Anda di halaman 1dari 42

SClinical Sciense Session (CSS)

Juli 2018

TRAUMA OKULI

OLEH :

Sandi Putra Perdana, S.ked

G1A217065

PEMBIMBING:

dr. Gita Mayani, Sp.M

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA RSUD H ABDUL MANAP
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2018
LEMBAR PENGESAHAN

CLINICAL SCIENSE SESSION (CSS)

TRAUMA OKULI

OLEH :

SANDI PUTRA PERDANA

G1A217065

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan

Pada Juli 2018

Pembimbing

dr. Gita Mayani, Sp.M


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Clinical Sciense Session (CSS) yang berjudul “TRAUMA OKULI” untuk
memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Mata, Fakultas Kedokteran Universitas
Jambi di RSUD H ABDUL MANAP KOTA JAMBI.

Dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada dr. Gita Mayani,
Sp.M selaku konsulen ilmu mata yang telah membimbing dalam mengerjakan
Clinical Sciense Session (CSS) ini sehingga dapat diselesaikan tepat waktu.

Dengan laporan kasus ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi


penulis dan orang banyak yang membacanya terutama mengenai masalah Trauma
Okuli. Saya menyadari bahwa Clinical Sciense Session (CSS) ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu saya harapkan saran dan kritik yang membangun untuk
perbaikan yang akan datang.

Jambi, Juli 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Sejumlah mekanisme trauma tumpul dan tajam wajah dapat menyebabkan


laserasi kelopak mata. Trauma masih sering terjadi akibat kecelakaan lalu-lintas,
gigitan binatang, perkelahian dan luka bakar. Banyak mekanisme tumpul dan
penetrasi trauma wajah dapat mengakibatkan hal tersebut, bahkan benda tumpul yang
tampaknya tidak berbahaya di tempat kerja dapat menyebabkan luka kelopak mata.1,2
Laserasi tidak hanya melibatkan kulit, tapi dapat juga mengenai otot palpebra,
margo palpebra dan sistim lakrimal. Laserasi pada bagian medial palpebra dapat
menyebabkan robekan pada kanalis lakrimalis inferior, kanalis lakrimalis superior
dan sakus lakrimalis. Hal ini menimbulkan gangguan sistim eksresi lakrimal yang
meyebabkan epifora, sehingga memungkinkan berkembangnya abses di dalam sakus
lakrimal dan terjadinya dakriosistitis. Laserasi kelopak membutuhkan teknik jahitan
teliti serta dapat menyebabkan kehilangan jaringan.1,2 Laserasi palpebra lebih sering
ditemui pada pria muda, namun dapat terjadi pada semua usia. Bahkan pernah
ditemukan pada bayi baru lahir setelah operasi sesar. Dari hasil penelitian di Iran,
lokasi yang tersering mengalami laserasi pada kelopak kanan atas.1
Pemeriksaan diagnostik yang tepat dan secara komperehensif perlu dilakukan
dalam menegakan diagnose. Pada proses pengembalian struktur dan fungsi harus
tetap mengarah pada prinsip-prinsip estetika dasar yang menjadi perhatian utama dari
ahli bedah rekonstruksi. Manajemen yang tepat meliputi: melindungi kornea dan
menjaga agar kelopak dapat tertutup dengan tepat, mengeluarkan benda asing,
meminimalkan risiko infeksi, serta mengoptimalkan kosmetik.1,2

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Trauma okuli merupakan trauma atau cedera yang terjadi pada mata
yang dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan
rongga orbita, kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi
mata sebagai indra penglihat. Trauma okuli merupakan salah satu penyebab yang
sering menyebabkan kebutaan unilateral pada anak dan dewasa muda, karena
kelompok usia inilah yang sering mengalami trauma okuli yang parah. Dewasa muda
(terutama laki-laki) merupakan kelompok yang paling sering mengalami trauma
okuli. Penyebabnya dapat bermacam-macam, diantaranya kecelakaan di rumah,
kekerasan, ledakan, cedera olahraga, dan kecelakaan lalu lintas.

Prevalensi kebutaaan akibat trauma okuli secara nasional belum diketahui


dengan pasti, namun pada Survey Kesehatan Indra Penglihatan dan Pendengaran pada
tahun 1993-1996 didapatkan bahwa trauma okuli dimasukkan ke dalam penyebab
kebutaan lain-lain sebesar 0,15% dari jumlah total kebutaan nasional yang berkisar
1,5%. Trauma okuli juga bukan merupakan 10 besar penyakit mata yang
menyebabkan kebutaan.

Secara umum trauma okuli dibagi menjadi dua yaitu trauma okuli perforans
dan trauma okuli non perforans. Sedangkan klasifikasi trauma okuli berdasarkan
mekanisme trauma terbagi atas trauma mekanik (trauma tumpul dan trauma tajam),
trauma radiasi (sinar inframerah, sinar ultraviolet, dan sinar X) dan trauma kimia
(bahan asam dan basa).

Sebagai seorang dokter harus memikirkan apakah kasus yang dihadapi


merupakan true emergency yang merupakan kasus sangat gawat dan harus ditangani
dalam hitungan menit atau jam, ataukah urgent case yang harus ditangani dalam
hitungan jam atau hari. Sehingga membutuhkan diagnosa dan pertolongan cepat dan
tepat. Trauma okuli merupakan kedaruratan mutlak di bidang ocular emergency.
Sebagai contoh apabila didapatkan trauma tumpul akan menimbulkan menifestasi
perdarahan bawah kulit atau hematoma, luka robek pada palpebra, konjungtiva, yang
juga bisa diikuti erosi kornea. Selain itu juga harus difikirkan mengenai efek lanjut
atau komplikasi akibat trauma tersebut. Hal ini dikarenakan trauma dapat mengenai
jaringan seperti kelopak mata, konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf
optik dan orbita secara terpisah atau menjadi gabungan satu kejadian trauma jaringan
mata.

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat trauma okuli adalah erosi
kornea, iridoplegia, hifema, iridosiklitis, subluksasi lensa, luksasi lensa anterior,
luksasi lensa posterior, edema retina dan koroid, ablasi retina, ruptur koroid, serta
avulsi papil saraf optik. Jika komplikasi tersebut keluar maka terapi yang diberikan
juga meliputi penanganan terhadap komplikasi yang timbul.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Mata

Gambar 1 : Anatomi Bola Mata


Bola mata di bungkus oleh tiga lapis jaringan, yaitu:
1. Sklera merupakan jaringan ikat kenyal memberikan bentuk pada mata,dan
bagian luar yang melindungi bola mata. Bagian depan disebut kornea yang
memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata.
2. Jaringan uvea merupakan jaringan vaskuler. Jaringan sklera dan uvea dibatasi
oleh ruang yang mudah dimasuki darah bila terjadi perdarahan pada ruda
paksa di sebut juga perdarahan suprakoroid. Jaringan uvea terdiri atas iris,
badan sillier dan koroid.
3. Lapis ketiga bola mata adalah retina yang mempunyai susunan 10 lapis.
Retina dapat terlepas dari koroid yang disebut Ablasio retina.

Kornea
Kornea (latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian
selaput mata yang tembus cahaya, menempati pertengahan dari rongga bola mata
anterior yang terletak diantara sclera. Kornea ini merupakan lapisan avaskuler dan
menjadi salah satu media refraksi ( bersama dengan humor aquos membentuk lensa
positif sebesar 43 dioptri ). Kornea memiliki permukaan posterior lebih cembung
daripada anterior sehingga rata-rata mempunyai ketebalan sekitar 11,5 mm ( untuk
orang dewasa). lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan terdiri atas :
1. Epitel
 Sel basal sering terlihat mitosis sel.
2. Membran Bowman
 Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi
3. Stroma
4. Membrane Descemet
 Bersifat sangat elastic dan berkembang terus seumur hidup.
5. Endotel

Uvea
Uvea terdiri dari iris, korpus siliar dan koroid. Bagian ini adalah lapisan
vascular . tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sclera :
a. Iris
Merupakan lanjutan dari badan siliar kedepan dan merupakan diafagma yang
membagi bola mata menjadi dua segmen anterior dan segmen posterior. Berbentuk
sirkular yang ditengah- tengahnya berlubang yang disebut pupil.
Secara histologi iris terdiri dari stroma yang jarang dan diantaranya terdapat
lekukan-lekukan yang berjalan radier yang disebut kripta. Di dalam stroma terdapat
sel pigmen yang bercabang, banyak pembulluh darah dan serat saraf . dipermukaan
anterior ditutup oleh endotel terkecuali kripta, dimana pembuluh darah dalam stroma
dapat berhubungan langsung dengan cairan COA, yang memungkinkan cepatnya
terjadi pengaliran makanan ke COA dan sebaliknya.
Jaringan otot iris tersusun longgar dengan otot polos yang melingkar pupil (m.
Sfingter pupil) terletak di dalam stroma dekat pupil dan di atur oleh saraf
parasimpatis (N. III) dan yang berjalan radial dari akar iris ke pupil (m. dilatator
pupil) terletak di bagian posterior stroma dan diatur oleh saraf simpatis.
Iris menipis didekat perlekatannya di badan siliar dan menebal didekat pupil.
Pembuluh darah disekitar pupil disebut sirkulus minor dan yang berada dekat badan
siliar disebut sirkulus mayor. Iris dipersarafi oleh nervus nasosiliar cabang dari saraf
cranial III yang bersifat simpatis untuk midriasis dan parasimpatis untuk miosis.
Pupil bekerja sebagai apertura di dalam kamera. Dalam keadaan radang,
didapatkan iris menebal dan pupil mengecil. Dalam keadaan normal pupil sentral
bulat, isokor (sama kanan dan kiri), reaksi cahaya langsung dan tidak langsung
positif. Reaksi pupil ada tiga, yaitu reaksi cahaya langsung dan tidak langsung, reaksi
terhadap titik dekat, dan terhadap obat-obatan.

b. Badan Siliar
Berbentuk segitiga terdiri dari dua bagian, yaitu :
 Pars korona, pada bagian anterior bergerigi panjangnya kira-kira 2mm
 Pars plana, yang posterior tidak bergerigi, panjangnya 4mm
Prosesus siliar menghasilkan cairan mata yaitu, aqueos humor yang mengisi
bilik mata depan. Yang berfungsi memberi makanan untuk kornea dan lensa. Pada
peradangan akibat hiperemi yang aktif, maka pembentukan cairan mata bertambah
sehingga dapat menyebabkan tekanan intraokuler meninggi dan timbullah glukoma
sekunder. Bila peradangan hebat dan merusak sebagian badan siliar maka produksi
aqueos humor berkurang, tekanan berkurang dan berakhir sebagai atrofi bulbi okuli. 6

c. Koroid
Koroid merupakan suatu membran yang berwarna coklat tua, yang terletak
diantara sklera dengan retina terbentang dari ora serata sampai ke papil saraf optik.
Koroid terdiri dari beberapa lapisan, yaitu;2
 Lapisan epitel pigmen
 Membran Bruch (lamina vitrea)
 Koriokapiler
 Pembuluh darah sedang dan pembuluh darah besar
 Suprakoroid

Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular tak berwarna dan hampir
transparan sempurna. Tebalnya kira-kira 4mm dan diameternya 9 mm. Lensa
digantung oleh zonula zinnii, yang menghubungkannya dengan korpus silier. Di
bagian anterior lensa terdapat humor aqueous, disebelah posteriornya vitreus. Kapsul
lensa adalah suatu membran yang semi permeabel (sedikit lebih permeabel dari pada
dinding kapiler) yang akan memperoleh air dan elektrolit masuk. 6
Lensa ditahan ditempatnya oleh ligamentum yang dikenal sebagai zonula
zinnii, yang tersusun dari banyak fibril dari permukaan korpus siliare dan menyisip ke
dalam ekuator lensa. Lensa mata mempunyai peranan pada akomodasi atau melihat
dekat sehingga sinar dapat di fokuskan disaerah macula lutea.
Secara fisiologik lensa mempunyai sifat tertentu : 6
 Kenyal atau lentur karena memegang peranan terpenting dalam akomodasi
untuk menjadi cembung.
 Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan
 Terletak ditempatnya.
Keadaan patologik lensa ini dapat berupa :

 Tidak kenyal pada orang dewasa yang akan mengakibatkan presbiopia


 Keruh atau apa yang disebut katarak
 Tidak berada ditempat atau subluksasi dan dislokasi.
Gambar 2. Lensa Mata dalam Posisi Horizontal12

Retina
Retina adalah selapis lembar tipis jaringan saraf yang semi transparan. Retina
merupakan reseptor yang menerima rangsangan cahaya. Retina berbatas dengan
koroid dan sel pigmen epitel retina, dan terdiri atas lapisan ; 6
 Membrana limitans interna
 Lapisan serat saraf yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan
menuju ke nervus optikus.
 Lapisan sel ganglion
 Lapisan plexiformis dalam, yang mengandung sambungan-sambungan sel
ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar
 Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal
 Lapisan pleskiformis luar, yang mengandung sambungan-sambungan sel
bipolar dan sel horizontal dengan fotoreseptor
 Lapisan inti luar sel fotoreseptor
 Membran limitans eksterna
 Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut
 Epitelium pigmen retina
Warna retina biasanya jingga dan kadang-kadang pucat pada anemia dan
iskemia dan merah pada hiperemia.
Pembuluh darah di dalam retina merupakan percabangan arteri oftalmika,
arteri retina sentral masuk retina melalui papil saraf optik yang akan memberikan
nutrisi pada retina dalam. Lapisan luar retina atau sel kerucut dan batang mendapat
nutrisi dari koroid.

Saraf optik
Saraf optik yang keluar dari polus posterior bola mata membawa dua jenis
serabut saraf yaitu : saraf penglihatan dan serabut pupilomotor. Kelainan saraf optik
menggambarkan gangguan yang diakibatkan tekanan langsung atau tidak langsung
terhadap saraf optik ataupun perubahan toksik dan anoksik yang mempengaruhi
penyaluran aliran listrik.

Sklera
Bagian putih bola mata yang bersama-sama dengan kornea merupakan
pembungkus dan pelindung 4/5 permukaan mata. Sklera berjalan dari papil saraf
optik sampai kornea.
Sklera anterior ditutupi oleh tiga lapis jaringan ikat vaskular, sklera
mempunyai kekakuan tertentu sehingga mempengaruhi pengukuran tekanan bola
mata. Walaupun sklera kaku dan tipisnya 1 mm ia masih tahan terhadap kontusio
trauma tumpul. Kekakuan sklera dapat meninggi pada pasien diabetes melitus, atau
merendah pada eksoftalmos goiter, miotika dan meminum air banyak.

Konjungtiva
Merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis. Dapat dibagi menjadi
tiga zona : palpebra, forniks dan bulbar. Bagian bulbar mulai dari mukokutaneus
junction dari kelopak mata dan melindunginya dari permukaan dalam. Bagian ini
melekat erat pada tarsus. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbikulare
di fornik dan melipat berkali-kali, sehingga memungkinkan bola mata bergerak dan
memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Kecuali di limbus, konjungtiva
bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera dibawahnya.2

Rongga orbita
Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang yang
membentuk dinding orbita yaitu : lakrimal, etmoid, sphenoid, frontal, dan dasar orbita
yang yang terutama terdiri atas tulang maksila, bersama-sama tulang palatinum dan
zigomatikus.
Rongga orbita yang berbentuk piramid ini terletak pada kedua sisi rongga
hidung. Dinding lateral orbita membentuk sudut 45°dengan dinding medialnya.
Dinding orbita terdiri atas tulang-tulang :
Superior : os. Frontal
Lateral : os. Frontal, os. Zigomatik, ala magna os. Sfenoid
Inferior : os. Zigomatik, os. Maksila, os.palatina
Nasal : os. Maksila, os. Lakrimal, os.etmoid
Foramen optik terletak pada apeks rongga orbita, dilalui oleh saraf optik,
arteri, vena, dan saraf simpatik yang berasal dari pleksus karotid.
Fisura orbita superior di sudut orbita atas temporal dilalui oleh saraf lakimal
(V), saraf frontal (V), saraf troklear (IV), saraf okulomotor (III), saraf nasosiliar (V),
abdusen (VI), dan arteri vena ophtalmik. Fisura orbita inferior terlatak didasar tengah
temporal orbita dilalui oleh saraf infra-orbita dan zigomatik dan arteri infra orbita.
Fosa lakrimal terletak disebelah temporal atas tempat duduknya kelenjar lakrimal.
Gambar 3. Bola Mata dan Rongga Orbital

2.2 Definisi
Trauma Okuli adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan
perlukaan mata atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada bola mata,kelopak mata,saraf mata dan rongga orbita,kerusakan ini
akan memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi mata sebagai indra
penglihat.Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata, dan dapat juga sebagai
kasus polisi. Perlukaan yang ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau
menimbulkan kebutaan bahkan kehilangan mata.

2.3 Epidemiologi
Trauma okular adalah penyebab kebutaan yang cukup signifikan, terutama
pada golongan sosioekonomi rendah dan di negara-negara berkembang. Kejadian
trauma okular dialami oleh pria 3 sampai 5 kali lebih banyak daripada wanita. Dari
data WHO tahun 1998 trauma okular berakibat kebutaan unilateral sebanyak 19 juta
orang, 2,3 juta mengalami penurunan visus bilateral, dan 1,6 juta mengalami
kebutaan bilateral akibat cedera mata. Menurut United States Eye Injury Registry
(USEIR), frekuensi di Amerika Serikat mencapai 16 % dan meningkat di lokasi kerja
dibandingkan dengan di rumah. Lebih banyak pada laki-laki (93 %) dengan umur
rata-rata 31 tahun.
United States Eye Injury Registry (USEIR) merupakan sumber informasi
epidemiologi yang digunakan secara umum di AS. Menurut data dari USEIR, rata-
rata umur orang yang terkena trauma okuli perforans adalah 29 tahun, dan laki-laki
lebih sering terkena disbanding dengan perempuan. Menurut studi epidemiologi
international, kebanyakan orang yang terkana trauma okuli perforans adalah laki-laki
umur 25 sampai 30 tahun, sering mnegkonsumsi alcohol, trauma terjadi di rumah.
Selain itu cedera akibat olah raga dan kekerasan merupakan keadaan yang paling
sering menyebabkan trauma.Pada studi yang lain, di simpulkan bahwa olahraga
dihubungkan dengan trauma pada pemakai kacamata umumnya terjadi pada usia di
bawah 18 tahun dan jatuh dihubungkan dengan trauma pada pemakai kaca mata
umumnya terjadi pada usia 65 tahun atau lebih. Meskipun kacamata dihubungkan
dengan trauma yang terjadi, resep kacamata dan non resep kacamata hitam telah
ditemukan untuk memberikan perlingdungan yang menghasilkan insidens yang
rendah pada trauma serius mata bagi penggunannya.

2.4 Klasifikasi
Menurut skema diatas, secara garis besar trauma okuli dibagi menjadi dua
yaitu trauma okuli non perforans dan perforans, yang keduanya memiliki potensi
menimbulkan ruptur pada perlukaan kornea, iris dan pupil. Trauma tumpul mampu
menimbulkan trauma okuli non perforans yang dapat menimbulkan komplikasi
sepanjang bagian mata yang terkena (bisa meliputi mulai dari bagian kornea hingga
retina).
Selain berdasarkan efek perforasi yang ditimbulkan trauma okuli juga juga bisa
diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya yaitu:
 Trauma tumpul (contusio okuli) (non perforans)
 Trauma tajam (perforans)
 Trauma Radiasi
- Trauma radiasi sinar inframerah
- Trauma radiasi sinar ultraviolet
- Trauma radiasi sinar X dan sinart terionisasi
 Trauma Kimia
- Trauma asam
- Trauma basa
Trauma okuli non perforans akibat benda tumpul dimana benda tersebut dapat
mengenai mata dengan keras (kencang) ataupun lambat, mampu menimbulkan efek
atau komplikasi jaringan seperti pada kelopak mata, konjungtiva, kornea, uvea, lensa,
retina, papil saraf optik dan orbita secara terpisah atau menjadi gabungan satu
kejadian trauma jaringan mata.

2.5 Gejala klinis


Gejala klinis yang dapat terjadi pada trauma mata antara lain:
1. Perdarahan atau keluar cairan dari mata atau sekitarnya
Pada trauma mata perdarahan dapat terjadi akibat luka atau robeknya kelopak
mata atau perdarahan yang berasal dari bola mata. Pada trauma tembus caian
humor akueus dapat keluar dari mata.
2. Memar pada sekitar mata
Memar pada sekitar mata dapat terjadi akibat hematoma pada palpebra.
Hematoma pada palpebra juga dapat terjadi pada pasien yang mengalami
fraktur basis kranii.
3. Penurunan visus dalam waktu yang mendadak
Penurunan visus pada trauma mata dapat disebabkan oleh dua hal, yang
pertama terhalangnya jalur refraksi akibat komplikasi trauma baik di segmen
anterior maupun segmen posterior bola mata, yang kedua akibat terlepasnya
lensa atau retina dan avulsi nervus optikus.
4. Penglihatan ganda
Penglihatan ganda atau diplopia pada trauma mata dapat terjadi karena
robeknya pangkal iris. Karena iris robek maka bentuk pupil menjadi tidak
bulat. Hal ini dapat menyebabkan penglihatan ganda pada pasien.
5. Mata bewarna merah
Pada trauma mata yang disertai dengan erosi kornea dapat ditemukan
pericorneal injection (PCI) sehingga mata terlihat merah pada daerah sentral.
Hal ini dapat pula ditemui pada trauma mata dengan perdarahan
subkonjungtiva.
6. Nyeri dan rasa menyengat pada mata
Pada trauma mata dapat terjadi nyeri yang disebabkan edema pada palpebra.
Peningkatan tekanan bola mata juga dapat menyebabkan nyeri pada mata.
7. Sakit kepala
Pada trauma mata sering disertai dengan trauma kepala. Sehingga
menimbulkan nyeri kepala. Pandangan yang kabur dan ganda pun dapat
menyebabkan sakit kepala.
8. Mata terasa Gatal, terasa ada yang mengganjal pada mata
Pada trauma mata dengan benda asing baik pada konjungtiva ataupun segmen
anterior mata dapat menyebabkan mata terasa gatal dan mengganjal. Jika
terdapat benda asing hal ini dapat menyebabkan peningkatan produksi air
mata sebagai salah satu mekanisme perlindungan pada mata.
9. Fotopobia
Fotopobia pada trauma mata dapat terjadi karena dua penyebab. Pertama
adanya benda asing pada jalur refraksi, contohnya hifema, erosi kornea, benda
asing pada segmen anterior bola mata menyebabkan jalur sinar yang masuk ke
dalam mata menjadi tidak teratur, hal ini menimbulkan silau pada pasien.
Penyebab lain fotopobia pada pasien trauma mata adalah lumpuhnya iris.
Lumpuhnya iris menyebabkan pupil tidak dapat mengecil dan cenderung
melebar sehingga banyak sinar yang masuk ke dalam mata.

2.6 Manifestasi Trauma Okuli


Trauma pada mata dapat digolongkan atas :
1. Trauma tumpul
yang terdiri atas :
 Konkusio, yaitu trauma tumpul pada mata yang masih reversibel, dapat
sembuh dan normal kembali.
 Kontusio, yaitu trauma tumpul yang biasanya menyebabkan kelainan
vaskuler dan kelainan jaringan/ robekan.
Berdasarkan letak traumanya dapat menyebabkan :
 Perdarahan palpebra
 Emfisema palpebra
 Luka laserasi palpebra
 Hiperemis konjungtiva dan perdarahan subkonjungtiva
 Edema kornea
 Hifema ( perdarahan dalam bilik mata depan )
 Iridoplegia dan iridodialisa
 Kelainan lensa,berupa : Subluksasi,luksasi maupun katarak traumatik.
 Perdarahan badan kaca.
 Kelainan retina,berupa: Edema retina,ruptur retina,( dapat menyebabkan
ablasio retina traumatik),maupun perdarahan retina.
 Robekan/laserasi sklera
 Glaukoma sekunder
 Kelainan gerakan bola mata

2. Trauma tembus ( luka akibat benda tajam )


Dimana strutur okular mengalami kerusakan akibat benda asing yang
menembus lapisan okular, yang terdiri atas :
Non perforasi
Dengan perforasi:
i. Perforasi tanpa benda asing intra okuler
ii. Perforasi dengan benda asing intra okuler,yang menurut sifat benda asingnya
terbagi atas :
a. Berdaraskan sifat fisisnya,terdiri atas :
- Benda logam.
E.g. Emas,perak,platina,timah,seng,tembaga,besi,dll
- Benda non logam
E.g. Kaca,bahan tumbuh-tumbuhan,bahan pakaian,dll

b. Berdasarkan keaktifan ( potensi menyebabkan reaksi inflamasi ):


- Benda inert,merupakan bahan-bahan yang tidak menimbulkan
reaksi jaringan mata,kalaupun terjadi hanya reaksi ringan saja dan
tidak mengganggu fungsi mata: Emas, perak, platina, bath, kaca,
porselin, dll.
- Benda reaktif yang merupakan bahan-bahan yang dapat
menimbulkan reaksi jaringan sehingga mengganggu fungsi mata,
seperti : seng, timah hitam, nikel, alumunium, besi, kuningan,
tumbuh-tumbuhan, bulu ulat.

Luka akibat benda tajam dapat menyebabkan :


o Luka pada palpebra (laserasi palpebra)
o Laserasi konjungtiva
o Abrasi,perforasi,laserasi kornea
o Laserasi sklera
o Robeknya pembuluh darah,otot-otot okular,maupun serabut
saraf okular.

3. Trauma fisis, yang dapat disebabkan oleh :


 Sinar dan tenaga listrik, yang meliputi sinar ultraviolet,sinar inframerah,sinar
rontgen dan radioaktif,dan tenaga listrik.
 Luka bakar
 Luka akibat bahan kimia,baik yang bersifat asam maupun basa,dimana luka
akibat bahan kimia basa lebih berbahaya dibanding bahan kimia asam.

TRAUMA TUMPUL
Trauma tumpul sendiri dapat berupa:
a) Trauma tumpul palpebra.
Suatu benturan tumpul bisa mendorong mata ke belakang sehingga kemungkinan
merusak struktur pada permukaan (kelopak mata, konjungtiva, sklera, kornea dan
lensa) dan struktur mata bagian belakang (retina dan persarafan). Karena palpebra
merupakan pelindung bola mata maka saat terjadi trauma akan melakukan reefleks
menutup. Hal ini akan menyebabkan terjadinya hematoma palpebra.  Hematoma ini
terjadi karena keluarnya darah dari pembuluh darah yang rusak pada trauma tersebut.

b) Trauma tumpul lensa:


Dislokasi lensa oleh karena ruptur di zonula zinni. Dapat sebagian (subluksasi), dapat
pula total (luksasi). Lepasnya dapat ke depan dapat pula ke belakang.

 Dislokasi Lensa. Dislokasi lensa terjadi pada putusnya zonula zinn yang akan
mengakibatkan kedudukan lensa terganggu.
 Subluksasi Lensa. Terjadi akibat putusnya sebagian zonula zinn sehingga lensa
berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita
kelainan pada zonula zinn yang rapuh (sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan
mengeluh penglihatan berkurang. Subluksasi lensa akan memberikan gambaran pada
iris berupa iridodonesis. Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa
yang elastic akan menjadi cembung, dan maata akan menjadi lebih miopik. Lensa
yang menjadi sangat cembung mendorong iris ke depan sehingga sudut bilik mata
tertutup. Bila sudut bilik mata menjadi sempit pada mata ini mudha terjadi glaucoma
sekunder.
 Luksasi Lensa Anterior. Bila seluruh zonula zinn di sekitar ekuator putus akibat
trauma maka lensa dapat masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa terletak
dalam bilik mata depan ini maka akan terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik
mata sehingga akan timbul glaucoma kongestif akut dengan gejala-gejalanya. Pasien
akan mengeluh penglihatan menurun mendadak, disertai rasa sakit yang sangat,
muntah, mata merah dengan blefarospasme. Terdapat injeksi siliar yang berat, edema
korne, lensa di dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang
lebar. Tekanan bola mata sangat tinggi.
 Luksasi Lensa Posterior. Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi
luksasi lensa posterior akibat putusnya zonula zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa
sehingga lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah polus
posterior fundus okuli. Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang
pandangannya akibat lensa mengganggu kampus. Mata ini akan menunjukkan gejala
mata tanpa lensa atau afakia. Pasien akan melihat normal dengan lensa +12.0 dioptri
untuk jauh, bilik mata depan dalam dan iris tremulans. Lensa yang terlalu lama
berada dalam polus posterior dapat menimbulkan penyulit akibat degenerasi lensa,
berupa glaucoma fakolitik ataupun uveitis fakotoksik.
 Katarak Trauma. Pada trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior
ataupun posterior. Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat
pula dalam bentuk katarak tercetak yang disebut cincin Vossius. Cincin Vossius
merupakan cincin berpigmen yang terletak tepat di belakang pupil yang dapat terjadi
segera setelah trauma, yang merupakan deposit pigmen iris pada dataran depan lensa
sesudah suatu trauma, seperti suatu stempel jari.

c) Trauma tumpul kornea.


Abrasi Kornea adalah keadaan dimana epitel dari kornea terlepas yang bisa
diakibatkan oleh trauma tumpul, trauma tajam dan trauma kimia dan juga benda asing
subtarsal. Abrasi kornea bisa berulang dan menyebabkan rasa sakit yang hebat,
dimana abrasi kornea merupakan suatu kegawatdaruratan pada mata yang bisa
menyebabkan ulserasi dan oedema kornea yang akan menganggu visus. Diagnosis
bisa ditunjang dengan uji flourosensi dimana akan terlihat warna hijau bila terjadi
kerusakan pada epitel kornea. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah
pemberian antibiotik topikal dan midriatikum untuk merelaksasi iris dan mengurangi
rasa sakit. Pastikan juga tidak terdapat benda asing yang dapat menganggu proses
penyembuhan. Masa penyembuhan tergantung pada luasnya kerusakan, dan juga
adakah infeksi, benda asing dan mata kering yang bisa menyebabkan kegagalan
terapi. Mata kemudian di tutup dengan penutup yang membuat pasien merasa lebih
nyaman.

d) Trauma fundus oculi.


Trauma tumpul yang mengenai mata dapat mengakibatkan kelainan pada
retina, koroid, dan saraf optik. Perubahan yang terjadi dapat berupa edema retina,
perdarahan retina, ablasi retina, maupun atrofi saraf optik. Jika dijumpai penderita
dengan trauma tumpul dan penurunan tajam penglihatan yang tidak dapat dikoreksi
dengan pemberian kacamata, sedangkan keadaan media mata jernih, maka dapat
diperkirakan adanya kelainan di fundus atau di belakang bola mata . Diagnosis
banding penglihatan turun setelah sebuah cedera mata adalah trauma retina,
perdarahan corpus vitreous, dan trauma yang mengakibatkan kerusakan pada kiasma
optikus.
Fundus harus diperiksa dengan oftalmoskopi direk setelah midriasis penuh
dilakukan. Jika tidak terlihat detil struktur mata, maka hal ini menunjukkan terjadinya
perdarahan vitreous. Perdarahan vitreous terabsosrbsi dalam waktu beberapa minggu
atau mungkin diperlukan pengangkatan dengan virektomi. Daerah perdarahan retina
dan daerah berwarna putih (edema) dapat dilihat. Koroid juga bisa robek dan
menyebabkan perdarahan subretina yang kemudian diikuti oleh parut subretina.

Trauma pada mata dapat menyebabkan munculnya beberapa gejala klinis yaitu :

a) Perdarahan di palpebra (echymosis, black eye) (9)

Perdarahan di palpebra
Pada perdarahan yang berat, palpebra menjadi bengkak, kebiru-biruan, karena
jaringan ikat palpebra halus. Perdarahan dapat menjalar ke bagian lain di muka, juga
dapat menyeberang ke mata yang lain menimbulkan hematoma kacamata atau
menjalar ke belakang menyebabkan eksoftalmus.

b) Emfisema palpebra
Emfisema palpebra teraba sebagai pembengkakan dengan krepitasi,
disebabkan adanya udara di dalam jaringan palpebra yang longgar. Hal ini
menunjukkan adanya fraktura dari dinding orbita, sehingga menimbulkan hubungan
langsung antara rongga orbita dengan ruang hidung atau sinus-sinus sekeliling orbita.
Sering mengenai lamina papyricea os etmoidalis, yang merupakan dinding medial
dari rongga orbita, karena dinding ini tipis.

c) Luka laserasi di palpebra

Luka laserasi di palpebra


Trauma tumpul dapat pula menimbulkan luka laserasi pada palpebra. Bila
luka ini hebat dan disertai dengan edema yang hebat pula, jangan segera dijahit, tapi
bersihkanlah lukanya dan tutup dengan pembalut basah yang steril. Bila bengkaknya
berkurang, baru dijahit.

d) Kelainan gerakan mata


- Kelopak mata tak dapat menutup dengan sempurna (lagoftalmus), yang dapat
disebabkan lumpuhnya N.VII
- Kelopak mata tak dapat membuka dengan sempurna (ptosis), yang mungkin
disebabkan edema atau perdarahan pada palpebra. Ptosis dapat juga terjadi akibat
lumpuhnya m.levator palpebra.

Ptosis
- Pada trauma tumpul dapat juga terlihat gangguan gerak bola mata, karena
perdarahan di rongga orbita atau adanya kerusakan di otot-otot mata luar.
Dapat terjadi oleh karena :
- parese atau paralise dari m. Levator palpebra (N.III)
- Pseudoptosis, oleh karena edema palpebra

e) Hiperemia konjungtiva dan perdarahan subkonjungtiva (9)

Hiperemia konjungtiva dan perdarahan subkonjungtiva

f) Timbulnya lipatan-lipatan pada M. Descement dan M. Bowman


Hal ini disebabkan menurunnya tekanan intra okuler pada waktu terjadinya
trauma yang kemudian disusul dengan naiknya tonus menjadi normal kembali.
Lipatan-lipatan ini akan hilang bila tonus normal kembali. Keluhannya visus
menurun, yang menjadi baik lagi bila tonus normal kembali.

g) Perdarahan di dalam bilik mata depan (hifema)

Perdarahan di dalam bilik mata depan (hifema)


Hifema adalah terkumpulnya darah dalam bilik depan bola mata (camera oculi
anterior). Perdarahan bilik mata depan akibat ruda paksa ini merupakan akibat yang
paling sering dijumpai karena trauma. Perdarahan bilik depan bola mata ini terutama
berasal dari pembuluh darah corpus ciliare dan sebagian kecil dari pembuluh darah
iris, sedang penyerapan darahnya sebagian besar akan diserap melalui trabekular
meshwork dan selanjutnya ke kanal schlemm, sisanya akan diabsorbsi melalui
permukaan iris.

h) Pupil midriasis
Disebabkan iridoplegia, akibat serabut saraf yang mengatur otot sfingter pupil.
Iridoplegia ini dapat terjadi temporer 2-3 minggu, dapat juga permanen, tergantung
adanya parese atau paralise dari otot tersebut. Dalam waktu itu mata terasa silau.

i) Iridodialise/iridoreksis/robekan iris

Merupakan robekan pada akar iris, sehingga pupil agak ke pinggir letaknya,
pada pemeriksaan biasa terdapat warna gelap selain pada pupil, tetapi juga pada dasar
iris terdapat iridodialisa. Pada pemeriksaan oftalmoskopi terdapat warna merah pada
pupil dan juga pada tempat iridodialisa, yang merupakan refleks fundus.

j) Perdarahan badan kaca


Dapat berasal dari badan siliar, koroid dan retina. Karenanya bila terdapat
perdarahan di dalam badan kaca, sebaiknya dilakukan pemeriksaan ultrasonografi,
untuk mengetahui keadaan di bagian posterior mata.
k) Kelainan retina berupa edema dan ruptur retina
Edema retina biasanya di daerah polus anterior dekat makula atau di perifer.
Tampak seolah-olah retina dilapisi susu. Bila terjadi di makula, visus sentral sangat
terganggu dengan skotoma sentralis.

l) Perdarahan retina
Dapat timbul bila trauma menyebabkan pecahnya pembuluh darah. Bentuk
perdarahan tergantung dari lokalisasinya. Bila terdapat di lapisan serabut saraf
tampak sebagai bulu ayam, bila letak lebih keluar tampak sebagai bercak yang
berbatas tegas, perdarahan di depan retina (preretina) mempunyai permukaan datar di
bagian atas dan cembung di bagian bawah. Darahnya dapat pula masuk ke dalam
badan kaca. Penderita mengeluh terdapat bayangan-bayangan hitam di lapangan
penglihatannya, kalau banyak dan masuk ke dalam badan kaca dapat menutupi
jalannya cahaya, sehingga visus terganggu.

m) Robekan sklera

Jika robekannya kecil, sekitar robekan didiatermi dan robekannya dijahit.


Pada robekan yang besar, lebih baik dilakukan enukleasi bulbi, untuk hindarkan
oftalmia simpatika. Robekan ini biasanya terletak dibagian atas.

n) Eksoftalmus
Biasanya disebabkan perdarahan retrobulber, berasal dari a.optalmika beserta
cabang-cabangnya. Dengan istirahat di tempat tidur, perdarahan diserap kembali, juga
diberi koagulansia. Bila eksoftalmus disertai pulsasi dan “souffles”, berarti ada
aneurisma arteriovena antara arteri karotis interna dan sinus kavernosa.

o) Enoftalmus
Disebabkan robekan besar pada kapsula tenon, yang menyelubungi bola mata
di luar sklera atau disebabkan fraktur dasar orbita. Seringkali enoftalmus tidak terlihat
selama masih terdapat edema.Pada pemeriksaan funduskopi mungkin terlihat atrofi
saraf optik yang menyebabkan visus sangat menurun. Hal ini disebabkan adanya
perdarahan retrobulber, fraktura dinding orbita bagian posterior, fraktura basis kranii.
Untuk menentukannya diperlukan foto tulang tengkorak.

TRAUMA TEMBUS ( LUKA AKIBAT BENDA TAJAM )


Luka akibat benda tajam dapat mengakibatkan :
 Luka pada palpebra
Kalau Kalau pinggiran palpebra luka dan tak dapat diperbaiki, dapat menimbulkan
koloboma palpebra akuisita. Bila besar dapat mengakibatkan kerusakan kornea oleh
karena mata tak dapat menutup dengan sempurna.
 Luka pada orbita
Luka tajam yang mengenai orbita dapat merusak bola mata, merusak saraf optik,
menyebabkan kebutaan atau merobek otot luar mata sehingga timbul paralise dari
otot dan diplopia. Mudah terkena infeksi, menimbulkan selulitis orbita (orbital
phlegmon), karena adanya benda asing atau adanya hubungan terbuka dengan
rongga-rongga di sekitar orbita.
 Luka mengenai bola mata
Harus dihentikan : - luka dengan atau tanpa perforasi
- luka dengan atau tanpa benda asing
Kalau ada perforasi di bagian depan (kornea) : bilik mata depan dangkal,
kadang-kadang iris melekat atau menonjol pada luka perforasi di kornea, tensi intra
okuler merendah, tes fistel positif. Bila perforasinya mengenai bagian posterior
(sklera) : bilik mata depan dalam, perdarahan di dalam sklera, koroid, retina, mungkin
ada ablasi retina, tensi intra okuler rendah.
a) Luka mengenai konjungtiva
Bila kecil dapat sembuh dengan spontan, biloa besar perlu dijahit,disamping
pemberian antibiotik lokal dan sistemik untuk mencegah infeksi sekunder.
b) Luka di kornea
Bila tanpa perforasi : erosi atau benda asing tersangkut di kornea. Tes
fluoresin (+). Jaga jangan sampai terkena infeksi, sehingga dapat timbul ulkus
serpens akut atau herpes kornea, dengan pemberian antibiotika atau kemoterapeutika
yang berspektrum luas, lokal dan sistemik. Benda asing di kornea di angkat, setelah
diberi anastesi lokal dengan pantokain 1 %. Kalau mulai ada neovaskularisasi dari
limbus, berikanlah kortison lokal atau subkonjungtiva. Tetapi jangan diberikan
kortison pada luka yang baru atau bila ada herpes kornea.
Bila ada perforasi : bila luka kecil, lepaskan konjungtiva di limbus yang
berdekatan, kemudian di tarik supaya menutupi luka kornea tersebut (flap
konjungtiva). Bila luka di kornea luas, maka luka itu harus dijahit. Kemudian ditutup
dengan flap konjungtiva. Jika luka di kornea itu disertai dengan prolaps iris, iris yang
keluar harus dipotong dan sisanya di reposisi, robekan di kornea dijahit dan ditutup
denganh flap konjungtiva. Kalau luka telah berlangsung beberapa jam, sebaiknya
bilik mata depan dibilas terlebih dahulu dengan larutan penisilin 10.000 U/cc,
sebelum kornea dijahit. Sesudah selesai seluruhnya, berikan antibiotika dengan
spektrum luas lokal dan sistemik, juga subkonjungtiva.
c) Luka di sklera
Luka yang mengenai sklera berbahaya karena dapat mengakibatkan
perdarahan badan kaca, keluarnya isi bola mata, infeksi dari bagian dalam bola mata,
ablasi retina. Luka kecil, tanpa infeksi sekunder pada waktu terkena trauma,
dibersihkan, tutup dengan konjungtiva, beri antibiotik lokal dan sistemik, mata
ditutup. Luka dapat sembuh. Luka yang besar, sering disertai dengan perdarahan
badan kaca, prolaps badan kaca, koroid atau badan siliar, mungkin terdapat di dalam
luka tersebut. Bila masih ada kemungkinan, bahwa mata itu masih dapat melihat,
maka luka dibersihkan, jaringan yang keluar dipotong, luka sklera dijahit,
konjungtiva dijahit, beri atropin, kedua mata ditutup. Sekitar luka didiatermi. Bila
luka cukup besar dan diragukan bahwa mata tersebut masih dapat melihat, maka
sebaiknya di enukleasi, untuk menghindarkan timbulnya optalmia simpatika pada
mata yang sehat.
d) Luka pada corpus siliar
Luka disini mempunyai prognosis yang buruk, karena kemungkinan besar
dapat menimbulkan endoftalmitis, panoftalmitis yang dapat berakhir dengan ptisis
bulbi pada mata yang terkena trauma, sedang pada mata yang sehat dapat timbul
oftalmia simpatika. Karena itu bila lukanya besar, disertai prolaps dari isi bola mata,
sehingga mata mungkin tak dapat melihat lagi, sebaiknya di enukleasi bulbi, supaya
mata yang sehat tetap baik.
Bila trauma disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke dalam bola
mata , maka akan terlihat tanda-tanda bola mata tembus, seperti ;
- Mata merah, nyeri, fotofobia, blepharospasme dan lakrimasi
- Tajam penglihatan yang menurun akibat tedapatnya kekeruhan media refrakta
secara langsung atau tidak langsung akibat ruma tembus tersebut
- Tekanan bola mata rendah akibat keluarnya cairan bola mata
- Bilik mata dangkal akibat perforasi kornea
- Bentuk dan letak pupil berubah.
- Terlihatnya rupture pada kornea atau sclera
- Adanya hifema pada bilik mata depan
- Terdapat jaringan yang di prolaps seperti cairan mata, irirs lensa, badan kaca
atau retina.
Gambar 4. Lokasi-lokasi cedera pada mata.
Ket: A) Tampak dari depan. B) Tampak dari samping
Trauma Kimia Asam

Trauma pada Mata Akibat Bahan Kimia Asam


Bila bahan asam mengenai mata maka akan segera terjadi pengendapan
ataupun penggumpalan protein permukaan sel. Asam membentuk suatu swar
presipitat pada jaringan yang terkena, sehingga membantasi kerusakan lebih lanjut.
Biasanya akan terjadi kerusakan hanya pada bagian superficial saja. Bahan asam
dengan konsentrasi tinggi bereaksi seperti terhadap basa sehingga kerusakan yang
diakibatkannya akan lebih dalam.
Bahan kimia yang sering menyebabkan trauma kimia antara lain asam sulfat,
sulfurous acid, asam hidroflorida, asam nitrat, asam asetat, asam kromat, dan asam
hidroklorida.
Salah satu kejadian yang mengakibatkan luka bakar asam sulfat antara lain
Ledakan accu mobil, yang mungkin merupakan penyebab tersering dari luka bakar
kimiawi pada mata. Asam hidroflorida dapat ditemukan dirumah pada cairan
penghilang karat, pengkilap aluminum, dan cairan pembersih yang kuat. Industri
tertentu menggunakan asam hidroflorida dalam pembersih dinding, glass etching
(pengukiran pada kaca dengan cairan kimia), electropolishing, dan penyamakan kulit.
Asam hidroflorida juga digunakan untuk pengendalian fermentasi pada  breweries
(pengolahan bir). Toksisitas hidroflorida pada okuler dapat terjadi akibat pajanan
cairan maupun gas.
Penggolongan tingkatan dan prognosisnya dari luka bakar kimia tersebut
ditentjan berdasarkan jumlah kerusakan kornea dan iskemia limbus, dimana setiap
hilangnya arsitektur pembuluh darah normal konjungtiva disekitar kornea. Iskemia
limbbus adalah salah satu faktor klinis yang amat penting karena menunjukkan
tingkat kerusakan pada pembuluh darah limbus dan mengindikasikan kemampuan sel
indu kornea (yang terletak di limbus) untuk me-regenerasi kornea yang rusak. Oleh
karenanya, tidak seperti kondisi trauma pada mata yang lain, mata yang pucat lebih
berbahaya daripada mata yang merah.

Trauma Kimia Basa

6. 7.

8.
Keterangan. (Gambar 6) Kekeruhan Kornea Akibat Trauma Basa. (Gambar 7)
Gambaran “Cooked fish eye” Akibat Trauma Alkali. (Gambar 8) Kornea
Menjadi Keruh Akibat Trauma Alkali.

Basa merupakan substansi yang memiliki pH dasar dan memiliki kemampuan


untuk mensaponifikasi lemak. Kerusakan sel akibat kontak dengan basa biasanya
bergantung pada konsentrasi basa dan lama paparan. Saat pH meningkat, emulsifikasi
lemak pada membran sel terjadi dan merusak sawar yang semula bertujuan menahan
penetrasi. Menurut grant, efek trauma kimia dari pH tinggi terhadap stroma kornea
melibatkan ikatan sementara kation basa terhadap mukoprotein kornea dan kolagen,
dan hal tersebut menjadi lebih parah apabila Phnaik hingga 1,5. ikatan kation tersebut
pada pH tinggi penting makannya terhadap luka bakar yang di timbulkan, dan
menyebabkan kerusakan mukoprotein mata yang cepat.
Bahan kimia yang sering menyebabkan trauma kimia antara lain seperti sabun
cuci, sampo, bahan pembersih lantai, kapur, lem(perekat) trauma akibat bahan kimia
basa akan menyebabkan akibat yang sangat gawat pada mata. Basa akan menembus
kornea dengan cepat, bilik matabilik mata depan sampai jaringan retina. Pada trauma
basa akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea. Bahan kimia basa bersifat
koagulasi sel dan terjadi proses persabunan, beserta dengan dehidrasi, bahan caustic
soda dapat menembus bilik mata depan dalam waktu 7 detik.
Pada trauma basa akan terbentuk kolagenase yang akan merubah kerusakan
kolagen kornea. Basa yang menembus ke dalam bola mata akan merusak retina,
sehingga akan berakhir dengan kebutaan si penderita.

2.7 Diagnosis Trauma Okuli


Untuk menegakkan diagnosis trauma okuli sama dengan penegakan diagnosis
pada umumnya, yaitu dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis harus mencakup perkiraan ketajaman penglihatan sebelum dan
segera sesudah cedera. Harus dicatat apakah gangguan penglihatan bersifat progresif
lambat atau timbul mendadak. Harus dicurigai adanya benda asing intraokular apabila
terdapat riwayat memalu, mengasah, atau ledakan. 1
Pada anamnesis kasus trauma mata ditanyakan mengenai proses terjadi
trauma, benda apa yang mengenai mata tersebut, bagaimana arah datangnya benda
yang mengenai mata tersebut apakah dari depan, samping atas, bawah dan bagaimana
kecepatannya waktu mengenai mata. Perlu ditanyakan pula berapa besar benda yang
mengenai mata dan bahan benda tersebut apakah terbuat dari kayu, besi atau bahan
lain. Apabila terjadi penurunan penglihatan, ditanyakan apakah pengurangan
penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan. Ditanyakan juga kapan
terjadinya trauma. Apakah trauma disertai dengan keluarnya darah dan rasa sakit dan
apakah sudah dapat pertolongan sebelumnya. 12
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum terlebih dahulu diperiksa, karena 1/3
hingga ½ kejadian trauma mata bersamaan dengan cedera lain selain mata. Untuk itu
perlu pemeriksaan neurologis dan sistemik mencakup tanda-tanda vital, status mental,
fungsi, jantung dan paru serta ekstremitas. Selanjutnya pemeriksaan mata dapat
dimulai dengan 12:
1. Menilai tajam penglihatan, bila parah: diperiksa proyeksi cahaya, diskriminasi
dua titik dan defek pupil aferen.
2. Pemeriksan motilitas mata dan sensasi kulit periorbita. Lakukan palpasi untuk
mencari defek pada tepi tulang orbita.
3. Pemeriksaan permukaan kornea : benda asing, luka dan abrasi
4. Inspeksi konjungtiva: perdarahan/tidak
5. Kamera okuli anterior: kedalaman, kejernihan, perdarahan
6. Pupil: ukuran, bentuk dan reaksi terhadap cahaya (dibandingkan dengan mata
yang lain)
7. Oftalmoskop: menilai lensa, korpus vitreus, diskus optikus dan retina.

Pemeriksaan oftalmologis dimulai dengan pengukuran ketajaman penglihatan


(visus). Apabila didapatkan gangguan penglihatan parah, maka periksa proyeksi
cahaya, diskriminasi dua titik, dan adanya defek pupil aferen. Periksa motilitas mata
dan sensasi kulit periorbita, dan lakukan palpasi untuk mencari defek pada bagian tepi
tulang orbita. Pada pemeriksaan bedside, adanya enoftalmos dapat ditentukan dengan
melihat profil kornea dari atas alis. Apabila tidak tersedia slit lamp, maka senter, kaca
pembesar, atau oftalmoskop langsung pada +10 (nomor gelap) dapat digunakan untuk
memeriksa adanya cedera di permukaan tarsal kelopak dan segmen anterior.
Permukaan kornea diperiksa untuk mencari adanya benda asing, luka, dan
abrasi. Dilakukan inspeksi konjungtiva bulbi untuk mencari adanya perdarahan,
benda asing, atau laserasi. Kedalaman dan kejernihan COA dicatat. Ukuran, bentuk,
dan reaksi terhadap cahaya dari pupil harus dibandingkan dengan mata yang lain
untuk memastikan apakah terdapat defek pupil aferen (RAPD) di mata yang cedera.
Apabila bola mata tidak rusak, maka kelopak, konjungtiva palpebra, dan forniks,
dapat diperiksa secara lebih teliti, termasuk inspeksi setelah eversi kelopak mata atas.
Oftalmoskop langsung dan tidak langsung digunakan untuk mengamati lensa, korpus
vitreous, discus optikus, dan retina. Dokumentasi foto bermanfaat untuk tujuan-tujuan
medikolegal pada semua kasus trauma eksternal. Pada semua kasus trauma mata,
mata yang tampak tidak cedera juga harus diperiksa dengan teliti.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain USG mata, CT scan,
hingga MRI. Pemeriksaan darah lengkap, status kardiologi, radiologi dapat
ditambahkan jika akan dilakukan tindakan tertentu yang membutuhkan pemeriksaan
penunjang tersebut.

2.8 Penatalaksanaan Trauma Okuli


Apabila jelas tampak ruptur bola mata, maka manipulasi lebih lanjut harus
dihindari sampai pasien mendapat anestesi umum. Sebelum pembedahan jangan
diberi obat sikloplegik atau antiobiotik topikal karena kemungkinan toksisitas pada
jaringan intraocular yang terpajan. Berikan antibiotik parenteral spektrum luas dan
pakaikan pelindung Fox (atau sepertiga bagian bawah corong kertas) pada mata.
Analgetik, antiemetik, dan antitoksin tetanus harus diberikan sesuai kebutuhan,
dengan restriksi makan dan minum. Induksi anestesi umum jangan menggunakan
obat-obat penghambat depolarisasi neuromuskular, karena dapat meningkatkan secara
transient tekanan di dalam bola mata sehingga mengingkatkan kecenderungan
herniasi isi intraocular. Anak juga lebih baik diperiksa awal dengan bantuan anestesi
umum yang bekerja singkat.
Pada cedera yang berat, ahli oftalmologi harus selalu mengingat kemungkinan
timbulnya kerusakan lebih lanjut akibat manipulasi yang tidak perlu sewaktu
berusaha melakukan pemeriksaan mata lengkap. Perlu diperhatikan bahwa pemberian
anestetik topical, zat warna, dan obat lain yang diberikan ke mata yang cedera harus
steril. Tetrakain dan fluoresens tersedia dalam satuan-satuan dosis individual yang
steril.
Anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam penglihatan dan
menghilangkan rasa sakit yang sangat. Anestesi topikal diberikan dengan hati-hati
karena dapat menambah kerusakan epitel, yang lebih tepatnya jangan pernah
memberi larutan anesteik topikal kepada pasien untuk dipakai berulang setelah cedera
kornea, karena hal ini dapat memperlambat penyembuhan, menutupi kerusakan lebih
lanjut, dan dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut kornea permanen.
Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau dikupas. Untuk
mencegah terjadinya infeksi dapat diberikan antibiotika spektrum luas seperti
neosporin, kloramfenikol dan sufasetamid tetes mata. Akibat rangsangan yang
mengakibatkan spasme siliar maka dapat diberikan sikloplegik aksi-pendek seperti
tropikamida.
Untuk mengurangi rangsangan cahaya dan membuat rasa nyaman serta lebih
tertutup pada pasien, maka bisa diberikan bebat tekan pada pasien selama 24 jam.
Erosi yang kecil biasanya akan tertutup kembali setelah 48 jam.

1. Hifema
Penanganan awal pada pasien hifema yaitu dengan merawat pasien dengan
tidur di tempat tidur yang ditinggikan 30 derajat pada kepala (semi fowler), diberi
koagulansia (antifibrinolitik oral/injeksi) dan mata ditutup. Pada pasien yang gelisah
dapat diberikan obat penenang.Pasien yang jelas memperlihatkan hifema yang
mengisi lebih dari 5% kamera anterior diharuskan bertirah baring dan harus diberikan
tetes steroid dan sikloplegik pada mata yang sakit selama 5 hari. Mata diperiksa
secara berkala untuk mencari adanya perdarahan sekunder, glaukoma, atau bercak
darah di kornea akibat pigmen besi. Perdarahan ulang terjadi pada 16-20% kasus
dalam 2-3 hari. Penyulit ini memiliki resiko tinggi menimbulkan glaukoma dan
perwarnaan kornea. Beberapa penelitian mengisyaratkan bahwa penggunaan asam
aminokaproat oral untuk menstabilkan pembentukan bekuan darah menurunkan
resiko perdarahan ulang. Dosisnya adalah 100 mg/kg setiap 4 jam sampai maksimum
30 g/h selama 5 hari. Apabila timbul glaukoma, maka penatalaksanaan mencakup
pemberian timolol 0,25% atau 0,5% dua kali sehari, asetazolamide 250 mg per oral
1
empat kali sehari dan obat hiperosmotik (manitol, gliserol, sorbitol). Glaukoma
sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar berakibat suatu reses sudut di
bilik mata sehingga terjadi gangguan pengaliran cairan mata.
Hifema harus dievakuasi secara bedah apabila tekanan intraokular tetap tinggi
(>35 mmHg selama 7 hari atau 50 mmHg selama 5 hari) untuk menghindari
kerusakan syaraf optikus dan perwarnaan kornea. Apabila pasien mengidap
hemoglobinopati, maka besar kemungkinan cepat terjadi atrofi optikus glaukomatosa
dan pengeluaran bekuan darah secara bedah harus dipertimbangkan lebih awal.
Instrumen-instrumen vitrektomi digunakan untuk mengeluarkan bekuan di sentral dan
lavase kamera anterior. Dimasukkan tonggak irigasi dan probe mekanis di sebelah
anterior limbus melalui bagian kornea yang jernih untuk menghindari kerusakan iris
dan lensa. Tidak dilakukan usaha untuk mengeluarkan bekuan dari sudut kamera
anterior atau dari jaringan iris. Kemudian dilakukan iridektomi perifer. Cara lain
untuk membersihkan kamera anterior adalah dengan evakuasi viskoelastik. Dibuat
sebuah insisi kecil di limbus untuk menyuntikkan bahan viskoelasti, dan dan sebuah
insisi yang lebih besar 180 derajat berlawanan agar hifema dapat didorong keluar.
Glaukoma dapat timbul belakangan setelah beberapa bulan atau tahun akibat
penyempitan sudut. Dengan sedikit perkecualian, bercak darah di kornea akan hilang
secara perlahan dalam periode sampai setahun.
Parasentesis atau pengeluaran darah dari bilik mata depan dilakukan pada
pasien dengan hifema bila terlihat tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma skunder,
hifema penuh dan berwarna hitam atau setelah 5 hari tidak terlihat tanda-tanda hifema
berkurang.Kadang-kadang sesudah hifema hilang atau 7 hari setelah trauma dapat
terjadi perdarahan atau hifema baru yang disebut hifema sekunder yang pengaruhnya
akan lebih hebat karena perdarahan lebih sukar hilang. Zat besi di dalam bola mata
dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan
ftisis bulbi dan kebutaan. Hifema spontan pada anak sebaiknya dipikirkan
kemungkinan leukimia dan retinoblastoma.
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan darah
atau nanah dari bilik mata depan, dengan teknik sebagai berikut: dibuat insisi kornea
2 mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya bila
dilakukan penekanan pada bibir luka maka koagulum dari bilik mata depan keluar.
Bila darah tidak keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan garam
fisiologik. Biasanya luka insisi kornea pada parasentesis tidak perlu dijahit.

2. Iridoplegia
Iridoplegia akibat trauma akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu. Pada pasien dengan iridoplegia sebaiknya diberi istirahat untuk terjadinya
kelelahan sfingter dan diberi roboransia. Untuk mencegah silau sebaiknya pasien
memakai kacamata gelap, atau mata yang sakit diperban.

3. Luksasi Lensa posterior


Pada luksasi lensa posterior, mata akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa
atau afakia. Pasien akan melihat normal dengan lensa + 12.0 Dioptri untuk melihat
jauh, bilik mata depan dalam dan iris tremulans. Lensa yang terlalu lama berada pada
polus superior dapat menimbulkan komplikasi akibat degenarasi lensa, yaitu berupa
glaukoma fakolitik dan uveitis fakotoksik. Bila luksasi lensa telah menimbulkan
komplikasi sebaiknya secepatnya dilakukan ekstraksi lensa.

4. Penatalaksanaan pada trauma asam:


dimulai dengan irigasi dan mempertahankannya (30 menit) dengan tujuan
mengurangi peradangan, nyeri dan resiko infeksi.Beberapa kerusakan akibat bahan
kimia harus dilakukan irigasi beberapa menit sekali dalam beberapa jam,Untuk segera
mengurangi rasa sakit dapat dilakukan dengan instilasi dengan pontocaine
hydrochloride (1/4%) tetapi untuk menyembuhkan pada tahap selanjutnya lebih sulit
dilakukan.Penggunaan anastesi dapat dilakukan bila perlu untuk menfasilitasi irigasi
yang baik, tetapi penggunaan anastesi yang terus menerus akan menunda proses
penyembuhan.Pemeriksaan pH dari air mata dapat dilakukan dengan kertas litmus
jika tersedia setiap 5 menit dan lanjutkan sampai pH menjadi netral(warna kertas
akan berubah menjadi biru bila terkena basa dan menjadi merah bila terkena asam)

5. penatalaksanaan trauma basa:


dengan secepat mungkin melakukan irigasi dengan garam fisiologik. Sebaiknya
irigasi dilakukan selama mungkin. Bila mungkin irigasi dilakukan paling sedikit 60
menit segera setelah trauma,pendrita diberi sikloplegia, antibiotika, EDTA (ethylene
Diamine Tetracetic Acid) untuk mengikat basa. EDTA di berikan setelah satu minggu
trauma basa diperlukan untuk menetralisir kolagenase yang terbentuk pada hari ke
tujuh.

Prognosis
Trauma okuli pada mata dapat menyebabkan gangguan penglihatan berat
jangka panjang dan rasa tidak enak pada mata. Prognosis kesembuhan ditentukan
ketepatan penanganan serta tergantung derajat kerusakannya. semakin dalam
kerusakan yang mengenai bola mata maka prognosisinya semakin buruk.

BAB III
KESIMPULAN

Trauma Okuli sangat berbahaya, karena dapat menyerang berbagai struktur


ocular dan berpotensi menyebabkan kebutaan.trauma okuli baik itu benda asing
maupun Bahan kimia harus segera ditangani sebelum terjadi penyulit yang lebih
berat.penanganannya berfariasi menurut bagian okuli mana yang terkena.
Untuk menegakkan diagnosis trauma okuli sama dengan penegakan diagnosis
pada umumnya, yaitu dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis harus mencakup perkiraan ketajaman penglihatan sebelum dan
segera sesudah cedera. Harus dicatat apakah gangguan penglihatan bersifat progresif
lambat atau timbul mendadak. Harus dicurigai adanya benda asing intraokular apabila
terdapat riwayat memalu, mengasah, atau ledakan.
Pada anamnesis kasus trauma mata ditanyakan mengenai proses terjadi
trauma, benda apa yang mengenai mata tersebut, bagaimana arah datangnya benda
yang mengenai mata tersebut apakah dari depan, samping atas, bawah dan bagaimana
kecepatannya waktu mengenai mata. Perlu ditanyakan pula berapa besar benda yang
mengenai mata dan bahan benda tersebut apakah terbuat dari kayu, besi atau bahan
lain. Apabila terjadi penurunan penglihatan, ditanyakan apakah pengurangan
penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan. Ditanyakan juga kapan
terjadinya trauma. Apakah trauma disertai dengan keluarnya darah dan rasa sakit dan
apakah sudah dapat pertolongan sebelumnya. 12
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum terlebih dahulu diperiksa, karena 1/3
hingga ½ kejadian trauma mata bersamaan dengan cedera lain selain mata
Trauma pada mata ,merupakan 3-4% dari seluruh kecelakaan kerja.
Setiap trauma pada mata memerlukan tindakan segera. Trauma okuli apapun
penyebabnya harus diterapi sebagai kedaruratan mata.

DAFTAR PUSTAKA

1. Asbury T, Sanitato JJ. 2000. General Ophthalmology. Alih bahasa:


Oftalmologi Umum ed. 14. Jakarta. Widya Medika
2. Depkes RI, Ditjen Binkenmas. 1998. Hasil Survey Kesehatan Indera
Penglihatan dan Pendengaran 1996
3. Ilyas, Sidharta. 2009. Ilmu Penyakit Mata, Edisi Ketiga: Trauma Mata. Hal
259-276. Penerbit: FKUI, Jakarta
4. Ilyas, Sidarta. 2001. Penuntun Ilmu Penyakit Mata, edisi 2. Balai Penerbit
FK UI, Jakarta.
5. Jack, J. 2005. Clinical Oftalmologi: third edition. CJW. Teks Book
6. Nurwasis, dkk. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit
Mata: Hifema pada Rudapaksa Tumpul. Hal 137-139. Penerbit: FK Unair,
Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai