Juli 2018
TRAUMA OKULI
OLEH :
G1A217065
PEMBIMBING:
TRAUMA OKULI
OLEH :
G1A217065
Pembimbing
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Clinical Sciense Session (CSS) yang berjudul “TRAUMA OKULI” untuk
memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Mata, Fakultas Kedokteran Universitas
Jambi di RSUD H ABDUL MANAP KOTA JAMBI.
Dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada dr. Gita Mayani,
Sp.M selaku konsulen ilmu mata yang telah membimbing dalam mengerjakan
Clinical Sciense Session (CSS) ini sehingga dapat diselesaikan tepat waktu.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Trauma okuli merupakan trauma atau cedera yang terjadi pada mata
yang dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan
rongga orbita, kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi
mata sebagai indra penglihat. Trauma okuli merupakan salah satu penyebab yang
sering menyebabkan kebutaan unilateral pada anak dan dewasa muda, karena
kelompok usia inilah yang sering mengalami trauma okuli yang parah. Dewasa muda
(terutama laki-laki) merupakan kelompok yang paling sering mengalami trauma
okuli. Penyebabnya dapat bermacam-macam, diantaranya kecelakaan di rumah,
kekerasan, ledakan, cedera olahraga, dan kecelakaan lalu lintas.
Secara umum trauma okuli dibagi menjadi dua yaitu trauma okuli perforans
dan trauma okuli non perforans. Sedangkan klasifikasi trauma okuli berdasarkan
mekanisme trauma terbagi atas trauma mekanik (trauma tumpul dan trauma tajam),
trauma radiasi (sinar inframerah, sinar ultraviolet, dan sinar X) dan trauma kimia
(bahan asam dan basa).
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat trauma okuli adalah erosi
kornea, iridoplegia, hifema, iridosiklitis, subluksasi lensa, luksasi lensa anterior,
luksasi lensa posterior, edema retina dan koroid, ablasi retina, ruptur koroid, serta
avulsi papil saraf optik. Jika komplikasi tersebut keluar maka terapi yang diberikan
juga meliputi penanganan terhadap komplikasi yang timbul.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Mata
Kornea
Kornea (latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian
selaput mata yang tembus cahaya, menempati pertengahan dari rongga bola mata
anterior yang terletak diantara sclera. Kornea ini merupakan lapisan avaskuler dan
menjadi salah satu media refraksi ( bersama dengan humor aquos membentuk lensa
positif sebesar 43 dioptri ). Kornea memiliki permukaan posterior lebih cembung
daripada anterior sehingga rata-rata mempunyai ketebalan sekitar 11,5 mm ( untuk
orang dewasa). lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan terdiri atas :
1. Epitel
Sel basal sering terlihat mitosis sel.
2. Membran Bowman
Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi
3. Stroma
4. Membrane Descemet
Bersifat sangat elastic dan berkembang terus seumur hidup.
5. Endotel
Uvea
Uvea terdiri dari iris, korpus siliar dan koroid. Bagian ini adalah lapisan
vascular . tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sclera :
a. Iris
Merupakan lanjutan dari badan siliar kedepan dan merupakan diafagma yang
membagi bola mata menjadi dua segmen anterior dan segmen posterior. Berbentuk
sirkular yang ditengah- tengahnya berlubang yang disebut pupil.
Secara histologi iris terdiri dari stroma yang jarang dan diantaranya terdapat
lekukan-lekukan yang berjalan radier yang disebut kripta. Di dalam stroma terdapat
sel pigmen yang bercabang, banyak pembulluh darah dan serat saraf . dipermukaan
anterior ditutup oleh endotel terkecuali kripta, dimana pembuluh darah dalam stroma
dapat berhubungan langsung dengan cairan COA, yang memungkinkan cepatnya
terjadi pengaliran makanan ke COA dan sebaliknya.
Jaringan otot iris tersusun longgar dengan otot polos yang melingkar pupil (m.
Sfingter pupil) terletak di dalam stroma dekat pupil dan di atur oleh saraf
parasimpatis (N. III) dan yang berjalan radial dari akar iris ke pupil (m. dilatator
pupil) terletak di bagian posterior stroma dan diatur oleh saraf simpatis.
Iris menipis didekat perlekatannya di badan siliar dan menebal didekat pupil.
Pembuluh darah disekitar pupil disebut sirkulus minor dan yang berada dekat badan
siliar disebut sirkulus mayor. Iris dipersarafi oleh nervus nasosiliar cabang dari saraf
cranial III yang bersifat simpatis untuk midriasis dan parasimpatis untuk miosis.
Pupil bekerja sebagai apertura di dalam kamera. Dalam keadaan radang,
didapatkan iris menebal dan pupil mengecil. Dalam keadaan normal pupil sentral
bulat, isokor (sama kanan dan kiri), reaksi cahaya langsung dan tidak langsung
positif. Reaksi pupil ada tiga, yaitu reaksi cahaya langsung dan tidak langsung, reaksi
terhadap titik dekat, dan terhadap obat-obatan.
b. Badan Siliar
Berbentuk segitiga terdiri dari dua bagian, yaitu :
Pars korona, pada bagian anterior bergerigi panjangnya kira-kira 2mm
Pars plana, yang posterior tidak bergerigi, panjangnya 4mm
Prosesus siliar menghasilkan cairan mata yaitu, aqueos humor yang mengisi
bilik mata depan. Yang berfungsi memberi makanan untuk kornea dan lensa. Pada
peradangan akibat hiperemi yang aktif, maka pembentukan cairan mata bertambah
sehingga dapat menyebabkan tekanan intraokuler meninggi dan timbullah glukoma
sekunder. Bila peradangan hebat dan merusak sebagian badan siliar maka produksi
aqueos humor berkurang, tekanan berkurang dan berakhir sebagai atrofi bulbi okuli. 6
c. Koroid
Koroid merupakan suatu membran yang berwarna coklat tua, yang terletak
diantara sklera dengan retina terbentang dari ora serata sampai ke papil saraf optik.
Koroid terdiri dari beberapa lapisan, yaitu;2
Lapisan epitel pigmen
Membran Bruch (lamina vitrea)
Koriokapiler
Pembuluh darah sedang dan pembuluh darah besar
Suprakoroid
Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular tak berwarna dan hampir
transparan sempurna. Tebalnya kira-kira 4mm dan diameternya 9 mm. Lensa
digantung oleh zonula zinnii, yang menghubungkannya dengan korpus silier. Di
bagian anterior lensa terdapat humor aqueous, disebelah posteriornya vitreus. Kapsul
lensa adalah suatu membran yang semi permeabel (sedikit lebih permeabel dari pada
dinding kapiler) yang akan memperoleh air dan elektrolit masuk. 6
Lensa ditahan ditempatnya oleh ligamentum yang dikenal sebagai zonula
zinnii, yang tersusun dari banyak fibril dari permukaan korpus siliare dan menyisip ke
dalam ekuator lensa. Lensa mata mempunyai peranan pada akomodasi atau melihat
dekat sehingga sinar dapat di fokuskan disaerah macula lutea.
Secara fisiologik lensa mempunyai sifat tertentu : 6
Kenyal atau lentur karena memegang peranan terpenting dalam akomodasi
untuk menjadi cembung.
Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan
Terletak ditempatnya.
Keadaan patologik lensa ini dapat berupa :
Retina
Retina adalah selapis lembar tipis jaringan saraf yang semi transparan. Retina
merupakan reseptor yang menerima rangsangan cahaya. Retina berbatas dengan
koroid dan sel pigmen epitel retina, dan terdiri atas lapisan ; 6
Membrana limitans interna
Lapisan serat saraf yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan
menuju ke nervus optikus.
Lapisan sel ganglion
Lapisan plexiformis dalam, yang mengandung sambungan-sambungan sel
ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar
Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal
Lapisan pleskiformis luar, yang mengandung sambungan-sambungan sel
bipolar dan sel horizontal dengan fotoreseptor
Lapisan inti luar sel fotoreseptor
Membran limitans eksterna
Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut
Epitelium pigmen retina
Warna retina biasanya jingga dan kadang-kadang pucat pada anemia dan
iskemia dan merah pada hiperemia.
Pembuluh darah di dalam retina merupakan percabangan arteri oftalmika,
arteri retina sentral masuk retina melalui papil saraf optik yang akan memberikan
nutrisi pada retina dalam. Lapisan luar retina atau sel kerucut dan batang mendapat
nutrisi dari koroid.
Saraf optik
Saraf optik yang keluar dari polus posterior bola mata membawa dua jenis
serabut saraf yaitu : saraf penglihatan dan serabut pupilomotor. Kelainan saraf optik
menggambarkan gangguan yang diakibatkan tekanan langsung atau tidak langsung
terhadap saraf optik ataupun perubahan toksik dan anoksik yang mempengaruhi
penyaluran aliran listrik.
Sklera
Bagian putih bola mata yang bersama-sama dengan kornea merupakan
pembungkus dan pelindung 4/5 permukaan mata. Sklera berjalan dari papil saraf
optik sampai kornea.
Sklera anterior ditutupi oleh tiga lapis jaringan ikat vaskular, sklera
mempunyai kekakuan tertentu sehingga mempengaruhi pengukuran tekanan bola
mata. Walaupun sklera kaku dan tipisnya 1 mm ia masih tahan terhadap kontusio
trauma tumpul. Kekakuan sklera dapat meninggi pada pasien diabetes melitus, atau
merendah pada eksoftalmos goiter, miotika dan meminum air banyak.
Konjungtiva
Merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis. Dapat dibagi menjadi
tiga zona : palpebra, forniks dan bulbar. Bagian bulbar mulai dari mukokutaneus
junction dari kelopak mata dan melindunginya dari permukaan dalam. Bagian ini
melekat erat pada tarsus. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbikulare
di fornik dan melipat berkali-kali, sehingga memungkinkan bola mata bergerak dan
memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Kecuali di limbus, konjungtiva
bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera dibawahnya.2
Rongga orbita
Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang yang
membentuk dinding orbita yaitu : lakrimal, etmoid, sphenoid, frontal, dan dasar orbita
yang yang terutama terdiri atas tulang maksila, bersama-sama tulang palatinum dan
zigomatikus.
Rongga orbita yang berbentuk piramid ini terletak pada kedua sisi rongga
hidung. Dinding lateral orbita membentuk sudut 45°dengan dinding medialnya.
Dinding orbita terdiri atas tulang-tulang :
Superior : os. Frontal
Lateral : os. Frontal, os. Zigomatik, ala magna os. Sfenoid
Inferior : os. Zigomatik, os. Maksila, os.palatina
Nasal : os. Maksila, os. Lakrimal, os.etmoid
Foramen optik terletak pada apeks rongga orbita, dilalui oleh saraf optik,
arteri, vena, dan saraf simpatik yang berasal dari pleksus karotid.
Fisura orbita superior di sudut orbita atas temporal dilalui oleh saraf lakimal
(V), saraf frontal (V), saraf troklear (IV), saraf okulomotor (III), saraf nasosiliar (V),
abdusen (VI), dan arteri vena ophtalmik. Fisura orbita inferior terlatak didasar tengah
temporal orbita dilalui oleh saraf infra-orbita dan zigomatik dan arteri infra orbita.
Fosa lakrimal terletak disebelah temporal atas tempat duduknya kelenjar lakrimal.
Gambar 3. Bola Mata dan Rongga Orbital
2.2 Definisi
Trauma Okuli adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan
perlukaan mata atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada bola mata,kelopak mata,saraf mata dan rongga orbita,kerusakan ini
akan memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi mata sebagai indra
penglihat.Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata, dan dapat juga sebagai
kasus polisi. Perlukaan yang ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau
menimbulkan kebutaan bahkan kehilangan mata.
2.3 Epidemiologi
Trauma okular adalah penyebab kebutaan yang cukup signifikan, terutama
pada golongan sosioekonomi rendah dan di negara-negara berkembang. Kejadian
trauma okular dialami oleh pria 3 sampai 5 kali lebih banyak daripada wanita. Dari
data WHO tahun 1998 trauma okular berakibat kebutaan unilateral sebanyak 19 juta
orang, 2,3 juta mengalami penurunan visus bilateral, dan 1,6 juta mengalami
kebutaan bilateral akibat cedera mata. Menurut United States Eye Injury Registry
(USEIR), frekuensi di Amerika Serikat mencapai 16 % dan meningkat di lokasi kerja
dibandingkan dengan di rumah. Lebih banyak pada laki-laki (93 %) dengan umur
rata-rata 31 tahun.
United States Eye Injury Registry (USEIR) merupakan sumber informasi
epidemiologi yang digunakan secara umum di AS. Menurut data dari USEIR, rata-
rata umur orang yang terkena trauma okuli perforans adalah 29 tahun, dan laki-laki
lebih sering terkena disbanding dengan perempuan. Menurut studi epidemiologi
international, kebanyakan orang yang terkana trauma okuli perforans adalah laki-laki
umur 25 sampai 30 tahun, sering mnegkonsumsi alcohol, trauma terjadi di rumah.
Selain itu cedera akibat olah raga dan kekerasan merupakan keadaan yang paling
sering menyebabkan trauma.Pada studi yang lain, di simpulkan bahwa olahraga
dihubungkan dengan trauma pada pemakai kacamata umumnya terjadi pada usia di
bawah 18 tahun dan jatuh dihubungkan dengan trauma pada pemakai kaca mata
umumnya terjadi pada usia 65 tahun atau lebih. Meskipun kacamata dihubungkan
dengan trauma yang terjadi, resep kacamata dan non resep kacamata hitam telah
ditemukan untuk memberikan perlingdungan yang menghasilkan insidens yang
rendah pada trauma serius mata bagi penggunannya.
2.4 Klasifikasi
Menurut skema diatas, secara garis besar trauma okuli dibagi menjadi dua
yaitu trauma okuli non perforans dan perforans, yang keduanya memiliki potensi
menimbulkan ruptur pada perlukaan kornea, iris dan pupil. Trauma tumpul mampu
menimbulkan trauma okuli non perforans yang dapat menimbulkan komplikasi
sepanjang bagian mata yang terkena (bisa meliputi mulai dari bagian kornea hingga
retina).
Selain berdasarkan efek perforasi yang ditimbulkan trauma okuli juga juga bisa
diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya yaitu:
Trauma tumpul (contusio okuli) (non perforans)
Trauma tajam (perforans)
Trauma Radiasi
- Trauma radiasi sinar inframerah
- Trauma radiasi sinar ultraviolet
- Trauma radiasi sinar X dan sinart terionisasi
Trauma Kimia
- Trauma asam
- Trauma basa
Trauma okuli non perforans akibat benda tumpul dimana benda tersebut dapat
mengenai mata dengan keras (kencang) ataupun lambat, mampu menimbulkan efek
atau komplikasi jaringan seperti pada kelopak mata, konjungtiva, kornea, uvea, lensa,
retina, papil saraf optik dan orbita secara terpisah atau menjadi gabungan satu
kejadian trauma jaringan mata.
TRAUMA TUMPUL
Trauma tumpul sendiri dapat berupa:
a) Trauma tumpul palpebra.
Suatu benturan tumpul bisa mendorong mata ke belakang sehingga kemungkinan
merusak struktur pada permukaan (kelopak mata, konjungtiva, sklera, kornea dan
lensa) dan struktur mata bagian belakang (retina dan persarafan). Karena palpebra
merupakan pelindung bola mata maka saat terjadi trauma akan melakukan reefleks
menutup. Hal ini akan menyebabkan terjadinya hematoma palpebra. Hematoma ini
terjadi karena keluarnya darah dari pembuluh darah yang rusak pada trauma tersebut.
Dislokasi Lensa. Dislokasi lensa terjadi pada putusnya zonula zinn yang akan
mengakibatkan kedudukan lensa terganggu.
Subluksasi Lensa. Terjadi akibat putusnya sebagian zonula zinn sehingga lensa
berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita
kelainan pada zonula zinn yang rapuh (sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan
mengeluh penglihatan berkurang. Subluksasi lensa akan memberikan gambaran pada
iris berupa iridodonesis. Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa
yang elastic akan menjadi cembung, dan maata akan menjadi lebih miopik. Lensa
yang menjadi sangat cembung mendorong iris ke depan sehingga sudut bilik mata
tertutup. Bila sudut bilik mata menjadi sempit pada mata ini mudha terjadi glaucoma
sekunder.
Luksasi Lensa Anterior. Bila seluruh zonula zinn di sekitar ekuator putus akibat
trauma maka lensa dapat masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa terletak
dalam bilik mata depan ini maka akan terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik
mata sehingga akan timbul glaucoma kongestif akut dengan gejala-gejalanya. Pasien
akan mengeluh penglihatan menurun mendadak, disertai rasa sakit yang sangat,
muntah, mata merah dengan blefarospasme. Terdapat injeksi siliar yang berat, edema
korne, lensa di dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang
lebar. Tekanan bola mata sangat tinggi.
Luksasi Lensa Posterior. Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi
luksasi lensa posterior akibat putusnya zonula zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa
sehingga lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah polus
posterior fundus okuli. Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang
pandangannya akibat lensa mengganggu kampus. Mata ini akan menunjukkan gejala
mata tanpa lensa atau afakia. Pasien akan melihat normal dengan lensa +12.0 dioptri
untuk jauh, bilik mata depan dalam dan iris tremulans. Lensa yang terlalu lama
berada dalam polus posterior dapat menimbulkan penyulit akibat degenerasi lensa,
berupa glaucoma fakolitik ataupun uveitis fakotoksik.
Katarak Trauma. Pada trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior
ataupun posterior. Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat
pula dalam bentuk katarak tercetak yang disebut cincin Vossius. Cincin Vossius
merupakan cincin berpigmen yang terletak tepat di belakang pupil yang dapat terjadi
segera setelah trauma, yang merupakan deposit pigmen iris pada dataran depan lensa
sesudah suatu trauma, seperti suatu stempel jari.
Trauma pada mata dapat menyebabkan munculnya beberapa gejala klinis yaitu :
Perdarahan di palpebra
Pada perdarahan yang berat, palpebra menjadi bengkak, kebiru-biruan, karena
jaringan ikat palpebra halus. Perdarahan dapat menjalar ke bagian lain di muka, juga
dapat menyeberang ke mata yang lain menimbulkan hematoma kacamata atau
menjalar ke belakang menyebabkan eksoftalmus.
b) Emfisema palpebra
Emfisema palpebra teraba sebagai pembengkakan dengan krepitasi,
disebabkan adanya udara di dalam jaringan palpebra yang longgar. Hal ini
menunjukkan adanya fraktura dari dinding orbita, sehingga menimbulkan hubungan
langsung antara rongga orbita dengan ruang hidung atau sinus-sinus sekeliling orbita.
Sering mengenai lamina papyricea os etmoidalis, yang merupakan dinding medial
dari rongga orbita, karena dinding ini tipis.
Ptosis
- Pada trauma tumpul dapat juga terlihat gangguan gerak bola mata, karena
perdarahan di rongga orbita atau adanya kerusakan di otot-otot mata luar.
Dapat terjadi oleh karena :
- parese atau paralise dari m. Levator palpebra (N.III)
- Pseudoptosis, oleh karena edema palpebra
h) Pupil midriasis
Disebabkan iridoplegia, akibat serabut saraf yang mengatur otot sfingter pupil.
Iridoplegia ini dapat terjadi temporer 2-3 minggu, dapat juga permanen, tergantung
adanya parese atau paralise dari otot tersebut. Dalam waktu itu mata terasa silau.
i) Iridodialise/iridoreksis/robekan iris
Merupakan robekan pada akar iris, sehingga pupil agak ke pinggir letaknya,
pada pemeriksaan biasa terdapat warna gelap selain pada pupil, tetapi juga pada dasar
iris terdapat iridodialisa. Pada pemeriksaan oftalmoskopi terdapat warna merah pada
pupil dan juga pada tempat iridodialisa, yang merupakan refleks fundus.
l) Perdarahan retina
Dapat timbul bila trauma menyebabkan pecahnya pembuluh darah. Bentuk
perdarahan tergantung dari lokalisasinya. Bila terdapat di lapisan serabut saraf
tampak sebagai bulu ayam, bila letak lebih keluar tampak sebagai bercak yang
berbatas tegas, perdarahan di depan retina (preretina) mempunyai permukaan datar di
bagian atas dan cembung di bagian bawah. Darahnya dapat pula masuk ke dalam
badan kaca. Penderita mengeluh terdapat bayangan-bayangan hitam di lapangan
penglihatannya, kalau banyak dan masuk ke dalam badan kaca dapat menutupi
jalannya cahaya, sehingga visus terganggu.
m) Robekan sklera
n) Eksoftalmus
Biasanya disebabkan perdarahan retrobulber, berasal dari a.optalmika beserta
cabang-cabangnya. Dengan istirahat di tempat tidur, perdarahan diserap kembali, juga
diberi koagulansia. Bila eksoftalmus disertai pulsasi dan “souffles”, berarti ada
aneurisma arteriovena antara arteri karotis interna dan sinus kavernosa.
o) Enoftalmus
Disebabkan robekan besar pada kapsula tenon, yang menyelubungi bola mata
di luar sklera atau disebabkan fraktur dasar orbita. Seringkali enoftalmus tidak terlihat
selama masih terdapat edema.Pada pemeriksaan funduskopi mungkin terlihat atrofi
saraf optik yang menyebabkan visus sangat menurun. Hal ini disebabkan adanya
perdarahan retrobulber, fraktura dinding orbita bagian posterior, fraktura basis kranii.
Untuk menentukannya diperlukan foto tulang tengkorak.
6. 7.
8.
Keterangan. (Gambar 6) Kekeruhan Kornea Akibat Trauma Basa. (Gambar 7)
Gambaran “Cooked fish eye” Akibat Trauma Alkali. (Gambar 8) Kornea
Menjadi Keruh Akibat Trauma Alkali.
1. Hifema
Penanganan awal pada pasien hifema yaitu dengan merawat pasien dengan
tidur di tempat tidur yang ditinggikan 30 derajat pada kepala (semi fowler), diberi
koagulansia (antifibrinolitik oral/injeksi) dan mata ditutup. Pada pasien yang gelisah
dapat diberikan obat penenang.Pasien yang jelas memperlihatkan hifema yang
mengisi lebih dari 5% kamera anterior diharuskan bertirah baring dan harus diberikan
tetes steroid dan sikloplegik pada mata yang sakit selama 5 hari. Mata diperiksa
secara berkala untuk mencari adanya perdarahan sekunder, glaukoma, atau bercak
darah di kornea akibat pigmen besi. Perdarahan ulang terjadi pada 16-20% kasus
dalam 2-3 hari. Penyulit ini memiliki resiko tinggi menimbulkan glaukoma dan
perwarnaan kornea. Beberapa penelitian mengisyaratkan bahwa penggunaan asam
aminokaproat oral untuk menstabilkan pembentukan bekuan darah menurunkan
resiko perdarahan ulang. Dosisnya adalah 100 mg/kg setiap 4 jam sampai maksimum
30 g/h selama 5 hari. Apabila timbul glaukoma, maka penatalaksanaan mencakup
pemberian timolol 0,25% atau 0,5% dua kali sehari, asetazolamide 250 mg per oral
1
empat kali sehari dan obat hiperosmotik (manitol, gliserol, sorbitol). Glaukoma
sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar berakibat suatu reses sudut di
bilik mata sehingga terjadi gangguan pengaliran cairan mata.
Hifema harus dievakuasi secara bedah apabila tekanan intraokular tetap tinggi
(>35 mmHg selama 7 hari atau 50 mmHg selama 5 hari) untuk menghindari
kerusakan syaraf optikus dan perwarnaan kornea. Apabila pasien mengidap
hemoglobinopati, maka besar kemungkinan cepat terjadi atrofi optikus glaukomatosa
dan pengeluaran bekuan darah secara bedah harus dipertimbangkan lebih awal.
Instrumen-instrumen vitrektomi digunakan untuk mengeluarkan bekuan di sentral dan
lavase kamera anterior. Dimasukkan tonggak irigasi dan probe mekanis di sebelah
anterior limbus melalui bagian kornea yang jernih untuk menghindari kerusakan iris
dan lensa. Tidak dilakukan usaha untuk mengeluarkan bekuan dari sudut kamera
anterior atau dari jaringan iris. Kemudian dilakukan iridektomi perifer. Cara lain
untuk membersihkan kamera anterior adalah dengan evakuasi viskoelastik. Dibuat
sebuah insisi kecil di limbus untuk menyuntikkan bahan viskoelasti, dan dan sebuah
insisi yang lebih besar 180 derajat berlawanan agar hifema dapat didorong keluar.
Glaukoma dapat timbul belakangan setelah beberapa bulan atau tahun akibat
penyempitan sudut. Dengan sedikit perkecualian, bercak darah di kornea akan hilang
secara perlahan dalam periode sampai setahun.
Parasentesis atau pengeluaran darah dari bilik mata depan dilakukan pada
pasien dengan hifema bila terlihat tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma skunder,
hifema penuh dan berwarna hitam atau setelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema
berkurang.Kadang-kadang sesudah hifema hilang atau 7 hari setelah trauma dapat
terjadi perdarahan atau hifema baru yang disebut hifema sekunder yang pengaruhnya
akan lebih hebat karena perdarahan lebih sukar hilang. Zat besi di dalam bola mata
dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan
ftisis bulbi dan kebutaan. Hifema spontan pada anak sebaiknya dipikirkan
kemungkinan leukimia dan retinoblastoma.
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan darah
atau nanah dari bilik mata depan, dengan teknik sebagai berikut: dibuat insisi kornea
2 mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya bila
dilakukan penekanan pada bibir luka maka koagulum dari bilik mata depan keluar.
Bila darah tidak keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan garam
fisiologik. Biasanya luka insisi kornea pada parasentesis tidak perlu dijahit.
2. Iridoplegia
Iridoplegia akibat trauma akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu. Pada pasien dengan iridoplegia sebaiknya diberi istirahat untuk terjadinya
kelelahan sfingter dan diberi roboransia. Untuk mencegah silau sebaiknya pasien
memakai kacamata gelap, atau mata yang sakit diperban.
Prognosis
Trauma okuli pada mata dapat menyebabkan gangguan penglihatan berat
jangka panjang dan rasa tidak enak pada mata. Prognosis kesembuhan ditentukan
ketepatan penanganan serta tergantung derajat kerusakannya. semakin dalam
kerusakan yang mengenai bola mata maka prognosisinya semakin buruk.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA