Anda di halaman 1dari 17

OBYEK-OBYEK KAJIAN FILSAFAT ILMU

(ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI)

Oleh:
Amat Zuhri
PENDAHULUAN
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam kita sering menjumpai adanya
klaim kebenaran dari suatu kelompok tertentu. Kelompok yang mengklaim bahwa
pemikiran atau pendapatnya adalah yang paling benar biasanya akan menyalahkan,
bahkan mengkafirkan kelompok atau orang lain yang memiliki pandangan berbeda. Tak
jarang klaim kebenaran tersebut sampai menimbulkan pertumpahan darah. Sebagai
contoh dapat kita kemukakan peristiwa yang dialami al-Hallaj. Berdasarkan keputusan
seorang hakim madzhab Maliki, yaitu Abu ‘Amr, al-Hallaj dijatuhi hukuman mati.
Keputusan ini disampaikan kepada Khalifah al-Muqtadir bi-Allah. Khalifah tidak
menyetujui keputusan ini kecuali jika al-Junaid ikut menandatanganinya. Enam kali
persoalan putusan tersebut disampaikan kepada al-Junaid untuk mendapatkan tanda
tangannya, namun ia tidak mau menandatanganinya. Untuk yang ke tujuh kali, khalifah
meminta ketegasan jawaban ya atau tidak. Lalu al-Junaid pun mengemukakan jawaban
yang ambigu bahwa secara syariat al-Hallaj dapat dihukum mati, tetapi menurut ajaran
rahasia kebenaran, Allah lah yang Maha Tahu.1 Jawaban al-Junaid itu kemudian
dijadikan sebagai alat legitimasi oleh Penguasa untuk menghukum al-Hallaj. Contoh
lain adalah polemik yang terjadi antara al-Ghazali dengan para Filosof Neo-Platonisme
Muslim terutama al-Farabi dan Ibnu Sina, dan secara tidak langsung kepada Aristoteles.
Menurut al-Ghazali, para pemikir bebas tersebut telah menjadi kafir karena meyakini
kekadiman alam.2
Kalau diperhatikan, perbedaan pendapat tersebut sebenarnya terjadi karena
perbedaan epistemologis yang ada di antara mereka. Hal ini diisyaratkan oleh Junaid al-
Baghdadi sendiri ketika dimintai pendapatnya mengenai apa yang telah diucapkan oleh
al-Hallaj, yaitu bahwa secara syariat al-Hallaj dapat dihukum mati, tetapi menurut
1
M. Badi al-Alam, dalam pengantar Ibrahim Gazur al-Ilahi, The Secret of Ana al-Haq,
terjemahan Joebar Ayyub, Jakarta: Rajawali Press, 1993, h. xiv, sebagaimana telah dikutip oleh Amat
Zuhri, Ilmu Tasawuf, Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2005, h. 78
2
Menurut al-Ghazali, sebagaimana yang dikutip oleh Hasyimsyah Nasution, tiga persoalan yang
menyebabkan para filosof dipandang kafir adalah: 1) Alam kekal (qadim) atau abadi. 2) Tuhan tidak
mengetahui rincian atau hal-hal partikular (juz’iyyat) yang terjadi di alam, dan 3) penginkaran terhadap
kebangkitan jasmani. Lihat Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005, h.
83-84.
ajaran rahasia kebenaran, Allah lah yang Maha Tahu. Hal yang serupa juga terjadi pada
sikap al-Ghazali. Ia mengkafirkan para Filosof yang meyakini kekadiman alam dan
menolak adanya kebangkitan jasmani, namun ketika ia berbicara dalam kapasitasnya
sebagai seorang Sufi, ia setuju pandangan tersebut.3
Oleh karena itu, kita perlu mempelajari Filsafat Ilmu yang akan meneropong
metode ilmu-ilmu keislaman agar kita memahami pemikiran yang berbeda dengan
pemikiran kita yang pada akhirnya akan melahirkan sikap teoleransi terhadap. Nah,
dalam makalah ini akan dibahas tentang Obyek-obyek kajian Filsafat Ilmu baik
Ontologi, epistemologi maupun aksiologi. Namun sebelum membahas obyek-obyek
Filsafat Ilmu tersebut, alangkah baiknya terlebih dahulu akan dijelaskan tentang
pengertian Filsafat Ilmu.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Filsafat Ilmu
Filsafat Ilmu terdiri dari dua kata, yaitu Filsafat dan Ilmu. Oleh karena itu
sebelum membahas pengertian ilmu sebaiknya terlebih dahulu kita perlu memahami arti
filsafat. Para ahli mendefinisikan filsafat bermacam-macam. Mungkin karena
banyaknya definisi filsafat dari para ahli itulah maka Muhammad. Hatta mengatakan
bahwa pengertian filsafat lebih baik tidak dibicarakan lebih dahulu, karena setelah
membaca dan mempelajari lebih lanjut, filsafat akan dapat dimengerti dengan
sendirinya.4 Namun untuk sekedar memberi gambaran tentang pengertian filsafat, bisa
dilihat dari tiga segi; pertama secara praktis; kedua, secara semantik; dan ketiga secara
terminologis. Secara praktis, filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat
artinya berpikir. Akan tetapi tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat berarti
berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.5 Sehingga meskipun semua manusia
itu berpikir, tapi tidak semua manusia secara otomatis adalah seorang filosof, karena
filosof hanyalah orang yang memikirkan dengan sungguh-sungguh dan mendalam
tentang hakekat segala sesuatu.
Secara semantik, filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia (dari kata
philein yang artinya mencintai, atau philia yang berarti cinta; dan sophia yang berarti
kearifan atau kebijaksanaan) yang dalam bahasa Inggris philosophy. Jadi philosophia
3
Dalam dalam hal ini lihat Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1990, h. 137.
4
M. Hatta, Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI Press, 1986, h. 3.
5
Hasbullah Bakri, Sistematika Filsafat, Jakarta: Penerbit Widjaya, 1986, h. 9.
berarti mencintai kebijaksanaan.6 Lebih lanjut dijelaskan oleh Poedjawijatna bahwa
philia yang berarti cinta bermakna ingin, dan oleh karena itu berusaha ingin mencapai
sesuatu yang diinginkannya itu; sementara sophia yang berarti kebijaksanaan
mempunyai arti mengerti secara menyeluruh dan mendalam.7
Harun Nsution menyebut filsafat dengan kata Falsafat. Menurutnya, falsafat
berasal dari kata Yunani yang tersusun dari kata Philein dalam arti cinta dan sophos
dalam arti hikmat (wisdom). Orang Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke
dalam bahasa mereka dengan menyesuaikannya dengan tabiat susunan kata-kata Arab,
yaitu falsafa dengan pola fa’lala dan fi’lal. Dengan demikian kata benda dari kata kerja
falsafa seharusnyalah falsafah dan filsaf.
Dalam bahasa Indonesia banyak dipakai kata filsafat. Dan ini, lanjut Harun
Nasution, kelihatannya bukan berasal dari kata Arab falsafah dan bukan pula dari kata
Barat philosophi. Mungkin fil diambil dari kata Barat dan safah dari kata Arab,
sehingga terjadilah gabungan antara keduanya dan menimbulkan kata filsafat.
Adapun pengertian filsafat secara terminologis seperti dirumuskan oleh beberapa
pemikirberikut ini:
Fuad Hasan mendefinisikan filsafat sebagai ikhtiar manusia untuk memahami berbagai
manifestasi kenyataan melalui upaya berfikir sistematis (systema = keteraturan, tatanan, saling
keterkaitan), kritis (kritikos = kemampuan menilai; kritein = memilah-milah), dan radikal (radix
= akar). Dengan kata lain: filsafat ditandai oleh proses berfikir yang teratur sambil menilai
sesuatu hal secara mendasar.8
Senada dengan Fuad Hasan, Harun Nasution mengatakan bahwa intisari filsafat
ialah: berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi,
dogma dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya sampai ke dasar persoalan.9
Sementara Endang Saifuddin Anshari mendefinisikan filsafat sebagai berikut:
1. Filsafat ialah ”ilmu istimewa” yang mencoba menjawab masalah-masalah yang
tidak dapat dijawab oleh ilmu biasa, karena masalah-masalah termaksud itu di
luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa.

6
Endang Saefuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, 1992, h. 79.
7
Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta, 1990, h. 1
8
Fuad Hasan, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta: Pustaka Jaya, Cet ke-2, 2001, h. 9.
9
Harun Nasution, Falsafat Agama, Jakarta: PT Bulan Bintang, Cet. Ke-8, 1991, h.3
2. Filsafat ialah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami
(mendalami dan menyelami) secara radikal dan integral serta sistematik hakikat
sarwa-yang-ada: hakikat Tuhan, hakikat alam semesta dan hakikat manusia.10
Setelah kita membahas pengertian filsafat, selanjutnya kita membahas tetntang
pengertian Ilmu. Dalam bahasa Indonesia, ilmu sering disebut dengan istilah ilmu
pengetahuan, yaitu pengetahuan yang ilmiah yang ekwivalen artinya dengan science
dalam bahasa Inggris dan Perancis.
Science berasal dari kata scio, scire (bahasa Latin) yang berarti tahu. Begitupun
ilmu berasal dari kata ’alima (bahasa Arab) yang juga berarti tahu. Jadi baik ilmu
maupun science secara etimologis berarti pengetahuan. Namun secara terminologis ilmu
dan science itu semacam pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri, tanda-tanda, dan
syarat-syarat yang khas.11
Selanjutnya Endang Saifuddin menjelaskan bahwa ciri, tanda dan syarat ilmu
pengetahuan itu adalah: sistematik, rasional, empiris umum dan komulatif (bersusun
timbun): bahwa ilmu pengetahuan itu merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap
dan konsisten mengenai hal-hal yang di-studi-nya dalam ruang dan waktu sejauh
jangkauan pemikiran dan penginderaan manusia.12
Dari penjelasan mengenai pengertian Filsafat dan Ilmu di atas, maka menurut
pemakalah, pengertian filsafat ilmu yang dirumuskan oleh Suwardi Endraswara cukup
representatif untuk diterima sebagai definisi filsafat ilmu. Ia merumuskan bahwa filsafat
ilmu adalah merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan
mengenai hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan
implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial.
Di sini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat
ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana
suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut
dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, menperkirakan serta memanfaatkan
alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan
penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk

10
Endang Saefuddin Anshari, Op. Cit. h. 85
11
Endang Saefuddin Anshari, Op. Cit. h. 47
12
Ibid, h. 49.
mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap
masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.13
Senada dengan Suwardi Endraswara, Jujun S. Suriasumantri mendefinisikan
Filsafat Ilmu sebagai berfilsafat tentang ilmu yang berati mempertanyakan tentang
apakah ilmu itu? Apakah ciri-cirinya yang hakiki yang membedakan ilmu dari
pengetahuan-pengetahuan lainnya yang bukan ilmu? Bagaimana kriteria yang dipakai
dalam menentukan kebenaran secara ilmiah? Mengapa ilmu mesti dipelajari dan apa
kegunaan ilmu yang sebenarnya?14
Dengan kata lain, filsafat ilmu berarti Filsafat yang menjadikan ilmu sebagai
obyek materia atau lapangan penyelidikan.
3. Obyek Filsafat Ilmu
Sebelum pemakalah menjelaskan obyek Filsafat Ilmu, akan terlebih dahulu
menjelaskan obyek filsafat secara umum. Seperti ilmu pengetahuan pada umumnya,
filsafat juga memiliki obyek studi yang meliputi obyek materi maupun obyek forma.
Obyek materia filsafat adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.
Tentang obyek materia ini banyak yang sama dengan obyek materia sains. Bedanya
ialah dalam dua hal. Pertama, sains menyelidiki obyek materia yang empiris, filsafat
menyelidiki obyek yang itu juga, tetapi bukan bagian yang empiris, melainkan bagian
yang abstraknya. Kedua, ada obyek materia filsafat yang memang tidak dapat diteliti
oleh sains, seperti Tuhan, hari akhir, yaitu obyek materia yang untuk selama-lamanya
tidak empiris.15 Hal itu berarti bahwa filsafat mempelajari apa saja yang menjadi isi
alam semesta mulai dari mineral (benda mati), benda hidup (vegetativa, animalia, dan
manusia), dan causaprima (sang Pencipta). Selanjutnya obyek ini sering disebut pula
sebagai realitas atau kenyataan (the reality).16
Sementara itu, Tri Astutik Haryati menyebutkan ada perbedaan lain antara
filsafat dan ilmu. Kalau ilmu-ilmu lain membatasi pembahasannya pada alam yang
dapat diamati (empiris), menyelidiki obyeknya dengan pertanyaan “bagaimana” dan
“apa sebabnya”. Maka filsafat menggunakan pertanyaan “apa itu”, “dari mana”, dan “ke
mana”. Sehingga yang hendak dicari dalam filsafat bukan sebab dan akibat dari suatu
13
Suwardi Endraswara, Op. Cit. h. 31.
14
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, cet. Ke-6, 1990, h. 19.
15
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: Remaja
Rosda Karya, Cet . XII 2003, h. 21.
16
Suparlan Suhartono, Dasar-dasar Filsafat, Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2004, h. 114.
masalah—seperti yang diselidiki oleh ilmu—tapi apa hakekat yang sebenarnya dari
sesuatu itu, dari mana asalnya, dan ke mana tujuannya. Secara singkat bisa dikatakan
bahwa pertanyaan dalam filsafat menyangkut persoalan kenyataan sebagai kenyataan,
dan hal ini perlu dibedakan antara yang nampak (appearance) dengan kenyataan
(reality). Inilah yang membedakan filsafat dengan ilmu-ilmu lain.17
Sedangkan yang dimaksud obyek forma filsafat adalah sudut pandang atau
pendekatan yang digunakan oleh filsafat dalam mengkaji obyek materia. Obyek forma
dari filsafat adalah berpikr radikal, bebas, dan berada dalam dataran makna untuk
mencari hakekat segala sesuatu yang terdapat dalam obyek materia (yaitu alam,
manusia, dan Tuhan).
Jadi sudut pandang filsafat tidak terbatas pada salah satu perspektif saja
melainkan menyeluruh dan terbuka bagi sudut pandang lain sebanyak-banyaknya untuk
dapat mencakup wawasan yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya, sehingga
hakekat dan keberadaan realitas, baik menurut bagian-bagiannya maupun
keseluruhannya menjadi jelas.18
Kajian dalam filsafat terhadap obyeknya (obyek materia) dari waktu ke waktu
mungkin tidak berubah, tetapi corak dan sifatnya serta dimensi yang menjadi tekanan
dan fokus kajian harus berubah dan menyesuaikan dengan perubahan serta konteks
kehidupan manusia, dan semangat baru yang selalu muncul dalam perkembangan
jaman.19
Itulah sekilas tentang obyek filsafat secara umum. Berangkat dari kerangka
tersebut maka obyek filsafat ilmu juga terdiri dari dua hal, yaitu obyek material dan
obyek formal. Dengan mengutip pendapat Noeng Muhajir, Suwardi Endraswara
mengatakan bahwa obyek material filsafat ilmu adalah (1) fakta dan (2) kebenaran
dalam semua disiplin ilmu. Jadi obyek material filsafat ilmu adalah pengetahuan itu
sendiri yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah
tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum.20
Sedangkan obyek formal filsafat ilmu akan menelaah masalah (1) konfirmasi
dan (2) logika. Kedua hal ini menjadi dasar bagaimana filsafat ilmu menemukan

17
Tri Astutik Haryati, Manusia Perspektif Soren Kierkegaard dan Muhammad Iqbal,
Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2012, h. 22.
18
Suparlan Suhartono. Op. Cit. h. 116.
19
Tri Astutik Haryati, Op. Cit. h. 28.
20
Suwardi Endraswara, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: CAPS, 2012, h. 80.
kebenaran. Jadi obyek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan,
artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu
pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu pengetahuan, bagaimana cara memperoleh
kebenaran ilmiah dan apa fungsi ilmu itu bagi manusia. Problem inilah yang
dibicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan, yakni landasan
ontologis, epistemologis dan aksiologis.21
Berikut ini akan dibahas obyek-obyek filsafat ilmu yang meliputi ontologis,
epistemologis dan aksiologis.
a. Ontologi
Ontologi berasal dari perkataan Yunani yaitu ontos yang berarti being, dan
logos yang berarti ilmu. Jadi ontologi adalah the theory of being qua being (teori tentang
keberadaan sebagai keberadaan). Atau bisa juga disebut ontologi sebagai ilmu tentang
“yang ada”. Yang dimaksud “ada” adalah dari dan akan ke mana ada itu. Menurut
istilah, ontologi ialah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan
ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. Dua
pengertian ini merambah ke dunia hakikat sebuah ilmu. Ontologi membahas masalah
ada dan tiada. Ilmu itu ada, tentu ada asal-muasalnya. Ilmu itu ada yang nampak dan ada
yang tidak nampak. Dengan berfikir ontologi, manusia akan memahami tentang
eksistensi sebuah ilmu.22
Sementara itu dalam studi ilmu-ilmu keislaman terbagi menjadi dua kelompok,
yaitu ilmu qauliyah, seperti syari’a, Ushul al-din dan dakwah atau tarbiyah; serta
kelompok ilmu kauniya, yang obyeknya adalah alam semesta dan manusia. Kelompok
yang kedua ini kurang diperkenalkan dalam studi ilmu-ilmu keislaman.23
Karena filsafat ilmu memiliki obyek berupa kebenaran dalam semua disiplin
ilmu, maka ilmu-ilmu keislaman tersebut akan menjadi obyek kajian ontologis filsafat
Ilmu.
b. Epistemologi
Menurut Jacques Veuger, sebagaimana yang dikutip oleh Suparman Syukur, di
antara gejala-gejala eksistensi manusia yang dialami,satu hal yang amat menyolok mata
dan amat penting ialah pengetahuan. Sebab ia merefleksikan eksistensinya secara

21
Suwardi Endraswara, Op. Cit. h. 81.
22
Ibid, h. 98
23
Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h. 204
menyeluruh, manusia terpaksa merefleksikan pengetahuannya juga. Bagaian filsafat
yang dengan sengaja berusaha menjalankan refleksi atas pengetahuan manusia itu
disebut epistemologi, atau ajaran tentang pengetahuan.24
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu
pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kata, episteme yang berarti
pengetahuan dan logos, theory. Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
tentang teori ilmu pengetahuan. Cabang ini berusaha menemukan jawaban atas
pertanyaan bagaimana ada itu berada. Proses ada itu dari sisi ilmu pengetahuan tentu
mengkuti prinsip-prinsip teoritik yang jelas.25
Dengan kata lain epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul,
asumsi dasar, sifat-sifat dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu
penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi
tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan ”kebenaran” macam
apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak.
Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang
mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan fondasi, alat, tolok ukur, keabsahan,
validitas dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia.26
Dalam filsafat ada banyak macam aliran epistemologi, di antaranya adalah
rasionalisme, empirisme, positivisme dan intuisionisme serta masih banyak lagi aliran
lain seperti kritisisme, idealisme, pragmatisme, fenomenologi dan eksistensialisme.
Namun dalam makalah ini tidak akan dibahas semuanya, melainkan hanya akan
membahas epistemologi rasionalisme, empirisme, positivisme dan intuisionisme saja.

1) Rasionalisme
Tokoh aliran Rasionalisme adalah Rene Descartes (1596-1650). 27 Ia adalah
matematikawan, fisikawan dan filosof dari Perancis yang dijuluki sebagai Bapak
Filsafat Modern. Karyanya yang paling terkenal dalam bidang filsafat adalah
Meditations First Philosopy yang berisi sejumlah spekulasi agenda filsafat pemikiran
dan epistemologi untuk 300 tahun depan. Dia mengajukan skeptisisme yang cukup
radikal tentang pengetahuan manusia terhadap semesta. Satu-satunya hal yang
24
Ibid, h. 42.
25
Suwardi Endraswara, Op. Cit. h. 118
26
Ibid, h. 120.
27
Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Kanisius, Cet ke-8, 1992, h. 18.
menurutnya dapat dipastikan oleh manusia adalah eksistensinya. Ungkapan terkenal
mengenai hal ini adalah “Cagito ergo sum” (Saya berpikir maka saya ada).
Baginya, Cagito ergo sum” adalah pijakan awal untuk mencoba menggapai
kebenaran eksistensi Tuhan agar eksisensi pengetahuan yang dipersepsikan oleh
manusia terjamin kebenarannya.28
Secara singkat aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian
pengetahuan. Pengetahuan yang benar diukur dengan akal. Manusia, menurut aliran ini,
memperoleh pengetahuan melalui kegiatan akal menangkap obyek.29
Aliran Rasionalisme ini memandang bahwa indera manusia sering menipu,
sehingga pengetahuan yang berasal dari pengamatan indera bernilai salah. Menurut
Rene Descartes, ilmu pengetahuan yang murni adalah ilmu pengetahuan yang hanya
berdasarkan logika sebab-akibat (reasoning).30
Namun demikian, bukan berarti aliran rasionalisme ini mengingkari kegunaan
indera dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indera diperlukan untuk
merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja.
Akan tetapi, untuk sampainya manusia pada kebenaran adalah semata-mata dengan
akal. Laporan indera menurut rasionalisme merupakan bahan yang belum jelas, kacau.
Bahan ini kemudian dipertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berfikir. Akal
mengatur bahan itu sehingga dapatlah terbentuk pengetahuan yang benar. Jadi akal
bekerja karena ada bahan dari indera. Akan tetapi akal dapat juga menghasilkan
pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan inderawi sama sekali. Jadi akal dapat juga
menghasilkan pengetahuan tentang obyek yang betul-betul abstrak.31
2) Empirisme
Bertentangan dengan rasionalisme yang mengindahkan rasio sebagai sumber
utama pengenalan, maka sesudah masa Rene Descartes di Inggris timbul suatu aliran
lain yang dinamakan empirisme. Istilah ini berasal dari kata Yunani empeiria yang
berarti “pengalaman inderawi”. Epirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama
pengenalan dan yang dimaksudkan dengannya ialah baik pengalaman lahiriah yang
menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia
saja. Tidak menghrankan bila rasionalisme dan empirisme masing-masing mempunyai
28
Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosophers, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010, h. 150.
29
Ahmad Tafsir, Op. Cit. h. 25.
30
Kumara Ari Yuana, Op. Cit. h. 151
31
Ahmad Tafsir, Op. Cit. h. 25.
pendirian yang sangat berlainan tentang sifat pengenalan manusiawi. Rasionalisme
mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan
inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur saja. Sebaliknya, empirisme
berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman, sehingga pengenalan
inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.32
Orang pertama yang mengikuti aliran empirisme di Inggris adalah Thomas
Hobbes (1588-1679) yang mendapat pendidikannya di Oxford. Filsafat Hobbes
mewujudkan suatu sistem yang lengkap mengenai keterangan tentang “yang ada” secara
mekanis. Ia adalah seorang materialis yang pertama dalam filsafat modern. Dapat
dikatakan bahwa ia adalah seorang materialis di bidang ajaran tentang “yang ada”, dan
seorang naturalis di bidang ajaran tentang antropologi, seorang absolutis di bidang
ajaran tentang negara.
Materialisme yang dianut oleh Hobbes adalah bahwa segala yang ada bersifat
bendawi. Yang dimaksud bendawi ialah segala sesuatu yang tidak tergantung kepada
gagasan kita. Ia juga mengajarkan bahwa segala kejadian adalah gerak, yang
berlangsung karena keharusan. Realitas segala yang bersifat bendawi, yaitu yang tidak
tergantung pada gagasan kita, terhisab di dalam gerak itu.
Berdasarkan pandangannya yang demikian itu manusia tidaklah lebih dari pada
suatu bagian alam bendawi yang mengelilinginya. Oleh karena itu maka segala sesuatu
yang terjadi padanya dapat diterangkan dengan cara yang sama dengan cara
menerangkan kejadian-kejadian alamiah, yaitu secara mekanis. Manusia hidup selama
darahnya beredar dan jantungnya bekerja, yang disebabkan karena pengaruh mekanis
dari hawa atmosfer. Hidup manusia adalah gerak anggota-anggota tubuhnya.
Pengenalan atau pengetahuan diperoleh karena pengalaman. Pengalaman adalah
awal segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan
diteguhkan oleh pengalaman. Segala ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman.
Hanya pengalamanlah yang meberi jaminan akan kepastian.33
Tradisi empiris Thomas Hobes kemudian dilanjutkan oleh John Locke (1632-
1704). Menurutnya, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari
itu.34

32
Kees Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, cet. Ke-11, 1993, h. 50
33
Harun Hadiwiyono, Op. Cit. h. 33.
34
Ibib, h. 36
John Locke mengemukakan teori tabula rasa yang secara bahasa berarti meja
lilin. Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan.
Lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, maka ia memiliki pengetahuan.
Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama-kelamaan ruwet, lalu
tersusunlah pengetahuan berarti. Berarti bagaimanapun kompleksnya pengetahuan
manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak
dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi pengalaman indera
itulah sumber pengetahuan yang benar. Karena itulah metode penelitian yang menjadi
tumpuan aliran ini adalah metode eksperimen.35
Akhirnya pemikiran empirisme ini dikokohkan oleh David Hume (1711-1776)
yang menggunakan prinsip-prinsip empiristis dengan cara yang paling radikal.36 Namun
empirisme radikal Hume ini justru akhirnya menjadi ”skeptisisme”.37 Hal ini terlihat
dalam pemikirannya tentang ”diri pengetahuan dan probabilitas”.yang dimaksud Hume
dengan ”probabilitas” bukanlah sejenis pengetahuan yang terdapat dalam teori
probabilitas matematika. Pengetahuan ini tidak dengan sendirinya bersifat mungkin
dalam pengertian apapun. Ia memiliki kepastian sebagaimana yang dimiliki
pengetahuan. Yang menjadi perhatian Hume adalah pengetahuan tak pasti, semisal yang
didapat dari data empiris dengan penyimpulan yang tidak demonstratif. Ini mencakup
semua pengetahuan kita mengenai masa depan dan mengenai bagian tak teramati dari
masa lalu dan masa kini.38

3) Positivisme
Positivisme adalah filsafat yang menyatakan bahwa pengetahuan yang autentik
hanyalah pengetahuan yang berdasarkan pengalaman nyata. Pengetahuan hanya dapat
diperoleh melalui pengujian dengan metode ilmiah. Pendekatan metafisika akan sangat
dihindari oleh para positivis. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, filsafat ini
berkembangdi Eropa dan Amerika. Pandangan positivisme ini dipegang oleh para
teknokrat yang menggantikan sejarah pemikiran metafisika dengan metode ilmiah.39

35
Ahmad Tafsir, Op. Cit. h. 24
36
K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1993, h. 52.
37
Ibid, h. 53.
38
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h. 868
39
Kumara Ari Yuana, Op. Cit. h. 228
Filsafat ini berpangkal dari apa yang telah dikeahui, yang faktual, yang positif.
Segala uraian dan persoalan yang di luar apa yang ada sebagai fakta atau kenyataan
dikesampingkan. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak, segala
gejala.40
Tokoh aliran ini adalah Auguste Comte (1798-1857). Gagasan pokok
positivisme Comte ialah menerima ilmu pengetahuan positif sebagai titik tolak
kefilsafatan, dan menolak pengalaman batiniah sebagai titik tolak atau sumber
pengetahuan.41
Comte membagi perkembangan pemikiran manusia menjadi tiga tahap, yaitu
teologis, metafisik dan positif-ilmiah. Pada tahap pertama manusia memahami gejala-
gejala alam sebagai hasil tindakan langsung dari kekuatan Ilahi. Manusia mencari
penjelasan eksistensi dan aktivitas segala sesuatu dengan menggunakan roh yang
membimbing dan yang tinggal di dalamnya. Alam semesta dimengerti dari kerangka
tatanan mitos spiritual. Pada tahap ke dua, pelaku ilahi yang personal digantikan oleh
prinsip-prinsip metafisika. Manusia mulai memproduksi ide-ide abstrak, menjelaskan
kejadian-kejadian alam dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip abstrak spekulasi
filsafat. Pada tahap ke tiga, yakni tahap positif-ilmiah, manusia berhenti mencari
penyebab absolut atau sebab-sebab transenden. Manusia hanya berkonsentrasi pada
pengamatan dunia sosial dan fisik untuk mencari hukum-hukum yang mengaturnya.42
Menurut Comte, zaman positif sekarang ini adalah zaman ketika orang tahu
bahwa tidak ada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang
mutlak, baik pengenalan teologis maupun pengenalan metafisis. Ia tidak lagi mau
melacak hakekat yang sejati dari segala sesuatu yang berada di belakang segala
sesuatu.43
Comte berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh
pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan
eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Panas diukur dengan
derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat dengan timbangan dan sebagainya.
Kita tidak cukup hanya dengan mengatakan api panas, matahari panas, kopi panas,
40
Harun Hadiwiyono, Op. Cit. h. 109
41
Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana,
1992, h. 165.
42
Darius Djehanih, “HumanismeAteistik” dalam Bambang Sugiharto (Ed), Humanisme dan
Humaniora, Bandung: Matahari, 2013, h. 116.
43
Harun Hadiwijono, Op. Cit, h. 111
ketika panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-
benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal, didukung bukti empiris yang terukur.
”Terukur” itulah sumbangan positivisme.
Jadi pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang berdiri sendiri. Ia
hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata
lain, ia menyempurnakan methode ilmiah dengan memasukkan perlunya eksperimen
dan ukuran-ukuran.44
4) Intuisionisme
Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 ilu pengetahuan dan tehnik berkembang
dengan cepat, yang mengakibatkan perkembangan industrialisasi yang cepat juga. Hal
ini menjadikan segala pemikiran orang diarahkan kepada hal-hal yang badani saja. Akal
manusia dipakai untuk menyelidiki segala sesuatu. Segala sesuatu dianalisa, dibongkar
dan ditafsirkan, serta disusun kembali. Juga ilmu yang menyelidiki jiwa manusia
(psikologi) berbuat demikian. Baik jagat raya maupun manusia dipandang sebagai
mesin, yang terdiri dari banyak bagian, yang masing-masing menempati tempatnya
sendiri-sendiri, serta yang bekerja yang menurut hukum yang telah ditentukan bagi
masing-masing bagian itu. Demikian juga halnya dengan manusia. Ruh bukanlah
peristiwa yang berdiri sendiri. Kerjanya disebabkan karena akibat proses-proses bendani
yang berjalan karena keharusan, seperti umpamanya: ginjal harus mengeluarkan air
kencing, jantung harus memompa darah, otak harus mengeluarkan buah pikiran dan lain
sebagainya.
Salah satu reaksi terhadap pandangan yang demikian itu adalah filsafat hidup,
yang salah seorang penganutnya adalah Henri Bergson (1859-1941), seorang yang
berdarah campuran Perancis dan Yahudi. 45
Menurut Bergson, akal dan indera memiliki kemampuan yang terbatas. Obyek-
obyek yang kita tangkap itu adalah obyek yang selalu berubah. Jadi pengetahuan kita
tentangnya tidak pernah tetap. Intelek atau akal juga terbatas. Akal hanya memahami
suatu obyek bila ia menonsentrasikan dirinya pada obyek itu. Jadi dalam hal seperti itu
manusia tidak mengetahui keseluruhan, tidak juga dapat mengetahui sifat-sifat yang
tetap pada obyek. Akal hanya mampu memahami bagian-bagian dari obyek, kemudian

44
Ahmad Tafsir, Op. Cit. h. 26
45
Harun Hadiwijono, Op. Cit, h. 135.
bagian-bagian itu digabungkan oleh akal. Itu tidak sama dengan pengetahuan
menyeluruh tentang obyek itu.
Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal seperti diterangkan di atas,
Bergson mengembangkan suatu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu
intuisi.46 Intuisi ini berfungsi untuk menyelami hakekat segala kenyataan. Intuisi
merupakan tenaga ruhani, suatu kecakapan yang dapat melepaskan diri dari akal,
kecakapan untuk menyimpulkan serta meninjau dengan sadar. Intuisi adalah naluri yang
telah mendapatkan kesadaran diri, yang telah dicakapkan untuk memikirkan sasarannya
serta memperluas sasaran itu menurut kehendak sendiri tanpa batas. Intuisi adalah
bentuk pemikiran yang berbeda dengan pemikiran akal, sebab pemikiran intuisi bersifat
dinamis. Fungsi intuisi ialah untuk mengenal hakikat pribadi atau ”aku” dengan lebih
murni dan untuk mengenal hakekat seluruh kenyataan.47
Bergson berpendapat bahwa penalaran lebih cenderung mengurai (analysis)
kenyataan sehingga berakibat pemilahan (fragmentasi) yang berlanjut dengan hilangnya
kenyataan itu sebagai keseluruhan yang utuh. Sekuntum bunga sebagai kenyataan yang
utuh tampil indah. Manakala bunga itu diuraikan bagian-bagiannya secara tersendiri,
maka fragmentasinya sekaligus meniadakan keindahannya. Keindahan yang tampil
melalui bunga sebagai kenyataan yang utuh itu hanya dapat ditangkap secara langsung
oleh intuisi, karena intuisi tidak mengurai dan memilah-milah, melainkan menangkap
secara keseluruhan. Berbeda dengan penalaran yang bersifat mengraikan kenyataan,
intuisi cenderung secara langsung menangkap kenyataan dalam keutuhannya.48
Demikialah sekilas pembahasan tentang Epistemologi. Diharapkan setelah tahu
tentang beberapa macam epistemologi tersebut kita bisa memahami epitemologi ilmu-
ilmu keislama. Mungkin saja ilmu-ilmu keislaman yang kita pelajari ada yang
menggunakan epistemologi rasionalisme, seperti ilmu fiqh, kalamdan filsafat, dan aja
juga yang menggunakan epistemologi intuisionisme seperti Tasawuf. Dengan demikian,
ketika kita akan menganalisa atau mengkritik disiplin ilmu-ilmu keislaman harus
menggunakan kaca mata epistemologi sesuai dengan epistemologi yang digunakan
dalam bidang keilmuan tersebut.
C. Aksiologi
46
Ahmad Tafsir, Op. Cit. h. 27.
47
Harun Hadiwijono, Op. Cit, h. 137

48
Fuad Hasan, Op. Cit. h. 87.
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu axios yang berarti
nilai, sesuai atau wajar, dan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori
nilai. Dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem
seperti politik, sosial dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan,
rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap institusi terwujud.
Nilai sebuah ilmu berkaitan dengan kegunaan. Guna suatu ilmu bagi kehidupan
manusia akan mengantarkan hidup semakin tahu tentang resep-resep kehidupan.
Pengetahuan itu diharapkan memiliki aspek tepat guna bagi pemiliknya. Aksiologi
memberikan jawaban untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan.
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah nilai.
Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan nilai. Bagaimana
kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan
norma-norma nilai.49
Aksiologi ini penting karena pada kenyataannya tidak semua orang yang
memiliki penalaran tinggi selalu diikuti dengan perilaku yang baik. Bahkan sebaliknya,
semakin tinggi penalaran orang, kadang semakin tinggi pula kemampuannya untuk
membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.
Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat
berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka
pemenuhan kebutuhan manusia bia dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah di
samping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan,
pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi. Namun dalam kennyataannya,
ilmu tidak selamanya membawa berkah. Malah sebaliknya, ilmu justru membawa
malapetaka dan kesengsaraan.
Sejak dalam tahap-tahap pertama pertumbuhannya, ilmu sudah dikaitkan dengan
tjuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk
memerangi sesama manusia dan menguasai mereka. Bukan saja bermacam-macam
senjata pembunuh berhasil dikembangkan namun juga berbagai teknik penyiksaan dan
cara memperbudak massa. Di pihak lain, perkembangan ilmu sering melupakan faktor
kemanusiaan. 50

49
Suwardi Endraswara, Op. Cit. h. 146
50
Jujun S. Suriasumantri, Op. Cit. h. 231.
Sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya di jalan yang benar. Oleh karena itu, dalam kaca mata aksiologi,
ilmu tidak lagi bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus
disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat, sehingga nilai
kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan
kesejahteraan bersama.
PENUTUP
Demikianlah pembahasan tentang obyek-obyek filsafat nilai yang akan kita
gunakan untuk memotret ilmu-ilmu keislaman. Semoga makalah sederhana yang masih
jauh dari kesempurnaan ini ada manfaatnya meskipun hanya sedikit.

DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Endang Saefuddin, Ilmu Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, 1992.
Bakri, Hasbullah, Sistematika Filsafat, Jakarta: Penerbit Widjaya, 1986.
Bertens, Kees , Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, cet. Ke-11, 1993
Delfgaauw, Bernard, Sejarah Ringkas Filsafat Barat. Yogyakarta: Penerbit Tiara
Wacana, 1992.
Hadiwiyono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Kanisius, Cet ke-8, 1992.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
Haryati, Tri Astutik, Manusia Perspektif Soren Kierkegaard dan Muhammad Iqbal,
Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2012.
Hasan, Fuad, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta: Pustaka Jaya, Cet ke-2, 2001.
Hatta, Muhammad, Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI Press, 1986.
Nasution, Harun, Falsafat Agama, Jakarta: PT Bulan Bintang, Cet. Ke-8, 1991.
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Russel, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Suhartono, Suparlan, Dasar-dasar Filsafat, Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2004, h. 114.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, cet. Ke-6, 1990.
Sugiharto, Bambang (Ed), Humanisme dan Humaniora, Bandung: Matahari, 2013
Syukur, Suparman, Epistemologi Islam Skolastik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung:
Remaja Rosda Karya, Cet . XII 2003.
Yuana, Kumara Ari, The Greatest Philosophers, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010.
Zuhri, Amat dalam Ilmu Tasawuf, Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2005

Anda mungkin juga menyukai