomeprazole
1x 40 mg). Terapi inisial diberikan 4 minggu, namun bila pasien tidak menunjukkan perbatkan
kan lebih dari 4 minggu. Dosis PPI dua kali sehari (pagi dan sore/malam) diberikan bila pasien
mengalami gejala refluks yang menggang gu di malam hari atau bila pasien tidak menunjukkan
respon setelah terapi hingga 8 minggu.
Bila di kemudian hari terjadi kekambuhan, terapi inisial dapat diulang kembali lalu
dilanjutkan dengan terapi on-demand, atau langsung diberikan terapi on-demand. Terapi on-
demand adalah terapi yang diberikan bila pasien mengalami gejala saja. Terapi on-demand
diberikan sekali sehari selama 5-14 hari. Bila terapi tetap gagal, rujuk pasien untuk pemeriksaan
endoskopi dan pemeriksaan penunjang lain.

Curiga penyakit refluks gastroesofageal

>40 tahun tanda baaya (disfagia, anemia, BB turun,


odinofagis, hematemesis/melana, riwayat keganasan
lambung/esofagus dikeluarga, konsumsi NSAID kronik

Tidak Ya

Terapi inisial PPI. 4 minggu, Investigasi lanjutan


1-2x sehari (nilai dalam 2-4 (endoskopi, biopsi) dan tes
minggu) H.pylori

Tidak ada perbaikan

Kambuh berulang
Hentikan terapi

Kambuh

Ulangi terapi inisial PPI Terapi on demand

3) Esofagitis
Terapi inisial berupa PPI dua kali sehari selama 6-8 minggu. Setelah itu terapi dilanjutkan
dengan terapi pemeliharaan (setengah dosis standar, sekali sehari) hingga 4 bulan pada esofagitis
sedang-berat, atau terapi on-demand pada esofagitis ringan.
4) Penyakit Barret
Terapi dengan PPI dua kali sehari dalam jangka lebih panjang dari esofagitis.
13
5) Sindrom Ekstraesofageal
Berikan terapi PPI dua kalí sehari dosis standar selama 4 bulan. Sindrom ekstraesofageal
merupakan kondisi multifaktorial, sehingga terapi untuk refluks biasanya tidak memperbaiki
keseluruhan gejala.
6) Terapi Medikamentosa selain PPI
Antagonis reseptor H2 diberikan 15-30 menit sebelum makan, dan dapat digunakan untuk
mengobati gejala refluks yang ringan dan jarang. Dosis standar simetidin 1x 800 mg atau 2 x 400
mg; Ranitidin 2 x 150 mg; Farmotidin 2 x 20 mg; Nizatidin 2 x 150 bantu penyembuhan
esofagitis, berikan dua kali dosis standar.
Antasida bermanfaat untuk meringankan gejala refluks namun tidak bermanfaat
menyembuhkan kerusakan mukosa. Awitan kerja antasida dapat terjadi dalam 5 menit
memberikan perlindungan 60-90 menit sehingg diberikan 4x sehari.
Prokinetik diberikan sebagai tambahan terhadap PPI untuk mengurangi waktu transit
esofagus dan memperpendek waktu terpajannya esofagus dengan cairan lambung. Agen
prókinetik yang digunakan dapat berupa metoklopramid 3 x 10 mg atau domperidon 3x 10 mg.
1. Berhenti merokok karena dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung
mempengaruhi sel-sel epitel.
2. Menurunkan berat badan serta menghindari pakaian ketat.
3. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi, dan bersoda.

Terapi farmakologi
Terapi inisial dengan PPI omeprazoledilanjutkan (dikonsumsi 2 x sehari). Hal tersebut dilakukan
untuk menghilangkan gejala dan memulihkan kerusakan mukosadan dilakukan investigasi lanjutan
(endoskopi, biopsi) dan tes H. Pylori. Setelah itu, diberikan terapi yang sesuai berdasarkan hasil tes
lanjutannya. Untuk obat-obat DM tipe 2 dan hipertensi tetap dikonsumsi.
Informasi obat omeprazole:

Indikasi tukak lambung, tukak duodenum, GERD, hipersekresi


patologis (misal; sindroma zollinger ellison)

Kontra indikasi hipersensitif terhadap omeprazole

Peringatan pesien dengan penyakit hati, kehamilan dan menyusui

Efek samping urtikaria, mual dan muntah, konstipasi, kembung, nyeri


abdomen, lesu, paraesteria, nyeri otot dan sendi,

14
pandangan kabur, edema perifer, perubahan hematologik,
mulut kering.

Interaksi obat Menghambat absorbsi ketoconazole dan itraconazole.


Meningkatkan kadar warfarin, diazepam, cyclosporin dan
phenitoin dan phenytoin.
Menurunkan kadar imipramin, beberapa antipsokotik dan
teofilin.

Dosis Tukak lambung dan duodenum : dosis awal 1 x 20 mg/


hari selama 4-8 minggu dapat ditingkatkan menjadi 40
mg/hari pada kasus berat atau kambuh.

Sediaan Kapsul 20 mg: contral, dudencer, inhipump, locev,


pumpitor, zollocid, OMZ, ozid, socid, rocer, zolacap.
Sediaan injeksi (vial) 40 mg: inhimump, OMZ, ozid,
pumpitor, rocer, stomacher-40.

KASUS

15
Seorang pria umur 45 tahun BB 105, TB 180 cm datang ke klinik mengeluh rasa terbakar di dada,
regurgitasi dan susah menelan makanan. Saat ini mengkonsumsi omeprazole 20 mg setiap pagi dalam satu
bulan terakhir tanpa perbaikan. Riwayat alergi ramipril dengan manifestasi susah bernapas dan bibir
bengkak. Riwayat penyakit dyslipidemia, DM tipe 2 dan hipertensi sudah 20 tahun yang seluruhnya
terkontrol oleh pengobatan. Bekerja sebagai satpam di sekolah dasar dan hidup dengan istri dan seorang
putrinya yang masih remaja. Dia juga perokok sebanyak 2 setengah bungkus per hari.
Riwayat pengobatan metformin 500 mg dua kali/hari, HCT 12,5 mg/hari, amlodipine 10 mg/hari,
atorvastatin 20 mg/hari saat mau tidur.
Hasil pemeriksaan fisik, VS; TD 125/72 mmHg, Nadi 82/menit, Pernapasan 16kali/menit, Suhu
0
37 C.
Pertanyaan:
1. Apa simtom yang menunjukkan GERD dan termasuk dalam klasifikasi apa GERD pasien?
2. Apa faktor risiko yang dapat memperburuk/berkontribusi terhadap kondisi GERD pasien?
3. Bagaimana terapi non farmakologi dan farmakologi pada pasien? Apakah omeprazole tetap akan
digunakan atau tidak

1. INDENTITAS PASIEN
TUAN X, berumur 45 Tahun, BB 105 kg, TB 180 cm,

2. RIWAYAT SOSIAL
Berprofesi satpam disebuah sekolah dasar, Perokok aktif sebanyak 2 setengah bungkus

3. RIWAYAT PENYAKIT
Dyslipidemia, DM tipe 2 dan hipertensi sudah 20 tahun

4. DATA LAB
No Jenis Hasil Keterangan
Pemeriksaan
1. Tekanan darah 125/72 Nomal
2. Nadi 82/menit Tidak normal
3. Pernapasan 16 kali/menit Normal
4. Suhu tubuh 37OC Normal

Interpretas data lab


a. Tekanan darah
tekanan darah pasien berdasarkan JNC 7 masih dalam kategori normal, adapun berdasarkan umur
dan jenis kelamin pasien juga masih dalam rentang normal.

16
Seperti yang diketahui dalam kasus pasien mengalami hipertensi selama 20 tahun dan terkontrol
dalam pengobatan, adapun obat yang digunakan adalah amlodipin 10 mg/hari.
b. Denyut nadi
pasien berada dalam rentang dibawah rata-rata yang mana kategori denyut nadi yang sangat baik
adalah 57-62/permenit. Untuk tekanan darah pasien masih bisa dikatakan normal akan tetapi
untuk denyut jantungnya tidak normal, hal ini dipengaruhi oleh riwayat pasien yang mengalami
hipertensi dan penggunaan obat antihipertensi (amlodipine) serta aktivitas sehari-hari pasien yang
dapat meningkatkan denyut jantung, adapun aktivitas sehari-hari itu berupa pekerjaan pasien
sebagai satpam sekolah dasar.

c. Frekuensi pernapasan
Pasien berada dalam kategori normal berdasarkan rentang umurnya.

17
d. Suhu tubuh
suhu tubuh pasien normal, apabila suhu tubuhnya ≥39OC dikatakan tidak normal atau dalam
kondisi demam.

5. RIWAYAT PENGOBATAN
Metformin 500 mg dua kali/ hari, HCT 12,5 mg/hari, Amlodipine 10 mg/ hari, Atorvastatin 20 mg/
hari saat mau tidur

6. RIWAYAT ALERGI
Obat Ramipril dengan manifestasi susah bernapas dan bibir bengkak

7. TATA LAKSANA TERAPI


a. Tujuan Terapi
untuk meringankan gejala, meningkatkan penyembuhan esophagus, mencegah terulangnya,
memberikan farmakoterapi yang efektif biaya, dan menghindari komplikasi jangka panjang.

b. Strategi Terapi

18
1. Terapi terpilih
a. Terapi non farmakologi
Dengan mungubah pola hidup menjadi pola hidup sehat, dengan cara kurangi mengonsumsi
makanan yang dapat memperburuk GERD misalnya kopi, minuman berkafein, bawang putih,
bawang merah dan cabai
b. Terapi farmakologi
Dengan menggunakan obat golongan PPI yang di kombinasikan dengan obat golongan H2RaS

c. Alasan pemilihan obat


1. Obat golongan PPI
Obat terpilih : Omeprazole
Salah satu cara pengobatan penyakit GERD yaitu dengan terapi penekanan asam. Obat ppi
dapat menghambat asam lambung dengan menghambat kerja enzim yang memecah K+H+
ATPase menjaddi energi untuk mengeluarkan asam lambung. Pilihan terapi ini sudah
sesuai dengan algoritma terapi paien GERD dengan tinggat keparahan rendah-sedang.

2. Obat golongan H2RaS


Obat terpilih : Omeprazole
PPI jika di kombinasikan dengan obat golongan H2RaS maka kerjanya lebih efektif

d. Uraian obat
Nama obat: omeprazole
Golongan PPI (pompa proton inhibitor)
Brand name Contral, dudencer, inhipump, gastrofer
Indikasi Tukak lambung, tukak duodenum, GERD,
hipersekresi patologis (misal: sindroma
Zolliiger Ellison)
Kontaindikasi Hipersensitif terhadap obat ini
Peringatan Gangguan fungsi hati, kehamilan, menyusui.
Efek samping Urtikaria, mual dan muntah, komplikasi,
kembung, nyeri abdomen, lesu, paraestesia,
nyeri otot dan sendi, pandangan kabur,
edema perifer, perubahan hematologik,
perubahan enzim hati dan gangguan fungsi
hati, depresi, mulut kering
Interaksi  Intraconazole, ketoconazole :
menurunkan absorbsi GI itraconazole
dan kotoconazole ; penanganan interaksi:
hindari kombinasi jika dimungkinkan,
berikan itrazonazol dengan minuman
asam (cola)
 Warfarin, diazepam, cylosporin dan
phenytoin: meningkatkan kadar obat-
obat tersebut
19
 Impramin, teofilin dan beberapa
antipsikotik: menurunkan kadar obat-
obat tersebut
Bentuk  Kapsul 20 mg
sediaan  Injeksi vial 40 mg
Dosis  Tukak lambung dan duodenum: dosis
awal 1 x 20 mg/ hari selama 4-8 minggu
dan dosis pemeliharaan 1 x 20 mg/ hari
 Eradaksi H. pylori: 20 mg
 Refluks gastroeksofageal: 1 x 20 mg/
hari selama 4 - 8 minggu
 Sindroma zollinger ellison: 1 x 60 mg/
hari
Harga obat Gastrofer: bubuk untuk injeksi (vial) 40 mg x
1 + 10 mL pelarut (115.000,00/ boks)

Nama Obat : Ranitidin


Golongan obat: Antagonis H2 reseptor
Brand name Acran, Anitid
Indikasi Tukak lambung, tukak duodenum, refluks
esofagitis, hipersekresi patologis (misal
sindroma zillinger ellison)
Kontaindikasi Penderita yang hipersensitif terhadap obat
ini atau golongan obat ini
Peringatan Gangguan ginjal, gangguaan hati, hamil
dan menyusui
Efek samping  SSP: sakit kepala, malaise, pusing,
mengantuk, insomnia, vertigo, agitasi,
depresi, halusinasi
 Kardiovaskular: aritmia seperti
takikardia, bradikardia, blok
atrioventrikular
 GI: konstipasi, diare, mual, muntah,
nyeri perut
 Muskuloskeletal: mialgia, atralgia
 Hematologik: leukopenia,
trombositopenia
 Reaksi hipersensitivitas
Interaksi  Antasid: penggunaan bersamaan dapat
mengurangi bioavaibilitas ranitidin;
penanganan interaksi: berikan ranitidin
berselang 2 jam setelah antasid
 Ketokonazole: mengurangi absorbsi
GI ketokonazole; penanganan

20
interaksi: hindari kombinasi jika
dimungkinkan, berikan asam glutamat
HCl 680 mg 15 menit sebelum
ketokonazole
 Warfarin: meningkatkan atau
menurunkan waktu protombin
Bentuk  Tablet/ kaplet 150 mg, 300 mg
sediaan  Sediaan injeksi ampul 25 mg/mL
Dosis  Ulkus peptikum dan duodenum: 150
mg 2 kali sehari (pagi dan malam) atau
300 mg/ hari sesudah makan atau
sebelum tidur selama 4-8 minggu;
dosis pemeliharaan 150 mg pada
malam hari sebelum tidur
Harga obat 500,00-1000,00/tab 150 mg

DAFTAR PUSTAKA

21
Dipiro, J.T., Marie A.C.B., dan Terryl S., 2013, Pharmacoterapy Principles and Practice Fourth Edition, MC
Graw Hill Edition : New York.

Santika, Y.,N., Desnita, R., dan Yuswar, A., M., 2019, Evaluasi Penggunaan Obat Tukak Peptik Pada Pasien
Tukak Peptik di Instalasi Rawat Inap RSUD Sultan Syarif Mohammad Alkadrie Pontianak, Majalah
Farmasi, Vol.15 (1).

Santika, Y.,N., Desnita, R., dan Yuswar, A., M., 2019, Evaluasi Penggunaan Obat Tukak Peptik Pada Pasien
Tukak Peptik di Instalasi Rawat Inap RSUD Sultan Syarif Mohammad Alkadrie Pontianak, Majalah
Farmasi, Vol.15 (1).

22

Anda mungkin juga menyukai