Oleh :
Evryda Nugrahaini
11161015
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ventilasi mekanik (ventilator) memegang peranan penting bagi dunia keperawatan
kritis, dimana perannya sebagai pengganti bagi fungsi ventilasi bagi pasien dengan
gangguan fungsi respiratorik (Sundana, 2014). Ventilator merupakan alat bantu
pernafasan bertekanan negatif atau positif yang menghasilkan udara terkontrol pada jalan
nafas sehingga pasien mampu mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam
jangka waktu lama. Dimana tujuan dari pemasangan ventilator tersebut adalah
mempertahankan ventilasi alveolar secara optimal untuk memenuhi kebutuhan metabolik
pasien, memperbaiki hipoksemia, dan memaksimalkan transport oksigen (Purnawan.
2010).
Pneumonia adalah suatu penyakit infeksi atau peradangan pada organ paruparu yang
disebabkan oleh bakteri, virus, Pneumonia dapat juga disebabkan oleh iritasi kimia atau
fisik dari paru-paru atau sebagai akibat dari penyakit lainnya, seperti kanker paru-paru
atau terlalu banyak minum alkohol. Namun penyebab yang paling sering ialah serangan
bakteri streptococcus pneumoniae atau pneumokokus (Brunner & Suddarth, 2002).
Pneumonia. Pneumonia Terkait Ventilator/ Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
merupakan inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh infeksi kuman yang
mengalami inkubasi saat penderita mendapat ventilasi mekanis dengan menggunakan
ventilator mekanik. Pemberian ventilasi mekanis yang lama (lebih dari 48 jam)
merupakan faktor penyebab pneumonia nosokomial yang paling penting. VAP
didefinisikan sebagai pneumonia yang muncul lebih dari 48 jam setelah intubasi
endotrakeal dan inisiasi ventilasi mekanis. Langer dkk. membagi VAP menjadi onset dini
(early onset) yang terjadi dalam 96 jam pertama pemberian ventilasi mekanis dan onset
lambat (late onset) yang terjadi lebih dari 96 jam setelah pemberian ventilasi mekanis
B. Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh mobilisasi (ambulasi) dan fisioterapi dada terhadap
kejadian VAP pada pasien yang terpasang Ventilator di ruang perawatan intensif RS. Dr.
M. Djamil Padang
BAB II
ANALISA JURNAL
A. Jurnal Utama
1. Judul jurnal : “Mobilisasi Dan Fisioterapi Dada Terhadap Kejadian Ventilator
Associated Pneumonia Di Unit Perawatan Intensif”
2. Nama Peneliti : Hendra, Emil Huriani
3. Populasi Sampel : Sampel dalam penelitian ini adalah 20 pasien yang terpasang
ventilasi mekanik
4. Desain Peneliti : Menggunakan quasi eksperimen dengan rancangan
perbandingan kelompok statis (posttest only control group design) Kelompok
eksperimen menerima perlakuan sesuai dengan SOP, sedangkan kelompok
pembanding diberikan perlakuan sesuai dengan kebiasaan ruangan
5. Instrumen : Instrument yang digunakan, Sarung tangan, Bantal 2-3, tissue wajah,
masker
6. Uji statistik : Uji statistik yang digunakan adalah uji MannWhitney
B. Jurnal Pendukung
1. Judul : “Pengaruh Pemberian Pendidikan Kesehatan Mobilisasi Dini Dengan
Lama Hari Rawat Pada Pasien Post Operasi Sectio Caesaria”
2. Nama Peneliti : Mariati, Sri Sumiati, Eliana
3. Hasil : Hasil penelitian Analisis Bivariat median lama hari rawat pada kelompok
ibu yang diberikan Pendidikan kesehatan mobilisasi dini pada ibu post operasi SC
sebesar 3.00 dengan nilai minimum lama hari rawat 2 dan nilai maksimum 6.00
dan rerata dan simpangan baku 0.20. Hasil uji statistic menunjukan nilai (p=0,00)
ini berarti ada pengaruh yang signifikan pemberian Pendidikan mobilisasi
terhadap lama hari rawat pada ibu SC. Hasil uji regresi logistic setelah diujikan
Bersama-sama Pendidikan kesehatan mobilisasi dini dan usia dengan lama hari
rawat, menunjukan nilai (p=0,00)
C. Analisis PICO
1. Problem
VAP terjadi pada klien yang menggunakan ventilasi mekanik dan intubasi.
Kuman penyebab infeksi ini tersering adalah bakteri gram negatif (Dahlan, 2006).
Rekam medik Intensive Care Unit (ICU) Rumah Sakit St.Borromeus Bandung
mencatat angka kejadian infeksi nosokomial pneumonia 24% dengan angka mortalitas
33,33% (Regina, 2006). Rekam medik Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung
mencatat 47% infeksi nosokomial pneumonia pada pasien yang menggunakan
ventilasi mekanik dan intubasi (Dahlan, 2006). Insiden nosokomial pneumonia di
Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang pada klien yang menggunakan ventilasi mekanik
dan intubasi 15% - 59% (Saanin, 2006). Tindakan untuk membersihkan jalan napas
diantaranya yaitu: fisioterapi dada seperti penepukkan pada dada/punggung,
menggetarkan, perubahan posisi, seperti; posisi miring, posisi telentang, fisioterapi
dada, dan termasuk penghisapan (Dudut, 2003).
2. Intervention
Mobilisasi didefinisikan menjadi penggantian posisi pasien setiap dua jam
yaitu, miring kiri, telentang dan miring kanan. Fisioterapi dada adalah tindakan yang
dilakukan pada pasien dengan cara menepuk dinding dada atau punggung dengan
tangan dibentuk seperti mangkok dilanjutkan vibrasi dengan cara menggetarkan
dinding dada atau punggung pada waktu pasien mengeluarkan napas.
3. Comparison
a. Judul jurnal :
“Kesesuaian Terapi Empiris Antibiotik Pada Pasien Dengan Ventiator-
Associated Pneumonia RSUP Sanglah Dengan ATS GUIDELINES”
b. Peneliti : Putu Kessi Vikaneswari
c. Hasil Penelitian :
Insiden pasien dengan ventilator associated pneumonia (VAP) di ruang ICU
RSUP Sanglah sebanyak 20 pasien atau 30% dari total 62 pasien yang
menggunakan ventilator. Dari 20 pasien tersebut angka kesesuaian
pemberian terapi empiris antibiotika pada pasien VAP dengan ATS
Guidelines2005 sebesar 70% sedangkan yang tidak sesuai sebesar 30%.
Faktor yang paling banyak mempengaruhi ketidaksesuaian terapi empiris
antibiotika pada pasien VAP di RSUP Sanglah adalah faktor komorbiditas,
diikuti dengan faktor karakteristik antibiotika, dan yang terakhir adalah faktor
tanggungan kesehatan.
4. Outcome
Hasil Kejadian VAP pada pasien yang terpasang ventilasi mekanik yang
dilakukan mobilisasi dan fisioterapi dada sesuai dengan kebiasaan ruangan yaitu
sebesar (70%) lebih tinggi dari kejadian VAP pada pasien yang terpasang ventilasi
mekanik yang dilakukan mobilisasi dan fisioterapi dada sesuai dengan SOP yaitu
sebesar 40%. Namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara mobilisasi
(ambulasi) dan fisioterapi dada yang dilakukan sesuai kebiasaan ruangan dengan
mobilisasi dan fisioterapi dada sesuai dengan SOP (p >0,05).
BAB III
Tinjauan Teori
A. Konsep penyakit
1. Pengertian Pneumonia
Pneumonia adalah suatu penyakit infeksi atau peradangan pada organ
paruparu yang disebabkan oleh bakteri, virus Pneumonia dapat juga disebabkan
oleh iritasi kimia atau fisik dari paru-paru atau sebagai akibat dari penyakit
lainnya, seperti kanker paru-paru atau terlalu banyak minum alkohol. Namun
penyebab yang paling sering ialah serangan bakteri streptococcus pneumoniae
atau pneumokokus (Brunner & Suddarth, 2002).
American College of Chest Physicians mendefinisikan VAP sebagai suatu
keadaan dengan gambaran infiltrat paru yang menetap pada foto thoraks disertai
salah satu gejala yaitu ditemukan hasil biakan darah atau pleura sama dengan
mikroorganisme yang ditemukan pada sputum maupun aspirasi trakea, kavitas
pada rongga thoraks, gejala pneumonia atau terdapat dua dari tiga gejala berikut,
yaitu demam, leukositosis dan sekret purulen
VAP merupakan bagian dari pneumonia nosokomial, yaitu suatu infeksi pada
parenkim paru yang disebabkan oleh kuman-kuman patogen yang sering
ditemukan pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Pneumonia nosokomial
terjadi pada pasien yang telah dirawat di rumah sakit selama lebih dari 48 jam,
dimana periode inkubasinya tidak lebih dari 2 hari. Bagian dari pneumonia
nosokomial, yaitu VAP, biasa terjadi pada pasien yang dirawat di ICU yang telah
terintubasi atau menggunakan ventilator mekanik
2. Etiologi
Beberapa kuman di duga sebagai penyebab VAP. Berdasarkan hasil isolasi
kuman pada pasien dengan diagnosis VAP, bakteri gram negatif sangat sering
ditemukan, namun hasil isolasi dengan bakteri gram positif telah mengalami
peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, terutama pada neonatus.12 Bakteri
penyebab VAP dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan onset atau
lamanya pola kuman. Bakteri penyebab VAP pada kelompok I adalah kuman
gram negatif (Enterobacter spp, Escherichia coli, Klebsiella spp, Proteus spp,
Serratai marcescens), Haemophilus influenza, Streptococcus pneumonia, dan
Methicillin Sensitive Staphylococcus Aureus (MSSA). Bakteri kelompok II
adalah bakteri penyebab kelompok I ditambah kuman anaerob, Legionella
pneumophilia dan Methicillin Resistan Staphylococcus Aureus (MRSA). Bakteri
penyebab kelompok III adalah Pseudomonas aeruginosa, Acetinobacter spp, dan
MRSA
3. Patofisiologi
Patogenesis VAP sangat kompleks. Kollef menyatakan insiden VAP
tergantung pada lamanya paparan lingkungan dan penggunaan alat kesehatan
tertentu, dan faktor risiko lain (tabel 3). Faktor-faktor risiko ini meningkatkan
kemungkinan terjadinya VAP dengan cara meningkatkan terjadinya kolonisasi
traktus aerodigestif oleh mikroorganisme patogen dan meningkatkan terjadinya
aspirasi sekret yang terkontaminasi ke dalam saluran napas bawah. Kuman dalam
aspirat tersebut akan menghasilkan biofilm di dalam saluran napas bawah dan di
parenkim paru. Biofilm tersebut akan memudahkan kuman untuk menginvasi
parenkim paru lebih lanjut sampai kemudian terjadi reaksi peradangan di
parenkim paru. Cook dkk. menunjukkan bahwa lambung adalah reservoir utama
kolonisasi dan aspirasi mikroorganisme. Hal dapat dipengaruhi beberapa faktor
seperti pemakaian obat yang memicu kolonisasi bakteri (antibiotika dan
pencegah/profilaksis stress ulcer), posisi pasien yang datar, pemberian nutrisi
enteral, dan derajat keparahan penyakit pasien Saluran pernapasan normal
memiliki berbagai mekanisme pertahanan paru terhadap infeksi seperti glotis dan
laring, refleks batuk, sekresi trakeobronkial, gerak mukosilier, imunitas humoral
serta sistem fagositik. Pneumonia akan terjadi apabila pertahanan tersebut
terganggu dan adanya invasi mikroorganisme virulen. Sebagian besar VAP
disebabkan oleh aspirasi kuman patogen yang berkolonisasi dipermukaan mukosa
orofaring, dimana intubasi akan mempermudah masuknya kuman dan
menyebabkan kontaminasi sekitar ujung pipa endotrakeal pada penderita dengan
posisi terlentang. Selain itu, VAP dapat pula terjadi akibat makroaspirasi
lambung. Bronkoskopi serat optik, penghisapan lendir sampai trakea maupun
ventilasi manual dapat mengkontaminasi kuman patogen kedalam saluran
pernapasan bawah
4. Faktor Resiko
Faktor-faktor risiko memberikan informasi kemungkinan infeksi paru yang
berkembang pada seseorang ataupun populasi. Hal tersebut sangat berperan dalam
pengambilan strategi pencegahan yang efektif terhadap VAP
Beberapa faktor disebutkan dapat meningkatkan risiko VAP di ICU, diantaranya :
1) Profilaksis stress ulcer
Pada pasien ICU, pilihan profilaksis untuk stress ulcer antara lain sukralfat,
H2-antagonis (histamine type 2 blockers /H2 Blockers), atau penghambat
pompa proton/Proton Pump Inhibitors (PPI).11 Antasida dan H2-antagonis
telah diidentifikasi sebagai salah satu faktor risiko VAP. Kedua obat tersebut
memiliki kemampuan untuk menurunkan keasaman lambung dan juga
meningkatkan volume dalam lambung (dalam kasus antasida) sehingga dapat
memicu terbentuknya kolonisasi dalam gaster dan aspirasi isi lambung ke
paru. Hal inilah yang menyebabkan penggunaan dua obat tersebut sebagai
profilaksis stress ulcer dapat meningkatkan risiko terjadinya VAP.7 Pada
sebuah meta-analisis tentang keamanan dan efektifitas PPI jika dibandingkan
dengan H2-antagonis ditemukan bahwa tidak ada perbedaan antara PPI dan
H2-antagonis jika dihubungkan dengan risiko VAP dan kematian di ICU
2) Intubasi
Intubasi dan ventilasi mekanik bisa meningkatkan risiko VAP. Pemakaian
intubasi yang tidak terlalu dibutuhkan harus sebisa mungkin dihindari.
Ventilator non-invasif yang menggunakan sungkup muka bisa digunakan
sebagai alternatif pada pasien ICU yang menggunakan ventilator karena
memiliki risiko VAP yang lebih kecil jika dibandingkan dengan penggunaan
ventilator invasive
3) Lama/durasi penggunaan ventilator mekanik
Beberapa penelitian telah mengidentifikasi lama/durasi penggunaan ventilator
sebagai salah satu faktor penting pemicu VAP. Pada pasien dengan ventilasi
mekanik, insiden VAP meningkat seiring dengan lamanya ventilasi dan tidak
konstan dari waktu ke waktu pemakaian ventilator. Risiko VAP tertinggi
terdapat pada awal perawatan di rumah sakit. Pada sebuah penelitian kohort
diperkirakan risiko VAP sebanyak 3% setiap hari selama minggu pertama dari
ventilasi, 2% setiap hari diminggu kedua, dan 1% setiap hari pada minggu
ketiga dan seterusnya. Dapat disimpulkan, penurunan durasi penggunaan
ventilator bisa menurunkan risiko VAP, khususnya jika penurunan durasi
dilakukan di minggu pertama atau minggu kedua
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kejadian VAP pada pasien yang terpasang ventilasi mekanik yang dilakukan
mobilisasi dan fisioterapi dada sesuai dengan kebiasaan ruangan yaitu sebesar (70%)
lebih tinggi dari kejadian VAP pada pasien yang terpasang ventilasi mekanik yang
dilakukan mobilisasi dan fisioterapi dada sesuai dengan SOP yaitu sebesar 40%.
Namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara mobilisasi (ambulasi) dan
fisioterapi dada yang dilakukan sesuai kebiasaan ruangan dengan mobilisasi dan
fisioterapi dada sesuai dengan SOP (p >0,05).
B. Saran
Diharapkan bagi profesi keperawatan untuk dapat mengaplikasikan penggunaan
pedoman mobilisasi (ambulasi) dan fisioterapi dada pada pasien yang terpasang
ventilasi mekanik
Daftar Pustaka
Hendra, Emil Huriani.(2011) Pengaruh Mobilisasi Dan Fisioterapi Dada Terhadap
Kejadian Ventilator Associated Pneumonia Di Unit Perawatan Intensif. Program Studi
Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas