Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyebaran kasus HIV-AIDS yang demikian pesat di seluruh


dunia, sebagian besar terjadi pada kelompok usia produktif.
Perubahan perilaku seseorang dari yang beresiko menjadi kurang
berisiko terhadap kemungkinan tertular HIV memerlukan bantuan
perubahan emosional dan pengetahuan dalam suatu proses yang
mendorong nurani dan logika. Proses mendorong tersebut sangat
unik dan membutuhkan pendekatan individual.
Sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA di
Indonesia pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV
yaitu para penjaja seks komersial dan penyalah-guna NAPZA
suntikan di beberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat
dan Jawa Timur sehingga provinsi tersebut tergolong sebagai daerah
dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of
epidemic). Tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas
(generalized epidemic). Hasil estimasi tahun 2012, di Indonesia terdapat
253.785 orang dengan HIV positif.
Berdasarkan laporan statistik, jumlah kumulatif kasus HIV-AIDS di
Indonesia sejak 1 April 1987 sampai 30 September 2014 tercatat jumlah
HIV sebanyak 150.296 kasus dengan 55.799 diantaranya AIDS,
sedangkan jumlah kematian 9.796 kasus.
Adanya fakta bahwa deteksi dini infeksi HIV sangat penting
menentukan prognosis perjalanan infeksi HIV dan mengurangi risiko
penularan maka disusunlah Pedoman pelayanan yang memudahkan
petuga kesehatan menjalankan tugasnya dengan optimal, khususnya
dalam penanganan klinis HIV sehubungan dengan deteksi dini HIV,
Perawatan, Pengobatan dan Pencegahan.
Program penanggulangan AIDS di Indonesia mempunyai 4
pilar, yang semuanya menuju pada paradigma Zero new infection,
Zero AIDS-related death dan Zero Discrimination.
Empat pilar tersebut adalah:
1. Pencegahan (prevention); yang meliputi pencegahan penularan
HIV melalui transmisi seksual dan alat suntik, pencegahan di
lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, pencegahan HIV
dari ibu ke bayi (Prevention Mother to Child Transmission, PMTCT),
pencegahan di kalangan pelanggan penjaja seks, dan lain-lain.
2. Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP); yang meliputi
penguatan dan pengembangan layanan kesehatan, pencegahan dan
pengobatan infeksi oportunistik, pengobatan antiretroviral dan
dukungan serta pendidikan dan pelatihan bagi ODHA. Program PDP
terutama ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan dan rawat
inap, angka kematian yang berhubungan dengan AIDS, dan
meningkatkan kualitas hidup orang terinfeksi HIV (berbagai stadium).
Pencapaian tujuan tersebut dapat dilakukan antara lain dengan
pemberian terapi antiretroviral (ARV).
3. Mitigasi dampak berupa dukungan psikososio-ekonomi.
4. Penciptaan lingkungan yang kondusif yang meliputi program
peningkatan lingkungan yang kondusif adalah dengan penguatan
kelembagaan dan manajemen, manajemen program serta
penyelarasan kebijakan dan lain-lain.
Hingga September 2014 dilaporkan bahwa Provinsi Jawa Barat
menduduki urutan ke 5 dalam laporan statistik kasus HIV-AIDS di
Indonesia dengan jumlah kasus HIV sebanyak 13.507 dan AIDS sebanyak
4.191 kasus.
Sebagai upaya menanggulangi HIV-AIDS di Indonesia, RSUD Waled
Kabupaten Cirebon telah ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan sebagai
salah satu Rumah Sakit rujukan bagi orang dengan HIV sesuai dengan
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
780/MENKES/SK/IV/2011

1.2 Tujuan
1. Menyediakan pedoman bagi pelayanan HIV-AIDS di RSUD Waled
Kabupaten Cirebon
2. Mencegah dan mengurangi penyebaran HIV-AIDS di lingkungan
RSUD Waled serta daerah Cirebon dan sekitarnya

1.3 Ruang Lingkup Pelayanan


Ruang lingkup pelayanan pasien dengan HIV-AIDS di RSUD Waled
Kabupaten Cirebon meliputi Instalasi Gawat Darurat, Instalasi Rawat
Jalan, Instalasi Rawat Inap, Instalasi Laboratorium, Instalasi Farmasi dan
Rekam Medis.

1.4 Batasan
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu gejala
berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh
masuknya virus HIV ke dalam tubuh seseorang.
Anti Retroviral Therapy (ART) adalah sejenis obat untuk
menghambat kecepatan replikasi virus dalam tubuh orang yang terinfeksi
HIV/AIDS. Obat diberikan kepada ODHA yang memerlukan berdasarkan
beberapa kriteria klinis, juga dalam rangka Prevention of Mother To Child
Transmission (PMTCT).
Human Immuno-deficiency Virus (HIV) adalah virus yang
menyebabkan AIDS.
Orang yang hidup dengan HIV-AIDS (ODHA) adalah orang yang
tubuhnya telah terinfeksi virus HIV-AIDS.
Perawatan dan dukungan adalah layanan komprehensif yang
disediakan untuk ODHA dan keluarganya. Termasuk di dalamnya
konseling lanjutan, perawatan, diagnosis, terapi, dan pencegahan infeksi
oportunistik, dukungan sosioekonomi dan perawatan di rumah.
Persetujuan layanan adalah persetujuan yang dibuat secara
sukarela oleh seseorang untuk mendapatkan layanan.
Informed Consent (Persetujuan Tindakan Medis) adalah persetujuan yang
diberikan oleh orang dewasa yang secara kognisi dapat mengambil
keputusan dengan sadar untuk melaksanakan prosedur (tes HIV, operasi,
tindakan medik lainnya) bagi dirinya atau atas spesimen yang berasal dari
dirinya. Juga termasuk persetujuan memberikan informasi tentang dirinya
untuk suatu keperluan penelitian.

1.5 Landasan Hukum


1. Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
2. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
3. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
780/MENKES/SK/IV/2011 tentang Penetapan Lanjutan Rumah
Sakit Rujukan Bagi Orang dengan HIV
4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 tahun 2013 tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 tahun 2013 tentang
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)
7. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada Orang Dewasa, Kementerian Kesehatan,
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, 2011
8. Pedoman Nasional Tes dan Konseling HIV dan AIDS, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2013
9. Pedoman Penerapan Tes dan Konseling HIV Terintegrasi di
Sarana Kesehatan / PITC, Kementerian Kesehatan, Direktorat
Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2010
10. Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
(PPIA), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012
11. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada Anak, Kementerian Kesehatan, 2014.
BAB II

STANDAR KETENAGAAN

2.1 Kualifikasi Sumber Daya Manusia


Dalam melaksanakan pelayanan terhadap penderita HIV-AIDS di
RSUD Waled Kabupaten Cirebon dipimpin oleh Ketua Tim HIV-AIDS.
Distribusi ketenagaan pelayanan disesuaikan dengan kualifikasi dan
beban kerja yang ada. Untuk distribusi ketenagaan pelayanan
penderita HIV/AIDS disebutkan dalam tabel 1 sesuai dengan tugas
masing-masing.
Nama Klasifikasi Jumlah Tenag
Keteranga
Jabatan Forma Non Formal Kebutuha a yang
n
l n Ada
Dokter Dokter Pelatihan 2 Kurang
umum yang
berkaitan
dengan
pengelolaan
HIV/AIDS,
sesuai
dengan
standar
Kementeria
n
Kesehatan
RI
Perawat 1 1 Cukup
Pelaksana
Konselor 2 1 Kurang
Petugas 1 1 Cukup
Laboratoriu
m
Petugas 1 1 Cukup
Farmasi
Petugas RR 1 1 Cukup
Petugas 1 - Kurang
Administrasi

2.2 Distribusi Ketenagaan


Tim pelaksana harian merupakan petugas kesehatan purna waktu
yang bertugas di Poliklinik Yasmin. Anggota tim pelaksana tersebut
pernah mengikuti pelatihan mengenai HIV-AIDS. Sedangkan dokter
spesialis merupakan konsulen dari tiap SMF sebagai rujukan dari
Poliklinik Yasmin apabila diperlukan penanganan spesialistik pada
ODHA.
BAB III

STANDAR FASILITAS

3.1 Standar Fasilitas


Fasilitas yang cukup harus tersedia bagi staf medis sehingga dapat
tercapai tujuan dan fungsi pelayanan yang optimal bagi penderita HIV-
AIDS

3.2 Kriteria
Tersedia ruangan khusus pelayanan klien yang berfungsi sebagai
pusat pelayanan HIV-AIDS di RSUD Waled Kabupaten Cirebon
meliputi kegiatan konseling, penatalaksanaan, pencatatan dan
pelaporan serta menjadi pusat jejaring internal atau eksternal
pelayanan HIV-AIDS di RSUD Waled Kabupaten Cirebon.
1. Ruang tersebut memiliki persyaratan sarana dan prasarana
ruangan pelayanan konseling dan pemeriksaan pasien.
2. Tersedia peralatan untuk melakukan pelayanan pemberian
terapi ARV dan infeksi oportunistiknya.
3. Tersedia sarana dan prasarana untuk melakukan pencatatan
dan pelaporan.
BAB IV

TATA LAKSANA PELAYANAN

Saat ini RSUD Waled Kabupaten Cirebon menyelenggarakan


pelayanan penanggulangan HIV AIDS berupa :
1. Poliklinik Yasmin sebagai pusat pelayanan rawat jalan bagi ODHA
yang diresmikan sejak bulan Mei 2009. Adapun cakupan pelayanan
yang dilakukan di Poliklinik Yasmin diantaranya CST, VCT,
PMTCT, dan IPT.
Dalam melaksanakan pelayanan sehari-hari, Poliklinik Yasmin
melakukan koordinasi dengan poliklinik-poliklinik lain dan ruang
rawat inap dalam lingkungan RSUD Waled Kabupaten Cirebon
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup ODHA.
PoliPoliklinik lain berperan dalam program PITC yang dilakukan
oleh petugas kesehatan dimana bila ada hasil tes HIV pasien dapat
dirujuk ke Poliklinik Seoja untuk dilakukan konseling post-test.
2. Rawat inap ODHA sesuai dengan infeksi oportunistik yang diderita.
Petugas di ruang rawat inap juga berperan dalam program PITC
terhadap pasien ranap yang dicurigai beresiko menderita HIV.
Apabila hasil tes HIV sudah ada maka petugas di ruang rawat inap
dapat melaporkan kepada Poliklinik Yasmin untuk dilakukan
konseling post-test.
Batasan Operasional
1. Pelayanan Rawat Jalan yang berpusat pada Poliklinik Yasmin
Senin, Rabu dan Kamis : pukul 08.00 – 12.00 WIB
Persyaratan bagi pasien yang berobat di Poliklinik Yasmin
a. Pasien umum
b. Pasien BPJS
c. Pasien SKTM
2. Pelayanan Rawat Inap
Pelayanan rawat inap mengikuti pelayanan seperti pada penyakit
lain dimana pasien dapat dirawat atas indikasi dari Poliklinik atau
IGD Setelah pasien dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien
dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Penilaian Stadium Klinis
Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap
kali kunjungan untuk penentuan terapi ARV.
Tabel 4.1 Stadium Klinis Infeksi HIV

2. Penilaian Imunologi (Pemeriksaan jumlah CD4)


Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas
ODHA. Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan klinis
untuk menentukan pasien yang memerlukan pengobatan
profilaksis IO dan terapi ARV. Rata-rata penurunan CD4
adalah sekitar 70-100 sel/mm3/tahun, dengan peningkatan
setelah pemberian ARV antara 50-100 sel/mm3/tahun.
Jumlah limfosit total (TLC) tidak dapat menggantikan
pemeriksaan CD4.
3. Pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi
Pada dasarnya pemantauan laboratorium bukan merupakan
persyaratan mutlak untuk menginisiasi terapi ARV.
Pemeriksaan CD4 dan viral load juga bukan merupakan
kebutuhan mutlak dalam pemantauan pasien yang
mendapat terapi ARV, namun pemantauan laboratorium atas
indikasi gejala yang ada sangat dianjurkan untuk memantau
keamanan dan toksisitas pada ODHA yang menerima terapi
ARV. Hanya apabila sumberdaya memungkinkan maka
dianjurkan melakukan pemeriksaan viral load pada pasien
tertentu untuk mengkonfirmasi adanya gagal terapi menurut
kriteria klinis dan imunologis.
Dibawah ini adalah pemeriksaan laboratorium yang ideal
sebelum memulai ART apabila sumber daya memungkinkan:
 Darah lengkap*
 Jumlah CD4*
 SGOT / SGPT*
 Kreatinin serum*
 Urinalisa*
 HbsAg*
 Anti-HCV (untuk ODHA IDU atau dengan riwayat IDU)
 Profil lipid serum
 Gula darah
 VDRL/TPHA/PRP
 Rontgen dada (utamanya bila curiga ada infeksi paru)
 Tes kehamilan (perempuan usia produktif)
 Jumlah virus / Viral Load RNA HIV** dalam plasma
(bila tersedia dan bila pasien mampu)
*adalah pemeriksaan yang minimal perlu dilakukan sebelum terapi
ARV karena berkaitan dengan pemilihan obat ARV.
**pemeriksaan jumlah virus memang bukan merupakan anjuran
untuk dilakukan sebagai pemeriksaan awal tetapi akan sangat
berguna (bila pasien punya data) utamanya untuk memantau
perkembangan dan menentukan suatu keadaan gagal terapi.
4. Persyaratan lain sebelum memulai terapi ARV
Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara
matang dengan konseling kepatuhan karena terapi ARV akan
berlangsung seumur hidupnya.
Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan
jumlah CD4 di bawah 200 sel /mm 3 maka dianjurkan untuk
memberikan kotrimkosazole (1x960 mg sebagai pencegahan IO) 2
minggu sebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan untuk :
a. Mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat,
b. Menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih
antara kotrimoksazole dan obat ARV mengingat bahwa
banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama
dengan efek samping kotrimoksazole.
Memenuhi
syarat ARV
Belum memenuhi
syarat ARV

Ada IO
Gambar 4.1 Langkah Penatalaksanaan ODHA

Odha
Langkah tatalaksana terdiri dari :
Pemeriksaan fisik lengkap dan lab untuk
mengidentifikasi IO
Penentuan stadium klinis
Skrining TBC (dengan format skrining TBC)
Pemeriksaan CD4 untuk menentukan PPK dan ART
Pemberian PPK bila tidak tersedia tes CD4
Identifikasi solusi terkait adherence
Konseling positive prevention
Konseling KB (jika rencana punya anak)

Odha ada kendala


kepatuhan
(adherence)

Tidak ada IO Cari solusi


terkait
kepatuhan
MULAI Obati IO 2 secara tim
TERAPI minggu hingga Odha
ARV
selanjutnya dapat patuh
MULAI ARV dan
mendapat
akses terapi
ARV
Berikan rencana pengobatan dan
pemberian terapi ARV MULAI ARV
jika Odha sudah memenuhi syarat
terapi ARV
Saat Memulai Terapi
ARV Rekomendasi
:
 Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah
CD4 < 350 sel/mm3 tanpa memandang stadium
klinisnya.
 Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan
TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa
memandang jumlah CD4.
1. Memulai Terapi ARV pada Keadaan Infeksi Oportunistik (IO)
yang Aktif
Tabel 4.2 Tatalaksana IO sebelum memulai terapi ARV

2. Panduan ARV Lini Pertama yang Dianjurkan


Pemerintah menetapkan panduan yang digunakan
dalam pengobatan ARV berdasarkan pada 5 aspek yaitu :
 Efektivitas
 Efek samping / toksisitas
 Interaksi obat
 Kepatuhan
 Harga obat
Prinsip dalam pemberian ARV adalah
a. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat
yang terserap dan berada dalam dosis terapeutik.
Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas
penggunaan obat.
b. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain
dengan mendekatkan akses pelayanan ARV.
c. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV
dengan menerapkan manajemen logistik yang baik.
Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan
di bawah ini :
Tabel 4.3 Panduan Terapi Antiretroviral

3. Sindrom Pulih Imun (SPI – immune reconstitution syndrome


= IRIS)
Sindrom Pulih Imun (SPI) atau Immune Reconstitution
Inflammatory Syndrome (IRIS) adalah perburukan kondisi
klinis sebagai akibat respon inflamasi berlebihan pada saat
pemulihan respon imun setelah pemberian terapi ARV.
Sinidrom pulih imun mempunyai manifestasi dalam bentuk
penyakit infeksi maupun non infeksi.
4. Kepatuhan
Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah suatu
keadaan dimana pasien mematuhi pengobatannya atas
dasar kesadaran sendiri, bukan hanya karena mematuhi
perintah dokter. Hal ini penting karena diharapkan akan lebih
meningkatkan tingkat kepatuhan minum obat. Kepatuhan
harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada
setiap kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan
oleh ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi ARV.
Tiga langkah yang harus dilakukan untuk meningkatkan
kepatuhan antara lain:
Langkah 1 : Memberikan informasi
Langkah 2 : Konseling perorangan
Langkah 3 : Mencari penyelesaian masalah praktis dan
membuat rencana terapi
BAB V

LOGISTIK

Pengadaan logistik untuk pelayanan pasien dengan HIV-AIDS


dilakukan dengan permintaan secara berkala kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten Cirebon.

5.1 Logistik Obat


Pengadaan, pengelolaan dan pengawasan ARV merupakan
tanggung jawab instalasi farmasi RSUD Waled Kabupaten Cirebon
di bawa petugas farmasi Tim penanggulangan HIV-AIDS RSUD
Waled. Obat ARV yang diminta terdiri dari :
1. Zidovudine (AZT)
2. Tenofovir (TDF)
3. Lamivudin (3TC)
4. Abacavir (ABC)
5. Stavudin (d4T)
6. Nevirapine (NVP)
7. Efavirenz (EFV)
Selain obat-obat tersebut, bisa dimintakan obat dalam kombinasi
tetap (KDT) yang terdiri dari
1. Zidovudine (AZT) + Lamivudine (3TC)
2. Tenofovir (TDF) + Lamivudine (3TC) + Efavirenz (EFV) 
obat Kombinasi Dosis Tetap (KDT)
3. Lopinavir (LPV) + Ritonavir dengan nama paten Aluvia
Selain ARV, disediakan obat-obat untuk infeksi oportunistik yang
diderita oleh ODHA, diantaranya :
1. Cotrimoksazole
2. Fluconazole
3. Pirimetamin
4. Isoniazid (pencegahan penyakit tuberkulosis)
5. Vitamin B6
Petugas farmasi Tim HIV-AIDS RSUD Waled mengajukan
pemesanan obat-obat tersebut kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten Cirebon melalui sistem pelaporan online IOMS setiap
bulannya sebelum tanggal 25.

5.2 Logistik Laboratorium


Pengadaan dan pengelolaan logistik laboratorium berkaitan dengan
pelayanan VCT (pemeriksaan antibody anti-HIV) merupakan
tanggung jawab petugas laboratorium tim HIV-AIDS dibawah
pimpinan unit laboratorium RSUD Waled Kabupaten Cirebon.
Kebutuhan logistik laboratorium terkait pemeriksaan anti-HIV antara
lain :
1. Jarum dan semprit steril*
2. Tabung dan botol tempat penyimpan darah*
3. Kapas alkohol*
4. Cairan desinfektan*
5. Sarung tangan karet*
6. Apron plastik*
7. Sabun dan tempat cuci tangan dengan air mengalir*
8. Tempat sampah barang terinfeksi, barang tidak terinfeksi,
dan barang tajam (sesuai petunjuk Kewaspadaan Universal
Departemen Kesehatan)*
9. Petunjuk pajanan okupasional dan alur permintaan
pertolongan pasca pajanan okupasional
10. Reagen untuk testing dan peralatannya.
11. Lemari pendingin*
12. Ruang penyimpanan testing-kit, barang habis pakai
13. Buku-buku register (stok barang habis pakai, penerimaan
sampel, hasil testing, penyimpanan sampel, kecelakaan
okupasional) atau komputer pencatat.
14. Pedoman testing HIV
Catatan : *inventaris rumah sakit (pengadaan oleh RSUD Waled
Kabupaten Cirebon)
Petugas laboratorium tim HIV-AIDS mengajukan permohonan
logistik laboratorium kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon.

5.3 Logistik Dokumentasi


Logistik dokumentasi terkait dengan pelayanan HIV-AIDS
merupakan formulir-formulir dan rekam medis pasien HIV positif
meliputi :
1. Ikhtisar perawatan pasien HIV / ART
2. Kartu pasien
3. Register Pra-ART
4. Register ART
5. Register pemberian obat
6. Register Stok Obat
7. Formulir Rujukan
Untuk dokumentasi pelaporan dilakukan melalui sistem
online dengan menggunakan program IOMS (Inventory and Order
Management System) dan dilaporkan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten Cirebon dilakukan setiap bulan sebelum tanggal 25.
BAB VI

KESELAMATAN PASIEN

6.1 Pengertian
Keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk asesmen risiko,
identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan
tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya
risiko.
Sedangkan insiden keselamatan pasien adalah setiap kejadian atau
situasi yang dapat mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan harm
(penyakit, cidera, cacat, kematian dan lain-lain) yang tidak seharusnya
terjadi.

6.2 Tujuan
Tujuan sistem ini adalah mencegah terjadinya cidera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Selain itu sistem
keselamatan pasien ini mempunyai tujuan agar tercipta budaya
keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatkan akuntabilitas rumah
sakit terhadap pasien dan masyarakat, menurunnya kejadian tidak
diharapkan di rumah sakit, dan terlaksananya program-program
pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak
diharapkan.

6.3 Tata Laksana Keselamatan Pasien


Dalam melaksanakan keselamatan pasien terdapat tujuan langkah
menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Adapun tujuh langkah tersebut
adalah :
1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien. Menciptakan
kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil.
2. Memimpin dan mendukung karyawan. Membangun komitmen dan
fokus yang kuat dan jelas tentang keselamatan pasien.
3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko. Mengembangkan
sistem dan proses pengelolaan risiko, serta melakukan identifikasi dan
asesmen hal potensial bermasalah.
4. Menerapkan tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit
seperti tersebut di atas.
5. Melakukan self assessment dengan instrument akreditasi pelayanan
keselamatan pasien rumah sakit.
6. Program khusus Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
7. Mengevaluasi secara periodik pelaksanaan program keselamatan
pasien rumah sakit dan kejadian tidak diharapkan.

6.4 Sasaran Keselamatan Pasien HIV-AIDS di RSUD Waled


Kabupaten Cirebon
1. Ketepatan identifikasi pasien
Ketepatan identifikasi pasien adalah ketepatan penentuan identitas
pasien sejak awal pasien masuk sampai dengan pasien keluar
terhadap semua pelayanan yang diterima oleh pasien. Setiap
pasien HIV-AIDS yang datang ke RSUD Waled Kabupaten Cirebon
harus diverifikasi identitasnya dengan menggunakan nama dan
alamat atau nama dan tanggal lahir.
2. Peningkatan komunikasi yang efektif, yaitu komunikasi lisan yang
menggunakan prosedur “SBAR” : write, read, dan repeat back
(reconfirm).
3. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high alert).
Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high alert medication) adalah
obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan atau kesalahan
serius dan obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang
tidak diinginkan. Untuk antiretroviral (ARV) yang waktu
penggunaannya jangka panjang harus diwaspadai jua
masa/tanggal kadaluwarsanya.
4. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan.
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan
terbesar dalam tatanan pelayanan kesehatan. Infeksi biasa
dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk
infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah, pneumonia yang
sering berhubungan dengan ventilasi mekanis. Pokok eliminasi
infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan yang tepat.
5. Pengurangan risiko pasien jatuh.
Pengurangan pengalaman kejadian pasien jatuh. Suatu kejadian jatuh
yang tidak disengaja pada seseorang saat istirahat yang dapat
dilihat/dirasakan, atau kejadian jatuh yang tidak dapat dilihat karena suatu
kondisi tertentu seperti stroke, pingsan dan lainnya. Untuk pasien HIV-
AIDS yang dirawat inap, dikaji pula risiko jatuhnya. Apabila termasuk
berisiko, pasien tersebut dipasang gelang kuning.
BAB VII

KESELAMATAN KERJA

Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 pasal 164 ayat 1


menyatakan bahwa upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi
pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta
pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. Rumah sakit adalah
tempat kerja yang termasuk dalam kategori seperti tersebut di atas, berarti
wajib menerapkan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. Program
keselamatan dan kesehatan kerja di tim pendidikan pasien dan keluarga
bertujuan melindungi karyawan dari kemungkinan terjadinya kecelakaan di
dalam lingkungan rumah sakit.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (2) disebutkan
bahwa “setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”. Dalam hal ini yang dimaksud pekerjaan
adalah pekerjaan yang bersifat manusiawi, yang memungkinkan pekerja
berada dalam kondisi sehat dan selamat, bebas dari kecelakaan dan
penyakit akibat kerja, sehingga dapat hidup layak sesuai dengan martabat
manusia.
Keselamatan dan kesehatan kerja atau K3 merupakan bagian
integral dari perlindungan terhadap pekerja dalam hal ini tim
penanggulangan HIV-AIDS dan perlindungan terhadap Rumah Sakit.
Pegawai adalah bagian internal dari rumah sakit. Jaminan keselamatan
dan kesehatan kerja akan meningkatkan produktivitas pegawai dan
meningkatkan produktivitas rumah sakit. Undang-Undang Nomor 1 tahun
1970 tentang Keselamatan Kerja dimaksudkan untuk menjamin :
1. Agar pegawai dan setiap orang yang berada di tempat kerja berada
dalam keadaan sehat dan selamat.
2. Agar faktor-faktor produksi dapat dipakai dan digunakan secara
efisien.
3. Agar proses produksi dapat berjalan secara lancer tanpa
hambatan.
Faktor-faktor yang menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja
dapat digolongkan pada tiga kelompok yaitu :
1. Kondisi dan lingkungan kerja
2. Kesadaran dan kualitas pekerja
3. Peranan dan kualitas manajemen.
Dalam kaitannya dengan kondisi dan lingkungan kerja, kecelakaan dan
penyakit akibat kerja dapat terjadi bila :
1. Peralatan tidak memenuhi standar kualitas atau bila sudah aus.
2. Alat-alat produksi tidak disusun secara secara teratur menurut
tahapan proses produksi.
3. Ruang kerja terlalu sempit, ventilasi udara kurang memadai,
ruangan terlalu panas atau dingin.
4. Tidak tersedia alat-alat pengaman.
5. Kurang memperhatikan persyaratan penanggulangan bahaya
kebakaran, dan lain-lain.

A. Perlindungan Keselamatan Kerja dan Kesehatan Petugas


Kesehatan
1. Petugas kesehatan yang merawat pasien HIV-AIDS harus
mendapatkan pelatihan/sosialisasi mengenai cara penularan dan
penyebaran penyakit, tindakan pencegahan dan pengendalian
infeksi yang sesuai dengan protokol.
2. Petugas yang tidak terlibat secara langsung dengan pasien harus
diberikan penjelasan umum mengenai penyakit tersebut.

B. Petunjuk Pencegahan Infeksi untuk Petugas Kesehatan


1. Untuk mencegah transmisi penyakit menular dalam tatanan
pelayanan kesehatan, petugas harus menggunakan alat pelindung
diri (APD) yang sesuai untuk kewaspadaan standar sesuai dengan
penyebaran penyakit. APD untuk pelayanan HIV adalah goggle,
masker, apron serta sarung tangan untuk petugas laboratorium.
2. Semua petugas kesehatan harus mendapatkan
pelatihan/sosialisasi tentang gejala HIV-AIDS.
3. Pasien HIV yang juga terdiagnosis sebagai penderita tuberkulosis
harus menggunakan masker jika berada di ruangan tertutup dan
bersama orang lain serta selalu menerapkan etika batuk.
Terapi antiretroviral (ARV) dapat pula digunakan untuk Pencegahan
Pasca Pajanan (PPP atau PEP = post exposure prophylaxis), terutama
untuk kasus ajanan di tempat kerja (Occupational exposure). Risiko
penularan HIV melalui tusukan jarum suntik adalah kurang dari 1%. PPP
dapat juga dipergunakan dalam beberapa kasus seksual yang khusus
misal perkosaan atau keadaan pecah kondom pada pasangan suami istri.
Beberapa hal tentang PPP :
o Waktu yang terbaik adalah diberikan sebelum 4 jam dan maksimal
dalam 48-72 jam setelah kejadian.
o Paduan yang dianjurkan adalah AZT+3TC+EFV atau
AZT+3TC+LPV/r (Lopinavir/Ritonavir).
o Nevirapine tidak digunakan untuk PPP.
o ARV untuk PPP diberikan selama 1 bulan.
o Perlu dilakukan tes HIV sebelum memulai PPP.
o ARV tidak diberikan untuk tujuan PPP jika tes HIV menunjukkan
hasil reaktif
o Perlu dilakukan pemantauan efek samping dari obat ARV yang
diminum.
o Perlu dilakukan tes HIV pada bulan ke 3 dan 6 setelah pemberian
PPP.
o Pada kasus kecelakaan kerja pada petugas yang menderita
hepatitis B maka PPP yang digunakan sebaiknya mengandung
TDF/3TC untuk mencegah terjadinya hepatic flare.
BAB VIII

PENGENDALIAN MUTU

Salah satu prinsip yang menggaris bawahi implementasi


layanan VCT adalah layanan berkualitas, guna memastikan klien
mendapatkan layanan tepat dan menarik orang untuk
menggunakan layanan di RSUD Waled Kabupaten Cirebon. Tujuan
pengukuran dari jaminan kualitas adalah menilai kinerja petugas,
kepuasan pelanggan atau klien, dan menilai ketepatan protocol
konseling dan testing yang kesemuanya bertujuan tersedianya
layanan yang terjamin kualitas dan mutu.

1. Konseling dalam VCT


Pelayanan konseling dimulai dengan suasana bersahabat
yang dilayani oleh konselor terlatih. Perangkat untuk menilai
kualitas layanan termasuk mengevaluasi kinerja seluruh staff
VCT, penilaian kualitas konseling dengan menghadirkan
supervisor yang menyamar sebagai klien, melakukan pertemuan
berkala dengan para konselor, mengikuti perkembangan
konseling dan HIV-AIDS, kotak saran, penilaian oleh petugas
jasa, mengukur seberapa jauh konselor mengikuti aturan
protocol dan supervisi suportif yang regular.
Perangkat jaminan mutu konseling dalam VCT :
a. Perangkat rekaman saat konseling dengan klien samaran
atau klien sungguhan yang telah memberikan persetujuan
untuk direkam.
Kegiatan ini dapat digunakan untuk melakukan pengamatan,
melakukan ikhtisar sesudah sesi berlangsung (sesi rekam)
atau pengamatan ketrampilan konselor melalui klien samaran
(tak diketahui konselor), untuk mendapatkan ketepatan
pengamatan.
b. Formulir kepuasan pelanggan.
Nomor dan nama klien dicatat. Formulir dimasukkan ke kotak
yang aman dan terkunci. Semua komentar dikumpulkan dan
dinilai pada pertemuan dengan seluruh petugas. Klien yang
tidak dapat menulis / membaca dapat dibantu relawan.
Petugas yang bekerja pada institusi tidak di perkenankan
membantu pengisian. Baca terlebih dahulu petunjuk dan isi
dari formulir, kemudian baru diisi. Klien sama sekali tidak
boleh dipengaruhi pendapatnya, administrasi memastikan
apakah jawaban klien sudah lengkap dan benar sesuai
petunjuk.
c. Syarat minimal layanan VCT.
Penilaian internal atau eksternal dapat menggunakan daftar
sederhana apakah pelayanan VCT memenuhi persyaratan
standar minimal yang ditentukan Departemen Kesehatan dan
WHO.

2. Testing pada VCT

Perangkat jaminan testing mutu dalam VCT : Supervise


laboratorium. Untuk melakukan supervise atas proses pemeriksaan
laboratorium, harus dilakukan oleh teknisi laboratorium senior yang
mahir dan telah dilatih penanganan pemeriksaan laboratorium HIV :

1. Pengamatan akan proses kerja sampel, sesuaikan


dengan SPO yang telah ditetapkan.
2. Periksa dan dukung proses dan kualitas pemeriksaan sampel.
3. Periksa pencatatan dan pelaporan hasil testing HIV.
4. Periksa cara penyimpanan semua peralatan dan reagen.
5. Pastikan jaminan kualitas pada pusat jaminan kualitas.
6. Lakukan penilaian akan peralatan kerja dalam
menjalankan fungsi pemeriksaan cukup baik, perlu
perbaikan atau rusak dan perlu penggantian.
7. Gunakan ceklis pemeriksaan.
8. Nilailah kemampuan parapersonil dan sampaikan
rekomendasi pada paramanajer.
9. Pastikan adanya rujukan pasca pajana
BAB IX

PENUTU

Pedoman PDP bagi ODHA merupakan bahan acuan bagi rumah sakit dalam
rangka pelayanan perawatan dukungan dan pengobatan bagi orang dengan HIV-AIDS,
juga sebagai rujukan akreditasi rumah sakit. Keberhasilan pelaksanaan layanan PDP di
rumah sakit sangat bergantung pada komitmen dan kemampuan para penyelenggara
pelayanan kesehatan serta dukungan stake holder terkait untuk mencapai hasil optimal.
Pedoman pelayanan ini senantiasa akan disesuaikan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kebijakan dan peraturan terkait penanggulangan
HIV/AIDS yang ada di Indonesia.

Ditetapkan di : Cirebon

Pada tanggal : 31 Januari 2019

DIREKTUR RSUD WALED


KABUPATEN CIREBON

dr. H. Budi Setiawan Soenjaya, MM


Pembina Tk.I
NIP . 19630108 198912 1 001

Pedoman Perawatan Dukungan Dan Pengobatan Bagi


ODHA Di RSUD Waled Kabupaten Cirebon

Anda mungkin juga menyukai