Anda di halaman 1dari 30

RESUME SKENARIO 5

BLOK 16

Oleh:
Tutorial B

Dini Cynthia Dewi 162010101002


Ihdhar Nur Shidqi 162010101105
Wahyu Indah Lestari 162010101010
Endiningtyas C. 162010101011
Almas Fahrana 162010101025
Danang Tejamukti 162010101030
Karisma Adya P. 162010101033
Sus Faradila Yusmi 162010101034
Fadila Farah Diba 162010101043
Auraria Ramadhani 162010101073
Yuna Annisa Salsabila 162010101095
Alfian Zulkifli R. 162010101099
M. Elvinsyah Zidane 162010101104
Berlin Istiqoma 162010101121
Endang Pratiwi 162010101123

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
SKENARIO 5
Jatuh Terpeleset

Wanita 75 th, jatuh terpeleset di lantai rumah karena licin, saat jatuh tangan kanan menahan
badan, dan dalam posisi duduk. Dibawa ke IGD karena mengeluh pergelangan tangan dan punggung sakit,
pasien juga tidak bisa menggerakkan tungkai kiri karena sakit .
Dari pemeriksaan dokter jaga didapatkan, tekanan darah 160/90 mmHg, denyut nadi 94 x/menit,
frekuensi napas 22 x/menit. Pergelangan tangan bengkok seperti sendok disertai nyeri, tungkai bawah
external rotasi disertai nyeri pangkal paha, dan punggung bawah dirasakan nyeri hebat sehingga penderita
tidak mampu untuk duduk. Kemudian dokter jaga mengusulkan beberapa pemeriksaan penunjang yang
dibutuhkan.
LEARNING OBJECTIVE
1. Osteoporosis
2. Osteoarthritis
3. Rheumatoid arthritis
4. Paget disease
5. Scorbut
6. Hipervitaminosis
7. Gout arthritis
8. Riketsia

1. Osteoporosis
a. Pengertian
Osteoporosis adalah penyakit tulang yang ditandai dengan menurunnya massa tulang
(kepadatan tulang) secara keseluruhan akibat ketidak mampuan tubuh dalam mengatur
kandungan mineral dalam tulang dan disertai dengan rusaknya arsitektur yang akan
menyebabkan penurunan kekuatan tulang yang dalam hal ini adalah pengeroposan tulang,
sehingga beriko mudah terjadinya patah tulang.
b. Etiologi
Penyebab osteoporosis adalah adanya gangguan pada metabolisme tulang. Pada keadaan
normal, sel-sel tulang yaitu sel pembangun (osteoblast) dan sel pembongkar (osteoklas)
bekerja silih berganti, saling mengisi, seimbang sehingga tulang menjadi utu. Apabila kerja
osteoklas melebihi osteoblast, maka kepadatan tulang menjadi kurang dan akhirnya keropos.
Metabolisme tulang dapat terganggu oleh beberapa kondisi diantaranya :
- Berkurangnya hormon estrogen
- Berkurangnya asupan kalsium dan vit D
- Efek samping beberapa jenis obat
- Minuman beralkohol, merokok , dll
c. Klasifikasi
Osteoporosis terbagi menjadi 3 yaitu :
1. Osteoporosis primer, terbagi menjadi dua
a. Osteoporosis primer tipe 1 adalah kehilangan massa tulang yang terjadi sesuai
dengan proses penuaan, yaitu akibat kurangnya estrogen, yakni umumnya pada
wanita yang telah mengalamai menopause, dan akibat kekurangan testostero,
yakni andropouse pada pria yang berarti kurangnya produksi hormone
testosterone.
b. Osteoporosis primer tipe 2 : sering disebut osteoporosis senil atau penuaan.
2. Osteoporosis sekunder
Osteoporosis jenis ini dipengaruhi oleh adanya penyekit yang mendasari, akibat obat-
obatan dan lain saebagainya. Pada osteoporosis sekunder terjadi penurunan densitas
tulang yang cukup berat.
3. Osteoporosis idiopatik
Osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya dan ditemukan pada usia kanak-kanak
(juvenile), usia remaja (adolesen) dan pada pria usia pertengahan.
d. Epidemiologi
Prevalensi osteoporosis pada wanita trendnya meningakat seiring bertambahnya usia, hal
ini disebabkan karna menopause, dimana kadar hormone estrogen yang turun. Pada laki-laki
trendnya meningkat seiring bertambahnya usia, akan tetapi tidak sebesar pada perempuan.
Ada tiga tempat yang rawan osteoporosis diantaranya adalah tulang belakang, tulang pangul,
tulang pergelangan.
e. Factor risiko, dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Factor resiko dapat dirubah
a. Kurangnya aktifitas fisik
b. Asupan kalsium rendah
c. Kurangnya paparan sinar matahari
d. Kurangnya asupan vit D
e. Kunsumsi minuman tinggi kafein dan alcohol
f. Kebiasaan merokok
2. Factor resiko tidak dapat dirubah
a. Riwayat keluarga
b. Jenis kelamin perempuan
c. Usia
d. Ras ASIA dan keukasia
e. Ukiuran badan
f. Pemeriksaan penujang: dilakukan dengan rontgen untuk mengindetifikasi keretakan
tulang.
g. Pencegahan
1. Cukupi asupan kalsium
2. Cuupi asupan vit D
3. Hidup aktif dengan melakukan aktifitas fisik
4. Hindari merokok, minuman ber alcohol
5. Jika ada riwayat dalam keluarga maka lakukan tes dini
h. Penatalaksanaan osteoporosis :
1. Bisfosfonat, contoh: disodium etidronat, alendronat dan disodium pamidronate.
 Mekanisme kerja : bisfosfonat menghambat dan secara potensial menghancurkan
osteoklas, yang bertanggung jawab terhadap mobilisasi kalsium dari tulang.
Diberikan secara oral, parenteral.
 Indikasi : pencegahan osteoporosis pasca menoupose dan osteoporosis akibat
kortikosteroid, dan untuk penanganan keganasan dengan hiperkalsemia.
 Kontraindikasi : gangguan ginjal, hipokalsemia.
 Efek samping : mual, reaksi esofagus (denagn preparat oral), hipokalsemia
2. Garam kalsium, contoh: kalsium glukonat dan kalsium laktat.
 Mekanisme kerja : suplemen kalsium mengantikan defisiansi kalsium. Diberikan
secara oral, intravena.
 Indikasi : hipokalsemia, defisiensi kalsium, osteoporosis.
 Kontraindikasi : hiperkalsemia
 Efek samping : gangguan gastrointestinal ringan, bradikardi, aritmia.
 Catatan terapeutik : jika kalsium diberikan secara parenteral, kalsium serum harus
dimonitor secara berulang.
3. Vitamin D, dapat diberikan dalam bentuk inaktif sebagai ergokalsiferal atau dalam
bentuk aktifnya kalsitriol.
 Mekanisme kerja : vitamin D bekerja pada usus untuk mengabsorpsi kalsium dari
diet. Pemberian secara oral, parenteral.
 Indikasi : defisiensi vitamin D, hipokalsemia sekunder karena hipoparatiroidisme,
gagal ginjal dan osteoporosis pasca menoupose.
 Kontra indikasi : hiperkalsemia
 Efek samping : gejala overdosis antara lain anoreksia, kelelahan, mual dan
muntah, penurunan berat badan, hiperkalsemia.
 Catatan terapeutik : kalsium serum harus dimonitor ketat ketika terapi vitamin D
dimulai, dan jika gejala hiperkalsemia muncul.
4. Kalsitonin
 Mekanisme kerja: kalsitonin bekerja dengan berikatan pada reseptor spesifik pada
osteoklas menghambat mobilisasinya dari tulang, dan bekerja pada ginjal untuk
membatasi reabsorpsi kalsium dari tubulus proksimal. Diberikan secara subkutan
atau iintramuskular.
 Indikasi : hiperkalsemia, penyakit paget tulang, nyeri tulang pada penyakit
neoplastic.
 Kontraindikasi : hari-hati padariwayat alergi atau ganguan ginjal
 Efek samping : mual, muntah, flushing, diare, kesemutan pada tangan .
5. Moderator reseptor estrogen selektif
 Obatnya disebut reloksifen
 Mekanisme kerja : reloksifen mempunyai sifat estrogen antaonistik (endometrium
uterus dan jaringan payudara) dan agonistic (tulang dan metabolisme lemak).
Diberikan secara oral.
 Indikasi : pengobatan dan pencegahan osteoporosis [asca menopause.
 Kontraindikasi : riwayat tromboembolisme vena, perdarahan uterus tidak
terdiagnosis, gangguan hepar atau ginjal berat, kehamilan, menyusui.
 Efek samping : tromboembolisme vena, tromboflebitishot flush, kram tungkai,
edema perifer, gejala flu-like.
 Catatan terpeutik :obat ini dapat mengurangi incidens kanker payudara positif
reseptor estrogen dan kejadian kardiovaskular tetapi belum ada bukti yang jelas
mengenai hal ini.
6. Obat masa depan
 Denosumab diizinkan untuk digunakan pada osteoporosis perempuan pasca
menopause dengan resiko fraktur. Saat ini dipertimbangkan untuk digunakan pada
laki-laki yang mendapatkan terapi ablasi hormon untuk kanker prostat. Telah
dibuktikan sama efektifnya dengan bifosfonat dalam pengobatan penurunan massa
tulang dan hanya diberikan secara subkutan setiap 6 bulan.

2. Osteoarthritis
a. Definisi
Osteoartirits merupakan penyakit degenerative pada persendian yang disebabkan oleh
beberapa faktor. Osteoarthritis mempunyai karakteristik berupa terjadinya kerusakan pada
kartilago. Kartilagi merupakan suatu jaringan keras bersifat licin yang melingkupi sekitar
bagian akhir tulang keras di dalam persendian, berfungsi sebagai penghalus gerakan antar
tulang dan sebagai shock absorber pada saat sendi melakukan aktivitas atau gerakan.
b. Faktor Risiko
1. Usia: risiko meningkat dengan bertambahnya usia.
2. Jenis  kelamin:  wanita  lebih  berisiko  dibandingkan  laki‐laki,  penyebabnya belum
jelas.
3. Obesitas:  semakin  berat  tubuh  Anda,  semakin  besar  tekanan  pada  sendi, sendi
akan menjadi lebih rapuh. Selain itu, jaringan lemak juga menghasilkan protein yang
menyebabkan inflamasi pada sendi.
4. Trauma:  trauma  saat  berolahraga  atau  kecelakaan  dapat  meningkatkan risiko
radang sendi.
5. Pekerjaan:  jika  pekerjaan  Anda  membuat  tekanan  pada  sendi,  secara bertahap
sendi akan meradang.
6. Genetik: beberapa orang terkena radang sendi karena keturunan.
7. Malformasi  skeletal:  orang  dengan  kelainan  kongenital (sendi  atau  tulang) atau
kelainan tulang rawan lebih berisiko OA.
8. Penyakit lain: diabetes atau rematik seperti penyakit asam urat dan artritis rematoid
meningkatkan risiko osteoarthritis.
c. Patofisiologi, terbagi ke dalam 3 fase yaitu:
1. Fase pertama: terjadi penguraian proteolitik pada matriks kartilago, metabolism
kondrosit terpengaruh dan terjadi peningkatan produksi enzim metalloproteinase.
Kondrosit juga memproduksi penghambat protease yang akan mempengaruhi
proteolitik. Kondisi ini bermanifestasi pada penipisan kartilago.
2. Fase kedua; terjadi fibrilasi dan erosi pada permukaan kartilago disertai adanya
pelepasan proteoglikan dan fragmen kolagen ke dalam cairan synovia. Kondisi ini
bermanifestasi pada terjadinya destruksi kartilago.
3. Fase ketiga: terjadi penguraian produk kartilago yang menginduksi respon inflamasi
pada synovia. Produksi makrofag seperti IL-1, TNF-, dan metalloproteinase
meningkat sehingga terjadi perubahan arsitektur sendi.
d. Manifestasi klinis bersifat progresif. Persendian terasa kaku dan nyeri jika digerakkan,
mulanya hanya terjadi pada pagi hari, tetapi jika dibiarkan akan bertambah buruk.
Kemudian akan terjadi penurunan Range of Motion (ROM), adanya pembengkakan atau
peradangan pada persendian, serta adanya kelelahan yang menyertai rasa sakit pada
persendian.
e. Pemeriksaan fisik, ditemukan:
 Look: adanya deformitas sendi, deformitas tulang, perubahan kesejajaran
(malalignment) disertai pembesaran sendi, dan tanda-tanda peradangan pada sendi
 Feel: adanya krepitus, spasme otot periarticular
 Move: adanya keterbatasan ROM
f. Terapi:
 Konservatif:
- Edukasi untuk menurunkan tekanan berulang pada sendi (misalnya dengan tidak
mengangkat beban melebihi 10% dari berat badan pasien) dan menurunkan berat
badan
- Kompres hangat untuk mnegurangi rasa nyeri
 Medikamentosa:
- NSAID
- Muscle relaxant
- Injeksi glukokortikoid intraarticular

3. Artritis rematoid
A. Definisi
Artritis reumatoid merupakan penyakit inflamasi kronis sistemik yang ditandai dengan
pembengkakan dan nyeri sendi, serta destruksi membran sinovial persendian. Artritis
reumatoid dapat menyebabkan terjadinya disabilitas berat. Artritis reumatoid lebih sering
terjadi pada perempuan daripada laki-laki dengan rasio 3:1. Insidens tertinggi ditemukan pada
usia 20-45 tahun.
B. Epidemiologi
RA adalah bentuk arthritis autoimun yang paling umum. Ini mempengaruhi lebih dari 1,3
juta orang Amerika. Sekitar 75% pasien RA adalah wanita. Faktanya, 1-3% wanita mungkin
menderita rheumatoid arthritis dalam hidup mereka. Penyakit ini paling sering dimulai antara
usia 30 dan 50 tahun. Namun, RA dapat mulai pada usia berapa pun.
C. Etiologi dan Faktor Risiko
Artritis reumatoid terjadi akibat adanya predisposisi genetik, terutama HLA-DR4 dan
HLA-DR1, yang menimbulkan reaksi imunologis pada membran sinovium. Selain pengaruh
genetik, faktor risiko artritis reumatoid yang lain adalah kemungkinan infeksi bakteri, virus,
dan kebiasaan merokok.
D. Manifestasi Klinis, dapat dibagi menjadi dua kategori sebagai berikut.
1. Manifestasi reversibel berkaitan dengan inflamasi sinovium.
 Kekakuan sendi di pagi hari
 Dapat ditemukan tanda sinovitis, seperti kemerahan, bengkak, panas, dan nyeri.
2. Manifestasi irrversibel akibat penipisan kartilago sendi dan erosi tulang periartikler.
Gejala dapat muncul sesuai predileksi sendi.
 Vertebra servikalis: kekakuan segmen leher, berkurangnya lingkup gerak sendi
 Bahu: berkurangnya lingkup gerak sendi hingga terjadi kekakuan bahu berat
(frozen shoulder syndrome)
 Siku: dapat ditemukan sinovitis artikulasio kubiti yang bermanifestasi sebagai
parestesi digiti IV dan V
 Tangan: tenosinovitis, carpal tunnel syndrome
 Panggul: keterbatas range of motion (ROM)
 Lutut: penebalan sinovial
 Kaki dan pergelangan kaki:nyeri, spasme otot, parestesi telapak kaki
E. Diagnosis
Kriteria diagnostik artritis reumatoid menurut American Rheumatism Association
mencakup tujuh poin berikut.
1. Kaku pada pagi hari di persendian atau sekitarnya sekurang-kurangnya 1 jam
2. Timbul artritis pada 3 daerah persendian atau lebih yang timbul secara bersamaan
3. Terdapat artritis minimal pada 1 persendian tangan
4. Terdapat artritis yang bersifat simetris
5. Ditemukan nodul reumatoid berupa nodul subkutan
6. Faktor reumatoid serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis yang menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi
tulang yang berlokasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi

Diagnosis artritis reumatoid ditegakkan jika ditemukan setidaknya kriteria 1 sampai 4


yang dialami minimal 6 minggu.

RA juga dapat didiagnosis dengan menggunakan Sinar-X, tetapi hasilnya mungkin normal
pada artritis dini. Bahkan jika normal, sinar-X awal mungkin berguna kemudian untuk
menunjukkan apakah penyakit ini berkembang. MRI dan pemindaian ultrasound dapat
dilakukan untuk membantu mengkonfirmasi atau menilai tingkat keparahan RA.
F. Tata Laksana
Tujuan tata laksana artritis reumatoid adalah menghilang inflamasi, mencegah deformitas,
mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut.
1. Obat anti inflamasi non steroid, diberikan sejak awal munculnya gejala inflamasi sendi
2. Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARDs) untuk mengontrol penyakit dan
mengurangi kerusakan sendi. Terapi dapat dilakukan secara tunggal maupun
kombinasi. Beberapa DMARDs seperti sulfasalazin, metotreksat, klorokuin sulfat, dan
leflunomid.
3. Terapi bedah ortopedi untuk memperbaiki fungsi, mobilitas, dan mengontrol nyeri.
4. Terapi ortotik dapat berupa penggunaan ortotik dan bidai.
G. Prognosis dan Komplikasi
Prognosis artritis reumatoid sangat bergantung dari waktu diagnosis dan pengobatan
dimulai. Sekitar 40% pasien artritis reumatoid mengalami hendaya dalam 10 tahun.
Komplikasi artritis reumatoid umumnya tidak fatal. Namun, penyakit ini bersifat progresif
sehingga keterbatasan dan nyeri sendi dapat semakin berat bila tidak diobati.

4. Paget disease
a. DEFINISI
Menurut (Davey, Patrick. 2006) Osteitis deformans atau yang biasa dikenal dengan
penyakit “Paget” merupakan suatu penyakit yang diakhibatkan oleh gangguan remodeling
pada tulang yang terjadi secara abnormal dengan penyebab yang belum diketahui secara jelas.
Namun diduga dikerenakan karena fungsi osteoklas yang menjadi sangat akif sehingga dapat
mengubah homeotatis normal dari remodeling tulang.
b. EPIDEMIOLOGI
Penyakit paget ini timbul pada usia manula dengan prevalensi 10% pada usia > 80 tahun
dan <0, 3% pada usia > 40 tahun dengan perbandingan pria dan wanita 3:2. Penyakit ini juga
sering dijumpai di negara-negara barat dan jarang terjadi di negara-negara Asia dan Afrika
(Davey, Patrick. 2006).
c. FAKTOR RISIKO
1. Usia. Orang yang berusia di atas 40 tahun memiliki kemungkinan lebih besar
mengalami penyakit Paget.
2. Jenis kelamin. Sejauh ini kaum pria didapati lebih sering mengalami penyakit Paget
dibandingkan wanita.
3. Keturunan dan tempat tinggal. Penyakit Paget lebih sering ditemukan di Inggris,
Skotlandia, Eropa tengah, dan Yunani, serta negara-negara yang banyak ditinggali
oleh penduduk yang berasal dari Eropa. Sebaliknya, penyakit ini jarang ditemui di
Afrika dan Asia.
4. Riwayat keluarga. Orang dengan anggota keluarga dekat yang mengalami penyakit
Paget juga memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami penyakit tersebut.
Ada empat sampai tujuh gen yang ketika rusak menyebabkan penyakit paget dengan
mutasi gen khusus atau variasi yang disebut sequestosome 1 (SQSTM1) dan gen ini
paling banyak terdapat pada laki-laki, sehingga pada laki-laki lebih berisiko terkena
penyakit paget daripada permpuan.
d. PATOFISIOLOGI
1. Pada tahap awal terjadinya peningkatan reabsorbsi tulang menyebabkan peningkatan
besar dalam turnover tulang, sehingga membentuk lesi lisis (osteoporosis
sirkumskripta)
2. Tahap lanjut terjadi stimulasi pembentukan tulang baru yang tidak proporsional, tidak
teratur, menyebabkan adanya daerah-daerah sklerosis tulang. Selain itu pembentukan
tulang yang tidak proporsional dan tidak teratur ini dapat meningkatkan kerentanan
terjadinya fraktur pada tulang

Remodeling tulang secara cepat yang kronis pada akhirnya akan membuat tulang yang
terkena menjadi besar dan lunak. Struktur tulang baru yang kacau, rapuh dan
lemah menyebabkan deformitas kontur eksternal maupun internal disertai rasa nyeri.
Biasanya penyakit paget terdapat pada satu atu beberapa bagian skeleton (bagian yang paling
sering terkena adalah vertebra lumbo sakral, tulang kranium, pelvis, femur, dan tibia) tetapi
kadang-kadang terjadi deformitas skletal yang tersebar luas (Kowalak, 2011). Penyakit ini
biasa diderita oleh lansia > 55 tahun dan terjadi pada tulang - tulang penumpu bagian kanan
tubuh, khsusnya tulang-tulang vertebrate, sacrum, pelvis, dan
tulang kaki mayor, tibia dan femur.
e. MANIFESTASI KLINIS
Pada awal menderita penyakit ini gejalanya seringkali tidak dirasakan (asimtomatik)
namun biasanya hanya akan nampak pada pemeriksaan labrolatorim (peningkatan fostase
alkali), dan seiring dengan berjalannya waktu klien akan mengalami gejala-gejala simtomatik
yang tergantung dari tulang yang tekena paget, adapun manifestasi klinis yang biasanya
terjadi adalah
1. Sakit tulang, sendi nyeri atau kaku, dan sakit leher
2. Kaki membengkok dan memiliki kelainan bentuk lainnya yang tampak jelas
3. Sakit kepala
4. Pendengaran berkurang
5. Tinggi badan berkurang
6. Kulit hangat di sekitar tulang yang terpengaruh. (Hallosehat.com. 2016)
f. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Rontgen tulang/ x-ray: menunjukkan adanya peningkatan kepadatan tulang,
penebalan, pembengkokan dan pertumbuhan berlebih
2. Bone scan 
Sangat membantu dalam menentukan tingkat keterlibatan penyakit Paget karena
menyediakan gambar dari kerangka keseluruhan. Tulang yang terkena
penyakit Paget dengan mudah dapat diidentifikasi dengan gambar pemindaian tulang.
Dalam scan tulang, sejumlah zat radioaktif yang aman disuntikkan ke pembuluh vena
seseorang. Substansi masuk melalui aliran darah dan "memperlihatkan" kerangka di mana
penyakit Paget menyerang.
3. Pemeriksaan darah (peningkatan serum alkalin fosfatase).
Tes ini merupakan tes yang pertama kali dilakukan ketika seseorang terdiagnosis
penyakit paget dimana darah mengandung serum alkalin fosfat (SAP) melebihi kadar
normal. SAP adalah jenis enzim yang dibuat oleh sel-sel tulang yang diproduksi
berlebihan oleh pagetic bone. Tingkat SAP untuk seseorang yang berusia 60 atau lebih tua
biasanya berkisar antara 20 hingga 120 unit, tergantung pada laboratorium penguji yang
digunakan.
4. Pemeriksaan urin
Dapat digunakan untuk memantau respons seseorang terhadap pengobatan untuk
penyakit tersebut. Dalam tes ini, sampel urin seseorang dianalisis untuk keberadaan zat
yang disebut Bone maker. Zat-zat ini memberikan informasi tentang resorpsi tulang -
proses pemecahan dan pengambilan tulang oleh tubuh. Salah satu zat tersebut adalah N-
telopeptide.
5. Biopsi tulang
Dalam kasus yang jarang terjadi, biopsi (sampel kecil jaringan yang diambil untuk
analisis) diambil dari tulang yang diduga memiliki penyakit Paget. Biopsi tulang
dilakukan ketika gambar x-ray tidak mengkonfirmasi ada tidaknya penyakit.
g. PENATALAKSANAAN
1. Medis (medikamentosa dan pembedahan)
1) Bifosfonat
Bifosfonat akan menekan atau menurunkan resorpsi tulang yang disebabkan oleh
aktivitas osteoklas. Obat ini berikatan dengan Kristal Hidroksiapatit pada permukaan
tulang yang baru dideposit, pemberian dosis tinggi dalam jangka panjang menghambat
pembentukan tulang baru, begitu pula resorbsi tulang. Obat bifosfonat umumnya
diberikan dalam jangka waktu 6 bulan. Obat ini juga mempunyai efek samping yaitu
dapat mengiritasi saluran gastrointestinal, seperti:
a. Alendronate (Fosamax)
b. Ibandronate (Boniva)
c. Pamidronate (Aredia)
d. Risedronate (Actonel)
e. Zoledronic acid (Zometa, Reclast)

Adapun cara pemberian dari bifosfonat sendiri dapat diberikan secara oral dan IV
seperti: Alendronate diberikan dengan dosis 40 mg/hari selama 6 bulan. Risedronate
30 mg/hari selama 2 bulan, tiludronate 400 mg/hari selama 3 bulan dan Etidronate
200-400 mg/hari selama 6 bulan, Pamidronat bisa diberikan sebagai infuse intravena
tunggal sampai mencapai 60mg.
2) Kalsitonin (Miacalcin)
Kalsitonin (Miacalcin) diberikan secara subkutan adalah yang paling banyak
digunakan injeksi dengan dosis 50-100 IU per subkutan per hari, obat ini mencegah
aktifitas osteoklastik dan bisa digunakan untuk meringankan gejala, kalsitonin aman
namun sering timbul efek samping, termasuk mual, muka memerah, rasa tidak
nyaman, dan nyeri ditempat suntikan
3) Plikamisin
Plikamisin (Mithrachin), suatu antibiotik sitotoksik, diberikan pada pasien dengan
gangguan neurologis atau bagi mereka yang resisten terhadap terapi yang lain. Obat
ini memiliki efek pada pengurangan nyeri, pada kalsium serum, alkali fosfatase dan
kadar hidroksiprolin urine. Diberikan secara infus intra vena dan perlu pemantauan
fungsi hepar, ginjal dan sumsum tulang selama terapi. Namun untuk saat ini
plikamisin jarang digunakan karena toksisitas pada hati, ginjal dan tulang.
4) Operasi
Operasi ini jarang dilakukan pada klien dengan penyakit paget kecuali klien tersebut
mengalami kondisi progressive bowing tibia atau femur, delayed union fraktur, fraktur
tidak stabil, arthritis refrakter, adapun tujuan operasi adalah
a) Membantu pemulihan patah tulang agar posisinya lebih baik
b) Memperbaiki kerusakan sendi akibat arthritis
c) Membebaskan saraf yang terjepit
d) Memperbaiki kelainan tulang yang terjadi
e) Meringankan nyeri lutut.
2. Non-medis
1) Pencegahan jatuh
Klien dengan penyakit paget sangat rentan mengalami fraktur, sehingga apabila klien
yang mengalami paget ini terjatuh maka dapat meningkatkan risiko jatuh dan
memperparah penyakit, sehingga modifikasi lingkungan (membuat lantai rumah agak
kasar/ diberikan peganggan pada kamar mandi, dll) dan memakaikan tongkat/ alat
bantu jalan pada klien dapat memperkercil terjadinya resiko jatuh.
2) Makan makanan yang baik
Pastikan diet mengandung kadar kalsium dan vitamin D yang cukup, yang membantu
tulang menyerap kalsium. Hal ini sangat penting jika kllien mengonsumsi
bifosfonat. Tinjau pola makan dengan dokter agar penyakit dapat ditangani dengan
baik
3) Berolahraga secara teratur
Olahraga teratur sangat penting untuk mempertahankan mobilitas sendi dan kekuatan
tulang. Bicarakan dengan dokter rehab medic dan fisioterapi sebelum memulai
program latihan untuk menentukan jenis, durasi, dan intensitas latihan yang
tepat. Beberapa kegiatan dapat menyebabkan terlalu banyak tekanan pada tulang yang
terkena.
h. KOMPLIKASI
1. Fraktur, sarcoma osteogenik (namun jarang terjadi)
2. Komplikasi kardiovaskuler: cardiac output yang meningkat dapat menyebabkan gagal
jantung/ penyakit jantung iskemik, Gagal jantung akibat kebutuhan aliran darah yang
tinggi pada tulang yang mengalami remodeling
3. Komplikasi neurologis: kompresi saraf kranial, tuli konduktif (karena osifikasi tendon
stapedius/ kompresi N: VIII) dan stenosis spinal
4. Lain-lain: termasuk hiperkalsemia atau hiperkalsiuria yang dapat menjadikan sebagai
penyumbang batu ginjal, Gagal nafas akibat deformitas tulang thoraks

5. Scorbut
a. Definisi
Skorbut atau scurvy adalah suatu penyakit langka yang terjadi pada saat tubuh kekurangan
vitamin C. Vitamin C atau asam askorbat tidak dapat diproduksi oleh tubuh sehingga perlu
asupan secara rutin dan cukup dari makanan. Vitamin C sangat penting bagi tubuh karena
berfungsi untuk membantu pembuatan kolagen. Kolagen merupakan protein yang terdapat
pada berbagai jaringan tubuh, seperti kulit, tulang, dan pembuluh darah. Tanpa keberadaan
vitamin C yang cukup, serat kolagen dalam tubuh tidak dapat diperbaiki sehingga dapat
memicu kerusakan jaringan tubuh. Kerusakan jaringan inilah yang memicu munculnya
skorbut pada seseorang.

b. Penyebab Skorbut
Penyebab utama skorbut pada seseorang adalah kekurangan vitamin C kronis. Jika
seseorang mengalami kekurangan vitamin C, maka regenerasi kolagen akan terganggu. Tanpa
pembentukan serat kolagen, jaringan tubuh akan mengalami kerusakan secara perlahan.
Terdapat beberapa hal yang dapat memicu seseorang mengalami skorbut sehingga terjadi
kekurangan asupan vitamin C yaitu:
 Ketergantungan obat.
 Kebiasaan minum minuman beralkohol.
 Mengalami gangguan mental kompleks, seperti skizofrenia dan depresi berat.
 Menjalani kehamilan atau sedang menyususi sehingga membutuhkan asupan vitamin
lebih banyak.
 Menjalani fad diet, yaitu diet yang tidak sehat dan tidak seimbang dengan tujuan
menurunkan berat badan secara instan.
 Merokok.
 Memiliki penyakit yang mengganggu penyerapan nutrisi, seperti kolitis ulseratif
atau penyakit Crohn.
 Menderita anoreksia nervosa, yaitu suatu kelainan mental pada seseorang yang
menyebabkan dirinya selalu berpikir akan mengalami kenaikan berat badan pada saat
makan sehingga hanya makan dengan jumlah sedikit.
 Menjalani pengobatan yang dapat menimbulkan mual sehingga kehilangan nafsu
makan. Contohnya adalah pengobatan kemoterapi.
 Berusia lanjut. Lansia yang sulit menjaga pola makan sehat dan seimbang berisiko
terkena skorbut.
c. Gejala Skorbut
Gejala skorbut tidak akan tampak secara jelas pada awal terjadinya kekurangan vitamin C.
Gejala seringkali muncul setelah seseorang mengalami kekurangan vitamin C kronis selama 3
bulan. Pada orang dewasa, gejala skorbut yang dapat diamati adalah:
 Merasa lelah dan letih sepanjang waktu.
 Munculnya bintik biru kemerahan pada kulit. Bintik biru kemerahan yang muncul
seringkali terjadi pada tempat munculnya rambut (folikel rambut pada kulit). Rambut
yang tumbuh pada daerah tersebut seringkali berbentuk keriting dan mudah rontok.
Jika tidak diobati, bintik ini dapat menyatu dan membesar.
 Sering uring-uringan.
 Nyeri pada anggota gerak badan, terutama pada tungkai.
 Pembengkakan pada gusi serta mudah mengalami perdarahan.
 Nyeri sendi parah akibat perdarahan pada sendi.
 Sesak napas, terutama setelah melakukan aktivitas berat.
 Kulit mudah lebam.
 Bekas luka yang memerah dan membengkak.
Jika tidak ditangani dengan baik, skorbut dapat menyebabkan permasalahan lain
seperti jaundice (ditandai dengan menguningnya kulit dan bagian putih bola mata), edema,
dan penyakit jantung.
Pada anak-anak atau balita, gejala skorbut yang dapat diamati antara lain adalah:
 Kurang nafsu makan.
 Mudah tersinggung.
 Penambahan berat badan lambat.
 Diare.
 Demam.
Jika gejala skorbut pada anak-anak sudah semakin parah, dapat muncul gejala tambahan
sebagai berikut:
 Nyeri dan pembengkakan pada kaki yang dapat terasa sangat sakit, terutama jika
celana atau popok mereka sedang diganti.
 Mata yang nampak menonjol k
 Munculnya bintik biru kemerahan seperti gejala skorbut pada orang dewasa.
d. Diagnosis Skorbut
Metode pemeriksaan paling mudah untuk mendiagnosis skorbut adalah melalui studi
laboratorium terhadap kandungan vitamin C di dalam tubuh. Kandungan vitamin C yang
dapat dianalisis adalah kandungan vitamin C pada plasma darah dan leukosit. Selain itu, studi
radiologi juga dapat membantu mendiagnosis apakah seseorang terkena skorbut atau tidak.
 Studi kandungan vitamin C plasma darah. Studi ini dilakukan dengan mempuasakan
pasien, kemudian mengambil sampel darah dan menganalisis plasma darah untuk
menentukan kandungan vitamin C. Perbedaan kandungan vitamin C dalam plasma darah
dapat dijelaskan sebagai berikut:
o Kandungan vitamin C kurang dari 0,1 mg/dL menunjukkan terjadinya skorbut
pada pasien.
o Kandungan vitamin C kurang dari 0,2 mg/dL menunjukkan terjadinya defisiensi
vitamin C pada pasien.
o Kandungan vitamin C 0,2-0,3 mg/dL menunjukkan kadar vitamin C yang rendah.
o Kandungan vitamin C di atas 0,3 mg/dL menunjukkan pasien memiliki kadar
vitamin C yang cukup.
 Studi kandungan vitamin C leukosit. Studi kandungan vitamin C pada leukosit dapat
memberikan hasil yang lebih akurat dikarenakan berhubungan langsung dengan
kandungan vitamin C di jaringan. Selain itu, kandungan vitamin C di dalam leukosit tidak
dipengaruhi oleh ritme tubuh harian ataupun perubahan asupan vitamin C dari makanan.
Nilaikandungan vitamin C dalam leukosit dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
o Kandungan vitamin C 0 mg/dL menunjukkan skorbut laten.
o Kandungan vitamin C 0-7 mg/dL menunjukkan pasien mengalami defisiensi
vitamin C.
o Kandungan vitamin C 8-15 mg/dL menunjukkan kadar vitamin C yang rendah
dalam jaringan.
o Kandungan vitamin C di atas 15 mg/dL menunjukkan jaringan sudah
mendapatkan vitamin C dalam jumlah cukup.
 Studi radiologi. Studi radiologi dapat membantu diagnosis skorbut pada anak-anak, yaitu
dengan melihat keadaan tulang dan sendi. Seringkali, pada tulang anak-anak yang
menderita skorbut, muncul gejala sebagai berikut:
o Pengangkatan tulang bagian subperiosteal.
o Adanya dislokasi dan patah tulang.
o Reabsorpsi pada rongga-rongga tulang yang menyebabkan pembesaran rongga.
e. Pengobatan Skorbut
Skorbut dapat diatasi dengan mudah dengan memberikan suplemen vitamin C kepada
penderita. Vitamin C termasuk zat yang mudah diserap dan dapat meredakan gejala skorbut
dengan cepat. Kebanyakan penderita skorbut dapat sembuh dari gejala skorbut dalam waktu
sekitar dua minggu. Setelah gejala-gejala skorbut mereda, penderita skorbut harus selalu
menjaga pola makannya agar asupan vitamin C tetap terjaga. Jika asupan vitamin C terjaga
dengan baik, penderita skorbut tidak perlu lagi mengonsumsi suplemen vitamin C.
Penderita yang mengalami skorbut akibat suatu kelainan atau penyakit, perlu
mendapatkan penanganan lain sesuai yang direkomendasikan oleh dokter spesialis di
bidangnya, seperti:
 Dokter spesialis gizi, jika dicurigai skorbut yang terjadi akibat pola makan yang tidak
seimbang.
 Dokter spesialis saluran pencernaan, jika dicurigai skorbut yang muncul karena adanya
penyakit pada saluran pencernaan, seperti penyakit Crohn.
 Psikolog, jika dicurigai skorbut yang muncul disebabkan faktor psikologis.
Untuk menjaga agar asupan vitamin C tetap cukup, berikut ini adalah kadar minimum
konsumsi vitamin C yang disarankan oleh Food and Nutrition Board of the National Academy
of Sciences:
 Bayi usia 0-6 bulan: 40 mg. Usia 7-12 bulan: 50 mg.
 Anak-anak usia 1-3 tahun: 15 mg. Usia 4-8 tahun: 25 mg.
 Laki-laki usia 9-13 tahun: 45 mg. Usia 14-18 tahun: 75 mg. Usia 19-70 tahun: 90 mg.
 Perempuan usia 9-13 tahun: 45 mg. Usia 14-18 tahun: 65 mg. Usia 19-70 tahun: 75
mg.
 Wanita hamil dengan usia di bawah 18 tahun: 80 mg. Hamil dengan usia 19-50
tahun: 85 mg.
 Wanita menyusui dengan usia di bawah 18 tahun: 115 mg. Menyusui dengan usia
19-50 tahun: 120 mg.
Pada pasien yang menderita gangguan absorpsi nutrisi, dokter akan memberikan vitamin C
dalam bentuk suntikan dengan dosis 100 mg sekali pakai.
f. Pencegahan Skorbut
Metode pencegahan skorbut paling efektif adalah dengan menjaga asupan vitamin C
sesuai dengan rekomendasi. Beberapa makanan yang kaya akan vitamin C adalah:
 Jeruk.
 Lemon.
 Stroberi.
 Jambu batu.
 Buah kiwi.
 Pepaya.
 Tomat.
 Wortel.
 Brokoli.
 Kentang.
 Bayam.
 Kol.
Vitamin C mudah rusak oleh suhu panas dan lamanya penyimpanan. Oleh karena itu
sangat dianjurkan untuk mengonsumsi buah atau sayuran sumber vitamin C dalam keadaan
yang masih segar agar kandungannya tetap terjaga.
6. Gout artritis
a. Definisi
Artritis gout adalah penyakit yang sering ditemukan dan tersebar di seluruh dunia. Artritis
gout atau dikenal juga sebagai artritis pirai, merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai
akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat di
dalam cairan ekstraseluler. Gangguan metabolisme yang mendasarkan artritis gout adalah
hiperurisemia yang didefinisikan sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,0 ml/dl untuk pria
dan 6,0 ml/dl untuk wanita (Tehupeiory, 2006). Sedangkan definisi lain, artritis gout
merupakan penyakit metabolik yang sering menyerang pria dewasa dan wanita
posmenopause. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya kadar asam urat dalam darah
(hiperurisemia) dan mempunyai ciri khas berupa episode artritis gout akut dan kronis
(Schumacher dan Chen, 2008).
b. Epidemiologi
Artritis gout menyebar secara merata di seluruh dunia. Prevalensi bervariasi antar negara
yang kemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan lingkungan, diet, dan genetik
(Rothschild, 2013). Di Inggris dari tahun 2000 sampai 2007 kejadian artritis gout 2,68 per
1000 penduduk, dengan perbandingan 4,42 penderita pria dan 1,32 penderita wanita dan
meningkat seiring bertambahnya usia (Soriano et al, 2011). Di Italia kejadian artritis gout
meningkat dari 6,7 per 1000 penduduk pada tahun 2005 menjadi 9,1 per 1000 penduduk pada
tahun 2009 (Rothschild, 2013).
c. Etiologi
Etiologi dari artritis gout meliputi usia, jenis kelamin, riwayat medikasi, obesitas,
konsumsi purin dan alkohol. Pria memiliki tingkat serum asam urat lebih tinggi daripada
wanita, yang meningkatkan resiko mereka terserang artritis gout. Perkembangan artritis gout
sebelum usia 30 tahun lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita. Namun angka
kejadian artritis gout menjadi sama antara kedua jenis kelamin setelah usia 60 tahun.
Prevalensi artritis gout pada pria meningkat dengan bertambahnya usia dan mencapai puncak
antara usia 75 dan 84 tahun (Weaver, 2008). Wanita mengalami peningkatan resiko artritis
gout setelah menopause, kemudian resiko mulai meningkat pada usia 45 tahun dengan
penurunan level estrogen karena estrogen memiliki efek urikosurik, hal ini menyebabkan
artritis gout jarang pada wanita muda (Roddy dan Doherty, 2010).Pertambahan usia
merupakan faktor resiko penting pada pria dan wanita. Hal ini kemungkinan disebabkan
banyak faktor, seperti peningkatan kadar asam urat serum (penyebab yang paling sering
adalah karena adanya penurunan fungsi ginjal), peningkatan pemakaian obat diuretik, dan
obat lain yang dapat meningkatkan kadar asam urat serum (Doherty, 2009). Penggunaan obat
diuretik merupakan faktor resiko yang signifikan untuk perkembangan artritis gout. Obat
diuretik dapat menyebabkan peningkatan reabsorpsi asam urat dalam ginjal, sehingga
menyebabkan hiperurisemia. Dosis rendah aspirin, umumnya diresepkan untuk
kardioprotektif, juga meningkatkan kadar asam urat sedikit pada pasien usia lanjut.
Hiperurisemia juga terdeteksi pada pasien yang memakai pirazinamid, etambutol, dan niasin
(Weaver, 2008). Obesitas dan indeks massa tubuh berkontribusi secara signifikan dengan
resiko artritis gout. Resiko artritis gout sangat rendah untuk pria dengan indeks massa tubuh
antara 21 dan 22 tetapi meningkat tiga kali lipat untuk pria yang indeks massa tubuh 35 atau
lebih besar (Weaver, 2008). Obesitas berkaitan dengan terjadinya resistensi insulin. Insulin
diduga meningkatkan reabsorpsi asam urat pada ginjal melalui urate anion exchanger
transporter-1 (URAT1) atau melalui sodium dependent anion cotransporter pada brush border
yang terletak pada membran ginjal bagian tubulus proksimal. Dengan adanya resistensi
insulin akan mengakibatkan gangguan pada proses fosforilasi oksidatif sehingga kadar
adenosin tubuh meningkat. Peningkatan konsentrasi adenosin mengakibatkan terjadinya
retensi sodium, asam urat dan air oleh ginjal (Choi et al, 2005). Konsumsi tinggi alkohol dan
diet kaya daging serta makanan laut (terutama kerang dan beberapa ikan laut lain)
meningkatkan resiko artritis gout. Sayuran yang banyak mengandung purin, yang sebelumnya
dieliminasi dalam diet rendah purin, tidak ditemukan memiliki hubungan terjadinya
hiperurisemia dan tidak meningkatkan resiko artritis gout (Weaver, 2008). Mekanisme
biologi yang menjelaskan hubungan antara konsumsi alkohol dengan resiko terjadinya
serangan gout yakni, alkohol dapat mempercepat proses pemecahan adenosin trifosfat dan
produksi asam urat (Zhang, 2006). Metabolisme etanol menjadi acetyl CoA menjadi adenin
nukleotida meningkatkan terbentuknya adenosin monofosfat yang merupakan prekursor
pembentuk asam urat. Alkohol juga dapat meningkatkan asam laktat pada darah yang
menghambat eksresi asam urat (Doherty, 2009). Alasan lain yang menjelaskan hubungan
alkohol dengan artritis gout adalah alkohol memiliki kandungan purin yang tinggi sehingga
mengakibatkan over produksi asam urat dalam tubuh (Zhang, 2006). Asam urat merupakan
produk akhir dari metabolisme purin. Dalam keadaan normalnya, 90% dari hasil metabolit
nukleotida adenine, guanine, dan hipoxantin akan digunakan kembali sehingga akan
terbentuk kembali masing-masing menjadi adenosine monophosphate (AMP), inosine
monophosphate (IMP), dan guanine monophosphate (GMP) oleh adenine phosphoribosyl
transferase (APRT) dan hipoxantin guanine phosphoribosyl transferase (HGPRT). Hanya
sisanya yang akan diubah menjadi xantin dan selanjutnya akan diubah menjadi asam urat oleh
enzim xantin oksidase (Silbernagl, 2006).
d. Patologi
Histopatologis dari tofus menunjukkan granuloma dikelilingi oleh butir kristal
monosodium urat (MSU). Reaksi inflamasi di sekeliling kristal terutama terdiri dari sel
mononuklir dan sel giant. Erosi kartilago dan korteks tulang terjadi di sekitar tofus. Kapsul
fibrosa biasanya prominen di sekeliling tofus. Kristal dalam tofus berbentuk jarum (needle
shape) dan sering membentuk kelompok kecil secara radier (Tehupeiory, 2006). Komponen
lain yang penting dalam tofus adalah lipid glikosaminoglikan dan plasma protein. Pada artritis
gout akut cairan sendi juga mengandung kristal monosodium urat monohidrat pada 95%
kasus. Pada cairan aspirasi dari sendi yang diambil segera pada saat inflamasi akut akan
ditemukan banyak kristal di dalam lekosit. Hal ini disebabkan karena terjadi proses
fagositosis (Tehupeiory, 2006).
e. Diagnosis
Diagnosis artritis gout dilakukan sesuai dengan kriteria dari The American College of
Rheumatology (ACR) yaitu terdapat kristal urat dalam cairan sendi atau tofus dan/atau bila
ditemukan 6 dari 12 kriteria yaitu, Inflamasi maksimum pada hari pertama, serangan akut
lebih dari satu kali, artritis monoartikuler, sendi yang terkena berwarna kemerahan,
pembengkakan dan nyeri pada sendi metatarsofalangeal, serangan pada sendi
metatarsofalangeal unilateral, adanya tofus, hiperurisemia, pada foto sinar-X tampak
pembengkakan sendi asimetris dan kista subkortikal tanpa erosi, dan kultur bakteri cairan
sendi negatif. kristal-kristal asam urat berbentuk jarum baik di cairan eksraseluler maupun
intraseluler, asam urat serum, asam urat urin, ekskresi >800 mg/dl dalam diet normal tanpa
pengaruh obat, yang menunjukkan overproduksi, skrining untuk menemukan faktor resiko,
seperti urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hati, kadar glukosa dan lemak, dan hitung darah
lengkap, jika terbukti karena overproduksi, konsentrasi eritrosit hypoxantine guanine
phosporibosyl transferase (HGPRT) dan 5- phosphoribosyl-1-pyrophosphate (PRPP) terbukti
meningkat, foto sinar-X, menunjukkan perubahan kistik, erosi dengan garis tepi bersklerosi
pada artritis gout kronis. Artritis gout memiliki diagnosis banding seperti artritis septik,
psoriasis, calcium pyrophosphate deposition disease (CPPD), dan artritis rematik. Untuk
diagnosis definitif artritis gout dikonfirmasikan dengan analisis cairan sendi dimana pada
penderita artritis gout mengandung monosodium urat yang negatif birefringent (refraktif
ganda) yang juga ditelan oleh neutrofil (dilihat dengan mikroskop sinar terpolarisasi) (Setter
dan Sonnet, 2005). Analisis cairan sinovial dan kultur sangat penting untuk membedakan
artritis septik dengan artritis gout. Artritis gout cenderung tidak simetris dan faktor reumatoid
negatif, sedangkan pada artritis rematik cenderung terjadi simetris dan lebih dari 60% kasus
memiliki faktor reumatoid positif. Hiperurisemia juga sering terjadi pada penderita psoriasis
dan adanya lesi kulit membedakan kasus ini dengan artritis gout (Depkes, 2006).
f. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada penderita artritis gout adalah untuk mengurangi rasa nyeri,
mempertahankan fungsi sendi dan mencegah terjadinya kelumpuhan. Terapi yang diberikan
harus dipertimbangkan sesuai dengan berat ringannya artrtitis gout (Neogi, 2011).
Penatalaksanaan utama pada penderita artritis gout meliputi edukasi pasien tentang diet,
lifestyle, medikamentosa berdasarkan kondisi obyektif penderita, dan perawatan komorbiditas
(Khanna et al, 2012). Pengobatan artritis gout bergantung pada tahap penyakitnya.
Hiperurisemia asiptomatik biasanya tidak membutuhkan pengobatan. Serangan akut artritis
gout diobati dengan obat-obatan antiinflamasi nonsteroid atau kolkisin. Obat-obat ini
diberikan dalam dosis tinggi atau dosis penuh untuk mengurangi peradangan akut sendi
(Carter, 2006). Beberapa lifestyle yang dianjurkan antara lain menurunkan berat badan,
mengkonsumsi makanan sehat, olahraga, menghindari merokok, dan konsumsi air yang
cukup. Modifikasi diet pada penderita obesitas diusahakan untuk mencapai indeks masa
tubuh yang ideal, namun diet yang terlalu ketat dan diet tinggi protein atau rendah karbohidrat
(diet atkins) sebaiknya dihindari. Pada penderita artritis gout dengan riwayat batu saluran
kemih disarankan untuk mengkonsumsi 2 liter air tiap harinya dan menghindari kondisi
kekurangan cairan. Untuk latihan fisik penderita artritis gout sebaiknya berupa latihan fisik
yang ringan, karena dikhawatirkan akan menimbulkan trauma pada sendi (Jordan et al, 2007).
Penanganan diet pada penderita artritis gout dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu
avoid, limit, dan encourage. Pada penderita yang dietnya diatur dengan baik mengalami
penurunan kadar urat serum yang bermakna (Khanna et all, 2012). Tujuan terapi serangan
artritis gout akut adalah menghilangkan gejala, sendi yang sakit harus diistirahatkan dan
terapi obat dilaksanakan secepat mungkin untuk menjamin respon yang cepat dan sempurna.
Ada tiga pilihan obat untuk artritis gout akut, yaitu NSAID, kolkisin, kortikosteroid, dan
memiliki keuntungan dan kerugian. Pemilihan untuk penderita tetentu tergantung pada
beberapa faktor, termasuk waktu onset dari serangan yang berhubungan dengan terapi awal,
kontraindikasi terhadap obat karena adanya penyakit lain, efikasi serta resiko
potensial.NSAID biasanya lebih dapat ditolerir dibanding kolkhisin dan lebih mempunyai
efek yang dapat diprediksi (Depkes, 2006). Untuk penderita artritis gout yang mengalami
peptic ulcers , perdarahan atau perforasi sebaiknya mengikuti standar atau guideline
penggunaan NSAID. Kolkisin dapat menjadi alternatif namun memiliki efek kerja yang lebih
lambat dibandingkan dengan NSAID. Kortikosteroid baik secara oral, intraartikular,
intramuskular, ataupun intravena lebih efektif diberikan pada gout monoartritis, penderita
yang tidak toleran terhadap NSAID dan penderita yang mengalami refrakter terhadap
pengobatan lainnya (Jordan et al, 2007). Untuk mendapatkan hasil yang optimal, sebaiknya
pengobatan serangan artritis gout diobati dalam 24 jam pertama serangan, salah satu
pertimbangan pemilihan obat adalah berdasarkan tingkatan nyeri dan sendi yang terkena.
Terapi kombinasi dapat dilakukan pada kondisi akut yang berat dan serangan artritis gout
terjadi pada banyak sendi besar. Terapi kombinasi yang dilakukan adalah kolkisin dengan
NSAID, kolkisin dan kortikosteroid oral, steroid intraartikular dan obat lainnya. Untuk
kombinasi NSAID dengan kortikosteroid sistemik tidak disarankan karena dikawatirkan
menimbulkan toksik pada saluran cerna (Khanna et al, 2012). Obat golongan NSAID yang di-
rekomendasikan sebagai lini pertama pada kondisi artritis gout akut adalah indometasin,
naproxen, dan sulindak. Ketiga obat tersebut dapat menimbulkan efek samping serius pada
saluran cerna, ginjal, dan perdarahan saluran cerna. Obat golongan cyclooxigenase 2 inhibitor
(COX 2 inhibitor) seperti celecoxib merupakan pilihan pada penderita artritis gout dengan
masalah pada saluran cerna (Cronstein dan Terkeltaub, 2006).
g. Komplikasi
Menurut Rotschild (2013), komplikasi dari artritis gout meliputi severe degenerative
arthritis, infeksi sekunder, batu ginjal dan fraktur pada sendi. Sitokin, kemokin, protease, dan
oksidan yang berperan dalam proses inflamasi akut juga berperan pada proses inflamasi
kronis sehingga menyebabkan sinovitis kronis, dekstruksi kartilago, dan erosi tulang. Kristal
monosodium urat dapat mengaktifkan kondrosit untuk mengeluarkan IL-1, merangsang
sintesis nitric oxide dan matriks metaloproteinase yang nantinya menyebabkan dekstruksi
kartilago. Kristal monosodium urat mengaktivasi osteoblas sehingga mengeluarkan sitokin
dan menurunkan fungsi anabolik yang nantinya berkontribusi terhadap kerusakan juxta
artikular tulang (Choi et al, 2005). Artritis gout telah lama diasosiasikan dengan peningkatan
resiko terjadinya batu ginjal. Penderita dengan artritis gout membentuk batu ginjal karena
urin memilki pH rendah yang mendukung terjadinya asam urat yang tidak terlarut (Liebman
et al, 2007). Terdapat tiga hal yang signifikan kelainan pada urin yang digambarkan pada
penderita dengan uric acid nephrolithiasis yaitu hiperurikosuria (disebabkan karena
peningkatan kandungan asam urat dalam urin), rendahnya pH (yang mana menurunkan
kelarutan asam urat), dan rendahnya volume urin (menyebabkan peningkatan konsentrasi
asam urat pada urin) (Sakhaee dan Maalouf, 2008).
h. Prognosis
Prognosis artritis gout dapat dianggap sebuah sistem bukan penyakit sendiri. Dengan kata
lain prognosis penyakit artritis gout merupakan prognosis penyakit yang menyertainya
(Tehupeiroy, 2003). Artritis gout sering dikaitkan dengan morbiditas yang cukup besar,
dengan episode serangan akut yang sering menyebabkan penderita cacat. Namun, artritis gout
yang diterapi lebih dini dan benar akan membawa prognosis yang baik jika kepatuhan
penderita terhadap pengobatan juga baik (Rothschild, 2013). Jarang artritis gout sendiri yang
menyebabkan kematian atau fatalitas pada penderitanya. Sebaliknya, artritis gout sering
terkait dengan beberapa penyakit yang berbahaya dengan angka mortalitas yang cukup tinggi
seperti hipertensi, dislipidemia, penyakit ginjal, dan obesitas. Penyakit-penyakit ini bisa
muncul sebagai komplikasi maupun komorbid dengan kejadian artritis gout (Tehupeiroy,
2003). Dengan terapi yang dini, artritis gout dapat dikontrol dengan baik. Jika serangan
artritis gout kembali, pengaturan kembali kadar asam urat (membutuhkan urate lowering
therapy dalam jangka panjang) dapat mempengaruhi aktivitas kehidupan penderita. Selama 6
sampai 24 bulan pertama terapit artritis gout, serangan akut akan sering terjadi (Schumacher
et al, 2007). Luka kronis pada kartilago intraartikular dapat mengakibatkan sendi lebih mudah
terserang infeksi. Tofus yang mengering dapat menjadi infeksi karena penumpukan bakteri.
Tofus artritis gout kronis yang tidak diobati dapat mengakibatkan kerusakan pada sendi.
Deposit dari kristal monosodium urat di ginjal dapat mengakibatkan inflamasi dan fibrosis,
dan menurunkan fungsi ginjal (Rothschild, 2013). Pada tahun 2010, artritis gout diasosiasikan
sebagai penyebab utama kematian akibat penyakit kardiovaskuler. Analisis 1383 kematian
dari 61527 penduduk Taiwan menunjukkan bahwa individu dengan artritis gout dibandingkan
dengan individu yang memiliki kadar asam urat normal, hazard ratio (HR) dari semua
penyebab kematian adalah 1,46 dan HR dari kematian karena penyakit kardiovaskuler adalah
1,97. Sedangkan individu dengan artritis gout, HR dari semua penyebab kematian adalah
1,07, dan HR dari kematian karena penyakit kardiovaskuler adalah 1,08.

7. Hipervitaminosis
Hipervitaminosis atau kelebihan kadar vitamin dalam tubuh dapat menimbulkan gejala klinis
yang mirip dengan keracunan. Walaupun tubuh membutuhkan vitamin, namun, kelebihan vitamin
juga menimbulkan efek negative yang mengganggu bahkan berbahaya. Hipervitaminosis sendiri
lebih sering atau sebagian besar terjadi pada kelebihan golongan vitamin yang larut dalam lemak.
Hal ini karena golongan vitamin tersebutsulit untuk dieksresikan oleh tubuh, tidak seperti
vitamin-vitamin yang larut dalam air. Hipervitaminosis sangat jarang terjadi karena kelebihan
konsumsi makanan, seringkali hal ini terjadi pada orang-orang yang mengkonsumsi suplemen
dengan dosis dan cara yang salah . Hipervitaminosis vitamin A dan D dapat mempengaruhi
kondisi tulang.
Kadar vitamin yang dibutuhkan oleh orang dewasa dalam sehari adalah :

1. Kelebihan vitamin A
a. Etiologi : konsumsi suplemen vitamin yang berlebih
b. Gejala, dapat berlangsung akut atau kronis
 Gejala saat akut dapat mengakibatkan pusing, sakit kepala, lemas, sakit perut,
mual, visual gangguan seperti diplopia, dan fontanel menonjol di bayi, pruritus
dan eksoriasi kulit di seluruh tubuh.
 Kasus kronis dimanifestasikan oleh demam, alopesia (botak), bibir pecah-pecah
kering, sakit tulang dan sendi, hiperostosis, anoreksia, penurunan berat badan,
hepatosplenomegali, papilloedema, pseudotumor cerebri, tekanan intrakranial
yang meningkat, seperti menggembung fontanel (pada bayi), papilloedema dan
diplopia jika setiap hari 25.000 IU atau lebih vitamin A dikonsumsi selama
berhari-hari.
c. Komplikasi meliputi: Hipokalsemia, Hiperkalsururia, dan batu ginjal. Pemberian
vitamin A pada pasien yang tua dengan diet yang baik sebaiknya berhati-hati terlebih
pada pasien dengan osteoporosis.
2. Kelebihan vitamin D
a. Etiologi
 Biasanya ini disebabkan oleh konsumsi berlebihan atau lebih dari resep yang
diresepkan obat-obatan seperti kalsium dengan vitamin D.
 Peningkatan produksi kalsitriol, seperti pada hiperparatiroidisme atau keganasan
termasuk
beberapa adenoma ginjal, sarkoma, dan limfoma.
 Kadar vitamin D yang berlebihan tidak dihasilkan paparan sinar matahari yang
berlebihan
b. Gejala :
 Poliuria, polydipsia, muntah, anoreksia, kelesuan, dehidrasi, sembelit, hipertensi,
kejang bisa berakibat fatal
 Hiperkalsemia
 Hypervitaminosis D juga dikenal sebagai penyebab depresi
 Pada anak-anak bisa terjadi hipoplasia email gigi dan pulpa
c. Tatalaksana
 Menghentikan suplemen
 Mengobati penyebabnya.
 Glukokortikoid dapat digunakan untuk kasus keracunan yang berat
d. Komplikasi
 Nefrolitiasis (batu ginjal)
 Kalsinosis (pengapuran) sendi dan jaringan artikular
 Penyakit ginjal kronis

8. Riketsia
a. Definisi
Pelunakan tulang pada anak-anak karena kekurangan atau gangguan metabolisme vitamin
D, magnesium, fosfor atau kalsium, berpotensi menyebabkan patah tulang dan kelainan
bentuk. Rakitis adalah salah satu penyakit anak yang paling sering di banyak negara
berkembang.
b. Etiologi
Penyebab utama adalah kekurangan vitamin D, namun kekurangan kalsium yang
memadai dalam diet juga dapat menyebabkan rakitis (kasus diare berat dan muntah dapat
menjadi penyebab kekurangan).
c. Epidemiologi
Meskipun dapat terjadi pada orang dewasa, sebagian besar kasus terjadi pada anak-anak
menderita gizi buruk, biasanya akibat kelaparan atau kelaparan selama tahap awal masa
kanak-kanak. Osteomalacia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi
serupa terjadi pada orang dewasa, umumnya karena kekurangan vitamin D. Di negara maju,
rakitis adalah penyakit langka (kejadian kurang dari 1 dalam 200.000). Mereka yang berisiko
tinggi untuk mengembangkan rakitis meliputi:
 Menyusui bayi yang ibunya tidak terkena sinar Matahari
 Menyusui bayi yang tidak terkena sinar Matahari
 Bayi yang berkulit gelap (misalnya coklat kulit, Afrika), terutama ketika ASI dan
sedikit terkena sinar Matahari
 Individu tidak mengkonsumsi susu, seperti mereka yang tidak toleran laktosa

Individu dengan rambut merah telah berspekulasi untuk memiliki penurunan risiko untuk
rakitis karena produksi mereka yang lebih besar vitamin D dalam sinar Matahari. Anak-anak
usia 6 bulan sampai 24 bulan berada pada risiko tertinggi, karena tulang mereka berkembang
pesat. Konsekuensi jangka panjang termasuk lengkungan permanen atau pengrusakan tulang
panjang, dan kembali melengkung.
d. Patofisiologi
Penyebab utama dari rakitis adalah kekurangan vitamin D. Vitamin D diperlukan untuk
penyerapan kalsium dari usus. Sinar Matahari, sinar ultraviolet terutama, memungkinkan sel-
sel kulit manusia mengkonversi vitamin D dari inaktif ke keadaan aktif. Dengan tidak adanya
vitamin D, kalsium tidak benar diserap, mengakibatkan hipokalsemia, menyebabkan cacat
tulang dan gigi dan gejala neuromuskuler, misalnya hyperexcitability.
e. Manifestasi Klinis
 Nyeri tulang atau kelembutan
 Masalah gigi
 kelemahan otot (miopati reyot atau "sindrom bayi floppy" atau "bayi Slinky" (di mana
bayi floppy atau Slinky-suka)
 meningkatkan kecenderungan untuk patah tulang (tulang mudah patah), terutama
patah tulang greenstick
 Deformitas rangka
 Balita: kaki bengkok (genu varum)
 Anak lebih tua: Knock-lutut (genu valgum) atau "lutut keanginan"
 Kranial, tulang belakang, dan panggul cacat
 Gangguan pertumbuhan
 Hipokalsemia (tingkat rendah kalsium dalam darah), dan
 Tetani (kejang otot tidak terkendali di seluruh tubuh).
 Craniotabes (tengkorak lunak)
 Costochondral pembengkakan (alias "rosario reyot" atau "rachitic rosario")
 Harrison alur
 Malleoli ganda tanda akibat hiperplasia metaphyseal
 Pelebaran pergelangan tangan menimbulkan kecurigaan awal, itu adalah karena
hiperplasia tulang rawan metaphysial.
f. Diagnosis
Rakitis dapat didiagnosis dengan bantuan:
 Tes darah:
 Kalsium serum dapat menunjukkan tingkat yang rendah kalsium, fosfor serum
mungkin rendah, dan fosfatase alkali serum dapat menjadi tinggi.
 Gas darah arteri dapat mengungkapkan asidosis metabolik
 X-ray tulang yang terkena bisa menunjukkan hilangnya kalsium dari tulang atau
perubahan bentuk atau struktur tulang.
 Biopsi tulang jarang dilakukan tetapi akan mengkonfirmasi rakitis.
g. Terapi
Pengobatan dan pencegahan rakitis dikenal sebagai antirachitic. Jika kekurangan vitamin
D, dokter mungkin akan meresepkan suplemen vitamin D atau meminta untuk meningkatkan
asupan vitamin D , seperti sereal, jus jeruk , ikan dan susu olahan.

Sumber:
1. Davey, Patrick. 2006. At a Glance MEDICINE. Alih bahasa Annisa Rahmalia dan Novianty
Mayer, Welsh dan Kowalak, 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.
2. Mayo Clinic, (Agustus, 09 2017). “Paget’s Disease of Bones”. Diperoleh 29 April 2018 dari
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/pagets-disease-of-bone/diagnosis-
treatment/drc-20350816
3. NIH Osteoporosis and Related Bone Diseases National Resource Center. (2015, May). “How
Is Paget’s disease of Bone Diagnosed?”. Diperoleh 29 April 2018 dari
https://www.bones.nih.gov/health-info/bone/pagets/diagnosed
4. Elango et al / International Journal of Biomedical Research 2015; 6(03): 151-154. 151 IJBR
(2015) 6 (03) www.ssjournals.com International Journal of Biomedical Research
5. Hypervitaminosis G.Elango* , D.D.Venkataraman, S. Venkata Rao and V.S. Ravi Kiran
6. Wijkmans, RAA. Talsma, K. (2016). Modern scurvy. Journal of Surgical Case Reports, doi:
10.1093/jscr/rjv168. 
7. Agarwal, et al. (2015). Scurvy in Pediatric Age Group – A Disease Often Forgotten? Journal
of Clinical Orthopaedics and Trauma, 6(2), pp. 101–107
8. Noor, Z. 2016. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai