Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Jhonson (1997), kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat emosional,
psikologis dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku
dan koping yang efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional. Kesehatan
jiwa juga dapat diartikan sebagai keadaan sejahtera yang dikaitkan dengan kebahagiaan,
kegembiraan, asan, pencapaian, optimisme, dan harapan. Sedangkan Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) mendefeniskan kesehatan itu sendiri sebagai sehat fisik, mental
dan sosial bukan sematamata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan. Jadi Seseorang
dapat dianggap sehat jiwa jika mereka mampu bersikap positif terhadap diri sendiri,
memiliki kestabilan emosi, memiliki konsep diri yang positif dan memiliki rasa bahagia
dan puas (Dalam Videbeck, 2008).
Gangguan jiwa atau penyakit jiwa merupakan penyakit dengan multi kausal, suatu
penyakit dengan berbagai penyebab yang sangat bervariasi. Penyebab gangguan jiwa
yang banyak diderita terjadi karena frustasi, napza (narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya), masalah keluarga, pekerjaan, organik dan ekonomi. Namun jika dilihat
dari persentase, penyebab tertinggi yaitu karena frustasi. Di Indonesia sendiri berdasarkan
(Rikesda tahun 2007) bahwa prevelansi gangguan jiwa berat sebesar 4,6 permil, artinya
ada empat sampai lima penduduk dari 1000 penduduk Indonesia menderita gangguan
jiwa berat. Angka gangguan jiwa di Indonesia telah mencapai 10% dari populasi
penduduknya.
Banyak ahli dalam kesehatan jiwa memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap
apa yang dimaksud gangguan jiwa dan bagaimana gangguan jiwa itu terjadi. Perbedaan
pandangan tersebut tertuang dalam bentuk model konseptual kesehatan jiwa. Pandangan
model psikoanalisa berbeda dengan pandangan model social, model perilaku, model
eksistensial, model medical, berbeda pula dengan model stress – adaptasi. Masing-masing
model memiliki pendekatan unik dalam terapi gangguan jiwa. Berbagai pendekatan
penanganan klien gangguan jiwa inilah yang dimaksud dengan terapi modalitas yang
bertujuan mengubah perilaku klien gangguan jiwa dengan perilaku maladaptifnya
menjadi perilaku yang adaptif.
Terapi Modalitas merupakan terapi utama dalam keperawatan jiwa. Terapi ini
diberikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dari perilaku yang maladaptif menjadi
1
perilaku yang adaptif ( Prabowo, 2014). Terapi Modalitas adalah terapi dalam
keperawatan jiwa, dimana perawat mendasarkan potensi yang dimiliki pasien sebagai titik
tolak terapi atau penyembuhan. Ada beberapa terapi yang dapat dilakukan oleh perawat
pada pasien dengan masalah kejiwaan yaitu, terapi aktivitas kelompok dan terapi
keluarga.
Terapi Aktivitas Kelompok adalah terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada
sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. Aktivitas
digunakan sebagai terapi dan kelompok sebagai target asuhan. Terapi Aktivitas
Kelompok dilakukan untuk meningkatkan kematangan emosional dan psikologis pada
pasien yang mengidap gangguan jiwa pada waktu yang lama. Didalam kelompok terjadi
dinamika dimana setiap anggota kelompok saling bertukar informasi dan berdiskusi
tentang pengalaman serta membuat kesepakatan untuk mengatasi masalah anggota
kelompok. Terapi Aktivitas Kelompok memberikan hasil yang lebih besar terhadap
perubahan perilaku pasien, meningkatkan perilaku adaptif serta mengurangi perilaku
maladaptif. Bahkan Terapi Aktivitas Kelompok memberikan modalitas terapeutik yang
lebih besar dari pada hubungan terapeutik antara dua orang yaitu perawat dan klien
(Direja, 2011).
Sedangkan terapi keluarga merupakan suatu psikoterapi modalitas dengan fokus
pada penanganan keluarga sebagai unit sehingga dalam pelaksanaannya terapis
membantu keluarga dalam mengidentifikasi dan memperbaiki keadaan yang maladaptif,
kontrol diri pada anggota yang kurang serta pola hubunganyang tidak konstruktif. Terapi
keluarga lebih menggunakan pendekatan terupeutik untuk melihat masalah individu
dalam konteks lingkungan khususnya keluarga dan proses interpersonal (Prabowo, 2014).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Terapi Modalitas ?
2. Bagaimana peran perawat dalam Terapi Modalitas ?
3. Apa jenis – jenis Terapi Modalitas ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian Terapi Modalitas
2. Untuk mengetahui peran perawat dalam Terapi Modalitas
3. Untuk mengeetahui jenis – jenis Terapi Modalitas

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Terapi Modalitas


Terapi modalitas keperawatan jiwa dilakukan untuk memperbaiki dan
mempertahankan sikap klien agar mampu bertahan dan bersosialisasi dengan lingkungan
masyarakat sekitar dengan harapan klien dapat terus bekerja dan tetap berhubungan
dengan keluarga, teman, dan system pendukung yang ada ketika menjalani terapi (Nasir
dan Muhits, 2011).
Terapi modalitas adalah terapi yang utama dalam keperawatan jiwa. Terapi ini
diberikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dan perilaku yang mal adaptif menjadi
perilaku adaptif (Kusumawati dan Hartono, 2010).
Terapi modalitas adalah suatu kegiatan dalam memberikan asuhan keperawatan
baik di institusi pelayanan maupun di masyarakat, yang bermanfaat bagi kesehatan jiwa
dan berdampak terapeutik (Dalami, 2010)
Terapi modalitas bertujuan agar pola perilaku atau kepribadian seperti ketrampilan
koping, gaya komunikasi dan tingkat harga diri secara bertahap dapat berkembang.
Mengingat bahwa klien dengan gangguan jiwa membutuhkan pengawasan yang ketat dan
lingkungan suportif yang aman. Beberapa terapi keperawatan didasarkan ilmu dan seni
keperawatan jiwa. Terapi keperawatan jiwa adalah alternatif terapi yang dapat diberikan
kepada klien dengan gangguan jiwa.

2.2 Peran Perawat dalam Terapi Modalitas


Secara umum peran perawat jiwa dalam pelaksanaan terapi modalitas bertindak
sebagai leader, fasilitator, evaluator, dan motivator (Nasir dan Muhits, 2011). Tindakan
tersebut meliputi:
1. Mendidik dan mengorientasi kembali seluruh anggota keluarga misalnya perawat
menjelaskan mengapa komunikasi itu penting, apa visi seluruh keluarga, kesamaan
harapan apa yang dimiliki semua anggota keluarga.

3
2. Memberikan dukungan kepada klien serta system yang mendukung klien untuk
mencapai tujuan dan usaha untuk berubah. Perawat meyakinkan bahwa keluarga klien
mampu memecahkan masalah yang dihadapi anggota keluarganya.
3. Mengkoordinasi dan mengintegrasi sumber pelayanan kesehatan. Perawat
menunjukkan institusi kesehatan mana yang harus bekerja sama dengan keluarga dan
siapa yang bisa diajak konsultasi.
4. Member pelayanan prevensi primer, sekunder, dan tersier melalui penyuluhan,
perawatan di rumah, pendidikan dan sebagainya. Bila ada anggota keluarga yang
kurang memahami perilaku sehat didiskusikan atau bila ada keluarga yang
membutuhkan perawatan.

2.3 Jenis-Jenis Terapi Modalitas


1. Psikoterapi
Psikoterapi adalah suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional seorang
pasien yang dilakukan oleh seorang yang terlatih dalam hubungan profesional secara
sukarela. Dengan maksud hendak menghilangkan, mengubah atau menghambat
gejala-gejala yang ada, mengoreksi perilaku yang terganggu, dan mengembangkan
pertumbuhan kepribadian secara positif. (Direja, 2011).
2. Psikoanalisis Psikoterapi
Menurut Direja (2011) terapi ini dikembangkan oleh Sigmud Freud, seorang
dokter yang mengembangkan “talking care”. Tetapi ini didasarkan pada keyakinan
bahwa seorang terapis dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan klien
menceritakan tentang masalah pribadinya. Perubahan prilaku dapat terjadi jika klien
dapat menemukan kejadian-kejadian yang disimpan dalam bawah sadarnya.
Tujuan terapi Psikoanalisis, adalah sebagi berikut:
a. Menurunkan rasa takut klien.
b. Mengembangkan proses pikir yang luhur.
c. Membantu klien menghadapi realitas.
d. Menurunkan kecemasan.
e. Memperbaiki komunikasi interpersonal.
Implementasi psikoanalisis adalah sebagi berikut:
a. Melibatkan dua orang, interaksi yang terbentuk bersifat rahasia dan klien
mendiskusikan aspek kehidupannya yang paling pribadi bukan
mendiskusikan hubungannya dengan orang lain.
4
b. Klien menceritakan pikiran, perasaan, pengalaman, dan persepsinya. Terapis
mendengar, mendorong dan klarifikasi.
c. Interaksi berlangsung lama, klien menemukan hal baru tentang diri dan
melakukan pendekatan pada dunia, berusaha untuk memadukan dengan
pemahaman baru.
d. Hubungan antara terapis dan klien adalah hubungan berseri yang terencana
untuk mengubah perilaku klien.
3. Psikoterapi Individu
Psikoterapi Individu merupakan bentuk terapi yang menekankan pada
perubahan individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara berpikir, dan
perilakunya. Hal ini bertujuan agar klien mampu memahami diri dan perilaku dirinya
sendiri, membuat perubahan personal, atau berusaha lepas dari rasa sakit hati dan
ketidakbahagiaan. (Videbeck Sheila L, 2008 dalam Nasir dan Muhits, 2011).
Aspek yang terpenting dari psikoterapi individu adalah menjadi individu
mampu menilai dirinya sendiri tanpa merusak suasana psikologisnya, melepaskan
pikiran yang membebanni, serta memahami pikiran dan perilaku salahnya.
Kunci terapi individu adalah bagaimana klien dapat mengungkapkan
perasaannya, dapat mengungkapkan perilaku yang diperankan dan menilainya sesuai
dengan kondisi realitas. Esensi dari psikoterapi individu mencangkup seluruh aspek
kehidupan yang menjadi beban psikisnya.
Hubungan antara klien dan terapis yang harmonis merupakan kunci
keberhasilan dalam psikoterapi individu sehingga membutuhkan keterampilan terapis
yang handal dan memuaskan klien. Klien yang memukul orang dan memecahkan
kaca jendela karena keinginannya tidak dituruti merupakan bentuk pelampiasan
kekecewaan karena keinginannya tidak dituruti. (Direja, 2011).
4. Terapi Modifikasi Perilaku
Menurut Direja (2011) Terapi perilaku didasarkan pada keyakinan bahwa
perilaku dipelajari, dengan demikian perilaku yang tidak diinginkan atau
maladaptive dapat diubah menjadi perilaku yang diinginkan atau adaptif. Proses
mengubah perilaku terapi ini adalah dengan menggunakan teknik yang disebut
conditioning yaitu suatu proses dimana klien belajar mengubah perilaku. Cara
melakukan conditioning adalah sebagai berikut:
a. Reciprocal inhibition

5
Cara mengurangi ansietas yang dirasakan dengan mengendalikan situasi yang
dapat meredakan ansietas yang dirasakan.
b. Positive conditioning
Dengan memberikan hadiah (reward) pada setiap perilaku yang diinginkan dan
tidak memberikan reward atau menghukum pada perilaku yang tidak
diinginkan.
c. Eksperimental extinction
Yaitu upaya menurunkan suatu perilaku dengan cara tidak memberikan reward
berulang-ulang.
Penerapan teori perilaku ini adalah sebagai berikut:
a. Pendekatan terapis kepada klien bersifat objektif, tidak menghakimi.
b. Klien diyakinkan bahwa reaksi meyakinkan akan pulih.
c. Informasi yang tidak akurat dikoreksi segera.
d. Klien yang dikuatkan untuk dapat mengendalikan perilakunya.
Kriteria evaluasi:
a. Menurunkan perilaku maladaptif.
b. Meningkatnya produktifitas kerja.
c. Membaiknya hubungan interpersonal.
d. Meningkatnya kemampuan penyelesaian masalah yang disebabkan stressor
lingkungan dan situasi.
5. Terapi Okupasi
a. Pengertian
Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang
untuk melaksanakan tugas tertentu yang telah ditetapkan. Terapi ini berfokus
pada pengenalan kemampuan yang masih ada pada seseorang, pemeliharaan dan
peningkatan bertujuan untuk membentuk seseorang agar mandiri, tidak
tergantung pada pertolongan orang lain (Direja, 2011).

b. Tujuan Terapi Okupasi :


1) Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi mental
a) Menciptakan kondisi tertentu sehingga klien dapat mengembangkan
kemampuannya untuk dapat berhubungan dengan orang lain dan
masyarakat sekitarnnya.
b) Membantu melepaskan dorongan emosi secara wajar.
6
c) Membantu menemukan kegiatan sesuai bakat dan kondisinya.
d) Membantu dalam pengumpulan data untuk menegakkan diagnosa dan
terapi.
2) Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan gerak, sendi,
otot, dan koordinasi gerakan.
3) Mengajarkan ADL seperti makan, berpakaian, BAB, BAK, dan sebagainya.
4) Membantu klien menyesuaikan diri dengan tugas rutin dirumah.
5) Meningkatkan toleransi kerja, memelihara dan meningkatkan kemampuan
yang dimiliki.
6) Menyediakan berbagai macam kegiatan agar dicoba klien untuk mengetahui
kemampuan mental dan fisik, kebiasaan, kemampuan untuk bersosialisasi,
bakat, minat, dan potensinya.
7) Mengarahkan minat dan hobi untuk dapat digunakan setelah klien kembali
dilingkungan masyarakat
(Nasir dan Muhith, 2011).
c. Peranan Aktivitas Dalan Terapi
Menurut Nasir dan Muhith, (2011) Aktivitas dipercayai sebagai jembatan
antara batin dan dunia luar. Melalui aktivitas manusia dihubungkan dengan
lingkungan, kemudian mempelajarinya, mencoba keterampilan atau pengetahuan,
mengekspresikan perasaan, memenuhi kebutuhan fisik maupun emosional,
mengembangkan kemampuan, dan sebagai alat untuk mencapai tujuan hidup.
Potensi tersebutlah yang digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan terapi
okupasi, baik bagi penderita fisik maupun mental. Adapun hal-hal yang
memengaruhi aktivitas dalam terapi okupasi antara lain sebagai berikut:
1) Jenis-jenis aktivitas
a) Latihan gerak badan
b) Olah raga
c) Permainan
d) Kerajinan tangan
e) Kesehatan, kebersihan, dan kerapian pribadi
f) Pekerjaan sehari-hari (aktivitas kehidupan sehari-hari)
g) Praktik pre-vokasional
h) Seni (tari, musik, lukis, drama, dan lain-lain)
i) Rekreasi
7
j) Diskusi dengan topik tertentu
(Nasir dan Muhith, 2011).
2) Karakteristik aktivitas
Aktivitas dalam terapi okupasi adalah sebagai suatu media untuk belajar dan
berkembang, sekaligus sebagai sumber kepuasan emosional maupun fisik.
Aktivitas yang digunakan dalam terapi okupasi harus mempunyai
karakteristik sebagai berikut:
a) Setiap gerakan harus mempunyai alasan dan tujuan terapi yang jelas.
b) Mempunyai arti tertentu bagi pasien dan dikenal atau berhubungan
dengan pasien.
c) Pasien harus mengerti tujuan kegiatan tersebut.
d) Harus dapat melibatkan pasien secara aktif.
e) Dapat mencegah lebih beratnya kecacatan atau kondisi pasien, dapat
meningkatkan atau setidak-tidaknya memelihara kondisinya.
f) Harus dapat memberi dorongan agar pasien mau berlatih lebih giat.
g) Harus sesuai dengan minat pasien.
h) Harus dapat dimodifikasi untuk tujuan peningkatan atau penyesuaian
dengan kemampuan pasien.
Faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih aktivitas yaitu:
a) Bahan yang digunakan harus mudah dikontrol.
b) Apakah aktivitas rumit atau tidak.
c) Apakah perlu dipersiapkan sebelum dilaksanakan.
d) Bagaimana cara pemberian intruksi
e) Bagaimana kira-kira hasilnya.
f) Apakah perlu pasien membuat keputusan.
g) Apakah perlu konsentrasi.
h) Apakah interaksi menguntungkan
i) Apakah diperlukan kemampuan berkomunikasi.
j) Berapa lama dapat diselesaikan.
k) Apakah dapat dimodifikasi sehingga dapat disesuai dengan
kemampuan pasien dan keterampilan pasien
(Nasir dan Muhith, 2011).
3) Analisis aktivitas

8
Untuk dapat mengenal karakteristik maupun potensi, maka aktivitas tersebut
harus dianalisis terlebih dahulu. Hal-hal yang perlu dianalisis adalah sebagai
berikut:

a) Jenis aktivitas
b) Maksud dan tujuan penggunaan aktivitas tersebut (sesuai dengan tujuan
terapi)
c) Bahan yang digunakan:
(1) Khusus atau tidak
(2) Karakteristik bahan:
(a) Mudah ditekuk atau tidak
(b) Terkontrol atau tidak
(c) Menimbulkan kekotoran atau tidak
(d) Licin atau tidak
(3) Rangsangan yang dapat ditimbulkan:
(a) Taktil
(b) Pendengaran
(c) Pembauan
(d) Penglihatan
(e) Pengrabaan
(f) Gerakan sendi
(4) Warna
(5) Macam-macamnya dan namanya
(6) Banyaknya
d) Bagian-bagian aktivitas
(1) Banyaknya bagian
(2) Rumit atau sederhana
(3) Apakah membutuhkan pengulangan
(4) Apakah membutuhkan perhitungan matematika
e) Persiapan pelaksanaan:
(1) Apakah harus dipersiapkan terlebih dahulu
(2) Apakah harus ada contoh atau cukup dengan lisan
(3) Apakah bahan tersedia atau harus dicari dulu
(4) Apakah ruangan untuk melaksanakan harus diatur
9
f) Pelaksanaan, apakah dalam pelaksanaan tugas ini perlu adanya:
(1) Konsentrasi
(2) Ketangkasan
(3) Rasa sosial antara pasien
(4) Kemampuan mengatasi masalah
(5) Kemampuan bekerja sendiri
(6) Toleransi terhadap frustasi
(7) Kemampuan mengikuti instruksi
(8) Kemampuan membuat kebutuhan
g) Apakah aktivitas tersebut dapat merangsang timbulnya interaksi diantara
mereka.
h) Apakah aktivitas tersebut membutuhkan konsentrasi, ketangkasan,
inisiatif, penilaian, ingatan, komprehensi, dan lain-lain.
i) Apakah aktivitas tersebut melibatkan imajinasi, kreativitas, pelampiasan
emosi, dan lain-lain.
j) Apakah ada kontraindikasi untuk pasien tertentu. Dalam hal ini harus
bertindak hati-hati karena dapat berbahaya bagi pasien maupun
sekelilingnya (misalnya: untuk pasien dengan paranoid sangat riskan
memberikan benda tajam).
k) Hal yang penting lainnya adalah apakah disukai oleh pasien.
(Nasir dan Muhith, 2011).
d. Indikasi Terapi Okupasi
1) Seseorang yang kurang berfungsi dalam kehidupannya karena kesulitan-
kesulitan yang dihadapi dalam pengintegrasiaan perkembangan
psikososialnya.
2) Klien dengan kelainan tingkah laku disertai dengan kesulitan berkomunikasi.
3) Ketidakmampuan menginterpretasikan rangsangan sehingga reaksi terhadap
rangsangan tidak wajar
4) Klien yang mengalami kemunduran
5) Klien dengan cacat tubuh disertai dengan gangguan kepribadian
6) Orang yang mudah mengekspresikan perasaan melalui aktivitas
7) Orang yang mudah belajar sesuatu dengan praktik langsung daripada
membayangkan
(Direja, 2011)
10
e. Proses Terapi Okupasi
Menurut Direja (2011) proses terapi okupasi adalah:
1) Pengumpulan data
Meliputi data tentang identitas klien, gejala, diagnosis, perilaku dan
kepribadian klien. Misalnya klien mudah sedih, putus asa, marah.
2) Analisa data dan identifikasi masalah
Dar data yang telah dikaji ditegakkan diagnosa sementara tentang masalah
klien maupun keluarga.
3) Penentuan tujuan dan sasaran
Dari diagnosa yang ditegakkan dapat dibuat sasaran dan tujuan yang ingin
dicapai.
4) Penentuan aktifitas
Jenis kegiatan yang ditentukan harus disesuaikan dengan tujuan terapi
5) Evaluasi
Evaluasi kemampuan klien, inisiatif, tanggung jawab, kerjasama, emosi dan
tingkah laku selama aktivitas berlangsung. Dari hasil evaluasi rencanakan
kembali kegiatan yang sesuai dan akan dilakukan. Evaluasi dilakukan secara
periodik, misalnya: satu minggu sekali setiap selesai melaksanakan kegiatan.
Hal-hal yang perlu dievaluasi antara lain:
a) Kemampuan membuat keputusan
b) Tingkah laku selama bekerja
c) Kesadaran adanya orang lain yang bekerja bersama dia dan mempunyai
kebutuhan sendiri.
d) Kerjasama
e) Cara memperlihatkan emosi (spontan, wajar, jelas, dan lain-lain)
f) Inisiatif dan tanggung jawab
g) Kemampuan untuk mengajak atau diajak berunding.
h) Menyatakan perasaan tanpa agresi
i) Kompetisi tanpa permusuhan
j) Menerima kritik dari atasan atau teman sekerja
k) Kemampuan menyatakan pendapat sendiri dan apakah bertanggung jawab
atas pendapatnya tersebut
l) Menyadari keadaan dirinya dan menerimanya
m) Wajar dalam penampilan
11
n) Orientasi tempat, waktu, situasi, dan orang lain
o) Kemapuan menerima instruksi dan mengingatnya
p) Kemampuan bekerja tanpa terus menerus diawasi
q) Keterampilan bekerja
r) Kemampuan merencanakan suatu pekerjaan
s) Toleransi terhadap frustasi
t) Lambat atau cepat
f. Pelaksanaan terapi okupasi
Menurut (Direja, 2011) terapi okupasi dapat dilakukan secra individu
maupun kelompok tergantung dari kondisi klien dan tujuan terapi.
1) Metode
a) Individual
Dilakukan untuk klien baru masuk, klien yang belum mampu berinteraksi
dengan kelompok dan klien yang sedang menjalani persiapan aktivitas.
b) Kelompok
Klien dengan masalah sama, klien yang lama, dan yang memiliki tujuan
kegiatan yang sama.
2) Waktu
Terapi dilakukan 1-2 jam setiap sesi baik metode individual maupun
kelompok dengan frekuensi kegiatan per sesi 2-3 kali dalam seminggu. Setiap
kegiatan dibagi menjadi 2 bagian (pertama: ½ sampai 1 jam, kedua: 1 sampai
2 jam).
6. Terapi lingkungan
a. Pendahuluan
Perawatan klien di Rumah Sakit pada rentang waktu yang lama
mengakibatkan klien mengalami penurunan kemampuan berfikir dan bertindak
secara mandiri dan kehilangan hubungan dengan dunia luar. Oleh karena itu
diperlukan pengembangan layanan keperawatan psikiatrik salah satunya dengan
penerapan terapi lingkungan di Rumah Sakit.
Terapi lingkungan “Millieu Terapi” adalah suatu manipulasi ilmiah yang
bertujuan untuk menghasilkan perubahan pada perilaku pasien dan untuk
mengembangkan keterampilan emosional dan sosial (Stuart and Sundeen, 2007).
Sedangkan menurut Suliswati (2005) terapi lingkungan merupakan keadaan

12
lingkungan yang ditata untuk menunjang proses terapi, baik fisik, mental, maupun
sosial agar dapat membantu penyembuhan dan pemulihan klien.
b. Tujuan terapi lingkungan
Terapi lingkungan merupakan salah satu bentuk terapi klien gangguan jiwa
yang dapat membantu efektifitas pemberian asuhan keperawatan jiwa. Schultz and
Videbeck (2009) menyebutkan bahwa pemindahan klien dan lingkungan yang
terapeutik akan memberikan kesempatan untuk istirahat dan memulihkan diri,
memberikan waktu untuk berfokus pada pengembangan dalam hal kekuatan dan
kesempatan belajar, agar klien mampu mengidentifikasi alternative dan solusi
masalah. Menurut Abroms cit Stuart and Sundeen (2007) menyebutkan dua tujuan
yaitu :
1) Membatasi gangguan dan perilaku maladaptif
2) Mengajarkan keterampilan psikososial
Untuk melakukan pembatasan terhadap perilaku maladaptive, perlu
ditekankan penggunaan terapi lingkungan dengan mengembangkan 4
keterampilan psikososial. Empat keterampilan tersebut yaitu :
a) Orientation
Pencapaian orientasi dan kesadaran terhadap realita yang lebih baik.
Orientasi tersebut berhubungan dengan pemahaman klien terhadap orang,
waktu, tempat, dan situasi. Sedangkan kesadaran terhadap realita dapat
dikuatkan melalui interaksi dan hubungan dengan orang lain.

b) Assertation
Kemampuan mengekspresikan perasaan dengan tepat. Klien perlu
dianjurkan mengekspresikan diri secara efektif dengan tingkah laku yang
dapat diterima masyarakat.
c) Accupation
Kemampuan klien untuk dapat memupuk percaya diri dan berprestasi
melalui keterampilan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan
aktivitas dalam bentuk yang positif dan disukai klien, misalnya melukis,
bermain music, merangkai bunga, dsb.
d) Recreation

13
Kemampuan menggunakan dan membuat aktivitas yang menyenangkan,
contoh menebak kata, senam dan jalan-jalan.
c. Karakteristik umum dari terapi lingkungan
Beberapa karakterisktik dari terapi lingkungan sebagai berikut :
1) Setiap interaksi merupakan suatu kesempatan untuk intervensi terapeutik
2) Klien memikul tanggung jawab terhadap tingkah laku mereka sendiri.
3) Pemecahan masalah dicapai dengan diskusi, negosisasi dan consensus
daripada hanya dengan menggunakan beberapa gambaran dari para ahli.
4) Komunikasi terbuka dan langsung antar staf dank lien.
5) Klien didukung untuk berpartisipasi aktif dalam penanganan mereka sendiri
dan dalam membuat keputusan di unit tempat mereka dirawat.
6) Unit tetap sering melakukan komunikasi dan kontak dengan komunitas,
keluarga serta jaringan sosial.
Dalam upaya menciptakan lingkungan yang terapeutik ada lima aspek yang
perlu diperhatikan yaitu :
1) Aspek fisik
Menciptakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman. Gedung permanen,
mudah dijangkau, lengkap dengan kamar tidur, ruang tamu, ruang makan,
kamar mandi dan WC. Misalnya: ruang perawatan anak di desain dengan
gambar-gambar kartun atau idola anak-anak yang berbeda dengan ruang
dewasa.
2) Aspek intelektual
Tingkat intelektual klien dapat ditentukan melalui kejelasan stimulus dari
lingkungan dan sikap perawat. Misalnya lingkungan dengan warna biru dan
hijau memberikan stimulus ketenangan dan keteduhan. Perawat harus
memberikan stimulus eksternal yang positif sehingga kesadaran diri klien
menjadi luas dan klien dapat menerima kondisinya.
3) Aspek sosial
Dalam aspek ini perawat mengembangkan pola interaksi yang positif,
hubungan psikososial yang menyenangkan dan menguatkan ego klien. Oleh
karena itu perawat perlu penggunaan teknik komunikasi yang tepat sehingga
perawat dapat menciptakan aspek ini.
4) Aspek emosional

14
Perawat harus menciptakan iklim emosional yang positif dengan menunjukkan
sikap yang tulus, jujur atau dapat dipercaya, bersikap spontan dalam
memenuhi kebutuhan klien, empati, peka terhadap perasaan dan kebutuhan
klien.
5) Aspek spiritual
Aspek ini ditunjukkan untuk memaksimalkan manfaat dari pengalaman,
pengobatan dan perasaan damai bagi klien. Sehingga perlu disediakan sarana
ibadah seperti kitab suci dan ahli agama.
d. Peran perawat dalam terapi
Perawat dalam memenuhi kebutuhan klien berdasarkan pada identitas masalah
baik kebutuhan fisik dan emosional. Perawat yang berperan sebagai mothering
care tidak hanya memenuhi kebutuhan klien tetapi juga memfasilitasi klien agar
mengembangkan kemampuan baru untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.
Dengan demikian klien dapat memahami dan menerima situasi yang sedang
dialaminya dan termotivasi untuk mengubah perilaku destruktif menjadi
konstruktif.
e. Prinsip terapi lingkungan:
Adapun perinsip terapiu lingkungan menurut Dalami, (2010) yaitu:
1) Perilaku merupakan respon terhadap lingkungan. Respon klien diperoleh
dengan memberikan stimulasi yang berfariasi tanpa mengurangi stimulus dari
lingkungan.
2) Reinforcement (+) mempengarughi prilaku. Klien dimotifasi untuk
menggunakan respon adaptif berdasarkan reinforcement yang diterima oleh
perawat. Metode reinforcement: penghargaan.
3) Manusia mempunyai kebutuhan untuk kontak sosial yang dicapai melalui
interaksi kelompok. Klien dapat mengemukakan pendapat dan
mengekspresikan perasaan.
4) Setiap individu mempunyai kemampuan untuk mengelola dengan dukungan
yang adekuat klien mempunyai potensi yang digunakan sebagai alat untuk
terapi terhadap dirinya.
5) Sakit dan terapi merupakan dua keuntungan untuk belajar tentang diri, orang
lain dan bagaimana hubungan dengan orang lain.
6) Tehnik untuk menciptakan lingkungan terapeutik:
15
Dikutip dari Dalami (2010) tehnik untuk menciptakan lingkungan yang terapeutik
ialah dengan:
1) Komponen fisik
a) Gedung dengan perlengkapan ruang makan, ruang tamu, kamar mandi
yang ditata dengan mempertimbangkan privacy klien.
b) Penempatan kalender, jam dinding yang harus setiap saat dapat dilihat
klien.
2) Komponen intelektual
Stimulasi sensori dari lingkungan dan sikap perawat dengan memberi sapaan,
senyuman, sentuhan secara periodik dapat mengembalikan orientasi klien
terhadap realitas.
3) Komponen sosial
Ditunjukkan untuk meningkatkan interaksi, komunikasi dan keterlibatan
dalam pengambilan keputusan. Komunikasi penting. Perawat dapat
membimbing dan mengarahkan klien dalam interaksi sosial.
4) Komponen spiritual
Ditujukan untuk memaksimalakan arti pengalaman. Mengembangkan rasa
damai, meningkatkan hubungan dengan manusia dan alam kebebasan secara
kreatifitas dalam berekspresi. Perawat memberi dorongan pada aktifitas yang
diinginkan oleh klien. Pendekatan terapeutik yang melihat masalah individu
dalam konteks lingkungan khususnya keluarga dan menitik beratkan pada
proses interpersonal.
7. Terapi somatic
Terapi somatic adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan tujuan
mengubah perilaku maladaptive menjadi perilaku yang adaptif dengan melakukan
tindakan dalam bentuk perlakuan fisik. Terapi somatic telah banyak dilakukan pada
klien dengan gangguan jiwa.
a. Restrain
Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau manual
untuk membatasi mobilitas fisik klien. Alat tersebut meliputi penggunaan manset
untuk pergelangan tangan atau kaki dan kain pengikat. Restrain harus dilakukan
pada kondisi khusus, hal ini merupakan intervensi yang terakhir jika perilaku klien
sudah tidak dapat diatasi atau dikontrol dengan strategi perilaku maupun
modifiskasi lingkungan. Indikasi restrain yaitu:
16
1) Perilaku kekerasan yang membahayakan diri sendiri dan lingkungannya.
2) Perilaku agitasi yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan.
3) Klien yang mengalami gangguan kesadaran.
4) Klien yang membutuhkan bantuan untuk mendapatkan rasa aman dan
pengendalian diri.
5) Ancaman terhadap integritas tubuh berhubungan dengan penolakan klien
untuk istirahat, makan dan minum.
Prinsip dari tindakan restrain ini adalah melindungi klien dari cedera fisik dan
memberikan lingkungan yang nyaman. Restrain dapat menyebabkan klien merasa
tidak dihargai hak asasinya sebagai manusia, untuk mencegah perasaan tersebut
perawat harus mengidentifikasi faktor pencetus pakah sesuai dengan indikasi
terapi, dan terapi ini hanya untuk intervensi yang paling akhir apabila intervensi
yang lain gagal mengatasi perilaku agitasi klien.
b. Seklusi
Seklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung klien dalam ruangan khusus.
Klien tidak dapat meninggalkan ruangan tersebut secara bebas. Bentuk seklusi
berupa pengurungan diruangan tidak terkunci sampai pengurungan dalam ruangan
terkunci dengan kasur tanpa seprei, tergnatung dari tingkat kegawatan klien.
Indikasi seklusi yaitu klien dengan perilaku kekerasan yang mebahayakan diri
sendiri, orang lain dan lingkungan.
Kontraindikasi dari terapi ini adalah:
1) Risiko bunuh diri.
2) Klien dengan gangguan sosial
3) Kebutuhan untuk observasi masalah medis.
4) Hukuman
c. Fototerapi
Fototerapi atau sinar adalah terapi somatic pilihan. Terapi ini diberikan dengan
memaparkan klien pada sinar terang (5-20 kali lebih terang dari sinar ruangan).
Klien disuruh duduk dengan mata terbuka 1,5 meter, didepan klien diletakkan
lampu flouresen spectrum luang setinggi mata. Waktu dan dosis terapi ini
bervariasi pada tiap individu. Beberapa klien berespons jika terapi diberikan pagi
hari, sementara klien lain lebih bereaksi kalau dilakukan terapi pada waktu sore
hari. Semakin sinar terang, semakin efektif terapi per unit waktu.

17
Efek samping yang terjadi setelah dilakukan terapi dapat berupa nyeri kepala,
insomnia, kelelahan, mual, mata kering, keluar sekresi dari hidung atau sinus dan
rasa lelah pada mata.
d. ECT (Electto Convulsif Therapy)
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan
menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik. Tindakan ini
adalah bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda
yang ditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang grandmall.
Indikasi terapi kejang listrik adalah klien depresi pada psikosa manik depresi,
klien schizofrenia stupor katatonik dan gaduh gelisah katatonik. ECT lebih efektif
dari antidepresan untuk klien depresi dengan gejala psikotik (waham, paranoid,
dan gejala vegetatif), berikan antidepresan saja (imipramin 200-300 mg/hari
selama 4 minggu) namun jika tidak ada perbaikan perlu dipertimbangkan tindakan
ECT. Mania (gangguan bipolar manik) juga dapat dilakukan ECT, terutama jika
litium karbonat tidak berhasil.
a. Peran perawat
Perawat sebelum melakukan terapi ECT, harus mempersiapkan alat
dan mengantisipasi kecemasan klien dengan menjelaskan tindakan yang akan
dilakukan.
b. Persiapan Alat
Adapun alat-alat yang perlu disiapkan sebelum tindakan ECT, adalah
sebagai berikut:
1) Konvulsator set (diatur intensitas dan timer)
2) Tounge spatel atau karet mentah dibungkus kain
3) Kain kasa
4) Cairan Nacl secukupnya
5) Spuit disposibel
6) Obat SA injeksi 1 ampul
7) Tensimeter
8) Stetoskop
9) Slim suiger
10) Set konvulsator
c. Persiapan klien

18
1) Anjurkan klien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan
yang akan dilakukan.
2) Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi
adanya kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT
3) Siapkan surat persetujuan
4) Klien berpuasa 4-6 jam sebelum ECT
5) Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau penjepit rambut yang
mungkin dipakai klien
6) Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi
7) Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam sebelum
ECT
8) Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif-hipnotik,
dan antikonvulsan harus dihentikan sehari sebelumnya. Litium biasanya
dihentikan beberapa hari sebelumnya karena berisiko organik.
9) Premedikasi dengan injeksi SA (sulfa atropin) 0,6-1,2 mg setengah jam
sebelum ECT. Pemberian antikolinergik ini mengembalikan aritmia vagal
dan menurunkan sekresi gastrointestinal.
d. Pelaksanaan.
1) Setelah alat sudah disiapkan, pindahkan klien ke tempat dengan
permukaan rata dan cukup keras. Posisikan hiperektensi punggung tanpa
bantal. Pakaian dikendorkan, seluruh badan di tutup dengan selimut,
kecuali bagian kepala.
2) Berikan natrium metoheksital (40-100 mg IV). Anestetik barbiturat ini
dipakai untuk menghasilkan koma ringan.
3) Berikan pelemas otot suksinikolin atau Anectine (30-80 mg IV) untuk
menghindari kemungkinan kejang umum.
4) Kepala bagian temporal (pelipis) dibersihkan dengan alkohol untuk tempat
elektrode menempel.
5) Kedua pelipis tempat elektroda menempel dilapisi dengan kasa yang
dibasahi caira Nacl.
6) Penderita diminta untuk membuka mulut dan masang spatel/karet yang
dibungkus kain dimasukkan dan klien diminta menggigit
7) Rahang bawah (dagu), ditahan supaya tidak membuka lebar saat kejang
dengan dilapisi kain
19
8) Persendian (bahu, siku, pinggang, lutu) di tahan selama kejang dengan
mengikuti gerak kejang
9) Pasang elektroda di pelipis kain kasa basah kemudia tekan tombol sampai
timer berhenti dan dilepas
10) Menahan gerakan kejang sampai selesai kejang dengan mengikuti gerakan
kejang (menahan tidak boleh dengan kuat).
11) Bila berhenti nafas berikan bantuan nafas dengan rangsangan menekan
diafragma
12) Bila banyak lendir, dibersihkan dengan slim siger
13) Kepala dimiringkan
14) Observasi sampai klien sadar
15) Dokumentasikan hasil di kartu ECT dan catatan keperawatan

e. Setelah ECT
1) Observasi dan awasi tanda vital sampai kondisi klien stabil
2) Jaga keamanan
Bila klien sudah sadar bantu mengembalikan orientasi klien sesuai kebutuhan, biasanya
timbul kebingungan pasca kejang 15-30 menit.
8. Terapi Aktivitas Kelompok
a. Pengertian Terapi Aktivitas Kelompok
Secara alamiah individu selalu berada dalam kelompok sebagai contoh
individu berada dalam satu keluarga. Dengan demikian pada dasarnya individu
memerlukan hubungan timbal balik, hal ini bisa melalui kelompok (Direja, 2011).
Menurut Yusuf A, dkk (2015) kelompok adalah kumpulan individu yang
mempunyai hubungan satu dengan yang lain, saling bergantungan, serta mempunyai
norma yang sama. Penggunaan kelompok dalam praktik keperawatan jiwa
memberikan dampak positif dalam upaya pencegahan, pengobatan atau terapi serta
pemulihan kesehatan jiwa. Selain itu, dinamika kelompok tersebut membantu pasien
meningkatkan perilaku adaptif dan mengurangi perilaku maladaptif.
Secara umum fungsi kelompok adalah sebagai berikut:
1) Setiap anggota kelompok dapat bertukar pengalaman.
2) Berupaya memberikan pengalaman dan penjelasan pada anggota lain.
3) Merupakan proses menerima umpan balik.

20
Terapi aktivitas kelompok (TAK) merupakan terapi yang bertujuan mengubah
perilaku pasien dengan memanfaatkan dinamika kelompok. Cara ini cukup efektif
karena di dalam kelompok akan terjadi interaksi satu dengan yang lain, saling
memengaruhi, saling bergantung, dan terjalin satu persetujuan norma yang diakui
bersama, sehingga terbentuk suatu sistem sosial yang khas yang di dalamnya terdapat
interaksi, interelasi, dan interdependensi.
Menurut Febri (2017) terapi aktivitas kelompok adalah terapi yang diupayakan
oleh perawat kepada sekelompok pasien yang mempunyai masalah gangguan
keperawatan yang sama. Dilakukan oleh kelompok pasien dengan cara
bermusyawarah antara pasien dimana dalam musyawarah tersebut dipimpin oleh ahli
terapis. Usaha dalam mengupayakan seorang psikoterapis kepada sejumlah pasien
untuk meningkatkan dan memperbaiki hubungan interpersonal dalam waktu
bersamaan.
b. Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Purwaningsih dan Karlina (2010) terapi aktivitas kelompok
mempunyai manfaat terapeutik sebagai berikut:
1) Umum
a) Meningkatkan kemampuan uji realistis (reality testing) melalui komunikasi
dan umpan balik dengan atau dari orang lain.
b) Melakukan sosialisasi.
c) Membangkitkan motivasi untuk kemajuan fungsi kognitif dan afektif.
1) Khusus
a) Meningkatkan identitas diri
b) Menyalurkan emosi secara konstruktif
c) Meningkatkan ketrampilan hubungan interpersonal atau sosial
2) Rehabilitasi
a) Meningkatkan ketrampilan ekspresi diri
b) Meningkatkan ketrampilan social
c) Meningkatkan kemampuan empati
d) Meningkatkan kemampuan/pengetahuan pemecahan masalah
c. Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Yusuf A, dkk (2015) adapun tujuan dari terapi aktivitas kelompok,
yaitu:
1) Terapeutik
21
Meningkatkan kemampuan pasien, memfasilitasi proses interaksi,
membangkitkan motivasi untuk kemajuan fungsi kognitif dan afektif, serta
mempelajari cara baru dalam mengatasi masalah dan melakukan sosialisasi.
2) Rehabilitatif
Meningkatkan kemampuan mengekspresikan diri, kemampuan berempati,
meningkatkan kemampuan sosial, serta tanggung jawabnya dalam hubungan
interpersonal.
Sedangkan menurut Purwaningsih dan Karlina (2010) adapun tujuan dari
terapi aktivitas kelompok, yaitu:
1) Mengembangkan stimulasi kognitif
Tipe : Biblioterapy
Aktivitas : Menggunakan artikel, sajak, puisi, buku, surat kabar untuk merangsang
dan mengembangkan hubungan dengan orang lain.
2) Mengembangkan stimulasi sensoris
Tipe : Musik, seni, menari
Aktivitas : Menyediakan kegiatan, mengekspresikan perasaan.
Tipe : Relaksasi
Aktivitas : belajar teknik relaksasi dengan cara nafas dalam, relaksasi otot, dan
imajinasi.
3) Mengembangkan orientasi realitas
Tipe : Kelompok orientasi realitas, kelompok validasi
Aktivitas : Fokus pada orientasi waktu, tempat dan orang benar, salah bantu
memenuhi kebutuhan.
4) Mengembangkan sosialisasi
Tipe : Kelompok remotivasi
Aktivitas : Mengorientasikan klien yang menarik diri,regresi.
Tipe : Kelompok mengingatkan
Aktivitas : Fokus pada mengingatkan untuk menetapkan arti positif.
d. Kerangka Teoritis Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Yusuf A, dkk (2015) ada beberapa model kerangka teoritis terapi
aktivitas kelompok, yaitu:
1) Model fokal konflik

22
Dikutip dari Whiteaker dan Liebermen's, terapi kelompok berfokus pada
kelompok daripada individu. Prinsipnya adalah terapi kelompok dikembangkan
berdasarkan konflik yang tidak disadari.
Menurut model ini pimpinan kelompok (Leader) harus memfasilitasi dan
memberikan kesempatan kepada anggota untuk mengekspresikan perasaan dan
mendiskusikan perasaan dan mendiskusikannya untuk penyelesaian masalah.
Contohnya, adanya perbedaan pendapat antaranggota, cara masalah (perbedaan)
ditanggapi anggota, dan pemimpin mengarahkan alternatif penyelesaian masalah.
2) Model Komunikasi
Model komunikasi menggunakan prinsip-prinsip teori komunikasi dan
komunikasi terapeutik. Diasumsikan bahwa disfungsi atau komunikasi tak efektif
dalam kelompok akan menyebabkan ketidakpuasan anggota kelompok, umpan
balik tidak sekuat dari kohesi atau keterpaduan kelompok menurun.
Dengan menggunakan model ini leader memfasilitasi komunikasi efektif,
masalah individu atau kelompok dapat diidentifikasi dan diselesaikan.
Leader mengajarkan pada kelompok bahwa:
a) Perlu berkomunikasi
b) Anggota harus bertanggung jawab pada semua level, misalnya komunikasi
verbal, nonverbal, terbuka dan tertutup.
c) Pesan yang disampaikan dapat dipahami orang lain.
d) Anggota dapat menggunakan teori komunikasi dalam membantu satu dan
yang lain untuk melakukan komunikasi efektif.
3) Model Interpersonal
Dikutip dari Sullivan, dikatakan bahwa tingkah laku (pikiran, perasaan,
tindakan) digambarkan melalui hubungan interpersonal.
Contoh: Interaksi dalam kelompok dipandang sebagai proses sebab akibat dari
tingkah laku anggota lain.
Pada teori ini terapis bekerja dengan individu dan kelompok. Melalui ini
kesalahan persepsi dapat dikoreksi dan peeilaku sosial yang efektif dipelajari.
Perasaan cemas dan kesepian merupakan sasaran untuk mengidentifikasi dan
merubah tingkah laku/perilaku.
Contoh: Tujuan salah satu aktivitas kelompok untuk meningkatkan hubungan
interpersonal. Pada saat konflik interpersonal muncul, leader menggunakan situasi
tersebut untuk mendorong anggota untuk mendiskusikan perasaan mereka dan
23
mempelajari konflik apa yang membuat anggota merasa cemas dan menentukkan
perilaku apa yang digunakan untuk menghindari atau menurunkan cemas pada
saat terjadi konflik.
4) Model Psikodrama
Model ini memotivasi anggota kelompok untuk berakting sesuai dengan
peristiwa yang baru terjadi atau peristiwa yang pernah lalu.Anggota memainkan
peran sesuai dengan yang pernah dialami. Contoh, pasien memerankan ayahnya
yang dominan atau keras.
Psikodrama ini dilakukan secara spontan dan memberi kesempatan pada
anggota untuk berakting di luar situasi spesifik yang pernah terjadi.
e. Jenis Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Yusuf A, dkk (2015) terapi aktivitas kelompok dapat dibagi menjadi:
1) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Sensori
Aktivitas digunakan untuk memberikan stimulasi pada sensori pasien.
Kemudian diobservasi reaksi sensori pasien berupa ekspresi emosi/perasaan
melalui gerakan tubuh, ekspresi muka, dan ucapan. Aktivitas tersebut berupa:
a) TAK stimulasi sensori suara, misalnya mendengar musik,
d) TAK stimulasi sensori menggambar,
e) TAK stimulasi sensori menonton TV/video.
Tujuan:
a) Meningkatkan kemampuan sensori
b) Meningkatkan upaya memusatkan perhatian
c) Meningkatkan kesegaran jasmani
d) Mengekspresikan perasaan
2) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Orientasi Realitas
Pasien diorientasikan pada kenyataan yang ada di sekitar pasien yaitu diri
sendiri, orang lain yang ada di sekeliling pasien atau orang yang dekat dengan
pasien, serta lingkungan yang pernah mempunyai hubungan dengan pasien pada
saat ini dan masa yang lalu. Aktivitasnya adalah sebagai berikut.
a) Sesi I : pengenalan orang
f) Sesi II : pengenalan tempat
g) Sesi III : pengenalan waktu
Tujuan:

24
a) Penderita mampu mengidentifikasi stimulus internal (fikiran, perasaan,
sensasi somatik) dan stimulus eksternal (iklim, bunyi, situasi alam sekitar)
b) Penderita dapat membedakan antara lamunan dan kenyataan
c) Pembicaraan penderita sesuai realita
d) Penderita mampu mengenali diri sendiri
e) Penderita mampu mengenal orang lain, waktu dan tempat
Karakteristik:
a) Penderita dengan gangguan orientasi realita (GOR); (halusinasi, ilusi,
waham, dan depresonalisasi) yang sudah dapat berinteraksi dengan orang
lain
b) Penderita dengan GOR terhadap orang, waktu dan tempat yang sudah dapat
berinteraksi dengan orang lain
c) Penderita kooperatif
d) Dapat berkomunikasi verbal dengan baik
e) Kondisi fisik dalam keadaan sehat
3) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Sosialisasi
Pasien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada di
sekitar pasien. Sosialisasi dapat pula dilakukan secara bertahap dari
interpersonal, kelompok, dan massa. Aktivitas yang diberikan antara lain sebagai
berikut.
a) Sesi I : menyebutkan jati diri.
f) Sesi II : mengenali jati diri anggota kelompok.
g) Sesi III : bercakap-cakap dengan anggota kelompok.
h) Sesi IV : menyampaikan dan membicarakan topik percakapan.
i) Sesi V : menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi dengan
orang lain.
j) Sesi VI : bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok.
k) Sesi VII : menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAK
sosialisasi yang telah dilakukan.
Tujuan umum:
Mampu meningkatkan hubungan interpersonal antar anggota kelompok,
berkomunikasi, saling memperhatikan, memberi tanggapan terhadap orang lain,
mengekpresikan ide serta menerima stimulus eksternal.
Tujuan khusus:
25
a) Penderita mampu menyebutkan identitasnya
h) Menyebutkan identitas penderita lain
i) Berespon terhadap penderita lain
j) Mengikuti aturan main
k) Mengemukakan pendapat dan perasaannya
Karakteristik:
a) Penderita kurang berminat atau tidak ada inisiatif untuk mengikuti kegiatan
ruangan
b) Penderita sering berada ditempat tidur
c) Penderita menarik diri, kontak sosial kurang
d) Penderita dengan harga diri rendah
e) Penderita gelisah, curiga, takut dan cemas
f) Tidak ada inisiatif memulai pembicaraan, menjawab seperlunya, jawaban
sesuai pertanyaan
g) Sudah dapat menerima trust, mau berinteraksi, sehat fisik.
4) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi
Pasien dilatih untuk mempersepsikan stimulus yang disediakan atau
stimulus yang pernah dialami. Kemampuan persepsi pasien dievaluasi dan
ditingkatkan pada tiap sesi. Dalam proses ini diharapkan respons pasien terhadap
berbagai stimulus dalam kehidupan menjadi adaptif. Aktivitas yang diberikan
antara lain sebagai berikut.
a) Sesi I : menonton TV
b) Sesi II : membaca majalah/koran/artikel
c) Sesi III : gambar
d) Sesi IV :
(1) Mengenal perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
(2) Mencegah perilaku kekerasan melalui kegiatan fisik.
(3) Mencegah perilaku kekerasan melalui interaksi asertif.
(4) Mencegah perilaku kekerasan melalui kepatuhan minum obat.
(5) Mencegah perilaku kekerasan melalui kegiatan ibadah.
Tujuan
a) Meningkatkan kemampuan orientasi realita
b) Meningkatkan kemampuan memusatkan perhatian
c) Meningkatkan kemampuan intelektual
26
d) Mengemukakan pendapat dan menerima pendapat orang lain
e) Mengemukakan perasaannya.
Karakteristik
a) Penderita dengan gangguan persepsi yang berhubungan dengan nilai-nilai
b) Menarik diri dari realitas
c) Inisiasi atau ide-ide negatif
d) Kondisi fisik sehat, dapat berkomunikasi verbal, kooperatif dan mau
mengikuti kegiatan.
5) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi Peningkatan Harga Diri
Pasien dilatih untuk mengidentifikasi hal-hal positif pada diri sehingga
mampu menghargai diri sendiri.Kemampuan pasien dievaluasi dan ditingkatkan
pada tiap sesi. Dalam proses ini, pasien diharapkan mampu merumuskan suatu
tujuan hidup yang realistis. Aktivitas yang diberikan adalah sebagai berikut.
a) Sesi I : identifikasi hal positif diri.
e) Sesi II : menghargai hal positif orang lain.
f) Sesi III : menetapkan tujuan hidup yang realistis.
6) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi Mengontrol Halusinasi
Pasien dilatih untuk dapat mengenal halusinasi yang dialaminya dan
dilatih cara mengontrol halusinasi. Kemampuan persepsi pasien dievaluasi dan
ditingkatkan pada tiap sesi. Dalam proses ini, respons pasien terhadap berbagai
stimulus dalam kehidupan diharapkan menjadi adaptif. Aktivitas yang diberikan
yaitu sebagai berikut.
a) Sesi I : mengenal halusinasi
g) Sesi II : mengontrol halusinasi dengan menghardik
h) Sesi III : mengontrol halusinasi dengan menyusun jadwal kegiatan
i) Sesi IV : mengontrol halusinasi dengan minum obat yang benar
j) Sesi V : mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap
f. Tahapan-Tahapan dalam Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
Menurut Yusuf A, dkk (2015) kelompok mempunyai kapasitas untuk tumbuh
dan berkembang. Pemimpin yang akan mengembangkan kelompok akan melalui
empat fase atau tahap, yaitu fase prakelompok, fase awal kelompok, fase kerja
kelompok, dan fase terminasi kelompok.
1) Fase Prakelompok

27
Hal penting yang harus diperhatikan saat mulai membangun kelompok adalah
merumuskan tujuan kelompok.Tercapai atau tidaknya suatu tujuan sangat
dipengaruhi oleh perilaku pemimpin kelompok.Pemimpin kelompok harus
melakukan persiapan dengan penyusunan proposal.
3) Fase Awal Kelompok
Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuk kelompok yang baru dan peran
yang baru.Fase ini dibagi menjadi tiga fase lagi, yaitu fase orientasi, konflik, dan
kohesif.
a) Tahap orientasi
Pada tahap ini pimpinan kelompok lebih aktif dalam memberi pengarahan.
b) Tahap konflik
Peran dependen dan independen terjadi pada tahap ini. Sebagian pemimpin
ingin sebagai pengambil keputusan, serta ada pula yang hanya mengarahkan
dan anggota nantinya yang akan memutuskan.
c) Tahap kohesif
Setelah melalui tahap konflik, anggota kelompok akan merasakan ikatan yang
kuat satu sama lain. Perasaan positif akan semakin saling diungkapkan.
Anggota merasa bebas membuka diri tentang informasi dan lebih intim dengan
anggota yang lain. Pemimpin tetap berupaya memberdayakan kemampuan
anggota kelompok dalam penyelesaian masalah. Pada akhirnya, anggota
kelompok akan belajar bahwa perbedaan tidak perlu ditakutkan. Semua
persamaan dan perbedaan tetap dapat mewujudkan tujuan menjadi suatu
realitas.
4) Fase kerja kelompok
Fase ini kelompok sudah menjadi sebuah tim yang stabil dan realistis. Bekerja
keras tetapi tetap menyenangkan dan menjadi suatu tantangan bagi anggota dan
pemimpin kelompok.Tugas pimpinan kelompok pada fase ini membantu
kelompok mencapai tujuan dan mengurangi dampak dari hal-hal yang dapat
menurunkan produktivitas kelompok.
5) Fase terminasi kelompok
Terminasi dapat sementara atau permanen.Terminasi dapat pula terjadi karena
anggota kelompok atau pimpinan keluar dari kelompok.Pada fase ini dilakukan
evaluasi yang difokuskan pada pencapaian kelompok dan individu.Terminasi yang

28
sukses ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok dapat digunakan
secara individual pada kehidupan sehari-hari.
g. Terapis Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Direja (2011) terapis adalah orang yang dipercaya untuk memberikan
terapi kepada klien yang mengalami gangguan jiwa. Adapun terapis antara lain:
1) Perawat
2) Psikiater
3) Psikolog
4) Dokter
5) Fisioterapis
6) Speech terapis
7) Occupation terapis
8) Sosial worker
Adapun persyaratan dan kualifikasi untuk terapi aktivitas kelompok adalah:
1) Pengetahuan pokok tentang pikiran-pikiran dan tingkah laku normal dan patologi
dalam budaya setempat.
2) Memiliki konsep teoritis yang padat dan logis, yang cukup sesuai untuk
dipergunakan dalam memahami pikiran-pikiran dan tingkah laku yang normal
maupun patologis.
3) Memiliki teknis yang bersifat terapeutik yang menyatu dengan konsep-konsep
yang dimiliki melalui pengalaman klinis dengan pasien.
4) Memiliki kecakapan unruk menggunakan dan mengontrol institusi untuk
membaca yang tersirat dan menggunakannya secara empatis untuk memahami apa
yang dimaksuddan dirasakan pasiendibelakang kata-katanya.
5) Memiliki kesadaran-kesadaran atas harapan-harapan sendiri, kecemasan dan
mekanisme pertahanan yang dimiliki dan pengaruhnya terhadap teknik
terapeutiknya.
6) Harus mampu menerima pasien sebagai manusia utuh dengan segala kekurangan
dan kelebihannya.
h. Program Antisipasi Masalah dalam Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Yusuf A, dkk (2015) adapun program antisipasi masalah dalam terapi
aktivitas kelompok:
Masalah yang mungkin timbul dalam TAK antara lain sebagai berikut.
1) Adanya subkelompok.
29
2) Keterbukaan yang kurang
3) Resistansi baik individu maupun kelompok.
4) Adanya anggota kelompok yang drop out.
5) Penambahan anggota baru.
Cara mengatasi masalah ini bergantung pada jenis kelompok terapis, kontrak,
dan kerangka teori yang mendasari terapi aktivitas tersebut. Program antisipasi
masalah merupakan intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
keadaan yang bersifat gawat darurat dalam terapi yang dapat memengaruhi proses
pelaksanaan TAK. Misalnya, pasien meninggalkan permainan, maka intervensi yang
diberikan panggil nama pasien, serta tanyakan alasan meninggalkan tempat dan beri
penjelasan. Berikut adalah contoh struktur perencanaan terapi aktivitas kelompok.
i. Peran Perawat dalam Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Direja (2011) peran perawat jiwa profesional dalam pelaksanaan
terapi aktivitas kelompok pada penderita skizofrenia adalah:
1) Mempersiapkan program terapi aktivitas kelompok
Sebelum melaksanakan terapi aktivitas kelompok, perawat harus terlebih
dahulu membuat proposal. Proposal tersebut akan dijadikan panduan dalam
pelaksanaan terapi aktivitas kelompok, komponen yang dapat disusun meliputi:
deskripsi, karakteristik klien, masalah keperawatan, tujuan dan landasan teori,
persiapan alat, jumlah perawat, waktu pelaksanaan, kondisi ruangan serta uraian
tugas terapis.
2) Tugas sebagai leader dan co-leader
Meliputi tugas menganalisa dan mengobservasi pola-pola komunikasi
yang terjadi dalam kelompok, membantu anggota kelompok untuk menyadari
dinamisnya kelompok, menjadi motivator, membantu kelompok menetapkan
tujuan dan membuat peraturan serta mengarahkandan memimpin jalannya terapi
aktivitas kelompok.
3) Tugas sebagai fasilitator
Sebagai fasilitator, perawat ikut serta dalam kegiatan kelompok sebagai
anggota kelompok dengan tujuan memberi stimulus pada anggota kelompok lain
agar dapat mengikuti jalannya kegiatan.
4) Tugas sebagai observer

30
Tujuan sebagai observer meliputi: mencatat serta mengamati respon
penderita, mengamati jalannya proses terapi aktivitas dan menangani
peserta/anggota kelompok yang drop out.
5) Tugas dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan terapi
Masalah yang mungkin timbul adalah kemungkinan timbulnya sub
kelompok, kurangnya keterbukaan, resistensi baik individu atau kelompok dan
adanya anggota kelompok yang drop out.
Cara mengatasi masalah tersebut tergantung pada jenis kelompok terapis,
kontrak dan kerangka teori yang mendasari terapi aktivitas tersebut.
6) Program antisipasi masalah
Merupakan intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
keadaan yang bersifat darurat (emergensi dalam terapi) yang dapat mempengaruhi
proses pelaksanaan terapi aktivitas kelompok.
Peran perawat psikiatri dalam terapi aktivitas kelompok adalah sebagai
leader/ co leader, sebagai observer dan fasilitator serta mengevaluasi hasil yang
dicapai dalam kelompok. Untuk memperoleh kemampuan sebagai leader.co
leader, observer dan fasilitator dalam kegiatan terapi aktivitas kelompok, perawat
juga perlu mendapat latihan dan keahlian yang professional.
j. Pengorganisasian Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Yusuf A, dkk (2015) pengorganisasian terapi aktivitas kelompok
ialah sebagai berikut:
1) Pemimpin kelompok (leader)
Tugas pemimpin kelompok adalah sebagai berikut.
a) Menyusun rencana aktivitas kelompok (proposal).
b) Mengarahkan kelompok dalam mencapai tujuan.
c) Memfasilitasi setiap anggota untuk mengekspresikan perasaan, mengajukan
pendapat, dan memberikan umpan balik.
d) Sebagai “role model”.
e) Memotivasi setiap anggota untuk mengemukakan pendapat dan memberikan
umpan balik.
2) Pembantu pemimpin kelompok (co-leader)
Tugasnya adalah membantu pemimpin dalam mengorganisir anggota kelompok.
3) Fasilitator
Tugasnya adalah sebagai berikut.
31
a) Membantu pemimpin memfasilitasi anggota untuk berperan aktif dan
memotivasi anggota.
b) Memfokuskan kegiatan.
c) Membantu mengoordinasi anggota kelompok.
4) Observer
Tugas observer antara lain sebagai berikut.
a) Mengobservasi semua respons pasien.
b) Mencatat semua proses yang terjadi dan semua perubahan perilaku pasien.
c) Memberikan umpan balik pada kelompok.
Untuk kelompok yang telah melakukan aktivitas secara teratur, pasien yang
sudah kooperatif dan stabil dapat berperan sebagai pembantu pimpinan, fasilitator,
observer bahkan sebagai pimpinan.Perawat sebagai terapis perlu mengarahkan.
Jumlah anggota kelompok berkisar antara 7 sampai 10 orang sedangkan
lamanya aktivitas 45 sampai 60 menit. Sebelum memulai terapi, aktivitas kelompok
perlu menyusun proposal sebagai pedoman pelaksanaan terapi aktivitas kelompok.

32
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Terapi modalitas keperawatan jiwa dilakukan untuk memperbaiki dan
mempertahankan sikap klien agar mampu bertahan dan bersosialisasi dengan
lingkungan masyarakat sekitar dengan harapan klien dapat terus bekerja dan tetap
berhubungan dengan keluarga, teman, dan system pendukung yang ada ketika
menjalani terapi (Nasir dan Muhits, 2011).
Secara umum peran perawat jiwa dalam pelaksanaan terapi modalitas
bertindak sebagai leader, fasilitator, evaluator, dan motivator (Nasir dan Muhits,
2011).

3.2 Saran
Bagi petugas kesehatan, dalam pemberian asuhan keperawatan untuk pasien
dengan gangguan kejiwaan salah satu cara paling efektif yaitu diberikan terapi
keluarga maupun terapi aktivitas kelompok karena terapi tersebut. Namun sebelum
dilakukan terapi tersebut perawat perlu mempelajari konsep dan teori terapi tersebut.

33
DAFTAR PUSTAKA

Dalami, Hermawati. 2010. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: CV. Trans
Info Media.
Direja, Ade H.S. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Febri, Fitri. 2017. 12 Terapi Aktivitas Kelompok untuk Sosialisasi. Dikutip dari
https://dosenpsikologi.com/terapi-aktivitas-kelompok. Diakses pada 6 September
2018.
Kusumawati dan Hartono. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Nasir dan Muhits. 2011. Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa: Pengantar dan Teori. Jakarta:
Salemba Medika.
Purwaningsih dan Karlina. 2010. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Suliswati. 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC
Schultz, J. M and Videbeck, S. D. 2009. Lippincott’s Manual of Psychiatric Nursing Care
Plants. Philadelphia: Lippincott.
Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Terjemahan dari Pocket
Guide to Psyciatric Nursing, oleh Achir Yani S. Hamid. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Yusuf, ah. 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

34

Anda mungkin juga menyukai