Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS SPASIAL PENYAKIT KECACINGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTH

DENGAN KARAKTERISTIK TANAH MELALUI PENDEKATAN GEOMORFOLOGI


DI KABUPATEN BANTUL

Nurul Maulida Muslimawati


nurul.maulida.muslimawati@gmail.com

Prima Widayani, S.Si., M.Si


primawidayani@ugm.ac.id

Abstract

Soil Transmitted Helminth (STH) worming is hidden disease in tropical countries, including
Indonesia.In 2014, the prevalence of this worm-caused disease is high enough in several regions,
such as in Bantul founded 358 cases.The aim of this study is 1)recognise soil characteristic using
geomorphological approach, 2)analyse the soil appropriateness as STH media, and 3)spatially
analyse the relation of STH worming and the soil.Analytical methods for identification of soil and
compliance using arithmetic matching, whereas to determine the relation of STH worming using
analytical methods of autocorrelation Moran’s I.The result of the study, from the seven soils
identification including regosol,alluvial,latosol,kambisol,grumusol,mediterranean, and rendzina,
shows that 94.5% of the soils is appropriate for the media of STH.The spatial analysis of worm
disease caused by STH with the characteristics of the soil shows a relation, however, the spread of
the disease is not related.This is indicated by -0,102 Moran’s index with spatial pattern is random.

Keywords: Soil Transmitted Helminth, Soil geomorphology, Spatial Analysis, Autocorrelation


Moran’s I, Bantul District

Abstrak

Penyakit kecacingan Soil Transmitted Helminth (STH) merupakan penyakit tersembunyi di negara
tropis, salah satunya Indonesia. Pada tahun 2014, prevalensi penyakit ini masih cukup tinggi di
beberapa daerah seperti di Kabupaten Bantul ditemukan 358 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk 1)
mengetahui jenis dan karakteristik tanah dengan pendekatan geomorfologi, 2) menganalisis
kesesuaian tanah untuk hidup cacing STH, dan 3) menganalisis secara spasial antara penyakit
kecacingan STH dengan tanah. Metode analisis untuk identifikasi tanah dan kesesuaiannya
menggunakan metode analisis aritmatic matching, sedangkan untuk mengetahui hubungan
persebaran penyakit kecacingan STH menggunakan metode analisis autocorrelation Moran’s I.
Hasil yang didapatkan, dari ketujuh jenis tanah hasil identifikasi yaitu regosol, aluvial, latosol,
kambisol, grumusol, mediteran, dan rendzina, sebesar 94,5% mempunyai kesesuaian untuk hidup
cacing STH. Analisis spasial penyakit kecacingan STH dengan karakteristik tanah menunjukkan
adanya korelasi, namun persebaran penyakit tersebut tidak saling berhubungan. Hal tersebut
ditunjukkan dengan nilai indeks Moran sebesar -0,084 dengan pola spasial yang random.

Kata kunci: Soil Transmitted Helminth, Geomorfologi tanah. Analisis spasial, Autocorrelation
Moran’s I, Kabupaten Bantul
PENDAHULUAN geografis (SIG) untuk mengkaji lebih lanjut
Penyakit kecacingan Soil Transmitted mengenai persebaran penyakit tersebut.
Helminth merupakan penyakit yang Penginderan jauh dan SIG ini dapat digunakan
disebabkan oleh infeksi cacing parasit jenis untuk menganalisis penyakit kecacingan Soil
nematoda yang hidup di dalam tanah. Penyakit Transmitted Helminth secara spasial dan dapat
ini merupakan penyakit endemis yang banyak mengidentifikasi tanah sebagai media hidup
ditemui di daerah tropis (Neglected Tropical dari cacing parasit tersebut. Tujuan dari
Diseases) seperti di Indonesia, namun banyak penelitian ini adalah 1) mengetahui jenis dan
diabaikan (WHO, 2011). Menurut Sumanto karakteristik tanah dengan pendekatan
(2010), prevalensi kasus kecacingan Soil geomorfologi, 2) menganalisis kesesuaian
Transmitted Helminth di indonesia mencapai tanah untuk hidup cacing Soil Transmitted
32,6% pada tahun 2006. Sedangkan pada Helminth, dan 3) menganalisis secara spasial
tahun 2009, Indonesia berada pada peringkat antara penyakit kecacingan Soil Transmitted
kedua dengan kasus penyakit kecacingan Helminth dengan media hidupnya yaitu tanah.
terbanyak dibandingkan dengan negara-negara Geomorfologi yang dimaksud disini
di Asia Tenggara dan Selatan. Daerah dengan merupakan studi yang mempelajari mengenai
tingkat prevalensi tertinggi di Indonesia bentuklahan di permukaan bumi yang
sendiri adalah Kabupaten Gunung Mas dengan menekankan pada asal mula genesisnya serta
tingkat prevalensi sebasar 76,67% pada tahun melihat perkembangan di masa yang akan
2012, namun terdapat pula daerah dengan datang dan melihat hubungannya dengan
tingkat prevalensi 0% yaitu Kota Yogyakarta lingkungan (Verstappen, 1983). Identifikasi
(Direktorat Jendral PP & PL, 2013). tanah menggunakan pendekatan geomorfologi
Kegiatan pemberantasan penyakit ini ini dengan melihat 4 (empat) aspek yaitu
sebenarnya sudah banyak dilakukan, namun morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan
tingkat prevalensi di beberapa daerah masih morfoaransemen (Van Zuidam, 1979).
cukup tinggi. Keadaan tersebut dapat Analisis yang digunakan untuk
dikarenakan masih kurangnya perhatian dari mengidentifikasi tanah dan kesesuaiannya
masyarakat terhadap penyakit kecacingan ini, untuk hidup cacing Soil Transmitted Helminth
dimana penyakit kecacingan Soil Transmitted adalah analisis matching. Analisis matching
Helminth masih dianggap sebagai penyakit sendiri merupakan suatu analisis yang
yang tidak membahayakan dan merupakan didasarkan dari penentuan kemungkinan
penyakit yang tersembunyi (tidak terdapat adaptasi dari suatu tipe Penutup lahan dan
gejala salah satunya). Padahal kerugian yang kemungkinan dari perbaikan kualitas lahannya
ditimbulkan dari infeksi cacing Soil (Sitorus, 1985). Analisis matching ini dapat
Transmitted Helminth ini sangat banyak dibedakan menjadi 3 (tiga) macam yaitu
seperti kekurangan gizi, anemia, hingga Weight Factor Matching, Aritmatic Matching,
kematian. Jenis cacing Soil Transmitted dan Subjective Matching. Penelitian ini
Helminth yang banyak ditemukan di Indonesia menggunakan Aritmatic Matching.
adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), Analisis spasial dalam menganalisis
cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan penyakit kecacingan Soil Transmitted
cacing tambang (Necator americanus and Helminth ini menggunakan metode
Ancylostoma duodenale). Persebaran penyakit autocorrelation Moran’s I. Analisis spasial ini
kecacingan Soil Transmitted Helminth ini merupakan pendekatan dalam geografi dan
menggunakan media tanah, dimana pada siklus disiplin ilmu yang berkaitan yang
hidup dari cacing parasit Soil Transmitted menggunakan metode statistik untuk
Helminth membutuhkan tanah sebagai tempat menyederhanakan pola-pola spasial. Menurut
hidup dan media penyebaran ke manusia. Rosli et al. (2010), analisis spasial dapat
Hubungan penyakit kecacingan dan digunakan untuk mendeteksi dan mengukur
tanah dapat menggambarkan bahwa pola kejadian penyakit yang dapat
persebaran penyakit ini juga dipengaruhi oleh memberikan wawasan epidemiologi penyakit.
faktor lingkungan, sehingga terdapat peluang Analisis spasial atau analisis yang bersifat
penginderaan jauh (PJ) dan sistem informasi keruangan ini biasanya digunakan untuk
2
mencari solusi di berbagai sektor dan Bahan penelitian terdiri dari citra
memudahkan untuk pengambilan keputusan. Landsat 8 OLI, citra SRTM 30 meter, data
Sedangkan autokorelasi spasial (spatial penderita penyakit kecacingan Soil
autocorrelation) merupakan korelasi antara Transmitted Helminth, peta geologi lembar
nilai atribut atau variabel dengan dirinya Yogyakarta skala 1:100.000, peta tanah
sendiri dan korelasi yang disebabkan oleh Kabupaten Bantul skala 1:225.000, peta RBI
variable geografi lainnya (Lee and Wong, wilayah Kabupaten Bantul skala 1:25.000, dan
2001). data curah hujan Kabupaten Bantul tahun 2005
Metode Moran’s I yang digunakan – 2014. Alat penelitian terdiri dari seperangkat
dalam penelitian ini merupakan metode yang laptop dengan beberapa software, GPS (Global
digunakan untuk mendapatkan output berupa Positioning System), soil test-kit, checklist
data interval atau rasio dimana terdapat lapangan, termohygrometer, dan kamera
tingkatan dari data tersebut. Hasil dari metode digital.
ini menunjukkan 3 (tiga) pengelompokan yaitu Tahap kegiatan dari penelitian ini secara
autokorelasi spasial positif, autokorelasi umum dapat dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu
spasial negatif, dan tidak ada autokorelasi tahap persiapan (interpretasi citra dan
spasial (ESRI, 2012 dalam Mashadi, 2014). penurunan informasi, analisis data curah
Daerah kajian dari penelitian ini adalah hujan, dan penentuan sampel), tahap kegiatan
Kabupaten Bantul. Penentuan Kabupaten lapangan (pengambilan data lapangan), dan
Bantul sebagai daerah kajian karena kabupaten tahap pasca lapangan (re-interpretasi, analisis
ini mempunyai geomorfologi (bentuklahan) tanah, analisis kesesuaian tanah untuk hidup
yang beragam dan melihat aspek masih cukup cacing Soil Transmitted Helminth, analisis data
tingginya prevalensi penyakit kecacingan Soil kasus penyakit kecacingan Soil Transmitted
Transmitted Helminth. Tercatat pada tahun Helminth, dan analisis spasial data hasil).
2012, Kabupaten Bantul merupakan daerah Tahap persiapan yang pertama adalah
dengan prevalensi tertinggi di DI Yogyakarta interpretasi citra penginderaan jauh (citra
dengan tingkat prevalensi sebesar 28,67% SRTM dioverlay dengan citra Landsat 8 OLI)
dibandingkan dengan kabupaten lainnya untuk mendapatkan informasi bentuklahan di
seperti Kabupaten Sleman (21,78%), Kabupaten Bantul. Sebelum dilakukan
Kabupaten Gunung Kidul (11%), dan interpretasi, citra Landsat 8 OLI telah
Kabupaten Kulon Progo (12,90%). Hasil dilakukan pemilihan komposit warna semu
laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul yaitu 567 yang dapat menonjolkan
sendiri menemukan terdapat 358 kasus karakteristik bentuklahan. Identifikasi satuan
penyakit kecacingan Soil Transmitted bentuklahan dilakukan dengan cara kegiatan
Helminth pada tahun 2014. interpretasi visual menggunakan digitasi on
screen. Pendekatan geomorfologi disini
bertujuan untuk memudahkan identifikasi
METODE PENELITIAN setiap satuan bentuklahan yang ada. Kelas
Metode yang digunakan untuk klasifikasi bentuklahan yang digunakan untuk
menganalisis dalam penelitian ini dapat membedakan satu bentuklahan dengan
dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu analisis bentuklahan yang lain yaitu menggunakan
kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis klasifikasi menurut Suharsono (1985) dimana
kualitatif dilakukan dengan melihat tampilan kelas bentuklahan yang digunakan adalah
grafis secara spasial dan memahami kaitan kelas bentuklahan untuk pemetaan skala
antar satu obyek dengan obyek yang lainnya, 1:100.000.
sedangkan analisis kuantitatif dilakukan Penurunan informasi dari bentuklahan
dengan menganalisis data menggunakan merupakan kegiatan selanjutnya setelah
analisis spasial yaitu analisis Moran’s I yang melakukan pemetaan bentuklahan. Penurunan
termasuk ke dalam autokorelasi spasial informasi yang dimaksud disini merupakan
(spatial autocorrelation) untuk mengetahui analisis karaktertistik dari bentuklahan yang
karakteristik persebaran penyakit kecacingan telah diinterpretasi. Karakteristik tersebut
di Kabupaten Bantul. meliputi topografi/relief, Penutup lahan,
3
material penyusun, dan tekstur tanah. Tahap pasca lapangan yang pertama
Penurunan keempat karakteristik tersebut yaitu melakukan re-interpretasi kenampakan
dipilih karena keempat informasi tersebut bentuklahan dan penurunan informasinya.
masih dapat dianalisis dari data penginderaan Kegiatan re-interpretasi ini dilakukan untuk
jauh, selanjutnya informasi tersebut dapat membenarkan informasi yang masih kurang
digunakan sebagai faktor pembentuk tanah. tepat dari hasil interpretasi sebelum lapangan.
Analisis data curah hujan menggunakan Analisis tahap yang lebih lanjut merupakan
data curah hujan 10 tahun. Data tersebut analisis yang berhubungan dengan tanah
kemudian diolah sehingga mendapatkan nilai dimana informasi mengenai tanah ini
rerata tahunan dan nilai rerata 10 tahun dari merupakan hasil analisis gabungan dari semua
intensitas curah hujan di Kabupaten Bantul. data yang telah didapatkan dan diolah.
Nilai rerata intensitas curah hujan 10 tahun Kegiatan analisis karakteristik tanah ini
tersebut kemudian digambarkan secara spasial dengan cara mengidentifikasi berbagai faktor
dengan cara interpolasi menggunakan bantuan pembentuk tanah yang dapat disadap melalui
software ArcGIS. Metode interpolasi yang data-data yang telah diolah sebelumnya dari
digunakan adalah metode IDW (Inverse informasi bentuklahan seperti topografi/relief,
Distance Weighted) dimana metode ini Penutup lahan, material penyusun, tekstur
mempertimbangkan nilai titik disekitarnya. tanah, suhu dan kelembaban udara, serta curah
Penentuan titik sampel dilakukan dengan hujan.
menggunakan metode purposive sampling, Tidak semua jenis tanah dapat ditempati
dimana pengambilan sampel dilakukan dengan oleh cacing STH dalam siklus hidupnya karena
tujuan untuk mengetahui dari satu satuan hanya dengan karakteristik tanah tertentu
bentuklahan akan dihasilkan karakteristik cacing tersebut dapat hidup sebelum masuk ke
tanah yang sama atau tidak. tubuh manusia. Analisis kesesuaian tanah
Tahap kegiatan lapangan terdiri dari 3 untuk hidup cacing STH dilakukan untuk
(tiga) tahapan yaitu kegiatan validasi mengetahui karakterisik tanah mana saja yang
bentuklahan dan informasi turunannya seperti dapat menjadi perantara atau medianya. Hasil
topografi/relief, penutup lahan, dan material analisis karaktersik tanah kemudian dilakukan
penyusun atau bahan induk tanah sehingga analisis aritmatic matching dimana analisis ini
hasil pemetaan mempunyai informasi yang melihat karakteristik tanah yang sesuai dengan
sama dengan di lapangan atau dengan kata lain hidup cacing STH (dapat dilihat pada tabel
valid. Kegiatan kedua adalah pengukuran suhu 3.3) kemudian dibandingkan dengan
dan kelembapan dimana data tersebut tidak karaktersitik tanah hasil analisis yang telah
dapat diekstraksi dari data penginderaan jauh, dilakukan.
maka informasi kedua data tersebut diambil
langsung di lapangan. Pengukuran suhu dan Tabel 3.3 Tabel kesesuaian tanah untuk hidup cacing
kelembaban udara di lapangan dilakukan STH
Kelem- Jenis
dengan menggunakan termohygrometer. Jenis cacing Iklim
bapan
Suhu
tanah
Pengukuran ini termasuk agak ribet dan Ascaris
Geluh
memakan waktu. lumbricoides Cukup 25° –
Tropis hingga
Kegiatan ketiga merupakan kegiatan (cacing lembab 30°C
liat
gelang)
tambahan dimana aktivitas kegiatan ini yaitu Trichuris
melakukan pengecekan pH tanah dan tekstur trichiura Tanah
Tropis Lembab 30°C
tanah. Kegiatan ketiga ini dilakukan untuk (cacing liat
menambah keakuratan data hasil identifikasi cambuk)
Necator Tanah
tanah dan juga untuk informasi kesesuaian americanus 28° - gembur
tanah. Kegiatan pengecekan pH tanah Tropis Lembab
(cacing 32°C (pasir -
menggunakan kertas pH dan air aquades tambang) humus)
rangkaian dari soil test-ki, sedangkan kegiatan Ancylostoma Tanah
duodenale 23° - gembur
pengecekan tekstur tanah dilakukan dengan (cacing
Tropis Lembab
25°C (pasir -
cara konvensional atau dilakukan pengecekan tambang) humus)
di lapangan yaitu menggunakan tangan. (sumber: Hart, 1997 ; Chatterjee, 2009)
4
sedangkan bentuklahan Vulkan (V)
Analisis data kasus penyakit kecacingan mendominasi bagian tengah dari Kabupaten
Soil Transmitted Helminth yang pertama Bantul. Berbeda dengan satuan utama
adalah mengubah data ini yang tadinya struktural, satuan utama marin hanya terdapat
berbentuk tabel menjadi data spasial. di bagian selatan Kabupaten Bantul.
Kemudian menggambarkan persebaran jumlah Bukit sisa (D3) dan lereng kaki (D7)
kasus penyakit kecacingan Soil Transmitted merupakan bentuklahan dari satuan utama
Helminth secara spasial dengan peta dimana denudasional (D) yang ada di Kabupaten
satuan pemetaan berupa area kecamatan yang Bantul. Distribusi bentuklahan dari satuan
terdapat di Kabupaten Bantul, pemetaan utama denudasional (D) ini lebih menyebar
tersebut menggunakan metode dispersal jika dibandingkan dengan bentuklahan yang
graph. Analisis data penyakit kecacingan Soil lain, seperti terlihat pada gambar 5.1 dimana
Transmitted Helminth juga dilakukan dengan satuan bentuklahan lereng kaki (D7) berada
metode kuantitatif. Metode kuantitatif ini pada bagian timur dan barat Kabupaten
menggunakan autocorrelation Moran’s I. Bantul, dan bukit sisa (D3) terdapat di bagian
Analisis spasial data hasil merupakan utara Kabupaten Bantul meskipun tidak terlalu
kegiatan menganalisis hubungan antara luas areanya.
persebaran penyakit atau penderita kecacingan
Soil Transmitted Helminth dengan jenis dan
karakteristik tanah yang telah dianalisis sesuai
satuan bentuklahannya. Analisis hubungan
yang dilakukan pada tahap ini menggunakan
analisis kualitatif. Konsep kegiatan atau
langkah kerja yang dilakukan pada tahap ini
yaitu dengan melihat pola hubungan yang
terjadi antara persebaran penyakit atau
penderita dengan karakteristik tanah hasil
penurunan informasi dari bentuklahan lokasi
tempat penderita tersebut.
Gambar 5.1 Peta Geomorfologi di Kabupaten Bantul

HASIL DAN PEMBAHASAN


Terdapat 3 (tiga) penurunan informasi
Berdasarkan pada permasalahan, tujuan,
dari bentuklahan yaitu material penyusun,
dan metode penelitian yang telah dijabarkan
topografi, dan penutup lahan. Material
pada uraian sebelumnya, maka berikut ini
penyusun di Kabupaten Bantul dapat diketahui
merupakan penjelasan mengenai hasil
dengan menggunakan Peta geologi. Hasil yang
penelitian yang telah diperoleh beserta
didapatkan yaitu adanya perbedaan material
pembahasannya. Bentuklahan di Kabupaten
penyusun atau bahan induk yang terdapat di
Bantul dapat dikelompokkan menjadi 7 (tujuh)
dalam satuan bentuklahan, sehingga dalam
satuan utama yaitu struktural (S), marin (M),
satu satuan bentuklahan belum tentu
denudasional (D), vulkanik (V), fluvial (F),
mempunyai material penyusun yang sama.
dan solusional (S).
Contohnya dalam satuan bentuklahan
Bentuklahan
bentuklahan struktural (S), dimana dari
Satuan utama struktural (S) dapat
perbedaan formasinya sudah dapat
dibedakan lagi menjadi 4 (empat) sub-satuan
diidentifikasi bahwa material penyusun dari
menurut formasinya yaitu Perbukitan
bentuklahan ini berbeda-beda.
Struktural Formasi Nglanggran (S1n),
Hasil interpretasi topografi/relief di
Perbukitan Struktural Formasi Sambipitu
Kabupaten Bantul dapat dibedakan menjadi 5
(S1s), Perbukitan Struktural Formasi Semilir
(lima) macam yaitu datar, landai,
(S1k), dan Perbukitan Struktural Formasi
bergelombang, berbukit, dan bergunung.
Sentolo (S1t). Perbukitan Struktural (S) berada
Topografi datar berada pada satuan
di bagian timur Kabupaten Bantul memanjang
bentuklahan Marin (M9), sedangkan topografi
dari utara ke selatan dan di bagian barat,
5
landai mendominasi Kabupaten Bantul pada pada bentuklahan marin. Keadaan kelembapan
bentuklahan Vulkan (V). Hasil yang cukup lembab terdapat di bagian timur laut
didapatkan dari kegiatan interpretasi penutup Kabupaten Bantul.
lahan, terdapat 6 (enam) klasifikasi penutup
lahan di Kabupaten Bantul yaitu lahan Analisis Tanah
terbangun, lahan terbuka, vegetasi kerapatan Penentuan jenis tanah dianalisis
tinggi, vegetasi kerapatan sedang, vegetasi menggunakan metode aritmatic matching
kerapatan rendah, dan tubuh air. dengan memperhatikan faktor-faktor
pembentuk tanah yang telah diidentifikasi.
Keadaan Curah Hujan Faktor pembentuk tanah tersebut adalah
Data curah hujan ini merupakan data material penyusun atau bahan induk, topografi,
intensitas curah hujan tahunan mulai dari penutup lahan, curah hujan, suhu, dan
tahun 2005 hingga tahun 2014 atau dalam kelembapan. Hasil analisis jenis tanah yang
kurun waktu 10 tahun yang dicatat oleh 12 pos terdapat di Kabupaten Bantul menunjukkan
stasiun hujan yang tersebar di Kabupaten terdapat 7 (tujuh) macam jenis tanah. Ketujuh
Bantul.Intensitas rata-rata curah hujan macam jenis tanah tersebut adalah tanah
tertinggi tercatat pada stasiun hujan aluvial, grumusol, latosol, kambisol,
BPPRinginharjo di Kecamatan Bantul sebesar mediteran, regosol, dan rendsina (terlihat pada
3193 mm/tahun, sedangkan intensitas rata-rata gambar 5.4). Tanah kambisol merupakan tanah
curah hujan terendah tercatat pada stasiun yang paling dominan di Kabupaten Bantul
hujan Kotagede di Kecamatan Banguntapan dengan luas sebesar 261,9 km², sedangkan
yang mencatat intensitas hujan sebesar 1425 tanah mediteran merupakan tanah yang hanya
mm/tahun. mempunyai luas sebesar 6,08 km².

Kegiatan Lapangan
Terdapat 60 titik sampel yang dilakukan
pengecekan lapangan, sampel ini ada yang
mengumpul dan ada yang menyebar dimana
sampel yang mengumpul merupakan sampel
untuk menguji adanya perbedaan karakteristik
tanah yang terbentuk di dalam satuan bentuk
lahan. Kegiatan lapangan ini yang utama
dimaksudkan untuk mengetahui keadaan suhu
dan kelembapan di Kabupaten Bantul. Hasil
yang didapatkan Perbedaan keadaan suhu dan
Gambar 5.4 Peta Jenis Tanah di Kabupaten Bantul
kelembapan di Kabupaten Bantul dari titik
sampel satu dengan yang lain tidak terlalu jauh
- Tanah regosol
berbeda. Perbedaan yang ada hanya telampau
Tersebar pada topografi datar di bentuklahan
0,1 °C hingga 2 °C. Hasil pengukuran suhu di
Beting Gisik dan Gumuk Pasir. Bahan induk
lapangan menunjukkan rata-rata suhu di
dari tanah ini adalah material vulkanik dan
Kabupaten Bantul sebesar 29,4 dengan suhu
pasir pantai. Terdapat beberapa macam tekstur
minimum tercatat sebesar 23,2 °C dan suhu
dari tanah regosol ini, namun tekstur tersebut
maksimum sebesar 33,4 °C.
didominasi oleh pasir (sand). Luas tanah
Keadaan kelembapan di Kabupaten
regosol di Kabupaten Bantul sebesar 8,62 km².
Bantul dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga)
- Tanah latosol
yaitu cukup lembab, lembab, dan sangat
Persebaran tanah latosol ini berada pada
lembab. Kelembapan minimum yang tercatat
topografi berbukit dan bergunung. Tekstur
di lapangan sebesar 40% sedangkan
tanah yang terbentuk mengandung
kelembapan maksimum sebesar 75%.
lempung/liat seperti clay, sandy clay, sandy
Distribusi kategori sangat lembab banyak
loam, silty clay loam, dan clay loam. Tanah ini
dijumpai pada Kabupaten Bantul bagian
mempunyai luas 100,68 km².
selatan dimana kelembapan terbesar berada
6
- Tanah grumusol Ketidaksesuaian tanah untuk tempat hidup
Terletak pada topografi berbukit hingga cacing ini disebabkan oleh 2 (dua) faktor
bergelombang. Luas tanah grumusol yang dominan yang tidak memenuhi standar atau
berada di Kabupaten Bantul ini sebesar 69,99 syarat untuk hidup cacing yaitu tekstur tanah
km². Tekstur yang kebanyakan termasuk dan suhu. Tekstur tanah yang tidak sesuai
kedalam tekstur lempung seperti clay loam, untuk hidup cacing adalah tekstur pasir (sand),
silty clay, dan sandy clay. sedangkan suhu lebih dari 32 °C merupakan
- Tanah mediteran suhu yang tidak sesuai untuk hidup cacing.
Tanah mediteran ini mempunyai beberapa
tekstur yang didominasi oleh lempung/liat
seperti clay, clay loam, dan silty clay. Tanah
ini terdapat di daerah dengan topografi
bergelombang dan berbukit dengan luas 6,08
km².
- Tanah kambisol
Tekstur tanah kambisol ini cenderung berpasir
contohnya sandy loam, loam, dan sandy clay
loam. Daerah dengan tanah kambisol di
Kabupaten Bantul mempunyai topografi landai
yaitu dataran kaki dan dataran fluvial vulkan
Gambar 5.5 Peta Kesesuaian Tanah untuk hidup cacing
dengan luas sebesar 261,93 km². STH di Kabupaten Bantul
- Tanah aluvial
Tanah aluvial berada pada topografi datar Ketujuh jenis tanah yang terdapat di
hingga landai. Tekstur yang ditemukan pada Kabupaten Bantul yaitu regosol, aluvial,
tanah ini termasuk bermacam-macam seperti kambisol, latosol, grumusol, mediteran, dan
sand, sandy loam, loam, silty clay loam, sandy rendzina menunjukkan bahwa jenis tanah
clay, dan clay. Tanah ini mempunyai luas tersebut sesuai untuk hidup cacing STH
40,47 km² di Kabupaten Bantul. didukung dengan suhu dan kelembapan yang
- Tanah rendzina cocok. Jenis tanah regosol, aluvial, kambisol,
Tanah rendzina ditemukan pada daerah yang dan latosol sesuai untuk tempat hidup keempat
mempunyai topografi bergelombang hingga cacing STH yang didominasi oleh cacing
berbukit. Tekstur tanah rendzina termasuk gelang (Ascaris lumbricoides), kemudian
lempung atau liat. Tanah ini merupakan tanah cacing tambang (Necator americanus dan
dengan luasan terkecil di Kabupaten Bantul Ancylostoma duodenale) dan cacing cambuk
yaitu sebesar 24,4 km². (Trichuris trichiura). Jenis tanah mediteran
dan rendzina hanya sesuai untuk hidup cacing
Analisis Kesesuaian Tanah Untuk Hidup gelang (Ascaris lumbricoides) dan cacing
Cacing STH cambuk (Trichuris trichiura). Berbeda dari
Kesesuaian tanah tempat hidup cacing kelima jenis tanah sebelumnya, jenis tanah
ini menggunakan 4 (empat) faktor penentu grumusol lebih sesuai untuk tempat hidup
yang dianalisis menggunakan metode aritmatic cacing tambang (Necator americanus dan
matching. Empat faktor penentu tersebut Ancylostoma duodenale).
adalah tekstur tanah, suhu, kelembapan, dan
iklim. Terdapat 2 (dua) klasifikasi analisis Analisis Data Kasus Kecacingan STH
kesesuaian tanah untuk hidup cacing STH Hasil diagram data kasus kecacingan
yaitu sesuai dan tidak sesuai. Hasil yang STH tahun 2014 (gambar 5.6) menunjukkan
didapatkan dari analisis menggunakan metode bahwa kasus penyakit kecacingan STH akibat
aritmatic matching yaitu hanya sebagian kecil cacing gelang (Ascaris lumbricoides)
tanah di Kabupaten Bantul yang tidak sesuai merupakan kasus terbanyak sebesar 27% dari
untuk tempat hidup cacing STH atau hanya total kasus kecacingan STH yang ada. Kasus
5,1% dari total keseluruhan luas Kabupaten penyakit cacing cambuk (Trichuris trichiura)
Bantul (terlihat pada gambar 5.5). merupakan kasus penyakit STH terkecil,
7
sedangkan kasus penyakit cacing tambang Kabupaten Bantul. Tingkat persebaran
(Ancylostoma duodenale dan Necator penyakit kecacingan STH sangat rendah
americanus) masing-masing sebesar 7% dan berada di bagian tengah sebelah timur
4%. Dikarenakan keterbatasan data, sebanyak Kabupaten Bantul. Persebaran penyakit
60% kasus kecacingan STH tidak mempunyai kecacingan STH dengan tingkat sangat tinggi
informasi yang spesifik atau detail mengenai berada pada Kecamatan Banguntapan dan
jenis cacing yang telah menginfeksinya. Kecamatan Srandakan.
Data persebaran kasus penyakit
kecacingan STH juga dianalisis menggunakan
metode autocorrelation Moran’s I dimana
metode ini dapat untuk mengetahui pola
persebaran spasial dari kasus penyakit
kecacingan STH tersebut. Metode
autocorrelation Moran’s I juga dapat
digunakan untuk melihat ada tidaknya korelasi
dari persebaran penyakit tersebut. Hasil yang
didapatkan dari analisis menggunakan metode
Gambar 5.6 Diagram Kasus Penyakit Kecacingan STH autocorrelation Moran’s I adalah pola
di Kabupaten Bantul Tahun 2014 (sumber: Dinas
Kesehatan Kabupaten Bantul)
persebaran spasial penyakit kecacingan STH
di Kabupaten Bantul termasuk menyebar
Data kasus kecacingan STH di secara acak (random). Nilai indeks Moran
Kabupaten Bantul kemudian dipetakan dan menggunakan pendekatan Euclidean Distance
dianalisis sehingga dapat diketahui persebaran didapatkan sebesar -0,102 dengan variansi
kasus kecacingan STH tersebut secara spasial. sebesar 0,0289 dan nilai z-score sebesar -
Klasifikasi data kasus kecacingan STH untuk 0,234. Nilai indeks Moran tersebut
dipetakan menggunakan metode dispersal menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi
graph. Hasil klasifikasi data tersebut pada persebaran spasial penyakit kecacingan
menunjukkan bahwa kasus kecacingan STH di STH di Kabupaten Bantul.
Kabupaten Bantul termasuk ke dalam
tingkatan sangat rendah, rendah, agak tinggi, Analisis Spasial Penyakit Kecacingan STH
tinggi, dan sangat tinggi. Melalui Pendekatan Geomorfologi
Hasil indeks Moran menunjukkan bahwa
persebaran penyakit kecacingan STH tidak
mempunyai korelasi. Namun, persebaran
penyakit kecacingan STH dapat dikarenakan
beberapa faktor. Salah satu faktor yang dapat
dihubungkan dengan persebaran penyakit
kecacingan STH ini adalah karakteristik tanah.
Karakteristik tanah tersebut dapat diketahui
dari jenis tanah yang merupakan hasil
penurunan dari informasi yang didapat
menggunakan pendekatan geomorfologi.
Peta jenis tanah dan jumlah kasus
Gambar 5.7 Peta Tingkat Kasus Penyakit Kecacingan penyakit kecacingan STH di Kabupaten Bantul
STH di Kabupaten Bantul (gambar 5.8) menunjukkan secara spasial
hubungan/korelasi yang terjadi antara jenis
Peta tingkat kasus kecacingan STH di tanah dengan persebaran penyakit kecacingan
Kabupaten Bantul (gambar 5.7) menunjukkan STH. Terlihat pada peta, puskesmas dengan
bahwa kasus kecacingan STH pada tahun 2014 jumlah kasus penyakit kecacingan STH
terlihat mengelompok. Daerah dengan tingkat mempunyai sebuah pola dimana pola spasial
persebaran penyakit kecacingan STH rendah yang terjadi adalah mengelompok. Pola
berada di bagian tengah sebelah barat tersebut memperlihatkan bahwa puskesmas
8
dengan jumlah penyakit kecacingan yang bertekstur dominan liat/lempung. Pola yang
banyak berada di dekat tanah-tanah dengan terbentuk dari hubungan tersebut adalah
kandungan liat/lempung yang tinggi. mengelompok namun tidak saling
berhubungan. Tidak adanya hubungan
tersebut sesuai dengan hasil analisis
autocorrelation Moran’s I dimana indeks
Moran menunjukkan hasil tidak ada
korelasi.

DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jendral PP & PL. 2013. Profil
Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Lingkungan Tahun 2012. Jakarta:
Kementrian Kesehatan
ESRI. 2012. Arcgis Desktop Help Library.
Gambar 5.8 Peta Hubungan Persebaran Penyakit
Kecacingan STH dengan Karakteristik Tanah di USA: ESRI, Redlands CA
Kabupaten Bantul Lee, Jay dan David W. S. Wong. 2000.
Statistical Analysis With ArcView GIS.
Tingkat persebaran penyakit kecacingan United States: John Wiley & Sons Inc
STH ini juga dipengaruhi oleh sanitasi dan Mashadi, Ilham. 2014. Kajian Keterkaitan
pola hidup yang kurang sehat dari masyarakat. Toponim Terhadap Fenomena
Sanitasi yang berada pada daerah di Geografis. Skripsi. Yogyakarta: UGM
Kabupaten Bantul bagian timur atau pada Rosli, M.H., Er, A.C., Asmahani A.,
tanah mediteran masih terbilang belum baik Mohammad Naim M.R., Harsuzilawati
dan bersih. Sanitasi tersebut masih berada di M. 2010. Spatial Mapping of Dengue
luar ruangan (rumah) dan terlihat sangat Incident: A Case Study in Hulu Langat
mudah tanah dapat terkontaminasi. Pola hidup District, Selangor, Malaysia.
yang kurang sehat juga terlihat dari aktivitas International Journal of Human and
anak-anak yang bermain di tanah tanpa Social Sciences, Vol. 5:6, pp: 410 - 414.
menggunakan alas kaki. Sitorus, Santan R. P. 1985. Evaluasi
Sumberdaya Lahan. Bandung: PT.
KESIMPULAN Tarsito
1. Hasil analisis jenis dan karakteristik tanah Sumanto, Didik. 2010. Faktor Risiko Infeksi
yang terdapat di Kabupaten Bantul terdiri Penyakit Cacing Tambang Pada Anak
dari 7 (tujuh) jenis tanah yaitu regosol, Sekolah. Tesis. Semarang: Universitas
aluvial, latosol, kambisol, grumusol, Diponegoro
mediteran, dan rendzina. Tanah kambisol Van Zuidam, R. A. 1979. Terrain Analysis and
sendiri merupakan jenis tanah yang Classification Using Aerial Photograph
mendominasi di Kabupaten Bantul. Ageomorphological Approach. The
2. Hasil yang didapatkan dari analisis Netherlands: ITC, Enschede
kesesuaian tanah untuk tempat hidup cacing Verstappen, H. Th. 1983. Applied
Soil Transmitted Helminth sebesar 94,5% Geomorphology: Geomorphological
atau hampir semua jenis tanah di Kabupaten Surveys For Environmental
Bantul, sedangkan 5,1% tanah tidak sesuai Developmenth. Amsterdam – New York:
untuk tempat hidup cacing Soil Transmitted Elsevier
Helminth. WHO. 2011. Soil-Transmitted Helminthiasis:
3. Terdapat hubungan antara persebaran Estimates of The Number of Children
penyakit kecacingan Soil Transmitted Needing Preventive Chemotherapy and
Helminth dengan karakteristik tanah Number Treated in 2009
sebagai media hidup cacing STH.
Hubungan ini terlihat dengan adanya kasus
yang lebih banyak terdapat di dekat tanah
9

Anda mungkin juga menyukai