Anda di halaman 1dari 31

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
A. Tanggap Darurat Bencana
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk
yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban,
harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan pengurusan
pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
1. Sistem Komando Tanggap Darurat Bencana
Adalah suatu sistem penanganan darurat bencana yang digunakan oleh
semua instansi/lembaga dengan mengintegrasikan pemanfaatan sumber
daya manusia, peralatan dan anggaran.
a. Tim Reaksi Cepat BNPB/BPBD
Adalah tim yang ditugaskan oleh Kepala BNPB/BPBD sesuai
dengan kewenangannya untuk melakukan kegiatan kaji cepat bencana
dan dampak bencana, serta memberikan dukungan pendampingan
dalam rangka penanganan darurat bencana
b. Komando Tanggap Darurat Bencana
Adalah organisasi penanganan tanggap darurat bencana yang
dipimpin oleh seorang Komandan Tanggap Darurat Bencana dan
dibantu oleh Staf Komando dan Staf Umum, memiliki struktur
organisasi standar yang menganut satu komando dengan mata rantai
dangaris komando yang jelas dan memiliki satu kesatuan komando
dalam mengkoordinasikan instansi/lembaga/organisasi terkait untuk
pengerahan sumberdaya.
c. Staf Komando
Adalah pembantu Komandan Tanggap Darurat Bencana dalam
menjalankan urusan sekretariat, hubungan masyarakat, perwakilan
instansi/lembaga serta keselamatan dan keamanan.
d. Staf Umum
Adalah pembantu Komandan Tanggap Darurat Bencana dalam
menjalankan fungsi utama komando untuk bidang operasi, bidang
perencanaan, bidang logistik dan peralatan serta bidang administrasi
keuangan untuk penanganan tanggap darurat bencana yang terjadi.
2. Fasilitas Komando Tanggap Darurat Bencana
Adalah personil, sarana dan prasarana pendukung penyelenggaraan
penanganan tanggap darurat bencana yang dapat terdiri dari Pusat
Komando, Personil Komando, gudang, sarana dan prasarana transportasi,
peralatan, sarana dan prasarana komunikasi serta informasi.
3. Tahapan Pembentukan Komando Tanggap Darurat Bencana
a. Informasi Kejadian Awal
b. Penugasan Tim Reaksi Cepat (TRC)
c. Penetapan Status/Tingkat Bencana
d. Pembentukan Komando Tanggap Darurat Bencana
4. Informasi Kejadian Awal Bencana
Informasi awal kejadian bencana diperoleh melalui berbagai sumber
antara lain pelaporan, media massa, instansi/lembaga terkait, masyarakat,
internet, dan informasi lain yang dapat dipercaya. BNPB dan/atau BPBD
melakukan klarifikasi kepada instansi/lembaga/masyarakat di lokasi
bencana.
5. Penugasan Tim Reaksi Cepat (TRC)
Dari informasi kejadian awal yang diperoleh, BNPB dan/atau BPBD
menugaskan Tim Reaksi Cepat (TRC) tanggap darurat bencana, untuk
melaksanakan tugas pengkajian secara cepat, tepat, dan dampak bencana,
serta serta memberikan dukungan pendampingan dalam rangka
penanganan darurat bencana.
Hasil pelaksanaan tugas TRC tanggap darurat dan masukan dari
berbagai instansi/lembaga terkait merupakan bahan pertimbangan bagi :
a. Kepala BPBD Kabupaten/Kota untuk mengusulkan kepada
Bupati/Walikota dalam rangka menetapkan status/tingkat bencana
skala kabupaten/kota.
b. Kepala BPBD Provinsi untuk mengusulkan kepada Gubernur dalam
rangka menetapkan status/tingkat bencana skala provinsi.
c. Kepala BNPB untuk mengusulkan kepada Presiden RI dalam rangka
menetapkan status/tingkat bencana skala nasional.

B. Penyediaan Posko Pelayanan Kesehatan


POSKO berarti suatu tempat sebagai pusat kegiatan yang dilaksanakan bisa
bersifat tetap atau sementara. Bila pengertian tersebut digunakan. Macam dan
Sifat POSKO, yaitu :
1. Pos Komando (POSKO) Kesiapsiagaan
POSKO kesiapsiagaan adalah salah satu jenis POSKO yang
diaktifkan guna mengantisipasi kejadian bencana yang menurut
perhitungan diperkirakan akan terjadi. POSKO kesiapsiagaan bisa
dibentuk di tingkat Desa/kelurahan, Kecamatan, bahkan ditingkat
kabupaten atau propinsi. Di masing-masing tingkat, fungsi POSKO
kesiapsiagaan berbeda-beda sesuai dengan fungsi POSKO tersebut
terhadap kepentingannya yang dikaitkan dengan bencana yang akan
terjadi. Sebagai contoh POSKO kesiapsiagaan tingkat Desa/kelurahan,
lebih berfungsi sebagai POSKO yang berperan aktif dalam persiapan
kemungkinan adanya bencana yang akan menimpa wilayah tersebut,
sehingga segala kegiatan yang ada selalu terkait langsung dengan
kemungkinan bahaya yang akan menimpa wilayah tersebut.Berbeda
dengan Posko kesiapsiagaan di tingkat Desa/kelurahan, POSKO
kesiapsiagaan yang berada di tingkat Kecamatan atau Kabupaten lebih
berfungsi sebagai pusat informasi, koordinasi dan kemungkinan bantuan
bila diperlukan, sedangkan POSKO kesiapsiagaan di tingkat Propinsi
berfungsi sebagai pusat informasi dan koordinasi. Posko kesiapsiagaan
diaktifkan pada siklus kesiapsiagaan.
a. POSKO Kesiapsiagaan di tingkat Desa/Kelurahan
Seperti diuraikan diatas, fungsi POSKO di tingkat Desa/Kelurahan
mempunyai nilai dan fungsi strategis di garis paling depan yang akan
menghadapi langsung bahaya akibat bencana yang diperkirakan akan
terjadi, sehingga POSKO di tingkat ini harus memiliki fungsi dan peran
utama terkait dengan keselamatan masyarakat di wilayah tersebut.
b. Pemilihan Lokasi Sebagai POSKO Kesiapsiagaan
Untuk menentukan tempat atau lokasi POSKO harus memiliki
persyaratan dasar tertentu, antara lain :
1) Pilih lokasi yang paling aman dari kemungkinan bahaya bencana
yang diperkirakan akan terjadi.
2) Lokasi yang mudah di jangkau oleh kendaraan, baik sepeda motor
atau mobil.
3) Pilih lokasi yang mudah dikenali, misal Balai Desa.
4) Lokasi masih berada di wilayah desa yang bersangkutan.
c. Fasilitas Standard POSKO kesiapsiagaan
1) Fasilitas Umum
a) Ada fasilitas ruang yang cukup luas untuk tempat koordinasi
dan rapat
b) Ada aliran listrik sebagai penerangan dan tenaga penggerak alat
komunikasi
c) Ada fasilitas kamar mandi dan WC
d) Bila perlu, ada fasilitas dapur untuk menyiapkan logistik
petugas
e) Tersedia ruang untuk menyimpan dengan aman perlengkapan,
data dan arsip secara aman apabila POSKO ditutup
2) Fasilitas Sumber Daya Manusia
a) Petugas POSKO
b) Struktur organisasi dan penjadwalan petugas POSKO
c) Penanggung jawab POSKO
3) Fasilitas Administrasi
a) Buku tamu
b) Buku jurnal kegiatan
c) Buku catatan komunikasi
d) Catatan – catatan lain
4) Fasilitas Publikasi, Data dan Operasi
a) Peta wilayah rawan bencana daerah yang bersangkutan
b) Peta situasi
c) Peta topografi atau peta rupa bumi sesuai wilayah kerja
d) Papan papan pengumuman
e) Papan tulis
f) Daftar instansi, lembaga, dinas dan organisasi terkait beserta
alamat, nomor telepon, frekuensi kerja (bila memiliki fasilitas
radio komunikasi)
g) Data – data yang diperlukan
5) Fasilitas Komunikasi
a) Ada perangkat komunikasi yang berupa radio komunikasi
beserta kelengkapannya, telepon, radio biasa yang bisa
digunakan sebagai sumber informasi tambahan
b) Alat komunikasi alternatif yang bisa digunakan sebagai alat
peringatan dini dan tanda bahaya lokal, misalnya kentongan
6) Fasilitas Transport
a) Perlu adanya kendaraan siaga yang sewaktu – waktu dapat
digunakan untuk berbagai kegiatan POSKO
b) Atur dan kelola fasilitas transport yang tersedia di wilayah
tersebut untuk disiagakan
7) Fasilitas Logistik
Fasilitas logistik sangat penting, karena logistik adalah faktor
pendukung utama dalam kegiatan, sehingga pengadan logistik
tidak bisa diabaikan
8) Fasilitas Pendukung
a) Peralatan navigasi
b) Peralatan pertolongan pertama (P3K)
c) Peralatan penerangan jinjing (senter) dan kelengkapannya
9) Fasilitas Lain – lain
adalah fasilitas tambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan,
perkembangan dan kemampuan pada suau kegiatan.
d. Fungsi Petugas Dalam POSKO KESIAPSIAGAAN
1) Koordinator POSKO
a) Bertugas mengendalikan, membuat jadwal piket rutin 24 jam
yang disesuaikan dengan kebutuhan dan sumberdaya manusia
yang tersedia.Berkoordinasi dengan unsure Pemerintahan Desa
setempat.
b) Membuat laporan berkala, bias harian atau mingguan kepada
Pemerintah Desa.
c) Mempersiapkan kelengkapan POSKO, termasuk logistic
petugas POSKO bila dianggap perlu.
2) Petugas Piket
a) Petugas piket terdiri dari unsure masyarakat setempat yang
ditugaskan secara bergilir untuk pemantauan perkembangan
bencana yang diperkirakan akan terjadi.
b) Piket POSKO dilaksanakan secara bergilir selama 24 jam
dalam 1 hari, sehingga selama 24 jam tersebut POSKO selalu
dijaga oleh petugas yang ditentukan, terutama pada malam hari.
c) Petugas piket menyusun dan melaporkan kegiatan piket dan
situasi selama giliran piketnya kepada koordinator POSKO.
2. POSKO Operasi
POSKO Operasi adalah perkembangan dan pengalihan fungsi dan
status dari POSKO kesiapsiagaan, sehingga POSKO operasi sebetulnya
merupakan alih fungsi dari POSKO kesiapsiagaan, bukan mendirikan
POSKO baru sehingga terdapat dua POSKO. POSKO operasi diaktifkan
pada saat kejadian bencana dan wilayah bersangkutan dilanda bahaya dari
bencana yang terjadi.
POSKO operasi diaktifkan apabila musibah yang diperkirakan
betul-betul terjadi dan menimpa wilayah bersangkutan. Fungsi POSKO
juga beralih dari POSKO kesiapsiagaan yang bersifat koordinasi dan
kesiapsiagaan menjadi POSKO operasi yang bersifat aktif.
a. Fasilitas POSKO Operasi
Fasilitas POSKO operasi hampir sama dengan POSKO
kesiapsiagaan. Yang membedakan selain fungsi POSKO yang beralih
juga fasilitas sumber daya manusia akan meningkat disini, sehingga
otomatis dukungan logistikpun akan mengalami peningkatan. Selain itu,
diperlukan juga penyiapan peralatan pertolongan, PPPK, peralatan
navigasi, dll. Bila POSKO operasi diaktifkan, maka lakukan
pengelolaan sesuai dengan status POSKO, sehingga fungsi utama
POSKO adalah sebagai POSKO operasi, yaitu antara lainsebagai pusat
kordinasi, informasi dan pengendalian operasi penyelamatan di
lapangan.
b. Fungsi Petugas POSKO OPERASI
Petugas POSKO OPERASI tidak sesederhana petugas POSKO
Kesiapsiagaan. Ada penambahan fungsi posko, sehingga POSKO
OPERASI merupakan manajemen yang lebih kompleks.
1) Koordinator POSKO
a) Koordinator POSKO merupakan pengendali dan penanggung
jawab penuh fungsi POSKO. Biasanya Koordinator POSKO
dijabat oleh Perangkat Desa yang ditunjuk oleh Kepala Desa
setempat.
b) Berkonsultasi kepada pemerintah Desa tentang bentuk dan
kegiatan POSKO.
c) Menyusun dan melaporkan kegiatan POSKO kepada Pemerintah
Desa.
2) Sekretaris
a) Bertugas mengumpulkan dan mencatat semua kegiatan POSKO.
b) Melaksanakan fungsi surat menyurat baik yang bersifat intern
maupun ekstern.
c) Mewakili Koordinator POSKO bila Koordinator POSKO
berhalangan.
d) Mewakili Koordinator untuk berhubungan dengan pihak lain.
e) Menyusun laporan kegiatan dan dilaporkan kepada coordinator.
3) Bendahara
a) Mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan pendanaan dan
keuangan.
b) Merencanakan anggaran kegiatan.
c) Berkonsultasi dengan coordinator terkait dengan pengeluaran
dana diluar rencana yang telah dibuat.
d) Membuat laporan keuangan kepada Koordinator.
4) Bidang Operasi
a) Berkonsultasi dengan coordinator terkait rencana kegiatan
operasi.
b) Mengatur system pengungsiap, bila dirasa perlu diadakan
pengungsian ke tempat yang lebih aman.
c) Mengkoordinir operasi pencarian dan pertolongan (Rescue atau
SAR) bila terjadi kasus warga yang hilang atau mengalami
musibah terkait bencana yang terjadi.
d) Mengkoordinir tenaga bantuan yang ada sesuai dengan fungsi
bantuannya.
e) Membuat laporan kegiatan kepada coordinator.
5) Bidang Logistik
a) Berkoordinasi dengan coordinator untuk membuat perencanaan
logistic.
b) Menyediakan fasilitas d an kelengkapan POSKO, termasuk
makan dan minum petugas POSKO.
c) Menyiapkan dan mengatur transportasi setempat untuk
pengungsian.
d) Membuat laporan kepada coordinator terkait dengan kegiatan
bidang logistic.
6) Bidang Humas
a) Bertugas sebagai penghubung antara wilayah dimana POSKO
berada dengan pihak luar. Bidang ini bertugas antara lain :
b) Menyediakan data terkini terkait dengan bencana yang terjadi
kepada masyarakat, wartawan maupun pihak-pihak lain
termasuk pemerintah.
c) Mengumumkan atau memasyarakatkan kebijakan pemerintah
desa terkait dengan bencana yang terjadi.
d) Menyusun dan melaporkan kegiatan bidang humas kepada
coordinator.
7) Bidang Bantuan
a) Menerima dan mencatat semua bantuan yang ada, baik berupa
barang, uang maupun tenaga.
b) Bersama-sama dengan coordinator merencanakan distribusi
(pembagian) bantuan untuk masyarakat setempat.
c) Mendistribusikan (membagi) bantuan sesuai rencana yang
dibuat.
d) Menyusun dan melaporkan pendistribusian (pembagian)
bantuan yang dilakukan kepada coordinator.

C. Penyediaan dan Pengelolaan Obat di Posko


1. Pengelolaan obat
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004,
pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai
ketentuan perundangan yang berlaku meliputi perencanaan, pengadaan,
penyimpanan, dan penggunaan. Tujuan pengelolaan obat adalah memelihara
dan meningkatkan penggunaan obat secara rasional dan ekonomis di unit-unit
pelayanan kesehatan melalui penyediaan obat-obatan yang tepat jenis, tepat
jumlah dan tepat waktu dan tempat (Depkes, 2004).
a. Tahap Perencanaan
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di
Rumah Sakit menyebutkan bahwa perencanaan pengadaan merupakan
proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi
yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari
kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah
ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi
dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia (Depkes,
2004).
Metode konsumsi didasarkan pada analisa data konsumsi obat tahun
sebelumnya. Untuk menghitung jumlah obat yang dibutuhkan berdasarkan
metoda konsumsi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Pengumpulan dan pengolahan data
2) Analisa data untuk informasi dan evaluasi
3) Perhitungan perkiraan kebutuhan obat
4) Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana
Metode epidemiologi didasarkan pada frekuensi penyakit, jumlah
kunjungan, dan standar pengobatan yang digunakan. Langkah-langkah
dalam metoda ini adalah:
a) Memanfaatkan pedoman pengobatan.
b) Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani.
c) Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan frekuensi
penyakit.
d) Menghitung jumlah kebutuhan obat (Soerjono et al, 2004).
b. Tahap Pengadaan
Pengadaan merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan pekerjaan
kefarmasian. Dalam Peraturan Pemerintah No.51 (2009), terdapat pasal
yang mengatur bahwa: ”Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian pada
fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat dibantu oleh Apoteker
Pendamping atau Tenaga Teknis Kefarmasian”. Pada bab ketentuan umum,
dijelaskan bahwa yang termasuk Tenaga Teknis Kefarmasian adalah Sarjana
Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi
atau Asisten Apoteker (PP No.51, 2009). Pengadaan adalah sebuah tahapan
yang penting dalam manajemen pengelolaan obat dan menjadi sebuah
prosedur rutin di dalam sistem manajemen obat. Proses pengadaan yang
efektif akan menjamin ketersediaan obat dalam jumlah yang benar dan
harga yang pantas serta kualitas obat yang terjamin (Omi, 2002).
1) Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan pengadaan,
antara lain:
a) Waktu pembelian, untuk mencegah kekosongan persediaan.
b) Lokasi, perlu memperhitungkan lokasi PBF berada. Bila waktu yang
diperlukan untuk pengiriman singkat, maka waktu pembelian dapat
dilakukan pada saat barang hampir habis.
c) Frekuensi dan volume pembelian. Makin kecil volume atau jumlah
barang yang dibeli, makin tinggi frekuensi dalam melakukan
pembelian (Anief, 2003).
Adapun yang harus dilakukan saat penerimaan barang atau obat,
diantaranya:
(1) Menerima barang atau obat dan dokumen-dokumen
pendukungnya, antara lain surat pesanan atau surat kontrak,
surat kiriman, faktur barang atau obat.
(2) Memeriksa barang atau obat dengan dokumen-dokumen yang
bersangkutan baik dari segi jumlah, mutu, tanggal kadaluwarsa,
merk, harga dan spesifikasi lain bila diperlukan.
(3) Obat-obatan yang diterima dibuatkan berita acara atau tanda
penerimaan dan pemeriksaan obat sesuai dengan hasil
pemeriksaan menggunakan formulir daftar permintaan atau
penyerahan obat. Berita acara pemeriksaan penerimaan obat
adalah dokumen tanda bukti pemeriksaan pada penerimaan obat
yang mencantumkan tanggal penerimaan, jenis, keadaan,
banyaknya, sumber dan lain-lain yang bersangkut dengan obat
tersebut.
(4) Pencatatan untuk menjamin obat-obat yang ada dalam
persediaan digunakan secara efisien, perlu dilakukan pencatatan-
pencatatan atas persediaan obat tersebut. Dengan adanya
pencatatan yang dikerjakan secara teratur dan terus- menerus,
diharapkan Apotek, PBF, industri farmasi dan farmasi rumah sakit
akan dapat mengikuti perkembangan persediaan bahan-bahan
atau obat jadi dengan baik. Oleh karena itu, sangat penting
mencatat semua barang (bahan atau obat) yang ada di dalam
persediaannya agar dapat mengikuti perkembangan keadaaan
usahanya dari waktu ke waktu (Soerjono et al, 2004).
c. Tahap Penyimpanan
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor1027/Menkes/SK/IX/2004 yang perlu diperhatikan pada
penyimpanan:
1) Obat atau bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada
wadah lain maka, harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis
informasi yang jelas pada wadah yang baru, wadah sekurang-kurangnya
memuat no batch dan tanggal kadaluarsa.
2) Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan
menjamin kestabilan bahan (Depkes, 2004).
Perlu diperhatikan lokasi dari tempat penyimpanan di gudang
untuk menjamin bahwa barang atau obat yang disimpan mudah
diperoleh dan diatur sesuai penggolongan barang, kelas terapi obat atau
khasiat obat dan sesuai abjad (Soerjono et al, 2004).
2. Tujuan penyimpanan obat-obatan adalah:
a. Memelihara mutu obat-obatan.
b. Menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab.
c. Menjaga kelangsungan persediaan.
d. Memudahkan pencarian dan pengawasan (Aditama, 2003).
e. Kegiatan penyimpanan obat meliputi: 1) Penyiapan sarana penyimpanan
f. Ketersediaan sarana yang ada di unit pengelola obat dan perbekalan
kesehatan bertujuan untuk mendukung jalannya organisasi. Adapun sarana
yang minimal sebaiknya tersedia adalah sebagai berikut :
Gedung dengan luas 300 m – 600 m
1) Kendaraan roda dua dan roda empat, dengan jumlah 1 – 3 unit c)
Komputer + Printer dengan jumlah 1 – 3 unit
2) Telepon & Facsimile dengan jumlah 1 unit
3) Sarana penyimpanan
a) Rak:10-15unit
b) Pallet : 40 - 60 unit
c) Lemari : 5 - 7 unit
d) Lemari Khusus : 1 unit
e) Cold chain (medical refrigerator)
f) Cold Box
g) Cold Pack
h) Generator
4) Sarana Administrasi Umum
5) Sarana Administrasi Obat dan Perbekalan Kesehatan:
a) Kartu Stok
b) Kartu Persediaan Obat
c) Kartu Induk Persediaan Obat
d) Buku Harian Pengeluaran Barang
e) SBBK (Surat Bukti Barang Keluar)
i) LPLPO (Laporan Pemakaian dan Laporan Permintaan Obat)
j) Kartu Rencana Distribusi
k) Lembar bantu penentuan proporsi stok optimum
3. Pengaturan tata ruang
a. Untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan, penyusunan,
pencarian dan pengawasan obat, maka diperlukan pengaturan tata ruang
gudang dengan baik. Pengaturan tata ruang selain harus memperhatikan
kebersihan dan menjaga gudang dari kebocoran dan hewan pengerat juga
harus diperhatikan ergonominya.
b. Penyusunan obat
Obat disusun menurut bentuk sediaan dan alfabetis. Untuk memudahkan
pengendalian stok maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1) Menggunakan prinsip First Expired date First Out (FEFO) dan First In First
Out (FIFO) dalam penyusunan obat yaitu obat yang masa
kadaluwarsanya lebih awal atau yang diterima lebih awal harus
digunakan lebih awal sebab umumnya obat yang datang lebih awal
biasanya juga diproduksi lebih awal dan umurnya relatif lebih tua dan
masa kadaluwarsanya mungkin lebih awal.
2) Menyusun obat dalam kemasan besar di atas pallet secara rapi dan
teratur. Untuk obat kemasan kecil dan jumlahnya sedikit disimpan
dalam rak dan pisahkan antara obat dalam dan obat untuk pemakaian
luar dengan memperhatikan keseragaman no batch.
3) Menggunakan lemari khusus untuk menyimpan narkotika dan
psikotropika.
4) Menyimpan obat yang stabilitasnya dapat dipengaruhi oleh temperatur
udara, cahaya dan kontaminasi bakteri pada tempat yang sesuai.
Perhatikan untuk obat yang perlu penyimpanan khusus.
5) Mencantumkan nama masing-masing obat pada rak dengan rapi.
6) Apabila persediaan obat cukup banyak, maka obat tetap dalam box
masing-masing.
c. Pengamatan mutu obat
Mutu obat yang disimpan di ruang penyimpanan dapat mengalami
perubahan baik karena faktor fisik maupun kimiawi yang dapat diamati
secara visual. Jika dari pengamatan visual diduga ada kerusakan yang tidak
dapat ditetapkan dengan cara organoleptik, harus dilakukan sampling untuk
pengujian laboratorium (Aditama, 2003).
4. Tahap Distribusi
Distribusi merupakan kebijakan dari kegiatan penyimpanan yang berguna
untuk memenuhi kebutuhan logistik bagian-bagian dalam suatu organisasi.
Untuk mendukung efektifitas dan efisiensi kerja tiap bagian maupun organisasi
secara keseluruhan, dalam penyaluran kebutuhan logistik harus memperhatikan
dan mengimplementasikan beberapa asas penyaluran logistik.
5. Tahap Penggunaan
Pemakaian atau penggunaan obat adalah suatu kegiatan yang berkaitan dengan
penggunaan obat yang meliputi:
a. Pembinaan cara penggunaan obat yang benar.
b. Adanya daftar sinonim untuk obat-obatan tertentu
c. Adanya daftar nama seluruh obat beserta kadar obat yang tersedia baik di
gudang atau ruang pelayanan maupun di ruang dokter.
d. Lampiran, daftar kadar obat.
e. Adanya perlengkapan kemasan (kantong plastik atau botol, pot dan etiket).
f. Setiap pengeluaran obat-obatan dari ruangan pelayanan harus dicatat dalam
kartu status penderita yang kemudian dibukukan dalam buku pemakaian
obat obatan dan alat kesehatan (Siregar & Amalia, 2003).
D. Penyediaan dan Pengawasan Makanan dan Minuman
1. Pangan Untuk Kedaruratan dan Bencana
Tidak semua bencana menyebabkan kekurangan pangan yang
parah dan berdampak buruk pada status gizi pada penduduk yang terkena
bencana. Permasalahan pada makanan dan nutrisi tergantung dari jenis
bencana, durasi dan ukuran daerah yang terkena damapak bencana, dan
status gizi masyarakat sebelum bencana. Gempa bumi biasanya memiliki
sedikit efek pada suplai pangan jangka panjang. Sebaliknya, angin topan,
banjir, dan tsunami secara langsung mempengaruhi ketersediaan pangan,
dengan merusak tanaman, membunuh ternak dan hewan domestik, dan
menghancurkan makanan yang disimpan. Setiap jenis bencana akan
mengacaukan sistem transportasi, komunikasi, dan rutinitas sosial dan
ekonomi. Meskipun toko makanan mungkin ada, penduduk tidak memiliki
akses kepada toko tersebut (PAHO, tanpa tanggal).
Penyelenggaraan makanan darurat dipersiapkan pada waktu terjadi
keadaan darurat yang ditetapkan oleh kepala wilayah setempat sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Pada dasarnya penyediaan
makanan darurat sifatnya sementaara dalam waktu yang relatif singkat (1-
3 hari). Macam makanan mula-mula makanan matang, selanjutnya
makanan mentah, sampai dinyatakan keadaan membaik. Prinsip dasar
penyediaan makanan matang apabila bencana terjadi memusnahkan
sebagian besar perlindungan dan peralatan penduduk, sehingga masyarakat
tidak mungkin untuk menyelenggarakan makanannya sendiri. Tugas
penyediaan makanan dilakukan oleh team yang dibentuk oleh kepala
wilayah atau camat/bupati yang bertindak sebagai koordinator pelaksanaan
penanggulangan bencana alam, yang dipusatkan pada pos komando yang
ditetapkan (Nurhayati, tanpa tanggal).
Menurut Kemenkes RI (2012) kegiatan gizi/pangan dalam
penanggulangan bencana merupakan rangkaian kegiatan yang dimulai
sejak pra bencana, pada situasi bencana dan pasca bencana.

a. Pra Bencana
Penanganan gizi pada pra bencana pada dasarnya adalah kegiatan
antisipasi terjadinya bencana dan mengurangi risiko dampak bencana.
Kegiatan yang dilaksanakan antara lain sosialisasi dan pelatihan
petugas seperti manajemen gizi bencana, penyusunan rencana
kontinjensi kegiatan gizi, konseling menyusui, konseling Makanan
Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI), pengumpulan data awal daerah
rentan bencana, penyediaan bufferstock MP-ASI, pembinaan teknis
dan pendampingan kepada petugas terkait dengan manajemen gizi
bencana dan berbagai kegiatan terkait lainnya.
b. Situasi Keadaan Darurat Bencana
Situasi keadaan darurat bencana terbagi menjadi 3 tahap, yaitu siaga
darurat, tanggap darurat dan transisi darurat.
1) Siaga Darurat
Siaga darurat adalah suatu keadaan potensi terjadinya
bencana yang ditandai dengan adanya pengungsi dan pergerakan
sumber daya. Kegiatan penanganan gizi pada situasi siaga darurat
sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada dapat dilaksanakan
kegiatan gizi seperti pada tanggap darurat.
2) Tanggap Darurat
a) Tahap Tanggap Darurat Awal
(1) Fase I Tanggap Darurat Awal
Fase I Tanggap Darurat Awal antara lain
ditandai dengan kondisi sebagai berikut: korban bencana
bisa dalam pengungsian atau belum dalam pengungsian,
petugas belum sempat mengidentifikasi korban secara
lengkap,bantuan pangan sudah mulai berdatangan dan
adanya penyelenggaraan dapur umum jika diperlukan.
Lama Fase I ini tergantung dari situasi dan kondisi
setempat di daerah bencana yaitu maksimal sampai 3 hari
setelah bencana. Pada fase ini kegiatan yang dilakukan
adalah:
(a) Memberikan makanan yang bertujuan agar pengungsi
tidak lapar dan dapat mempertahankan status gizinya.
(b) Mengawasi pendistribusian bantuan bahan makanan.
(c) Menganalisis hasil Rapid Health Assesment (RHA)
Pada fase ini, penyelenggaraan makanan bagi
korban bencana mempertimbangkan hasil analisis RHA dan
standar ransum. Rasum adalah bantuan bahan makanan
yang memastikan korban bencana mendapatkan asupan
energi, protein dan lemak untuk mempertahankan
kehidupan dan beraktivitas. Ransum dibedakan dalam
bentuk kering (dry ration) dan basah (wet ration). Dalam
perhitungan ransum basah diprioritaskan penggunaan
garam beriodium dan minyak goreng yang difortifikasi
dengan vitamin A.
(2) Fase II Tanggap Darurat Awal
Kegiatan terkait penanganan gizi pada fase II, adalah:
(a) Menghitung kebutuhan gizi
Berdasarkan analisis hasil Rapid Health Assessment
(RHA) diketahui jumlah pengungsi berdasarkan
kelompok umur, selanjutnya dapat dihitung ransum
pengungsi dengan memperhitungkan setiap orang
pengungsi membutuhkan 2.100 kkal, 50g protein dan
40g lemak, serta menyusun menu yang didasarkan pada
jenis bahan makanan yang tersedia.
(b) Pengelolaan penyelenggaraan makanan di dapur umum
yang meliputi:
i. Tempat pengolahan
ii. Sumber bahan makanan
iii. Petugas pelaksana
iv. Penyimpanan bahan makanan basah
v. Penyimpanan bahan makanan kering
vi. Cara mengolah
vii. Cara distribusi
viii. Peralatan makan dan pengolahan
ix. Tempat pembuangan sampah sementara
x. Pengawasan penyelenggaraan makanan
xi. Mendistribusikan makanan siap saji
xii. Pengawasan bantuan bahan makanan untuk
melindungi korban bencana dari dampak buruk
akibat bantuan tersebut seperti diare, infeksi,
keracunan dan lain-lain.
b) Tanggap Darurat Lanjut
Tahap tanggap darurat lanjut dilaksanakan setelah tahap
tanggap darurat awal, dalam rangka penanganan masalah gizi
sesuai tingkat kedaruratan. Lamanya tahap tanggap darurat
lanjut tergantung dari situasi dan kondisi setempat di daerah
bencana. Pada tahap ini sudah ada informasi lebih rinci tentang
keadaan pengungsi, seperti jumlah menurut golongan umur
dan jenis kelamin, keadaan lingkungan, keadaan penyakit,
dan sebagainya. Kegiatan penanganan gizi pada tahap ini
meliputi:
(1) Analisis faktor penyulit berdasarkan hasil Rapid Health
Assessment (RHA).
(2) Pengumpulan data antropometri balita (berat badan,
panjang badan/tinggi badan), ibu hamil dan ibu menyusui
(Lingkar Lengan Atas).
(3) Menghitung proporsi status gizi balita kurus (BB/TB <-
2SD) dan jumlah ibu hamil dengan risiko KEK (LILA
<23,5 cm).
(4) Menganalisis adanya faktor penyulit seperti kejadian diare,
campak, demam berdarah dan lain-lain. Informasi tentang
proporsi status gizi balita selanjutnya digunakan sebagai
dasar untuk melakukan modifikasi atau perbaikan
penanganan gizi sesuai dengan tingkat kedaruratan yang
terjadi. Penentuan jenis kegiatan penanganan gizi
mempertimbangkan pula hasil dari surveilans penyakit.
Hasil analisis data antropometri dan faktor penyulit serta
tindak lanjut atau respon yang direkomendasikan adalah
sebagai berikut:
(a) Situasi Serius (Serius Situation), jika prevalensi balita
kurus ≥15% tanpa faktor penyulit atau 10-14,9%
dengan faktor penyulit. Pada situasi ini semua korban
bencana mendapat ransum dan seluruh kelompok
rentan terutama balita dan ibu hamil diberikan
makanan tambahan (blanket supplementary feeding).
(b) Situasi Berisiko (Risk Situation), jika prevalensi balita
kurus 10-14,9% tanpa faktor penyulit atau 5-9,9%
dengan faktor penyulit. Pada situasi ini kelompok
rentan kurang gizi terutama balita kurus dan ibu hamil
risiko KEK diberikan makanan tambahan (targetted
supplementary feeding).
(c) Situasi Normal, jika prevalensi balita kurus <10% tanpa
faktor penyulit atau <5% dengan faktor penyulit maka
dilakukan penanganan penderita gizi kurang melalui
pelayanan kesehatan rutin.
(d) Apabila ditemukan balita sangat kurus dan atau terdapat
tanda klinis gizi buruk segera dirujuk ke sarana
pelayanan kesehatan untuk mendapat perawatan sesuai
Tatalaksana Anak Gizi Buruk.
(5) Melaksanakan pemberian makanan tambahan dan suplemen
gizi
(a) Khusus anak yang menderita gizi kurang perlu
diberikan makanan tambahan disamping makanan
keluarga, seperti kudapan/jajanan, dengan nilai
energi350 kkal dan protein 15 g per hari.
(b) Ibu hamil perlu diberikan 1 tablet Fe setiap hari, selama
90 hari.
(c) Ibu nifas (0-42 hari) diberikan 2 kapsul vitamin A dosis
200.000 IU (1 kapsul pada hari pertama dan 1 kapsul
lagi hari berikutnya, selang waktu minimal 24 jam)
(d) Pemberian vitamin A biru (100.000 IU) bagi bayi
berusia 6-11 bulan; dan kapsul vitamin A merah
(200.000 IU) bagi anak berusia 12-59 bulan, bila
kejadian bencana terjadi dalam waktu kurang dari 30
hari setelah pemberian kapsul vitamin A (Februari dan
Agustus) maka balita tersebut tidak dianjurkan lagi
mendapat kapsul vitamin A.
(e) Melakukan penyuluhan kelompok dan konseling
perorangan dengan materi sesuai dengan kondisi saat
itu, misalnya konseling menyusui dan MP-ASI.
(f) Memantau perkembangan status gizi balita melalui
surveilans gizi.
3) Transisi Darurat
Transisi darurat adalah suatu keadaan sebelum dilakukan
rehabilitasi dan rekonstruksi. Kegiatan penanganan gizi pada
situasi transisi darurat disesusaikan dengan situasi dan kondisi
yang ada, dapat dilaksanakan kegiatan gizi seperti pada tanggap
darurat.
c. Pasca Bencana
Kegiatan penanganan gizi pasca bencana pada dasarnya adalah
melaksanakan pemantauan dan evaluasi sebagai bagian dari surveilans,
untuk mengetahui kebutuhan yang diperlukan (need assessment) dan
melaksanakan kegiatan pembinaan gizi sebagai tindak lanjut atau
respon dari informasi yang diperoleh secara terintegrasi dengan
kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat (public health response)
untuk meningkatkan dan mempertahankan status gizi dan kesehatan
korban bencana
2. Bantuan Pangan
a. Tujuan bantuan pangan
Menurut PAHO (tanpa tanggal) bantuan pangan bertujuan untuk
mencegah kekurangan gizi pada penduduk yang terkena bencana.
Untuk merencanakan pengobatan dan manajemen kasus gizi buruk
diperlukan prioritas yang ada sebelum bencana atau yang telah menjadi
akut, dan akan menjadi jelas selama operasi bantuan. Langkah-langkah
untuk memastikan program bantuan pangan yang efektif yaitu :
1) Memperkirakan jumlah makanan yang tersedia.
2) Menghitung kebutuhan makanan dari penduduk yang terkena
bencana.
3) Menentukan jatah makanan sesuai dengan karakteristik penduduk
dan diperkirakan durasi efek bencana.
b. Program bantuan pangan selama bencana
Pada program bantuan pangan selama bencana, diperlukan adanya
proritas dalam managemen bantuan pangan. Program bantuan pangan
tersebut menurut PAHO (tanpa tanggal) diantaranya :
1) Menyediakan kebutuhan makanan yang mendesak, seperti
penduduk yang terisolasi, lembaga, rumah sakit, kamp pengungsi,
dan tim penyelamat dan personil bantuan.
2) Membuat perkiraan awal kebutuhan pangan penduduk yang terkena
bencana, dengan mempertimbangkan karakteristik demografis.
3) Mengidentifikasi stok pangan, (stok makanan di tempat lain di
negeri ini, organisasi bantuan makanan, dll), transportasi,
penyimpanan, dan distribusi.
4) Menjamin keamanan dan kesesuaian makanan lokal dan persediaan
makanan yang diterima.
5) Memantau situasi pangan dan gizi, sehingga pasokan dan
penjatahan makanan dapat dimodifikasi sesuai dengan perubahan
kondisi.

c. Managemen suplai makanan


Tujuan managemen suplai makanan (PAHO, tanpa tanggal) untuk
memastikan keamanan dan mencegah penularan penyakit melalui
makanan. Hal ini dilakukan dengan cara memeriksa makanan yang
diterima, mengidentifikasi dan membuang persediaan rusak dan
pastikan bahwa wadah atau karung dalam kondisi baik. Membuang
kaleng yang menggembung, rusak, atau berkarat, dan menolak produk
yang tanggal kadaluarsa telah berlalu. Memastikan unit transportasi
belum digunakan untuk mengangkut produk berbahaya atau
mencemari. Memastikan bahwa gudang memiliki ventilasi yang baik
dan cahaya, dan makanan ditempatkan pada stand yang
memungkinkan udara untuk beredar secara bebas. Menyimpan
makanan berdasarkan tanggal yang masuk sehingga dapat
didistribusikan secara tepat (First In/First Out)
d. Penjatahan bantuan pangan
Makanan harus menjadi bagian dari pola pangan penduduk. Jumlah
makanan dalam ransum harus tergantung pada tahap krisis dan sumber
daya yang tersedia.Untuk periode minggu atau bahkan bulan, dan
sementara korban tergantung secara eksklusif atau hampir secara
eksklusif pada bantuan pangan, jatah pangan harus bertujuan untuk
menyediakan 1.700-2.000 Kcal per orang/hari. Pada kelompok
penduduk yang berisiko kekurangan gizi, diberikan 3 atau 4 kg
makanan per orang per minggu. Yang penting pada tahap ini adalah
memberikan jumlah makanan yang cukup energi, bahkan jika itu
bukan diet seimbang. Untuk waktu singkat 1700 Kcal harian akan
mencegah kerusakan parah status gizi, dan kelaparan (PAHO, tanpa
tanggal).
Jatah makanan harus sesederhana mungkin: makanan pokok
(misalnya beras, jagung, tepung terigu), sumber terkonsentrasi energi,
(minyak atau lemak lain) dan sumber terkonsentrasi protein (misalnya
kering atau ikan kaleng atau daging kalengan ). Meskipun sayuran
kering merupakan sumber protein yang sangat baik, namun diperlukan
kegiatan memasak. Kelompok rentan (anak di bawah 5, wanita hamil
dan menyusui, dan orang-orang yang kekurangan gizi) harus menerima
suplemen. Perkiraan kebutuhan jangka menengah untuk makanan,
berdasarkan jatah makanan perlu memperhatikan hal-hal berikut :
a) Memperhitungkan efek bencana pada panen, ternak, dan faktor
lingkungan
b) Perkiraan jumlah dan komposisi penduduk yang terkena bencana.
c) Jika korban berada di penampungan, tanpa kemampuan untuk
memasak makanan mereka, makanan harus didistribusikan setelah
dimasak.
d) Jatah mentah (makanan) diberikan selama periode waktu tertentu
(misalnya selama seminggu).
3. Keamanan pangan
a. Keamanan pangan di tingkat produksi
Jumlah ketersediaan pangan dalam bencana mempunyai faktor
risiko yang berasal dari karakteristik agronomi (hasil produk
pertanian), sistem agraria (metode bertani, teknologi pertanian,
kepemilikan lahan) dan merupakan faktor struktural serta faktor
situasional seperti musim, dan dinamika ekonomi (ketersediaan bibit,
pupuk, alat pertanian, stok pangan, harga pangan), berlaku pula pada
produk peternakan, dan perikanan (Purwana, 2011).
Jenis bencana memberikan gambaran tersendiri bagi ketersediaan
pangan. Bencana akibat gempa bumi masih meninggalkan persediaan
pangan yang dapat dimanfaatkan. Bencana seperti tsunami, banjir, dan
kebakaran dapat menghancurkan total sumber ketersediaan pangan.
Nilai gizi, asal pangan (lokal, nasional, impor), penerimaan masyarakat
(acceptability), dan kesiapan (readiness/istant) perlu diperhatikan
dalam memilih sumber pangan (Purwana, 2011).
Kualitas makanan harus dijamin keamanannya mulia dari tahap
produksi, seperti bebas pestisida, bahan kimia beracun, bakteri
patogen, hormon, toksin, dan parasit. Kontaminasi pada tahap ini dapat
menyebabkan masalah pada konsumen, yaitu korban bencana
(Purwana, 2011).
b. Keamanan pangan di tingkat distribusi
Sistem transportasi dan komunikasi dapat mengalami gangguan
saat terjadi bencana. Meski ada kemungkinan persediaan pangan,
kadang bahan makanan tidak dapat diperoleh karena kekacauan sistem
distribusi atau ketiadaan dana untuk membeli pangan. Keamanan
pangan, masalah transportasi, distribusi, dan penjualan makanan saling
terkait serta menjadi gambaran ekonomi pada wilayah yang terkena
bencana. Sistem distribusi yang terganggu menyebabkan kelangkaan
pangan dan meningktakan harga bahan pangan pokok seperti beras dan
kedelai (Purwana, 2011).
c. Keamanan pangan di tingkat pengolahan makanan konsumsi
Semua makanan yang disajikan harus sesuai berdasarkan standar
konsumsi manusia (secara nutrisi dan budaya). Kualitas dan keamanan
seluruh bahan makanan harus dikontrol sebelum penggunaan dan
bahan yang yang tidak sesuai standar harus ditolak (WHO, 2005).
Prinsip pengendalian bahan makanan adalah :
1) Stok bahan makanan harus diinspeksi secara reguler dan jika ada
bahan makanan yang dicurigai tidak sesuai standar harus
dipisahkan kemudian sampel dikirim ke laboratorium untuk
dianalisis, dan untuk sementara waktu, bahan makanan tersebut
tidak boleh digunakan.
2) Pengawas dapur umum, koki dan personil tambahan harus dilatih
dalam kebersihan pribadi dan prinsip persiapan makanan yang
aman.
3) Pengawas dapur umum harus dilatih untuk dapat mengenali potensi
bahaya dan menerapkan langkah-langkah keamanan pangan yang
tepat; kebersihan pribadi personel yang terlibat dalam persiapan
makanan harus dipantau.
4) Petugas dan relawan menyiapkan makanan tidak boleh menderita
sakit dengan salah satu gejala berikut: sakit kuning, diare, muntah,
demam, sakit tenggorokan (demam), tampak terinfeksi lesi kulit
(bisul, luka, dll), atau keluarnya cairan dari telinga, mata atau
hidung.
5) Harus ada petugas kebersihan untuk menjaga dapur dan sekitarnya
bersih; mereka harus terlatih dan pekerjaan mereka diawasi dan
harus ada fasilitas yang memadai untuk limbah pembuangan.
6) Air dan sabun harus disediakan untuk kebersihan pribadi, dan
deterjen untuk membersihkan peralatan dan permukaan yang juga
harus dibersihkan dengan air mendidih atau agen pembersih,
misalnya pemutih.
7) Makanan harus disimpan dalam wadah yang akan mencegah
kontaminasi oleh hewan pengerat, serangga, atau lainnya hewan
8) Makanan panas atau dingin mungkin harus improvisasi (WHO,
2005). Banyak bakteri tidak menyebabkan penyakit, namun bakteri
patogen tersebar luas pada tanah, air, hewan, dan manusia. Bakteri
tersebut disebarkan melalui tangan, kain pengelap, dan perkakas
dapur. Jika makanan dan bakteri bersentuhan, maka akan
mencemari makanan dan mengakibatkan keracunan makanan.
Langkah-langkah dalam menjaga kebersihan pangan (WHO, 2006)
antara lain:
a) Mencuci tangan sebelum dan sesudah menyediakan makanan
b) Mencuci tangan setelah keluar dari toilet
c) Mencuci peralatan yang digunakan untuk menyediakan
makanan
d) Melindungi kawasan dapur dan makanan dari serangga, tikus,
dan hewan lainnya
Makanan mentah seperti daging, hasil olahan ayam, dan
makanan laut serta sisa air dan lendirnya mengandung bakteri
berbahaya yang bisa mencemari makanan lain saat penyediaan dan
penyimpanan makanan. Langkah-langkah dalam memisahkan
makanan mentah dari makanan matang antara lain:
i. Memisahkan makanan mentah seperti ayam, daging, dan
makanan laut daripada makanan yang telah dimasak
ii. Menggunakan perkakas dapur yang berbeda seperti pisau dan
talenan untuk menyediakan makanan mentah
iii. Menyimpan makanan dalam wadah untuk menghindari
makanan mentah bersentuhan dengan makanan yang telah
dimasak (WHO, 2006).
Memasak makanan dengan sempurna dapat membunuh semua
bakteri berbahaya. Berbagai penelitian telah menunjukkan
makanan yang dimasak pada suhu 70oC dapat memberi kepastian
makanan aman untuk dikonsumsi. Pastikan makanan seperti
daging, terutama daging cincang, daging panggang utuh, dan
potongan daging besar telah dimasak sempurna sebelum dimakan.
Langkah-langkah dalam memasak yang benar antara lain:
i. Memastikan makanan dimasak dengan sempurna sepenuhnya,
terutama daging, hasil ayam, telur, dan makanan laut.
ii. Suhu didih untuk makanan yang direbus harus mencapai suhu
70oC. Bagi daging dan hasil ayam, pastikan air rebusan terlihat
jernih dan bukan berwarna merah jambu. Sebaiknya gunakan
termometer masak untuk mengukur suhu.
iii. Panaskan semua makanan yang telah dimasak sepenuhnya
(WHO, 2006).
Pada suhu kamar, bakteri akan bereproduksi dengan cepat.
Pertumbuhan bakteri akan melambat atau terhenti pada suhu
dibawah 5oC atau lebih dari 60oC. Langkah-langkah peyimpanan
makanan pada suhu aman antara lain:
i. Jangan meletakkan makanan lebih dari dua jam pada suhu
kamar
ii. Simpan makanan yang telah dimasak namun cepat rusak pada
lemari pendingin (simpan pada suhu di bawah 5oC).
iii. Pertahankan suhu makanan lebih dari 60oC sebelum disajikan.
iv. Jangan menyimpan makanan terlalu lama dalam lemari
pendingin.
v. Jangan biarkan makanan beku dicairkan pada suhu kamar
(WHO, 2006).
Bahan mentah termasuk air dan es dapat terkontaminasi oleh
bakteri patogen dan bahan kimia berbahaya. Racun dapat terbentuk
dari makanan yang rusak dan berjamur. Memilih bahan baku dan
pelakuan sederhana seperti mencuci dan mengupas kulitnya dapat
mengurangi pencemaran makanan. Langkah-langkah penggunaan
air dan bahan baku aman antara lain:
i. Gunakan air yang bersih atau telah diberi perlakuan agar air
aman.
ii. Pilihlah makanan segar dan bermutu.
iii. Pilihlah cara pengolahan yang menghasilkan makanan yang
aman, seperti susu yang telah dipasteurisasi.
iv. Cucilah buah-buahan atau sayuran terutama yang dimakan
mentah.
v. Buang makanan yang telah kadaluarsa (WHO, 2006).
d. Kebutuhan suplai makanan
Menurut CDC (2014) kebutuhan suplai makanan pada kondisi
kedaruratan sebaiknya :
1) Memiliki masa penyimpanan yang panjang
2) Sedikit atau tidak perlu dimasak (makanan yang mudah
dikonsumsi), tidak perlu pendingin, atau air
3) Memenuhi kebutuhan bayi atau anggota keluarga lain yang
memiliki diet khusus
4) Memenuhi kebutuhan hewan peliharaan '
5) Makanan tidak asin atau pedas, karena makanan ini meningkatkan
kebutuhan air minum, yang mungkin dalam suplai air minum
sedikit
6) Cara menyimpan makanan saat terjadi kedaruratan (CDC, 2014)
adalah :
a) Bencana dapat dengan mudah mengganggu pasokan makanan
setiap saat, jadi perlu perencanaan untuk memiliki suplai
makanan minimal 3 hari.
b) Makanan kaleng dan makanan kering akan tetap segar selama
2 tahun.
c) Kondisi penyimpanan tertentu dapat meningkatkan umur
penyimpanan makanan kaleng atau makanan kering. Lokasi
yang ideal adalah yang sejuk, kering, gelap. Suhu terbaik
adalah 40-60°F (4,4 - 15,5°C). Jauhkan makanan dari area
pembuangan gas kulkas. Panas menyebabkan banyak makanan
membusuk lebih cepat.
d) Jauhkan makanan dari produk minyak bumi, seperti bensin,
minyak, cat, dan pelarut. Beberapa produk makanan menyerap
bau dari produk minyak bumi tersebut..
e) Lindungi makanan dari tikus dan serangga. makanan yang
disimpan dalam kotak atau kertas karton dapat bertahan lebih
lama jika dibungkus dengan tebal atau disimpan dalam wadah
kedap udara.
f) Berikan tanggal pada semua item makanan. Gunakan dan ganti
makanan sebelum kehilangan kesegaran.
Menyiapkan makanan setelah bencana atau keadaan darurat
mungkin sulit karena kerusakan rumah dan hilangnya suplai listrik,
gas, dan air. Ketersediaan peralatan berikut akan membantu untuk
menyiapkan makanan dengan aman (CDC, 2014) :
(1) Peralatan memasak
(2) Pisau, garpu, dan sendok
(3) Piring kertas, gelas, dan handuk
(4) Pembuka botol manual
(5) Aluminium foil
(6) Gas atau arang panggangan
(7) Bahan bakar untuk memasak, seperti arang. (Jangan
membakar arang di dalam ruangan karena asap yang
dihasilkan dapat mematikan bila terkonsentrasi di dalam
ruangan).
e. Dapur Umum
1) Pengertian dapur umum
Dapur umum (DU) adalah dapur lapangan yang
diselenggarakan untuk menyediakan/menyiapkan makanan dan
dapat didistribusikan/dibagikan pada korban bencana alam dalam
waktu cepat dan tepat. Penyelenggaraan dapur umum untuk
melayani kebutuhan makan para penderita atau korban bencana
bukan hanya monopoli organisasi PMI.
Penyelenggaraan DU tersebut dapat diselenggarakan oleh
siapa saja yang datang pertama kali dan dapat
menyelenggarakannya. Berdasarkan pengalaman selama ini yang
sering menyelenggarakan kegiatan DU selain PMI adalah TNI,
Karang Taruna, SATGASSOS, perangkat Pemda di tingkat bawah,
Hansip, dll.
2) Lokasi dapur umum
Dalam menentukan lokasi Dapur Umum agar memperhatikan hal-
hal sebagai berikut :
a) Letak Dapur Umum dekat dengan posko atau penampungan
supaya mudah dicapai atau dikunjungi oleh korban
b) Higienis linkungan cukup memadai
c) Aman dari bencana
d) Dekat dengan transportasi umum
e) Dekat dengan sumber air.
3) Pendistribusian makanan dapur umum
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pendistribusian makanan
DU kepada korban bencana antara lain :
a) Distribusi dilakukan dengan mengunakan kartu distribusi
b) Lokasi atau tempat pendistribusian yang aman dan mudah
dicapai oleh korban
c) Waktu pendistribusian yang kosisten dan tepat waktu, misalnya
dilakukan 2 kali sehari,makan pagi/siang dilaksanakan jam
10.00 s/d 12.00 wib, makan sore/malam jam 16.00 s/d 17.00
wib
d) Pengambilan jatah seyogyanya diambil oleh kepala keluarga
atau perwakilan sesuai dengan kartu distribusi yang sah
e) Pembagian makanan bisa mengunakan daun, piring, kertas atau
sesuai dengan pertimbangan aman, cepat, praktis, dan sehat.

Nomor dapur :……………………………………………….


Nomor kode DU :……………………………………………….
Nama kepala keluarga:………………………………………….........
Jumlah jiwa :………………………………………………
Alamat/lokasi/pos :……………………………………………....
Gambar: Kartu pengambilan jatah makanan
4) Lama penyelenggaraan dapur umum
Lama penyelenggaraan dapur umum adalah sebagai berikut:
a) Penyelengaraan Dapur Umum PMI dilaksanakan pada situasi
jika tidak memungkinkan diberikan bantuan bahan mentah
b) Sampai dengan hari ketiga adalah untuk memberikan bantuan
makanan kepada seluruh korban bencana yang dilaporkan
c) Untuk hari keempat sampai dengan ketujuh pemberian bantuan
makanan sudah dapat dimulai dengan selektif; bantuan
makanan hanya diberikan kepada korban yang benar-benar
membutuhkan
d) Apabila setelah tujuh hari ternyata korban bencana belum dapat
menjalankan fungsi sosialnya seperti semula dan masih
memerlukan bantuan, pemberian bantuan berikutnya
diusahakan dalam bentuk bahan mentah yang sesuai dengan
prisip bantuan PMI
e) Bantuan dari PMI diberikan dalam bentuk tahap darurat paling
lama berlangsung selama 14 hari, jika situasi dan kondisi masih
dalam keadaan darurat dan disertai dukungan sarana dana yang
memadai, atas permintaan dan sesuai kemampuan PMI,
pemberian bantuan dapat melampaui masa 14 hari tersebut.

Anda mungkin juga menyukai