Anda di halaman 1dari 11

BAB II

KEPUSTAKAAN

2.1 Definisi Penyakit Cacingan

Penyakit cacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh

cacing yang hidup sebagai parasit didalam tubuh manusia. Seseorang dapat

terinfeksi penyakit kecacingan ketika telur, atau larva masuk ke dalam tubuh,

menjadi cacing dewasa dan bertelur didalam tubuh. Seseorang dapat dengan

mudah terinfeksi oleh cacing ketika hidup dalam lingkungan yang tidak

bersih, memiliki sanitasi yang buruk, dan kebiasaan yang tidak higienis.

Definisi infeksi kecacingan menurut WHO (2011) adalah sebagai infestasi

satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan nematoda usus 9.

Penyakit cacingan merupakan salah satu masalah terbesar yang

berdampak pada jutaan anak sekolah dasar. Cacing parasit tersebut

mengonsumsi nutrisi anak yang di inanginya, yang bisa menyebabkan

malnutrisi atau keterlambatan dalam tumbuh dan berkembang10. Cacing

parasit juga dapat merusak jaringan organ tubuh ditempat yang ditinggali,

yang mana dapat menyebabkan sakit perut, diare, obstruksi usus, anemia,

ulcer, dan masalah kesehatan lainnya11. Masalah tersebut bisa berdampak

pada pembelajaran anak dan memperlambat perkembangan kognitifnya, yang

berujung memiliki performa yang buruk dalam penerimaan pelajaran di

sekolah. Tidak jarang juga jika infeksi menahun dan berat dapat berakibat

kematian, jika penanganan tidak dilakukan dengan cepat. Sangat perlu

5
6

diperhatikan bahwa stunting pada anak yang diakibatkan oleh penyakit

cacingan tidak dapat dideteksi dengan mudah karena gejala memburuk

berangsur pada waktu yang semakin lama dan sering diremehkan oleh

masyarakat. Penyakit cacingan dapat merusak kenyamanan dan potensi

belajar dari jutaan anak di berbagai negara berkembang12.

Penyakit cacingan dapat dibedakan dari penyebab infeksi lainnya

seperti bakteri dan virus. Mengetahui perbedaan ciri-ciri gejala tersebut dapat

memudahkan dan membuat tenaga kesehatan dapat mengobati secara

efektif13. Diantaranya, yaitu:

 Cacing usus dewasa tidak dapat menginfeksi manusia secara langsung,

melainkan telur atau larva yang masuk ke dalam tubuh melalui kulit

atau masuk melewati mulut, tergantung dari spesies13.

 Cacing usus berangsur-angsur bertambah banyak di dalam tubuh

inangnya seiring bertambahnya waktu. Jadi onset dari penyakit ini

berjalan pelan dan sering tidak terdeteksi. Ketika seseorang yang

terinfeksi cacing mencapai tingkatan sedang ke berat, gejala dari

penyakit kronik akan muncul13.

 Keparahan dari penyakit yang disebabkan oleh cacing usus tergantung

dari jumlah cacing didalam tubuh, dan umur seseorang yang

terinfeksi13.

 Ada beberapat obat yang dapat membunuh beberapa spesies dari cacing

usus dengan menggunakan single dose. Terinfeksi ulang juga sering

terjadi. Karena hanya dengan perawatan obat tanpa memperbaiki


7

sanitasi dan kebersihan lingkungan pasien tidak akan memutus

penyebaran penyakit cacingan13.

 Penyakit cacingan tidak tersebar dengan rata di dalam suatu komunitas.

Sebagai contoh, dari semua kecacingan yang berjumlah 70 persen,

mungkin hanya terdeteksi 30 persen dari suatu komunitas13.

2.2 Epidemiologi

Iklim merupakan faktor utama penyebaran infeksi STH. Maka dari itu

STH merupakan salah satu penyakit endemik. Iklim meliputi kelembaban

udara, temperatur, cahaya, angin, debu, dan juga kelembaban tanah yang

bergantung pada curah hujan merupakan faktor yang mempengaruhi

berlangsungnya penyebaran penyakit cacingan14.

Indonesia sebagai negara berkembang, dan merupakan daerah iklim

tropik merupakan tempat ideal bagi perkembangan telur cacing. Hasil survei

pada anak sekolah tahun 2013 menyatakan prevalensi kecacingan di

Indonesia menurun dan telah mencapai angka prevalensi sebesar 28,12

persen. Di wilayah-wilayah tertentu yang sanitasinya buruk prevalensinya

bisa mencapai 80 persen15.

Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan di daerah Bali

selama kurun waktu 2003-2007 tergolong tinggi yaitu berkisar antara 40,94

persen sampai 92,4 persen pada anak sekolah dasar. Prevalensi penyakit

cacingan di Bali lebih banyak terjadi di dataran tinggi dengan kondisi wilayah

yang basah dimana ditemukan A.lumbricoide 87.6 persen, T.trichiura 82.4

persen, Necator americanus dan Ancylostoma duodenale 44.5 persen,


8

S.stercoralis 3.3 persen16. Di Kabupaten Bima tahun 2006 ditemukan Ascaris

lumbricoides 39 persen, Trichuris trichiura 24 persen, dan Hookworm 5

persen pada anak sekolah dasar17. Di Kabupaten Bengkulu tahun 2010

didapatkan prevalensi A.lumbricoides 9,4 persen, Necator americanus dan

Ancylostoma duodenale 5 persen dan T.trichiura 2,2 persen pada anak

sekolah dasar. Di kota Palu tahun 2011 didapatkan sebesar 31,6 persen pada

anak sekolah dasar18.

2.3 Soil Transmitted Helminths (STH)

Diantara nematoda usus ada sejumlah spesies yang penularannya

melalui tanah yaitu disebut dengan penyakit cacingan jenis STH diantaranya

yang sering ditemukan di masyarakat adalah cacing gelang (Ascaris

lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang

(Necator americanus dan Ancylostoma duodenale). Angka infeksi penyakit

cacingan jenis STH terdapat pada anak yang berusia 5 sampai 15 tahun.

Diperkirakan sekitar 400 juta anak sekolah dasar terinfeksi cacingan jenis

STH19.

2.4 Morfologi dan Daur Hidup

2.4.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

Penularan cacing gelang melalui telur cacing yang terdapat pada

feses, kemudian menempel pada suatu objek yang pada akhirnya

disentuh oleh manusia, lalu tangan manusia yang tidak higienis

memasukkan makanan beserta dengan telur cacing yang menempel pada


9

tangan manusia ke dalam mulut, menetas di usus halus. Larvanya

menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran

limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke

paru-paru. Larva di paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu

dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakhea

melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakhea larva ini menuju ke faring,

sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Di usus halus larva

berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang sampai cacing

dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih dua bulan19.

2.4.2 Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur

tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan

yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur

matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara

infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang.

Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus.

Sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke

daerah kolon, terutama sekum. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang

tertelan sampai cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30-90

hari19.

2.4.3 Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)

Telur bersama dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5

hari keluarlah larva rabditiform di tanah. Dalam waktu kira-kira 3 hari


10

larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform, yang dapat menembus

kulit dan dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah19.

2.5 Patofisiologi

2.5.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan.

Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti

mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Pada infeksi berat,

terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat

keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini

menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus)20.

2.5.2 Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

Cacing dewasa lebih banyak ditemukan di sekum tetapi dapat juga

berkoloni di dalam usus besar. Cacing ini dapat menyebabkan inflamasi,

infiltrasi dan kehilangan darah (anemia). Pada infeksi yang parah dapat

menyebabkan prolaps rektum dan defisiensi nutrisi20.

2.5.3 Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)

Larva cacing menembus kulit akan menyebabkan reaksi

eritematosa. Larva di paru-paru akan menyebabkan pendarahan,

eosinofilia, dan pneumonia. Kehilangan banyak darah dapat

menyebabkan anemia20.

2.6 Gejala Klinis

2.6.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)


11

Gejala cacingan sering disamarkan oleh penyakit lain. Anak yang

menderita cacingan biasanya lesu, tidak bergairah dan kurang konsentrasi

belajar. Pada anak-anak yang menderita Ascaris lumbricoides perutnya

tampak buncit, perut sering sakit, diare, dan nafsu makan berkurang.

Biasanya anak masih dapat beraktivitas walau sudah mengalami

penurunan kemampuan belajar dan produktivitas. Pemeriksaan tinja

sangat diperlukan untuk ketepatan diagnosis yaitu dengan menemukan

telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai

sebagai pedoman untuk menentukan beratnya infeksi21.

2.6.2 Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

Infeksi Trichuris trichiura yang ringan biasanya tidak memberikan

gejala klinis yang jelas atau bahkan tidak tampak sama sekali pada

penderita.Akan tetapi pada penderita terutama anak dengan infeksi

trichuris trichiura yang berat dan menahun menunjukkan gejala-gejala

yang jelas seperti diare yang sering diselingi dengan sindrom disentri,

anemia, berat badan turun, dan kadang disertai prolapsus rektum21.

2.6.3 Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)

Gabaran klinis walaupun tidak khas, tidak cukup mendukung untuk

memastikan untuk dapat membedakan dengan anemia karena defisiensi

makanan atau karena infeksi cacing lainnya. Secara praktis telur cacing

Ancylostoma duodenale tidak dapat dibedakan dengan telur Necator

americanus21. Untuk membedakan kedua spesies ini biasanya dilakukan

teknik pembiakan larva. Larva cacing tambang kemudian bermigrasi ke

bagian kerongkongan dan kemudian tertelan. Larva kemudian


12

menujuusus halus dan menjadi dewasa dengan menghisap darah

pendeita. Cacing tambang bertelurdi usus halus yang kemudian

dikeluarkan bersama dengan feses21.

2.7 Faktor Risiko Penyakit Cacingan Jenis STH

a) Iklim

Infeksi cacing dengan keadaan iklim tropis dan subtropis sangat

sesuai untuk perkembangan telur cacing. Suhu optimal untuk telur

Ascaris lumbricoides berkisar 25-30oC22.

b) Jenis Tanah

Infeksi cacinga yang ditularkan oleh tanah sebenarnya memiliki

karakteristik yang ampir sama. Kondisi tanah yang lembap

memungkinkan telur Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura

berkembang biak dengan cepat. Tanah berpasir yang gembur di daerah

pedesaan dan pertambangan sangat sesuai untuk pertumbuhan larva

Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Kondisi tanah yang

kering dan berdebu juga bisa menyebabkan telur terbawa angin sehingga

penularan kecacingan lebih mudah terjadi antara orang yang satu dengan

yang lainnya22.

c) Kondisi Sanitasi Lingkungan

Pembuangan tinja yang tidak layak akan mengakibatkan

pencemaran lingkungan. Kontaminasi ini terjadi pada air, tanah sehingga

dapat menjadi sumber infeksi dan akan mendatangkan bahaya bagi

kesehatan. Berbagai macam kuman penyakit yang penularannya berasal


13

dari tinja dan air seni manusia melaluai tanah seperti bakteri, virus, dan

cacing parasit23.

d) Pengetahuan

Siswa yang memiliki pengetahuan baik dapat menerapkan perilaku

hidup bersih dan sehat dengan benar. Anak sekolah dengan pengetahuan

yang kurang baik memiliki risiko terinfeksi kecacingan lebih besar

daripada anak sekolah dengan pengetahuan yang baik. Disamping itu,

pengetahuan yang baik pada ibu juga berpengaruh terhadap kondisi

lingkungan rumah sehingga terjaga kebersihan lingkungan dan kesehatan

keluarganya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang menyebutkan risiko

kecacingan akan lebih rendah jika ibu memiliki tingkat pengetahuan yang

baik23.

e) Kebiasaan Mencuci Tangan

Cuci tangan menggunakan sabun dengan benar merupakan salah

satu indikator perilaku hidup bersih dan sehat. Perilaku hidup bersih dan

sehat ini perlu diperhatikan karena aktivitas anak sekolah dasar yang

lebih banyak bermain di luar akan berisiko lebih tinggi untuk terkena

kecacingan24.

f) Kebersihan Memotong Kuku

Kebersihan perorangan sangat penting untuk pencegahan dari

berbagai macam penyakit. Memotong kuku merupakan kegiatan dalam

upaya untuk pencegahan masuknya penularan cacing dari tangan ke

mulut. Kuku sebaiknya dipotong pendek bersih karena kondisi kuku

tidak pendek bersih memiliki risiko lebih besar untuk terinfeksi


14

kecacingan. Hal ini disebabkan karena jari tangan yang kotor akan

membawa telur cacing masuk ke mulut melalui makanan24.

g) Ketersediaan Jamban Beserta Kebersihannya

Penggunaan jamban keluarga merupakan salah satu dari

penanggulangan penyebaran kecacingan. Terjadinya infeksi baru dan

infeksi berulang banyak disebabkan oleh tercemarnya tanah oleh tinja

penderita. Anak dengan kebiasaan defekasi di kebun atau halaman

berisiko 2,9 kali lebih besar dibanding anak dengan kebiasaan defekasi di

WC/jamban25.

h) Ketersediaan Air Bersih

Air bersih merupakan kebutuhan utama manusia untuk mencuci

pakaian dan untuk konsumsi air minum. Air yang kotor dapat

mengandung banyak parasit salah satunya adalah telur maupun larva

cacing25.

i) Penggunaan Alas Kaki

Penggunaan alas kaki tidak hanya sekedar melindungi kaki dari

bahaya benda tajam akan tetapi juga untuk mencegah masuknya telur

maupun larva cacing ke dalam tubuh manusia25.

2.8 Diagnosis Penyakit Cacingan Jenis STH

Pada kasus infeksi cacing ringan, tanpa gejala atau kadang tidak

menimbulkan gejala yang mencolok. Gejala yang dapat dikenali adalah lesu,

tak bergairah, suka mengantuk dan badan kurus meski porsi makan

melimpah26.
15

Untuk memberi diagnosis pasti pada pasien, dapat dilakukan

pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan feses (tinja). Pemeriksaan feses

adalah salah satu pemeriksaan laboratorium yang telah lama dikenal untuk

membantu klinisi menegakkan diagnosis suatu penyakit. Meskipun saat ini

telah berkembang berbagai pemeriksaan laboratorium yang modern, dalam

beberapa kasus pemeriksaan feses masih diperlukan dan tidak dapat

digantikan oleh pemeriksaan lain. Pengetahuan mengenai berbagai macam

penyakit yang memerlukan pemeriksaan feses, cara pengumpulan sampel

yang benar serta pemeriksan dan interpretasi yang benar akan menentukan

ketepatan diagnosis yang dilakukan oleh klinisi26.

Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur

cacing ataupun larva infektif. Pemeriksaan ini juga dimaksudkan untuk

mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa

fesesnya. Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan

kuantitatif. Secara kualitatif dilakukan dengan metode natif, metode apung,

metode Harada Mori, dan Metode Kato. Metode ini digunakan untuk

mengetahui jenis parasit usus, sedangkan secara kuantitatif dilakukan dengan

metode kato untuk menentukan jumlah cacing yang ada di dalam usus.

Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat dari

pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek yang penting untuk

mengetahui adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat ditegakkan dengan

cara melacak dan mengenal stadium parasit yang ditemukan27.

Anda mungkin juga menyukai