Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

RISIKO BUNUH DIRI

A. Pengertian
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri
yang dapat mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan
kedaruratan psikiatri karena merupakan perilaku untuk mengakhiri
kehidupannya. Perilaku bunuh diri disebabkan karena stress yang
tinggi dan berkepanjangan dimana individu gagal dalam melakukan
mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah.
Beberapa alasan individu mengakhiri kehidupan adalah kegagalan
untuk beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan
terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/
gagal melakukan hubungan yang berarti, perasaan marah/
bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri sendiri,
cara untuk mengakhiri keputusasaan (Stuart, 2006).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan
dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan
terakhir dari individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi
(Captain, 2008). Menciderai diri adalah tindakan agresif yang
merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri
mungkin merupakan keputusan terakhir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan
dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan
keputusan terkahir dari individu untuk memecahkan masalah yang
dihadapi. (Budi Anna Kelihat, 2000).
Bunuh diri menurut Gail W. Stuart dalam buku “Keperawatan Jiwa”
dinyatakan sebagai suatu aktivitas yang jika tidak dicegah, dimana
aktivitas ini dapat mengarah pada kematian (2007).
Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri
memiliki 4 pengertian, antara lain:
a. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
b. Bunuh diri dilakukan dengan intensi
c. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
d. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak
langsung (pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang
menentukan kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di
rel kereta api.
Menurut Shives (2008) mengemukakan rentang harapan putus
harapan merupakan rentang adaptif maladaptif. Respon adaptif
merupakan respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan
kebudayaan yang secara umum berlaku, sedangkan respon
maladaptif merupakan respon yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh norma-
norma sosial dan budaya setempat. Respon maladaptif antara lain:
1. Ketidakberdayaan, keputusasaan, apatis.
Individu yang tidak berhasil memecahkan masalah akan
meninggalkan masalah, karena merasa tidak mampu
mengembangkan koping yang bermanfaat sudah tidak berguna
lagi, tidak mampu mengembangkan koping yang baru serta
yakin tidak ada yang membantu.
2. Kehilangan, ragu-ragu
Individu yang mempunyai cita-cita terlalu tinggi dan tidak
realistis akan merasa gagal dan kecewa jika cita-citanya tidak
tercapai. Misalnya :
Kehilangan pekerjaan dan kesehatan, perceraian, perpisahan
individu akan merasa gagal dan kecewa, rendah diri yang
semuanya dapat berakhir dengan bunuh diri.
a) Depresi
Dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang
ditandai dengan kesedihan dan rendah diri. Biasanya bunuh
diri terjadi pada saat individu ke luar dari keadaan depresi
berat.
b) Bunuh diri
Adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri
untuk mengkahiri kehidupan. Bunuh diri merupakan koping
terakhir individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi
(Laraia, 2005).

Respon Adaptif Respon


Mal-adaptif

Self Growth Indirect Self Self Suicide


Enchancement Promoting Destructive Injury
Risk Taking Behavior
A. Klasifikasi

Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori (Stuart, 2006):


 Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal
bahwa seseorang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh
diri. Orang yang ingin bunuh diri mungkin mengungkapkan
secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita lebih
lama lagi atau mengomunikasikan secara non verbal.
 Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri
yang dilakukan oleh individu yang dapat menyebabkan
kematian jika tidak dicegah.
 Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan
terlewatkan atau diabaikan. Orang yang melakukan bunuh diri
dan yang tidak bunuh diri akan terjadi jika tidak ditemukan
tepat pada waktunya.

Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis


bunuh diri, meliputi:
 Bunuh diri anomik
Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang
didasari oleh faktor lingkungan yang penuh tekanan (stressful)
sehingga mendorong seseorang untuk bunuh diri.
 Bunuh diri altruistik
Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan
dengan kehormatan seseorang ketika gagal dalam
melaksanakan tugasnya.
 Bunuh diri egoistik
Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan
faktor dalam diri seseorang seperti putus cinta atau putus
harapan.

B. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala menurut Fitria (2009):
 Mempunyai ide untuk bunuh diri
 Mengungkapkan keinginan untuk mati
 Impulsif
 Menunjukan perilaku yang mencurigakan
 Mendekati orang lain dengan ancaman
 Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
 Latar belakang keluarga

C. Faktor yang mempengaruhi


1. Faktor Mood dan Biokimiawi otak
Ghansyam pandey menemukan bahwa aktivitas enzim di
dalam manusia bisa mempengaruhi mood yang memicu
keinginan mengakhiri nyawa sendiri. Pandey mengetahui faktor
tersebut setelah melakukan eksperimen terhadap otak 34
remaja yang 17 diantaranya meninggal akibat bunuh diri.
Ditemukan bahwa tingkat aktivitas protein kinase C (PKC) pada
otak pelaku bunuh diri lebih rendah dibanding mereka yang
meninggal bukan karena bunuh diri.
Hj. Rooswita mengatakan, “depresi berat menjadi penyebab
utama. Depresi timbul karena pelaku tidak kuat menanggung
beban permasalahan yang menimpa. Karena terus menerus
mendapat tekanan, permasalahan kian menumpuk dan pada
puncaknya memicu keinginan bunuh diri.”
2. Faktor riwayat gangguan mental
Dalam otak kita gterdapat berbagai jaringan, termasuk
pembuluh darah. Di dalamnya juga terdapat serotonin,
adrenalin, dan dopamin. Ketiga cairan dalam otak itu bisa
menjadi petunjuk dalam neurotransmiter(gelombang/gerakan
dalam otak) kejiwaan manusia. Karena itu, kita harus waspadai
bila terjadi peningkatan kadar ketiga cairan itu di dalam otak.
Biasanya, bila kita lihat dari hasil otopsi para korban kasus
bunuh diri, cairan otak ini tinggi, terutama serotonin.
Apa penyebab umum yang meningkatkan kadar cairan otak itu?
Sebagai contoh adanya masalah yang membebani seseorang
sehingga terjadi stress atau depresi. Itulah yang sering
membuat kadar cairan otak meningkat.
3. Faktor meniru, imitasi, dan pembelajaran
Dalam kasus bunuh diri, dikatakan ada Proses Pembelajaran.
Para korban memiliki pengalaman dari salah satu keluarganya
yang pernah melakukan percobaan bunuh diri atau meninggal
karena bunuh diri. Tidak hanya itu, bisa juga terjadi
pembelajaran dari pengetahuan lainnya. Proses pembelajran di
sini merupakan asupan yang masuk ke dalam memori
seseorang. Memori itu bisa menyebabkan perubahan kimia
lewat pembentukan protein-protein yang erat kaitannya dengan
memori. Sering kali banyak yang idak menyadari Proses
Pembelajaran ini sebagai keadaan yang perlu diwaspadai.
Bahkan, kita baru paham kalau pasien sudah diperiksa
psikiater/dokter. Kita perlu memperhatikan bahwa orang yang
pernah mencoba bunuh diri denngan cra yang halus, seperti
minum racun bisa melakukan cara lain yang lebih keras dari
yang pertama bila yang sebelumnya tidak berhasil.
4. Faktor isolasi sosial dan Human Relations
Secara umum, stress muncul karena kegagalan beradaptasi. Ini
dapat terjadi di lingkungan pekerjaan, keluarga, sekolah,
pergaulan dalam masyarakat, dan sebagainya. Demikian pula
bila seseorang merasa terisolasi, kehilangan hubungan atau
terputusnya hubungan dengan orang lain yang disayangi.
Padahal hubungan interpersonal merupakan sifat alami
manusia. Bahkan keputusan bunuh diri juga bisa dilakukan
karena perasaan bersalah. Suami membunuh istri, kemudian
dilanjutkan membunuh dirinya sendiri, bisa dijadikan contoh
kasus.
5. Faktor hilangnya perasaan aman dan ancaman kebutuhan dasar
Penyebab bunuh diri yang lain adalah rasa tidak aman. Rasa
tidak aman merupakan penyebab terjadinyabanyak kasus bunuh
diri di Jakarta dan sekitarnya akhir-akhir ini. tidak adanya rasa
aman untuk menjalankan usaha bagi warga serta ancaman
terhadap tempat tinggal mereka berpotensi kuat memunculkan
gangguan kejiwaan seseorang hingga tahap bunuh diri.
Stuart (2006) menyebutkan bahwa faktor predisposisi yang
menunjang perilaku resiko bunuh diri meliputi:
 Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat pasien berisiko untuk
bunuh diri yaitu gangguan alam perasaan, penyalahgunaan
obat, dan skizofrenia.
 Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan
peningkatan resiko bunuh diri adalah rasa bermusuhan,
impulsif, dan depresi.
 Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian,
kehilangan yang dini, dan berkurangnya dukungan sosial
merupakan faktor penting yang berhubungan dengan bunuh
diri.
 Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri
merupakan faktor resiko untuk perilaku resiko bunuh diri
 Faktor biokimia
Proses yang dimediasi serotonin, opiat, dan dopamine dapat
menimbulkan perilaku resiko bunuh diri.

D. Stressor pencetus
Stuart (2006) menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa kejadian
yang memalukan, seperti masalah interpersonal, dipermalukan di
depan umum, kehilangan pekerjaan, atau ancaman pengurungan.
Selain itu, mengetahui seseorang yang mencoba atau melakukan
bunuh diri atau terpengaruh media untuk bunuh diri, juga
membuat individu semakin rentan untuk melakukan perilaku bunuh
diri.
E. Penilaian stressor
Upaya bunuh diri tidak mungkin diprediksikan pada setiap
tindakan. Oleh karena itu, perawat harus mengkaji faktor resiko
bunuh diri pada pasien.
F. Sumber koping
Pasien dengan penyakit kronis, nyeri, atau penyakit yang
mengancam kehidupan dapat melakukan perilaku destruktif-diri.
Sering kali pasien secara sadar memilih untuk bunuh diri.
G. Mekanisme koping
Stuart (2006) mengungkapkan bahwa mekanisme pertahanan ego
yang berhubungan dengan perilaku destruktif-diri tidak langsung
adalah penyangkalan, rasionalisasi, intelektualisasi, dan regresi.
H. Gambaran klinis dan diagnosis
Dalam mengenali pasien yang cenderung bunuh diri merupakan
satu tugas yang penting namun sulit dilaksanakan. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa resiko bunuh diri yang berhasil akan
meningkat pada jenis pria, berkulit putih, umur lanjut, dan isolasi
sosial. Pasien dengan riwayat keluarga percobaan bunuh diri atau
bunuh diri yang berhasil membuat resiko makin tinggi juga, demikian
pula pasien dengan nyeri kronik, pembedahan yang baru terjadi, atau
mengidap penyakit fisik kronik. Demikian pula pasien yang tidak
mempunyai pekerjaan, tinggal sendiri, yang mengatur masalah–
masalahnya secara teratur, dan hari ulang tahun dari kematian
anggota keluarga.
Delapan puluh persen pasien yang melaksanakan bunuh diri dan
berhasil, biasanya mengidap gangguan afetif dan 25% biasanya
bergantung pada alkohol. Bunuh diri merupakan 15% sebab kematian
pada kedua kelompok orang diatas. Sedangkan resiko tinggi untuk
peminum alkohol dalam kurun waktu 6 bulan setelah suatu
kehilangan anggota keluarga. Skizofrenia merupakan gangguan yang
jarang, oleh sebab itu menjadi faktor pengurangan angka bunuh diri
pada kasus ini, namun 10% dari para pasien skizofrenik meninggal
akibat bunuh diri.
Harapan yang terbaik bagi upaya pencegahan bunuh diri terletak
pada penemuan dan terapi sedini mungkin dari gangguan psikiatri
yang menyebabkannya.
Peran dari upaya bunuh diri yang terdahulu dalam menilai resiko
bunuh diri saat mendatang amat kompleks, kebanyakan dari para
korban bunuh diri yang berhasil tidak pernah mencoba pada masa
sebelumnya, biasanya mereka akan berhasil pada percobaan pertama.
Walaupun para pelaku yang mencoba bunuh diri masa lampau
menunjukkan perilaku yang mampu merusak diri, hanya 10% para
pelaku percobaan bunuh diri yang berhasil dalam 10 tahun.
Sejumlah cukup besar orang yang secara sengaja melakukan tindak
merusak diri seperti memotong nadi atau membakar diri dengan cara
yang jelas tidak mematikan tanpa keinginan sungguh untuk
membunuh diri. Berbagai motif mungkin berada dibelakang ini,
termasuk manipulasi secara sengaja dan amarah yang tak sadar
terhadap orang lain yang berarti dalam hidupnya. Secara diagnostik,
pasien dapat memenuhi kriteria untuk gangguan anti sosial atau
ambang, atau perilaku itu dapat berada bersama dengan gagasan
aneh yang lain dan perilaku skizofrenik.
Yang paling merisaukan dan menantang secara medikolegal ialah
peristiwa parasuisida (usaha percobaan bunuh diri) berulang, dan
biasanya berperilaku bunuh diri yang mendekati letal sedangkaan ia
menyangkal adanya gagasan bunuh diri itu. Varian yang paling sering
dijumpai ialah pasien yang minum obat overdosis secara berulang
dan tidak bertujuan. Pasien macam ini biasanya mempunyai
gangguan kepribadian tanpa gejala psikiatrik gawat. Mereka sering
meminta dipulangkan dari rumah sakit secepatnya setelah pulih dari
intosikasi akutnya, kadang lebih cepat lebih senang, dan ternyata
sulit untuk menentukan perawatan dengan agak paksa. Namun
demikian, lebih bijaksana untuk menahan orang semacam ini secara
paksa atau involunter bila frekuensi perilaku parasuisidanya
meningkat.

I. Pedoman wawancara dan psikoterapi


Awali pembicaraan dengan bertanya pada pasien apakah ia pernah
merasa ingin menyerah saja terhadapa hidup ini? atau mereka
merasa lebih baik mati. Pendekatan seperti ini membewa stigma
kecil saja dan dapa diterima oleh kebanyakan orang. Lalu bicaralah
soal tepatnya apa yang dipikirkan oleh pasien? Dan catatlah semua
pikiran itu. Begitu masalahnya telah mulai diperbincangkan,
gunakan kata seperti “bunuh diri” dan mati daripada “cidera” atau
“melukai” karena beberapa pasien bingung dengan kata-kata itu
dan kebanyakan mereka tidak mau mencederai dirinya, walaupun
bila mereka ingin membunuh dirinya.
Ajukan pertanyaan seperti : berapa sering pikiran bunuh diri anda?
Apakah pikiran bunuh diri anda makin meningkat? Apakah anda
hanya punya pikiran yang kurang baik saja atau pernahkah anda
merencanakan cara bunuh dirinya? Apakah pikiran bunuh diri anda
hanya sepintas saja atau benar-benar serius? Pertimbangkan umur
pasien dan kecanggihan serta keinginan dan cara bunuh dirinya.
Cocokkan ucapan dan rencana dari cara yang akan dilakukan itu.

J. Pohon Masalah

Risiko bunuh diri

Harga diri rendah

Perilaku destruktif

Rasa percaya diri


rendah

Korban
kekerasan
fisik

Sering di Stres berlebihan


salahkan

Kehilangan
Masa kecil tidak perkerjaan
menyenangkan

Faktor presipitasi
Faktor predisposisi

K. Peran Perawat dalam Perilaku Mencederai Diri


Pengkajian
1. Lingkungan dan upaya bunuh diri : perawat perlu mengkaji
peristiwa yang menghina atau menyakitkan, upaya persiapan,
ungkapan verbal, catatan, lukisan, memberikan benda yang
berharga, obat, penggunaan kekerasan, racun.
2. Gejala : perawat mencatat adanya keputusasaan, celaan
terhadap diri sendiri, perasaan gagal dan tidak berharga, alam
perasaan depresi, agitasi gelisah, insomnia menetap, berat
badan menurun, bicara lamban, keletihan, withdrawl.
3. Penyakit psikiatrik : upaya bunuh diri sebelumnya, kelainan,
afektif, zat adiktif, depresi remaja, gangguan mental lansia
4. Riwayat psikososial: bercerai, putus hubungan, kehilangan
pekerjaan, stress multiple (pindah, kehilangan,putus hubungan,
masalah sekolah, krisis disiplin), penyakit kronik.
5. Faktor kepribadian: impulsive, agresif, bermusuhan, kognisi
negative dan kaku, putus asa, harga diri rendah, antisocial
6. Riwayat keluarga : riwayat bunuh diri, gangguan afektif,
alkoholisme.

Diagnosa Keperawatan
Resiko tinggi mutilasi diri/kekerasan pada diri sendiri
sehubungan dengan takut terhadap penolakan, alam perasaan yang
tertekan, reaksi kemarahan, ketidakmampuan mengungkapkan
perasaan secara verbal, ancaman harga diri karena malu,
kehilangan pekerjaan dan sebagainya.
- Sasaran jangka pendek : klien akan mencari bantuan staf bila
ada perasaan ingin mencederai diri.
- Saran jangka panjang : klien tidak akan mencederai diri

Intervensi dan Rasional


- Observasi perilaku kliem lebih sering melalui aktivitas dan
interaksi rutin, hindari kesan pengamatan dan kecurigaan pada
klien (observasi ketat dibutuhkan supaya intervensi dapat
terjadi jika dibutuhkan untuk memastikan keamanan klien).
- Tetapkan kontrak verbal dengan klien bahwa ia akan meminta
bantuan jika keinginan untuk bunuh diri dirasakan
(mendiskusikan perasaan ingin bunuh diri dengan orang yang
dipercaya memberikan derajat keringanan untuk klien, sikap
penerimaan klien sebagai individu dapat dirasakan)
- Jika mutilasi diri terjadi, rawat luka klien dengan tidak
mengusik penyebabnya jangan berikan reinforcement positif
untuk perilaku tersebut (kurangnya perhatian untuk perilaku
maladaptive dalat menurunkan pengulangan mutilasi).
- Dorong klien untuk bicara tentang perasaan yang dimilikinya
sebelum perilaku ini terjadi (agar memecahkan masalah dan
memahami faktor pencetus).
- Bertindak sebagai model dalam mengekspresikan kemarahan
yang tepat (perilaku bunuh diri dipandang sebagai marah yang
diarahkan pada diri sendiri)
- Singkirkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien
(keamanan klien merupakan prioritas keperawatan)
- Arahkan kembali perilakku mutilasi dengan penyaluran fisik
(latihan fisik merupakan cara yang aman untuk menyalurkan
ketegangan yang terpendam)
- Komitmen semua staf untuk memberikan spirit kepada
klien(bukti control terhadap situasi dan memberikan kemanan
fisik serta semangat hidup)
- Berikan obat-obatan sesuai hasil kolaborasi, pantau keefektifan,
dan efek samping (obat penenang seperti ansiolotik/
antipsikotik dapat memberikan efek menenangkan pada klien
dan mencegah perilaku agresif)
- Gunakan restrain mekanis bila keadaan memaksa sesuai
prosedur tetap (bila klien menolak obat-obatan dan situasi
darurat, restrain diperlukan pada jam-jam tertentu)
- Observasi klien dalam restrain tiap 15 menit/ sesuai prosedur
tetap dengan mempertimbangan keamanan, sirkulasi darah,
kebutuhan dasar (keamanan klien merupakan prioritas
keperawatan)

Intervensi Klien Bunuh Diri


1. Listening, Kontrak, Kolaborasi dengan Keluarga
Klien bisa ditolong dengan terapi dan bisa hidup lebih baik, jika
ia mau berbicara dan mendengar dalam upaya memecahkan
persoalan, serta tidak ada alasan melalui kesulitan sendirian
tanpa bantuan orang lain. Selain itu, bila mendapati ada orang
yang hendak melakukan bunuh diri, sebaiknya dengarkan apa
yang dia keluhkan. Berikan dukungan agar dia tabah dan tetap
berpandangan bahwa hidup ini bermanfaat, buat lingkungan
tempat dia tinggal aman dengan cara menjauhkan alat-alat yang
bisa digunakan untuk bunuh diri. “Kalau perlu buatlah semacam
‘kontrak’ pada dia untuk tidak melakukan bunuh diri, meski
tingkat keberhasilan ini sangat kecil. “Kesulitan utama yang
dihadapi apabila orang yang akan melakukan bunuh diri itu
tidak menunjukkan gejala-gejala tersebut. Pada tingkat
permukaan dia tampak mengerti dan memahami arti hidup,
serta terkesan tidak akan melakukan bunuh diri, tetapi tiba-tiba
dia sudah mati bunuh diri. Lingkungan sosial, termasuk
keluarga, juga menjadi sarana yang baik untuk membantu
mengurangi atau menghilangkan keinginan orang untuk bunuh
diri.
2. Pahami Persoalan dari “Kacamata” Mereka
Menghadapi orang yang berniat bunuh diri atau gagal
melakukan bunuh diri, perlu sikap menerima, sabar dan empati.
Perawat berupaya agar tidak bersikap memvonis, memojokkan,
apalagi menghakimi mereka yang punya niat bunuh diri atau
gagal melakukan bunuh diri. “Kalau mereka merasa dipojokkan
kemungkinan bunuh diri akan semakin cepat”. Yang paling
penting disini adalah mencoba menampung segala keluhannya
dan menjadi pendengar yang baik. Hindari argumentasi dan
nasihat-nasihat. Jangan harap kata-kata anda bisa menjadi
senjata ajaib untuk menyadarkannya. Pada dasarnya dalam diri
orang yang ingin bunuh diri tersimpan sikap mendua atau
ambivalen. Sebagian dari dirinya ingin tetap hidup, tapi
sebagian lagi ingin segera mati untuk mengakhiri
penderitaannya. Karena sedang menderita itulah, sebenarnya ia
sangat membutuhkan orang lain. Ia butuh ventilasi untuk
mengalirkan masalah dan perasaannya. Namun, orang yang
berniat bunuh diri biasanya takut untuk mencoba mencari
pertolongan. Ia takut usaha itu justru akan menambah beban
penderitaannya karena bisa saja ia akan dibilang bodoh, sinting,
berdosa, atau diberi cap negatif lainnya.
3. Pentingnya Partisipasi Masyarakat
Gangguan kejiwaan sebenarnya bisa sembuh hanya perlu terus
dievaluasi karena bisa sewaktu-waktu kambuh. Masih banyak
stigma atau penilaian negatif di masyarakat kepada klien
gangguan kejiwaan. Namun, bila dibandingkan dulu, stigma
sekarang sudah menurun. Bahkan stigma membuat pihak
keluarga klien juga tidak memahami karakter anggota
keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Keluarga jadi
bersikap apatis dan sering mengelak bila diajak konsultasi ke
psikiater.Padahal, dukungan keluarga sangat penting untuk
upaya penyembuhan klien gangguan kejiwaan. Keluarga perlu
didukung masyarakat sekitarnya agar klien gangguan jiwa
dianggap sama dengan penyakit-penyakit fisik lain seperti
Decomp, DM,hepatitis, dan sebagainya. Yang membutuhkan
perawatan dan tenaga ahli serta dianggap sebagai cobaan yang
bisa menimpa siapa saja.
4. Express Feeling
Perlu ada dukungan dari lingkungan. Istilah ngetopnya sharing
atau curhat, sehingga membantu meringankan beban yang
menerpa. Salah satu solusi yang ditawarkan selain mengontrol
emosi, lebih mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.
Express feeling sangat penting agar masalah yang menekan
semakin ringan.
5. Lakukan Implementasi khusus
- Semua ancaman bunuh diri secara verbal dan non verbal
harus ditanggap serius oleh perawat, Laporkan sesegera
mungkin dan lakukan tindakan pengamatan
- Jauhkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien.
- Jika klien beresiko tinggi untuk bunuh diri, observasi secara
ketat meskipun di tempat tidur/kamar mandi.
- Observasi dengan cermat saat klien makan obat, periksa
mulut, pastikan bahwa obat telah ditelan, berikan obat dalam
bentuk cair bila memungkinkan.
- Jelaskan semua tindakan pengamanan kepada klien,
komunikasikan perhatian dan kepedulian perawat
- Waspadai bila klien terlihat tenang sebab mungkin saja ia
telah selesai merencanakan bunuh diri.

L. Evaluasi dan Pengelolaan


1. Bila mengevaluasi pasien yang cenderung bunuh diri, jangan
tinggalkan mereka sendiri, singkirkan semua benda yang
potensial berbahaya.
2. Bila megevaluasi pasien yang baru saja mencoba bunuh diri,
nilailah apakah usaha itu telah direncanakan atau impulsif saja
sambil menentukan derajat letalitasnya, kemungkinan pasien
pulih kembali.
3. Pengelolaan bergantung sebagian besar pada diagnosis. Pasien
dengan depresi berat dapat diobati sebagai pasien berobat jalan
bila keluarganya dapat mengawasi mereka dengan seksama dan
terapi dapat dimulai dengan segera. Bila tidak, perawatan inap
di rumah sakit diperlukan.
4. Gagasan bunuh diri dari pasien alkoholik biasanya akan
membaik dalam beberapa hari dengan abstinensi. Kebanyakan
tidak ada terapi spesifik yang perlu diberikan. Bila depresi tetap
bertahan setelah gejala abstinensi mereda, dugaan besar adalah
gangguan depresi berat. Semua pasien yang cenderung bunuh
diri yang mengalami intoksikasi alkohol atau obat harus dinilai
ulang saat mereka lepas pengaruh alkoholnya.
5. Gagasan bunuh diri pada pasien skizofrenik harus diperhatikan
secara serius karena mereka cenderung mempergunakan cara
yang keras dan aneh dengan derajat letalitas tinggi.
6. Pasien dengan gangguan kepribadian akan mengambil manfaat
dari bantuan dan konfrotasi empatik, dan perlu dilanjutkan
pendekatan secara rasional, bertanggung jawab pada masalah
yang mencetuskan dan menyebabkan krisis tersebut.
Keikutsertaan keluarga atau teman dan manipulasi lingkungan
dapat membantu untuk menyelesaikan krisis yang membawa
pasien untuk bunuh diri.
7. Perawatan inap di rumah sakit jangka panjang dianjurkan bagi
kasus dengan kecenderungan mutilasi diri, namun perawatan
inap jangka pendek tidak akan mempengaruhi perilaku yang
berulang ini. Parasuisida juga mungkin akan mendapatkan
manfaat yang baik dari rehabilitasi jangka panjang, dan
stabilisasi jangka pendek juga diperlukan dari waktu ke waktu,
tetapi terapi jangka pendek tidak akan dapat mempengaruhi
secara berarti perjalanan gangguan ini.

M. Terapi obat
Pasien dalam krisis karena kematian orang terdekat atau
peristiwa lain dengan perjalanan waktu yang terbatas akan
berfungsi lebih baik setelah menerima sedasi ringan seperlunya,
terutama bila sebelum itu tidurnya terganggu. Benzodiazepin
merupakan obat terpilih dan ramuan yang khas ialah Lorazepam
(Ativan) 1 mg 1-3x sehari untuk 2 minggu. Iritabilitas pasien
mungkin meningkat dengan penggunaan teratur Benzodiazepin
dan iritabilitas ini merupakan satu resiko untuk bunuh diri, maka
Benzodiazepin harus digunakan secara hati-hati pada pasien yang
bersikap keras dan bermusuhan. Hanya sejumlah kecil dari
medikasi itu harus disediakan, dan pasien harus diikuti dalam
beberapa hari.
Antidepresiva merupakan terapi yang pasti bagi semua
pasien yang menampilkan diri dengan gagasan bunuh diri, tetapi
tidak biasanya untuk mulai memberikan antidepresiva di UGD. Bila
diberi resep, harus diadakan perjanjian untuk pemeriksaan
lanjutan, sebaiknya keesokan harinya.
Rujukan-Silang :
Putus alkohol, depresi, hospitalisasi, mutilasi-diri.
STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
RISIKO BUNUH DIRI

Masalah Klien : Resiko Bunuh Diri


Pertemuan : Ke-1 (Pertama)
I. PROSES KEPERAWATAN
1. KONDISI KLIEN
Data Objektif :
 Bersikap impulsif
 Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh)
 Ada riwayat penyakit mental (depresi,psikosis,dan penyalahgunaan alkohol)
 Ada riwayat penyakit fisik (penyakit kronis atau penyakit terminal)
 Pengganguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan,atau kegagalan dalam karier)
 Status perkawinan yang tidak harmonis
Data Subjektif :
 Memiliki ide untuk melakukan tindakan bunuh diri/ mengakhiri kehidupan
 Mengungkapkan keinginan untuk mati
 Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
 Ada riwayat berulang percobaan bunuh diri sebelumnya dari keluarga
 Berbicara tentang kematian,menanyakan tentang dosis obat yang mematikan
 Mengungkapkan adanya konflik interpersonal

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Resiko Bunuh Diri
SP 1

3. TUJUAN KEPERAWATAN
 Klien tetap aman dan selamat
 Klien mendapat perlindungan dari lingkungannya
 Klien dapat mengungkapkan perasaannya
 Klien dapat meningkatkan harga diri

4. TINDAKAN KEPERAWATAN
 Melakukan kontrak pengkajian dengan klien
 Menemani klien terus menerus
 Menjauhkan semua benda yang membahayakan klien
 Memastikan bahwa klien telah benar-benar meminum obatnyajika klien
mendapatkan obat
 Menjelaskan dengan lembut kepada klien bahwa perawat akan melindungi klien
sampai klien tidak mempunyai keinginan bunuh diri
 Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri
 Mengajarkan cara mengendalikan dorongan bunuh diri
 Melatih cara mengendalikan dorongan bunuh diri

II. STRATEGI KOMONIKASI TERAPEUTIK


1. ORIENTASI
 Salam Terapeutik
“Selamat pagi pak?”
 Memperkenalkan Diri
“Nama saya Alfin Nugroho biasa dipanggil Alfin, Bapak boleh memanggil saya
Alfin (sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan). Nama Bapak siapa?
Dan Bapak ingin dipanggil dengan sebutan apa?”
 Membuka Pembicaraan dengan Topik Umum
“Apakah saya mengganggu Bapak A? Apa yang sedang Bapak A lakukan hari
ini?”
 Evaluasi/ Validasi Kontrak
“Bagaimana perasaan Bapak A pagi ini?”
“Saya yang akan merawat Bapak A di ruangan hari ini dan saya akan membantu
menyelesaikan masalah yang Bapak A hadapi.”
a. Topik : “Bagaimana kalau pagi ini kita berbincang-bincang tentang hal atau
perasaan yang menyebabkan Bapak A ingin mengakhiri kehidupan Bapak
A?”.
b. Tempat : “Bapak A mau di mana kita berbincang-bincang,bagaimana bila di
ruang duduk?”
c. Waktu : “Mau berapa lama kita berbincang-bincang saat ini?Bagaimana bila
15 menit?”

2. KERJA
“Apakah Bapak A pernah berniat untuk bunuh diri?”
“Apakah Bapak A pernah mencoba bunuh diri?Dengan cara apa? Apa yang Bapak A
rasakan saat itu?”
“Apa yang menyebabkan Bapak Amemiliki perasaan ingin mengakhiri kehidupan
Bapak A?”
“Bapak A tampaknya membutuhkan pertolongan karena Bapak A punya keinginan
untuk bunuh diri untuk itu saya akan menemani Bapak A di sini.”
“Saya perlu memeriksa seluruh isi kamar Bapak A untuk memastikan tidak ada benda
yang membahayakan Bapak A.”
“Apakah Bapak A telah meminum obat yang diberikan oleh perawat? Kalau belum
saya akan membantu Bapak A untuk minum obat.”
“Apa yang Bapak A lakukan bila keinginan bunuh diri tersebut muncul?”
“Saya akan membantu Bapak A agar keinginan untuk bunuh diri hilang.”
“Kalau keinginan bunuh diri itu muncul,Bapak A bisa langsung meminta bantuan
perawat atau keluarga yang mengunjungi. Katakan pada kami bahwa keinginan
bunuh diri itu muncul.”
“Cara lain yang bisa digunakan adalah mengalihkan perhatian atau pikiran Bapak A
dengan cara mencari teman untuk diajak berbincang-bincang.”

3. TERMINASI
 Evaluasi Perasaan Klien Setelah Berbincang-bincang
“Bagaimana perasaan Bapak A setelah kita berbincang-bincang? Apakah Bapak A
merasa ada manfaatnya kita berbincang-bincang saat ini?Apakah saat ini
keinginan bunuh diri itu ada?”.
 Evaluasi Isi Materi yang Sudah Dibicarakan pada Pertemuan Ini
“Apakah Bapak A masih ingat cara mengatasi keinginan bunuh diri? Coba Bapak
A sebutkan agar keinginan bunuh diri itu tidak muncul lagi.”
 Tindak Lanjut
“Saya harap bila nanti keinginan untuk bunuh diri itu muncul lagi,Bapak A bisa
mempraktikkan cara-cara yang sudah kita pelajari tadi.”
 Kontrak untuk Pertemuan yang Akan Datang
a. Topik : “Baiklah kita sudah berbincang-bincang selama 15 menit, bagaimana
kalau nanti kita berbincang-bincang tentang cara mengatasi rasa bersalah dan
rasa rendah diri yang Bapak alami?”
b. Tempat: “Dimana tempatnya nanti kita berbincang-bincang?Bagaimana
kalau disini saja?”
c. Waktu : “Mau jam berapa? Bagaimana kalau jam 11 siang nanti, setelah
Bapak A bertemu dengan teman-teman?”
STRATEGI PELAKSANAAN RESIKO BUNUH DIRI

A.Strategi Pelaksanaan
SP 1: Percakapan untuk melindungi pasien dari percobaan
bunuh diri
Melindungi pasien dari percobaan bunuh diri.
 ORIENTASI:
”Selamat pagi ibu/bapak, ini dengan ibu/bapak siapa?
“Senang dipanggil apa ibu/bapak?”
“Perkenalkan saya Alfin, biasa di panggil Nisa, saya mahasiswa
Keperawatan UMM yang mendapat tugas untuk praktek di ruang
ini.”
“Bagaimana kalau hari ini kita berbincang-bincang mengenai apa
yang ibu/bapak rasakan selama ini, saya siap mendengarkan
sesuatu yang ingin ibu/bapak sampaikan dan saya akan menjaga
kerahasiaannya. Bagaimana kalau kita lakukan disini saja
ibu/bapak? Jam berapa kita dapat berbincang – bincang?
 KERJA
“Bagaimana perasaan ibu/bapak hari ini?
”Apa yang ibu/bapak rasakan setelah ini terjadi?
“Apakah dengan masalah ini ibu/bapak paling merasa menderita di
dunia ini?
“Apakah ibu/bapak pernah kehilangan kepercayaan diri untuk
mengahadapi hidup ini?
“Apakah ibu/bapak merasa tidak berharga atau bahkan lebih
rendah dari pada orang lain?
“Apakah ibu/bapak merasa bersalah atau pernah mempersalahkan
diri sendiri?
“Apakah ibu/bapak sering mengalami kesulitan berkonsentrasi?
“Apakah ibu/bapak berniat untuk menyakiti diri sendiri? Ingin
bunuh diri atau berharap bahwa ibu/bapak mati saja? Apakah
ibu/bapak pernah mencoba bunuh diri? Apa sebabnya, bagaimana
caranya? Apa yang ibu/bapak rasakan setelah mencoba
melakukannya?”
“(Baiklah, tampaknya ibu/bapak membutuhkan pertolongan segera
karena ada keinginan untuk mengakhiri hidup. Saya perlu
memeriksa seluruh isi kamar ibu/bapak ini untuk memastikan
tidak ada benda – benda yang membahayakan ibu/bapak)”
”Karena ibu/bapak tampaknya masih memiliki keinginan yang kuat
untuk mengakhiri hidup maka saya tidak akan membiarkan
ibu/bapak sendiri”
”Apa yang ibu/bapak lakukan jika keinginan bunuh diri muncul?”
”Ya, saya setuju dengan ibu/bapak, kalau keinginan itu muncul
maka ibu/bapak harus langsung minta bantuan kepada perawat di
ruangan ini dan juga keluarga atau teman yang sedang
membesuk. Jadi ibu/bapak jangan sendirian ya, katakan kepada
teman, perawat, atau keluarga jika ada dorongan untuk
mengakhiri hidup.”
”Saya percaya ibu/bapak dapat mengatasi masalah ini.”
 TERMINASI :
“Bagaimana perasaan ibu/bapak setelah kita bincang – bincang ?
“Tadi kita sudah berdiskusi tentang cara mengatasi perasaan ingin
bunuh diri, coba sekarang ibu/bapak sebutkan cara tersebut ?
“Ya benar sekali ibu/bapak. Untuk pertemuan selanjutnya kita akan
membicarakan tentang meningkatkan harga diri ya ibu/bapak.
Jam berapa ibu/bapak bersedia berbincang-bincang seperti ini
lagi? Mau dimana tempatnya ibu/bapak?”
“Baik kalau begitu saya permisi dulu ya ibu/bapak, Selamat pagi
ibu/bapak.”

Daftar Pustaka
Anonim. 2013. Strategi Pelaksanaan Resiko Bunuh Diri. Diunduh pada
tanggal 18 Maret 2015 dari alamat web:
http://ahlinyajiwa.blogspot.com/2013/02/strategi-pelaksanaan-resiko-
bunuh-diri.html
Captain, C. (2008). Assessing suicide risk, Nursing made incredibly easy,
Volume 6(3).
Fitria,Nita.2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan
Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP &
SP) untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S1
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Keliat A. Budi, Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional
Jiwa. Jakarta: EGC.
Stuart, G. W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Yosep, I. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai