Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI

PUPUK ORGANIK PADAT (POP)

Disusun Oleh :

Nama : Leonardo Vigorous Silalahi


Npm : E1J018072
Shift : Selasa, jam 13:00-15.00 WIB ( B1)
Co-Ass : Aji Satrio ( E1J016010)
Dosen : Dr. Ir. Renny Herawati , M.S.

LABORATORIUM AGRONOMI
JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertanian organik menjadi hal yang saat ini sedang dikembangkan dengan
pesat.Hal ini dilata rbelakangi dengan masalah,dimana semakin jenuhnya pemberian
pupuk yang berasal dari industri. Tanah semakin kering, semakin kurangnya
kandungan hara organik yang pada akhirnya merugikan petani.Dasar inilah
diperlukan upaya dalam peningkatan kebutuhan bahan organik bagi tanaman.Salah
satunya adalah dengan memanfaatkan sisa-sisa bahan organik untuk diolah menjadi
kompos.
Indonesia secara geografis terletak di garis equator, sehingga memiliki iklim
tropis dengan OPT (organisme pengganggu tanaman) menjadi masalah utama dalam
kegiatan bertani. Gulma merupakan jenis tumbuhan yang hidupnya atau
keberadaannya tidak dikehendaki. Munculnya suatu jenis gulma di sekitar areal
tanaman budidaya dapat dikendalikan dengan menggunakan bahan kimia yang
dinamakan herbisida. Salah satu teknik pengendalian OPT yang ramah lingkungan
adalah dengan penggunaan pestisida yang berasal dari tumbuhan yang lazim disebut
pestisida nabati.
Pestisida nabati adalah pestisida yang berasal dari tumbuhan, sedangkan arti
pestisida itu sendiri adalah bahan yang dapat digunakan untuk mengendalikan
populasi OPT. Pestisida nabati bersifat mudah terdegradasi di alam (Bio-degredable),
sehingga residunya pada tanaman dan lingkungan tidak signifikan. Indonesia di
kenal dengan negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati (Mega-
biodiversity) terbesar kedua di dunia setelah Brazil, termasuk memiliki sejumlah
tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan dasar pestisida, baik yang dapat
langsung digunakan atau dengan ekstraksi sederhana dengan air, ekstraksi dengan
pelarut organik lainnya ataupun dengan cara penyulingan, tergantung kepada tujuan
dari formula yang akan dibuat
Secara alami bahan-bahan organik akan mengalami penguraian di alam dengan
bantuan mikroba maupun biotatanah lainnya. Namun proses pengomposan yang
terjadi secara alami berlangsung lama dan lambat. Untuk mempercepat proses
pengomposan ini telah banyak dikembangkan teknologi-teknologi pengomposan.
Baik pengomposan dengan teknologi sederhana, sedang, maupun teknologi tinggi.
Pada prinsipnya pengembangan teknologi pengomposan didasarkan pada proses
penguraian bahan organik yang terjadi secara alami. Proses penguraian dioptimalkan
sedemikian rupa sehingga pengomposan dapat berjalan dengan lebih cepat dan
efisien. Teknologi pengomposan saat ini menjadi sangat penting artinya terutama
untuk mengatasi permasalahan limbah organik, seperti untuk mengatasi masalah
sampah di kota-kota besar, limbah organik industri, serta limbah pertanian dan
perkebunan.
Secara garis besar membuat kompos berarti merangsang pertumbuhan bakteri
(mikroorganisme) untuk menghancurkan atau menguraikan bahan-bahan yang
dikomposkan sehingga terurai menjadi senyawa lain.Proses yang terjadi adalah
dekomposisi, yaitu menghancurkan ikatan organik molekul besar menjadi molekul
yang lebih kecil, mengeluarkan ikatan CO2 dan H2O serta penguraian lanjutan yaitu
transformasi ke dalam mineral atau dari ikatan organik menjadi anorganik.Proses
penguraian tersebut mengubah unsur hara yang terikat dalam senyawa organik yang
sukar larut menjadi senyawa organik yang larut sehingga dapat dimanfaatkan oleh
tanaman. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut
agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses pengomposan oleh bahan organik
mengalami penguraian secara biologis,khususnya oleh mikroba-mikroba yang
memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi.
Karakteristik umum yang dimiliki kompos antara lain : mengandung unsur hara
dalam jenis dan jumlah yang bervariasi tergantung bahan asal, menyediakan unsur
secara lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas dan mempunyai fungsi utama
memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah. Kehadiran kompos pada tanah menjadi
daya tarik bagi mikroorganisme untuk melakukan aktivitas pada tanah dan,
meningkatkan meningkatkan kapasitas tukar kation. Hal yang terpenting adalah
kompos justru memperbaiki sifat tanah dan lingkungan.
Sebagai upaya untuk memperbaiki sifat kimia, fisika dan biologi pada tanah,
hasil dari pengomposan dapat digunakan untuk tanah-tanah yang kurang subur atau
dapat digunakan untuk menguatkan struktur lahan kritis, menggemburkan kembali
tanah petamanan, sebagai bahan penutup sampah di TPA, eklamasi pantai pasca
penambangan, dan sebagai media tanaman, serta mengurangi penggunaan pupuk
kimia.

1.1 Tujuan

Adapun tujuan pratikum yang akan dibahsa yaitu;

1. Mampu mengidentifikasi tumbuhan lokal yang dapat digunakan menjadi


bahan dasar dalam pembuatan pupuk organik.
2. Memahami teknologi pembuatan pupuk organik kompos dari bahan tumbuhan
(gulma atau sisa tanaman).

3. Mengetahu proses terjadinga pupuk organik atau kompos.

4. Mampu membuat pupuk organik dari tumbuhan lokal.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pupuk organik adalah pupuk kandang, pupuk hijau dan kompos. Pupuk
kandang merupakan pupuk yang berasal dari kotoran hewan yang dapat digunakan
apabila telah dikeringkan dan proses pelapukannya (dekomposisi) telah sempurna.
Pupuk hijau berasal dari tanaman berpolong dan kacang-kacangan. Sedangkan
kompos merupakan jenis pupuk yang berasal dari sisa-sisa bahan tanaman yang telah
mengalami penguraian (dekomposisi) (Sutanto, 2002).
Beberapa jenis pupuk organik sebagai pupuk alam berdasarkan bahan
dasarnya, yaitu pupuk kandang, kompos, humus, pupuk hijau dan pupuk mikroba.
Sedangkan ditinjau dari bentuknya ada pupuk organik cair dan ada pupuk organik
padat. Sebagai contoh kompos merupakan contoh pupuk organik padat yang dibuat
dari bahan organik padat (tumbuh-tumbuhan), sedangkan thilurine adalah pupuk
organik cair yang dibuat dari bahan organik cair (urine sapi). Pupuk organik dapat
dibuat dari limbah, contohnya limbah peternakan sapi perah, baik berupa feses
maupun urinenya dapat dijadikan bahan pembuatan pupuk organik ( Sutanto, 2002).
Kompos merupakan salah satu pupuk organik alternatif yang dapat di peroleh
dengan memanfaatkan bahan-bahan organik yang mampu menyediakan unsur hara
bagi tanaman. Bahan baku organik banyak dijumpai di lingkungan sekitar, seperti
limbah peternakan dan limbah pertanian. Limbah peternakan berupa kotoran sapi
secara ekonomis relatif murah dan mudah diperoleh. Kompos kotoran sapi
mengandung hara dengan komposisi N (0,4%), P (0,2%), dan K (0,1) (Mulyono,
2014).
Pengomposan adalah proses perombakan (dekomposisi) bahan-bahan organik
dengan memanfaatkan peran atau aktivitas mikroorganisme. Melalui proses tersebut,
bahan-bahan organik akan diubah menjadi pupuk kompos yang kaya dengan unsur-
unsur hara baik makro ataupun mikro yang sangat diperlukan oleh tanaman
(Yurmiati, 2008). Penambahan bioaktivator dapat mempercepat proses pengomposan
dan kualitas produk kompos. Penambahan kotoran sapi sebagai bioaktivator
bermanfaat sebagai sumber nutrien untuk membangun sel-sel baru mikroorganisme
agar proses dekomposisi berjalan dengan baik atau mempercepat proses pematangan.
Limbah atau sisa hasil kegiatan pertanian yang bisa digunakan sebagai kompos
diantaranya semua bagian vegetatif tanaman seperti sisa bagian sayuran tanaman
hortikultura, batang pisang dan sabut kelapa. Limbah pertanian biasanya memiliki
C/N rasio yang relatif mendekati C/N rasio tanah sehingga proses pengomposan
cenderung lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan dengan pengomposan bahan
lainnya (Suwahyono, 2014).
Bahan organik yang dapat digunakan sebagai sumber pupuk organik dapat
berasal dari limbah/hasil pertanian dan nonpertanian (limbah kota dan limbah
industri) (Kurnia et al., 2001). Dari hasil pertanian antara lain berupa sisa tanaman
(jerami dan brangkasan), sisa hasil pertanian (sekam padi, kulit kacang tanah, ampas
tebu, dan belotong), pupuk kandang (kotoran sapi, kerbau, ayam, itik, dan kuda), dan
pupuk hijau. Limbah kota atau sampah organik kota biasanya dikumpulkan dari
pasar-pasar atau sampah rumah tangga dari daerah pemukiman serta taman-taman
kota. Limbah industri yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik antara lain
limbah industri pangan. Berbagai bahan organik tersebut dapat dijadikan pupuk
organik melalui teknologi pengomposan sederhana maupun dengan penambahan
mikroba perombak serta pengkayaan dengan hara lain.

BAB III
METODELOGI
3.1 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan yaitu;
1. ALAT
1. Pisau/parang 6. Talenan
2. Gembor 7. Plastic terpal (1 m x 2 m)
3.Tthermometer 8. Gelas ukur (ukuran 1000 ml)
4. Batang pengaduk 9. Ember
5. Kantong plastic (ukuran besar) 10. Terpal
2. BAHAN
Adapun Bahan yang diperlukan yaitu;
2.1. Dedaunan 2.4 Air
2.2 EM4
2.5 Dedak
2.3 Kotoran Sapi
3.2 Metode Pelaksanaan
Adapun metode yang dilakukan yaitu
1. Mengumpulkan bahan dedaunan yang dari unib dibuat sekala besar
2. Setelah terkumpul, mencacahkan daun agar bahanya bisa jadi kecil dan
mudah bakteri untuk memakannya
3. Setelah dicacah, mencampurkan bahan dengan kotoran sapi
4. Menumpuk bahan pop setinggi 20-30 cm lalu taburi dedak di paremukaan
dan Mentiramkan menggunakan EM4 yang telah di larutkan dengan air.
5. Mengulangi tumpukan sampai ketinggian yang diinginkan
6. Menambahan bahan dapat dilakukan asalkan setiap ketinggian 20 sampai
30 cm di taburi dedak dan siram EM4
7. Melakukan membolak balikan 2 kali dalam seminggu
8. Memeriksa kandungan air jika kering siram dengan air yang terdapat EM4
secukupnya
9. Melakukan penghalusan pop yang sudah jadi lalu kemas.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Dapun hasil kami dapatkan berupa foto sebagai berikut
4.1 Pembahasan

Bahan organik tidak dapat dimanfaatkan langsung oleh tanaman karena


perbandingan C/N dalam bahan tersebut masih sangat tinggi. Apabila bahan organik
mempunyai C/N sama dengan C/N tanah bahan tersebut dapat digunakan atau
dimanfaatkan oleh tanaman. Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N bahan
organik sehingga sama dengan C/N tanah yaitu <20. Semakin tinggi C/N bahan
organik maka semakin lama proses pengomposan.

Proses dekomposisi dapat berjalan dengan baik jika kondisi lingkungan


terkontrol. Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi
lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka
dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah padat organik.
Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan
dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang
optimum untuk proses pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses
pengomposan itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengomposan
antara lain: Rasio C/N, Ukuran Partikel, Aerasi, Porosita, kelembaban, suhu, ph,
kandungan hara, dan lama pengomposan.
Dalam melakukan pengomposon yang baik dan cepat diperlukan teknologi
mempercepat pengomposan seperti menambah mikroba untuk menguraikan menjadi
kompos sempurna. Maka untuk mempercepat penguraian maka ditambahkan
Mikroorganisme Efektif (EM) merupakan kultur campuran berbagai jenis
mikroorganisme yang bermanfaat (bakteri fotosintetik, bakteri asam laktat, ragi,
aktinomisetes dan jamur peragian) yang dapat dimanfaatkan sebagai inokulan untuk
meningkatkan keragaman mikroba tanah. Atau EM4 sebagai bioalisator bakteri untuk
tumbuh.

Kompos yang sudah matang dapat diketahui dari baunya yang seperti bau
busuk. Berdasarkan hasil pengamatan, kompos yang dihasilkan masih berbau
sehingga dapat dikatakan kompos masih belum matang. Warna merupakan salah satu
indikator untuk mengetahui kematangan kompos yaitu cokelat kehitam-hitaman.
Apabila kompos masih berwarna hijau atau warnanya mirip dengan bahan mentahnya
berarti kompos tersebut belum matang. dari hasil pengamatan, kompos yang
dihasilkan berwarna coklat sehingga dapat dikatakan kompos tersebut belum matang.
Ukuran partikel bahan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan kompos harus
sekecil mungkin untuk mencapai efisiensi aerasi dan supaya lebih mudah dicerna atau
diuraikan oleh mikroorganisme. Semakin kecil partikel, semakin luas permukaan
yang dicerna sehingga pengurai dapat berlangsung dengan cepat. pada kompos yang
sudah matang, bentuk fisiknya menyerupau tanah yang berwarna kehitaman. Menurut
hasil pengamatan, kompos yang dihasilkan bertestur kasar sehingga dapat dikatakan
bahwa kompos masih belum matang. Pada awal proses pengomposan adalah
pencampuran bahan kompos menjadi homogen, dan ini harus memiliki kelembaban
50-60 persen. Lebih dari itu atau terlalu basah bisa merusak proses pengomposan,
menimbulkan bau yang tidak sedap. Saat proses pengomposan, akan ada lapisan di
dalam dengan suhu 40-50 derajat Celsius di awal proses pengomposan dan
berkembang menjadi sekitar 60-70 derajat Celsius yang merupakan puncak proses
pengomposan, sebelum bahan kompos menjadi matang. Penggunaan plastik
hitam/sampah sebagai tempat penyimpanan mungkin mempengaruhi proses
dekomposisi. Kompos padat yang baik harusnya tidak memilliki tidak berbau, tidak
ada panas, dan mudah hancur saat belum di haluskan.
BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
1. Tumbuhan, sisa tumbuhan dan limbah organik dapat dijadikan sebagai pupuk organik
yang memiliki Manfaat bagi tanaman. Disamping itu kompos juga bermanfaat bagi tanah
karena dapat memperbaiki sifat fisik tanah dan tanah yang miskin akan unsur hara.
2. Pembuatan kompos dibantu oleh mikroorganisme. Pembuatan kompos ini menggunakan
bantuan bahan kimia yaitu Bio post EM-4 sebagai mikroorganisme.
3. Faktor – faktor yang mempengaruhi pembusukan kompos yaitu faktor lingkungan ,
ukuran bahan – bahan yang digunakan kadar air , aerasi , pH , suhu , serta perbandingan
C dan N .
4. Hasil yang yang didapatkan berdasarkan faktor- faktor yang mempengaruhi pembuatan
kompos adalah kompos masih berbau, tekstur lembek dan menggumpal, warna coklat.

DAFTAR PUSTAKA
Kurnia, U., D. Setyorini, T. Prihatini, S. Rochayati, Sutono dan H. Suganda. 2001.
Perkembangan dan Penggunaan Pupuk Organik di Indonesia. Rapat Koordinasi Penerapan
Penggunaan Pupuk Berimbang dan Peningkatan Penggunaan Pupuk Organik. Direktorat
Pupuk dan Pestisida, Direktorat Jendral Bina Sarana Pertanian, Jakarta, Nopember 2001.
Mulyono. (2014). Membuat MOL dan Kompos dari Sampah Rumah Tangga. Agromedia Pustaka.
Jakarta.

Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta.
Suwahyono U. (2014). Cara Cepat Buat Kompos Dari Limbah. Penebar Swadaya. Jakarta

Yurmiati, H., Hidayati, YA., Evaluasi Produksi Dan Penyusutan Kompos Dari Feses Kelinci
Pada Peternakan Rakyat, Jurnal Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
Universitas Padjadjaran, Bandung, 2008.

LAPORAN HASIL SEMENTARA


BIOTEKNOLOGI
Coass Bang Aji
Tahap Pembuatan Pupuk Dedaunan yaitu
1. Mengumpulkan bahan dedaunan yang dari unib dibuat sekala besar
2. Setelah terkumpul, mencacahkan daun agar bahanya bisa jadi kecil dan mudah bakteri
untuk memakannya
3. Setelah dicacah, mencampurkan bahan dengan kotoran sapi
4. Menumpuk bahan pop setinggi 20-30 cm lalu taburi dedak di paremukaan dan
Mentiramkan menggunakan EM4 yang telah di larutkan dengan air.
5. Mengulangi tumpukan sampai ketinggian yang diinginkan
6. Menambahan bahan dapat dilakukan asalkan setiap ketinggian 20 sampai 30 cm di taburi
dedak dan siram EM4
7. Melakukan membolak balikan 2 kali dalam seminggu
8. Memeriksa kandungan air jika kering siram dengan air yang terdapat EM4 secukupnya
9. Melakukan penghalusan pop yang sudah jadi lalu kemas.
Karesteristik Ciri ciri pop jadi yaitu
1. Tidak berbau
2. Tidak panas
3. Mudah hancur saat belum di haluskan

Anda mungkin juga menyukai